Kenalkan, panggil saja aku Raymond (Ray). Saat ini berusia 22 tahun, dan
 kuliah di sebuah universitas terkemuka di Surabaya, dan belum juga 
lulus. Nah, begini. Aku sama sekali tidak merasa diriku ganteng, pandai,
 ataupun alim. Aku mantan pecandu (hampir semua sudah aku coba) yang 
berhasil rehab (yang ternyata banyak sekali gunanya). Hampir setiap hari
 aku melakukan hubungan seksual dalam bentuk bagaimanapun, dan maaf-maaf
 saja, aku tidak pernah melakukannya dengan pereks ataupun pelacur, tapi
 perawan kampus maupun anak SMU, dan terkadang tangan kiriku. Ah.. 
itulah sebabnya. Aku merasa beruntung dilahirkan dari sebuah keluarga 
menengah, yang sanggup membelikanku sebuah city-z dan m35 untuk bekal 
kuliah. Hanya modal itu? Tidak dong. Modal utamaku adalah Mulut dan 
Otak! Mau tahu caranya? Coba kuulas pengalamanku baru-baru ini.
Aku mengenal Kirani sebenarnya melalui no. telp di phonebook HP temanku.
 Waktu itu, aku hanya sekedar iseng mengecek nomor-nomor cewek yang ada 
di situ. Dan, voila! Kulihat nama KIRANI. Ah, pertama kali tentu saja 
aku tidak berharap banyak. Siapa tahu toh tampangnya kayak kuntilanak, 
hueheuheuhe.. tapi suatu hari, tepatnya tanggal 9 Desember 2000,  karena
  nganggur  abis,  di  samping  pingin  merasakan  'fresh  meat',  
kucoba menghubungi nomer telponnya.
"Hallo."
Lah kok suara bapak-bapak?
"Selamat malam, bisa dengan Kirani, Pak?" sahutku dengan nada sesopan mungkin. "Dari siapa?" jawab suara di seberang.
"Dari Ray, Pak."
Dan bapak itu memintaku menunggu. "Halo?"
Eh merdu juga suara si 'neng' ini. Dan karena ia di rumah, padahal ini malam minggu, berarti..
"Halo? Kirani?" tanyaku dengan suara dimaniskan. "Siapa ini?" gadis itu bertanya.
"Ray." Jawabku singkat.
Sistemnya  begini,  kita  tidak  bisa  membuat  cewek  tertarik  pada  
konversasi  kita  hanya dengan  menggunakan  interogasi  lapuk  seperti 
 'rumahnya  di  mana',  'kuliahnya  di mana','udah punya pacar belum'. 
Namun kita pasti bisa menarik perhatian seorang cewek apabila  kita  
menyerbunya  dengan  sebuah  cerita  atau  pertanyaan  spesifik  di  
luar identitasnya. Dan itulah yang kulakukan, tanpa memberinya 
kesempatan untuk menanyakan identitasku.
"Ah, cuman Ray saja." jawabku, dan dengan cepat kulanjutkan, "Aku pingin
 curhat.." dan membiarkannya bingung dan merasa lucu sendiri, akhirnya 
(90% cewek selalu begini) ia berkata, "Oke deh, curhat apa?"
Masuk, kan? Kalau dia tidak bilang begitu, tinggal saja. Cewek seperti itu takkan bisa masuk perangkap.. hehehehe.
"Begini, Rani.." dan akupun mengarang cerita tentang betapa cintaku 
dikhianati seorang gadis yang sudah kukasihi sekian tahun lamanya, 
betapa hatiku sedih membayangkan seluruh pengorbananku sia-sia dan 
sebagainya (pokoknya yang sedih-sedih dan semua salah si cewek).
"..begitu." aku mengakhiri ceritaku, "Bagaimana menurutmu?"
"Gimana, yaa.." suaranya terdengar ragu, "Menurutku sih, yang salah ceweknya.."
Sampai di sini aku menarik nafas lega, jadi aku sudah berhasil menarik 
simpatinya atas penderitaanku. Dan kami berbincang-bincang cukup lama 
mengenai masalah itu sampai akhirnya ia kembali menanyakan, "Ray siapa 
sih? Tahu nomer telponku dari mana?" Namun tentu saja dengan nada yang 
lebih akrab. Oh, satu hal yang selalu kupegang, jangan pernah terlalu 
banyak cerita mengenai diri sendiri, karena mendengar cerita lawan 
bicara dengan baik akan memberikan kesan yang baik pula, cerita mengenai
 diri sendiri justru akan bernuansa membosankan. Jadi kujawab apa adanya
 dan kuajukan pertanyaan universal yang membuatnya banyak omong 
kepadaku, sampai akhirnya ia bertanya sendiri, "Dih, aku cerewet yah?" 
Oh, tentu tidak. Ceritamu sangat menarik, walaupun aku ngantuk 
mendengarnya, dan rokokku hampir habis. Hehehehe.
Jadi aku berhasil mendapatkan alamatnya, cukup, jangan mendesak lebih 
lanjut, kukatakan aku akan menelponnya besok, ia setuju, dan tanpa 
menunggu lebih lama, aku langsung menuju  ke  Jl.  Gubeng  Airlangga  xx
  no.  xx.  Tidak  mampir,  aku  hanya  melihat  dan melewatinya saja. 
Santai, tak perlu terburu-buru. Dan daripada nganggur, aku langsung 
berangkat ke kos-kosan te-te-em (teman tapi mesra) ku di Barata Jaya xx.
 Mengajaknya keluar jalan-jalan dan membujuknya hingga dia mau menghisap
 penisku di dalam mobil.
Keesokan  harinya,  tepat  pukul  tujuh  malam,  sesuai  janji  kemarin,
  aku  melancarkan serangan berikutnya. Kali ini kuawali dengan 
bercerita tentang sebuah tabrakan maut yang entah di mana (aku lupa, 
soalnya aku hanya mengarang saja, hehehe), yang membuatnya sangat 
tertarik, lalu menarik simpatinya dengan pengalamanku dengan mantan 
kekasihku, si narkoba, dan membahas topik permasalahan kemarin, sehingga
 aku berhasil berbicara dengannya kurang lebih satu jam setengah. 
Seperti biasa pula, cewek akan merasa akrab kalau kita bisa membuatnya 
tertawa, senang, dan banyak omong. Sehingga..
"Rani, aku pingin tahu wajahmu loh." kataku tiba-tiba.
"Kapan? Sekarang? Udah malam lagi." kudengar Rani berkata di seberang. Jadi sudah boleh, kan.
"Besok, jam lima sore."
Jangan membuat langkah ragu, dan pilih waktu yang tak membuatnya curiga. "Okeh, nggak pa-pa. Kutunggu."
Pembicaraan yang lama akan membuat seseorang lupa ketika berjanji, 
sehingga Rani lupa bahwa besok masih puasa, jadi aku bisa menawarkan 
berbuka puasa bersama setibanya di kosnya. Lumayan cerdik? Tentu saja. 
Oh, beberapa hari ini kukonsentrasikan energiku untuk mengejarnya, jadi 
sejenak aku mengesampingkan tuntutan nafsuku, paling tidak sampai aku 
mendapatkan Rani.
Semuanya berjalan lancar-lancar saja. Jangan pernah menunjukkan 
perubahan dari gaya bicara di telpon dengan saat bertemu, seburuk apapun
 kemungkinan yang akan terjadi. Dan ternyata, wow, sangat jauh dari 
buruk. Heran juga kenapa temanku bisa dapat no. telpon si Rani. Anaknya 
cantik, kulitnya putih bersih, rambutnya bergelombang mengingatkanku 
kepada Bella Saphira, hanya dadanya sedikit kecil untuk tipeku, 
selebihnya oke-oke saja, bahkan sangat oke. Kuusahakan membuat ia 
tertawa terus, dengan mengarang cerita-cerita konyol dan memainkan raut 
wajahku. Matanya berbinar-binar, sebagai pernyataan keakrabannya 
denganku. Dan ketika aku mengingatkannya pada waktu buka puasa, setelah 
menunggunya shalat (aku shalat darurat di mobil, hehehe), kamipun 
meluncur mencari tempat makan. Oh, tentu saja kuusahakan mencari tempat 
kelas menengah yang menimbulkan kesan atraktif, seperti Wapo Airlangga, 
misalnya.
Selama perjalanan, aku agaknya berhasil membuatnya terpesona dengan 
sikap gentle-ku. Ia tersenyum manis saat kuberikan sebatang Toblerone 
(yang sudah kusiapkan sebelumnya), dan mengucapkan terima kasih saat 
kubukakan pintu mobil untuknya. Dan ketika aku menanyakan kapan ketemu 
lagi (bukan 'boleh ketemu lagi?'), ia langsung mengatakan, "Jumat aku 
kosong." Dan lihat, semuanya sangat perfect!
Hari Jumat aku mengajaknya jalan, dengan terlebih dahulu memberikan 
alasan bahwa aku paling bosan duduk terus, dan dengan keakraban yang 
sudah terjalin, alangkah mudahnya mengajaknya keluar. Hari itu aku 
mengajaknya ke Pizza Hut di Plasa Tunjungan untuk sekedar minum dan 
makan salad, karena kami sudah berbuka puasa sendiri-sendiri sebelum aku
 ke kosnya. Kali ini perbincangan kami seputar tipe cewek idamanku, dan 
tipe cowok idamannya. Dan tentu saja, dengan menjadi pendengar yang 
baik, aku bisa mencocokkan tipe cewek idamanku dengan sifat-sifatnya 
yang sudah kukira-kira dari cerita-ceritanya selama beberapa hari yang 
lalu. Dan aku tahu, tipe cowok idamannya pastilah sudah kupenuhi semua, 
kecuali studi tentu saja, soalnya aku paling malas kuliah. Aku tahu, 
kemungkinan untuk me'nembak'nya saat itu masih 80% berhasil. Jadi 
kuputuskan untuk menahan sabar. Aku hanya memancing dengan kata-kata, 
"Enak yah, punya cewek kaya kamu." Dan itu bisa membuatnya tersanjung, 
membubung tinggi ke awang-awang.. dan.. brukk? Oh, itu nanti saja.
Sabtu besoknya, nah ini yang seru. Pukul sembilan malam, aku menelponnya
 tiba-tiba, yang tentu saja membuatnya bertanya-tanya. Dan kubilang, ada
 hal penting yang membuatku harus ke sana sekarang juga. Karena itu 'hal
 penting' akhirnya ia bersedia menemuiku. Hohoho.. sesampainya di 
kosnya, aku langsung berlutut, tanpa mempedulikan teman- temannya yang 
lagi nonton TV di ruang tamu. Memegang tangannya dan memintanya menjadi 
pacarku. Hehehe, wajahnya tersipu, dan aku tahu dalam keadaan begini, 
dilihat oleh teman-temannya, hanya 1% kemungkinanku untuk ditolak. Dan 
begitulah, ia ikut berlutut   dan   menganggukkan   kepalanya,   
diiringi   suit-suit   teman-temannya   yang menyaksikan   kami.  Dengan
   luapan   kegembiraanku   (berhasil!  berhasil!)   kupeluk pinggangnya
 yang ramping dan kuangkat tinggi-tinggi, membuatnya menjerit-jerit 
kecil dan teman-temannya tertawa. Aku, langsung pulang, membiarkannya 
larut dalam kejadian yang mungkin baginya sangat luar biasa, hahaha.... 
jahatnya aku.
Minggu besoknya, kami berdua menghabiskan waktu di Dunkin's Donuts, 
sambil bercerita 'ngalor-ngidul'. Oh, Rani yang lugu. Terkadang terselip
 rasa menyesal.. masa? Hohoho..
Hari Selasa, minggu lalu, aku berhasil mencium bibirnya, untuk hal ini, 
aku selalu menjaga reputasiku yaitu dengan tanpa harus mengajukan 
pertanyaan bodoh seperti "boleh kucium bibirmu?". Kalau pingin cium, ya 
cium saja. Itu prinsipku, buat apa tanya?
Jumat kemarin, aku mengajaknya shalat tarawih. Setelah itu, aku 
mengajaknya berputar- putar di jalanan Surabaya, sambil memeluk dan 
menikmati lengan kiriku yang tertekan 'susu'-nya.  Dan  sampailah  kami 
 di  saat  setan  lewat,  dimana  kami  diam  menikmati 'kebersamaan' 
kami.
Nah, saat itulah kubisikkan di telinganya, "Ran, ke rumahku yuk." Rani hanya menggelendot manja di pelukanku.
Ah ya, aku tinggal di Surabaya dengan mengontrak sebuah rumah yang 
lumayan di daerah Rungkut Harapan. Aku tinggal bersama dua orang 
temanku. Yang tentu saja sudah kusuruh ngacir ketika aku berhenti untuk 
mengisi bensin.
Lalu……
Rani tidak meronta ketika sambil berdiri kupeluk dan kulumat bibirnya. 
Aku tidak pernah menutup mataku kalau sedang berciuman, hal yang bodoh, 
karena melihat matanya yang terpejam dan hidungnya yang kembang-kempis 
merupakan sebuah kenikmatan tersendiri bagiku."Ahh.."  kudengar   
nafasnya  yang   mendesah  saat   kupegang   dan   kuremas payudaranya 
dari lapisan bajunya,
"Oohh.. hh.."
kurasakan nafasku juga sedikit memburu, kumasukkan tanganku ke dalam 
bajunya, meraba raba cup BH-nya, menikmati kekenyalan 'bemper'nya. 
Kubiarkan saja tangannya tergantung di sisi-sisi tubuhnya, lagipula, 
Rani (sesuai pengakuannya) kan masih hijau dalam berpacaran.. hehehe.. 
bingung kali dia harus ditaruh di mana tangannya, tidak seperti Eci yang
 pasti sudah langsung merogoh celanaku.
"Mmmhh.." kulumat bibirnya yang terbuka, dan kutekan pantatnya dengan 
tangan kananku sehingga menekan penisku yang mulai 'siap grak'.
"Hhh.." hembusan nafasnya terasa mulai cepat.. dengan tetap memeluknya 
(dan tanganku masih meremas payudaranya), kubimbing dia memasuki 
kamarku. Toh nggak ada orang, jadi  kubiarkan pintu  kamar  terbuka.  
Kududukkan  dia  di  tepi  ranjangku,  sip.  Kuangkat kakinya dan 
kujatuhkan kepalanya sehingga ia berada dalam posisi terlentang, 
sementara aku berjongkok di sebelah ranjang. Kulumat lagi bibirnya, 
sementara tangan kananku mengangkat bajunya hingga BH-nya menyembul 
keluar, dan menyelipkan tanganku di BH- nya, merasakan putingnya yang 
mulai mengeras di ujung jari-jariku.
"Ahh.. uhh.." Rani mulai mendengus-dengus menikmati sentuhanku. Tanpa 
pikir panjang, langsung kuraih kancing celananya dan menarik 
reisletingnya, ehk, tangannya memegangi tanganku, matanya mendadak 
terbuka…. ups…
"Ssshh.. kamu percaya kan sama aku?" bisikku di bibirnya. Dan kulumat 
bibirnya sebelum ia sempat menjawab apapun. Kurasakan pegangannya pada 
tanganku melemas, matanya mulai terpejam lagi. Jadi kuteruskan saja. 
Kumasukkan tanganku di lipatan celana dalamnya yang berwarna krem, 
merasakan bulu-bulu vaginanya yang lebat, memijat-mijat permukaan 
vaginanya, merasakan tanganku basah oleh 'cairan'nya.
"Aahh.. hh.. mm.." kudengar nafasnya yang mendesah-desah dan matanya 
berkerut-kerut saat kujepit labia mayoranya dengan jari-jariku, 
memainkannya, memijat-mijatnya, dan kepalanya tertarik ke belakang saat 
jari tengahku menemukan kelenjar vaginanya dan menekan-nekan   serta   
menggosok   kelenjar   tersebut.    Akupun   tenggelam   dalam 
kenikmatanku sendiri, 'adik'ku sudah tegang sekali, jadi akupun bangkit 
berdiri, melihat matanya yang masih terpejam dan bibirnya yang tergigit.
"Ray… hh...." kudengar ia mengeluh sambil memandangiku saat kutarik 
celananya berikut celana dalamnya. Bulu-bulu vaginanya terlihat lebat 
dengan celah yang mengundang, bibir vaginanya tampak memerah, mungkin 
akibat gesekan dan pijatan jariku tadi. Dan tanpa menunggu reaksinya 
lebih lanjut, kumasukkan kepalaku ke dalam lipatan pahanya dan menjilat 
penuh nafsu, "Aahhkk.. nngghh.." kudengar ia mengeluh, badannya 
bergerak- gerak, pahanya menjepit kepalaku saat kugerakkan lidahku 
menjilat-jilat kelenjar vaginanya. Kunikmati rasa anyir yang memasuki 
mulutku, kuangkat tanganku, meraih kedua buah dadanya sekaligus, dan 
menekan-nekan memijat-mijat, membuatnya menjambak-jambak rambutku, 
pantatnya mulai terangkat dan bergerak liar.
Kutinggalkan vaginanya, dan bangkit berdiri, lalu melepas bajuku dan 
celanaku. Oh.. Rani rupanya lebih memilih untuk tidak melihatku 
telanjang. Ya sudah, pikirku. Kubuka pahanya dan kutempelkan batang 
penisku ke atas vaginanya. Mmmhh.. kunikmati benda yang empuk itu 
menekan penisku. Kubiarkan saja. Kuciumi bibirnya dan kuangkat 
punggungnya, melepaskan  kaitan  BH-nya,  dan  mengangkat bajunya  
melewati  kepala  dan  tangannya, sementara Rani hanya pasrah saja, 
sambil sesekali mengeluh nikmat. "Ahh.." kuhembuskan nafasku penuh 
kenikmatan saat kujatuhkan tubuhku menempel ke tubuhnya yang telanjang. 
Kugerak-gerakkan pinggulku, membuat penisku menekan dan menggesek 
kemaluannya. Kuciumi matanya, hidungnya, bibirnya, dagunya, menelusuri 
lehernya, ke dadanya, kuremas payudaranya dan kuhisap putingnya yang 
berwarna coklat muda secara bergantian.
"Ray.. ahh.." kudengar Rani menyebut-nyebut namaku penuh kenikmatan, 
kutekan penisku lebih kuat, menggesekkannya menelusuri celah vaginanya, 
licin, terkadang kutarik penisku agak  jauh  turun,  dan  menekan  maju,
  sehingga  menekan  lubang  vaginanya  dan menyibakkan bibir-bibirnya 
ke samping. "Ahh.. kk.. hh.. aahh.." nafasku memburu, dadanya terasa 
hangat di dadaku, kuciumi lagi bibirnya yang terbuka terengah-engah, 
kuangkat sedikit dadaku, membiarkan ujung-ujung putingnya menyapu 
kulitku, kupegang pantatnya dengan tanganku dan kutekan lagi penisku. 
"Rani.. uhh.." aku mulai terbawa nafsuku sendiri.
Kutarik lagi penisku, dan kali ini menekannya agak kuat, dan (aku 
sendiri kaget) Rani menjerit kesakitan saat ujung penisku mendadak masuk
 persis di lubang vaginanya.
"Ray.. jangan.."
bangsat.. kepalang tanggung.
"Rani.. please.." desahku, ujung penisku masih menancap sedikit di ujung lubangnya yang sempit.
"Ray.. jangan, Ray.."
Shit.. kutekan lebih dalam.. Rani menjerit kecil, "Aaachkk.. nngghh.." 
kulihat air mata menetes di pipinya. Shit.. shit.. kugigit lehernya 
dan.. shit.. kutekan sekali lagi lebih dalam. "Ray.. hhkk.."
Kutarik.. kutekan lagi.
"Rani.. uhh.."
Ahhkhkkh.. dan cepat-cepat kutarik keluar sebelum spermaku memasuki vaginanya.
Kulepaskan gigitanku, merasakan penisku yang menempel di sprei ketika kuturunkan pantatku. Keringat membasahi tubuhku.
"Rani ..?" kucoba memanggil namanya, "Rani..??"
"Rani..!!" kuangkat tubuhku, dan kulihat mukanya yang memerah. Buliran 
air mata tampak jatuh dari ujung matanya, Rani menggigit bibir bawahnya,
 matanya terpejam dan alisnya berkerut, hidungnya kembang-kempis. Shit..
 kulirik ke bawah dan alangkah terkejutnya aku melihat setitik gumpalan 
darah kehitaman menodai ujung penisku yang mulai mengecil.
"Rani.. sakit ya?" tanyaku sambil kuturunkan tanganku menyentuh celah 
vaginanya, menggosok-gosok sebentar. Kulihat mata Rani masih terpejam 
dan air matanya masih keluar, bibirnya bergetar. Kugosok lagi celah 
vaginanya dengan gerakan memijat dan kugosokkan di kulit pantatku.
"Rani.. sori yah.. sakit?" terus kuulang-ulang pertanyaan itu sambil 
tetap menggosok-gosok, akhirnya kulihat tangannya terangkat menutupi 
matanya, dan Rani mengangguk perlahan. 
"Uuuh.. sayang.." kukecup manja bibirnya.
"Kusayang, yah?" tanyaku pelan dan dia mengangguk. Kuturunkan kepalaku 
ke perutnya, terus turun sehingga aku dapat melihat dengan jelas kondisi
 vaginanya. Wah, lumayan hancur.
Kuperhatikan dengan seksama, memastikan tak ada noda yang menempel, 
kubelai noda- noda yang tersisa dengan tanganku, membaurkannya dengan 
air liurku, dan menggosokkannya di pantatku sambil berkata, "Disayang, 
yaa.. cup cup.."
Sebentar-sebentar kutekan permukaan vaginanya, memastikam cairan itu 
tidak keluar lagi. Setelah yakin semuanya bersih. Kutarik tubuhku ke 
sampingnya, kupeluk Rani dengan mesra, dan kubisikkan di telinganya,
"Rani.. kamu tahu apa yang membuatku senang saat ini?"
Rani menggeleng lemah, tangannya masih menutupi matanya. "Hihihi.. bener mau tahu?"
Rani diam saja.. bahunya masih bergerak-gerak.
"Ngga sampai bobol kok.. tuh lihat saja.. masih bersih.."
Dan Rani mengangkat tangannya, tertawa sambil menangis dan memelukku.
"Kan aku sudah bilang tadi.. percaya dong sama Ray," ucapku setengah berbisik, dan kukecup keningnya. Ahh.. Rani.
Uwaahh.. aku mungkin harus bersyukur entah pada setan mana soalnya 
spreiku tak sampai ternoda, bisa cialat deh kalau Rani melihat ada noda 
di situ. Dan.. satu lagi nama perawan masuk ke buku harianku.
Mungkin pembaca bertanya padaku, kenapa bisa semudah itu Rani bisa 
diajak bercinta, oh, Rani bukan cewek gampangan. Tapi yang terpenting, 
carilah cewek yang di bawah kelas kamu, lugu, agak jauh lebih muda, dan 
berikan dia pesona dan sebuah kepercayaan, then…see now?
Hmm, sampai sekarang aku masih berhubungan dengannya, sambil 
mencari-cari cara bagaimana untuk meninggalkannya. Beberapa teman 
cewekku menawarkan untuk membantu,  tapi  sepertinya aku mempunyai cara 
sendiri,  mungkin setelah tahun baru. hehehehe.. kita lihat saja, oke. 
Tunggu saja.
      
     
     
No comments:
Post a Comment