Kisahku yang satu ini terjadi sudah agak lama, tepatnya pada akhir
semester 3, dua tahun yang lalu. Waktu itu adalah saat-saat menjelang
UAS. Seperti biasa, seminggu sebelum UAS nama-nama mahasiswa yang tidak
diperbolehkan ikut ujian karena berbagai sebab seperti over absen, telat
pembayaran, dan sebagainya tertera di papan pengumuman di depan TU
fakultas.
Hari itu aku dibuat shock dengan tercantumnya namaku di daftar cekal
salah satu mata kuliah penting, 3 SKS pula. Aku sangat bingung di sana
tertulis absenku sudah empat kali, melebihi batas maksimum tiga kali,
apakah aku salah menghitung, padahal di agendaku setiap absenku kucatat
dengan jelas aku hanya tiga kali absen di mata kuliah itu.
Akupun complain masalah ini dengan dosen yang bersangkutan yaitu Pak
Qadar, seorang dosen yang cukup senior di kampusku, dia berumur
pertengahan 40-an, berkacamata dan sedikit beruban, tubuhnya pendek
kalau dibanding denganku hanya sampai sedagu. Diajar olehnya memang enak
dan mengerti namun dia agak cunihin, karena suka cari-cari kesempatan
untuk mencolek atau bercanda dengan mahasiswi yang cantik pada jam
kuliahnya termasuk juga aku pernah menjadi korban kecunihinannya.
Karena sudah senior dan menjabat kepala jurusan, dia diberi ruangan
seluas 5x5 meter bersama dengan Bu Hany yang juga dosen senior merangkap
wakil kepala jurusan. Kuketuk pintunya yang terbuka setelah seorang
mahasiswa yang sedang bicara padanya pamitan.
"Siang Pak!" sapaku dengan senyum dipaksa.
"Siang, ada perlu apa?"
"Ini Pak, saya mau tanya tentang absen saya, kok bisa lebih padahal di
catatan saya cuma tiga..," demikian kujelaskan panjang lebar dan dia
mengangguk-anggukkan kepala mendengarnya.
Beberapa menit dia meninggalkanku untuk ke TU melihat daftar absen lalu
kembali lagi dengan map absen di tangannya. Ternyata setelah usut punya
usut, aku tertinggal satu jadwal kuliah tambahan dan cerobohnya aku juga
lupa mencatatnya di agendaku. Dengan memohon belas kasihan aku memelas
padanya supaya ada keringanan.
"Aduhh.. Tolong dong Pak, soalnya nggak ada yang memberitahu saya
tentang yang tambahan itu, jadi saya juga nggak tahu Pak, bukan salah
saya semua dong Pak."
"Tapi kan Dik, anda sendiri harusnya tahu kalau absen yang tiga
sebelumnya anda bolos bukan karena sakit atau apa kan, seharusnya untuk
berjaga-jaga anda tidak absen sebanyak itu dong dulu."
Beberapa saat aku tawar menawar dengannya namun ujung-ujungnya tetap
harga mati, yaitu aku tetap tidak boleh ujian dengan kata lain aku tidak
lulus di mata kuliah tersebut. Kata-kata terakhirnya sebelum aku pamit
hanyalah,
"Ya sudahlah Dik, sebaiknya anda ambil hikmahnya kejadian ini supaya
memacu anda lebih rajin di kemudian hari" dengan meletakkan tangannya di
bahuku.
Dengan lemas dan pucat aku melangkah keluar dari situ dan hampir
bertabrakan dengan Bu Hany yang menuju ke ruangan itu. Dalam perjalanan
pulang di mobilpun pikiranku masih kalut sampai mobil di belakangku
mengklaksonku karena tidak memperhatikan lampu sudah hijau.
Hari itu aku habis 5 batang rokok, padahal sebelumnya jarang sekali aku
mengisapnya. Aku sudah susah-susah belajar dan mengerjakan tugas untuk
mata kuliah ini, juga nilai UTS-ku 8, 8, tapi semuanya sia-sia hanya
karena ceroboh sedikit, yang ada sekarang hanyalah jengkel dan sesal.
Sambil tiduran aku memindah-mindahkan chanel parabola dengan remote,
hingga sampailah aku pada channel TV dari Taiwan yang kebetulan sedang
menayangkan film semi.
Terlintas di pikiranku sebuah cara gila, mengapa aku tidak memanfaatkan
sifat cunihinnya itu untuk menggodanya, aku sendiri kan penggemar seks
bebas. Cuma cara ini cukup besar taruhannya kalau tidak kena malah aku
yang malu, tapi biarlah tidak ada salahnya mencoba, gagal ya gagal,
begitu pikirku. Aku memikirkan rencana untuk menggodanya dan menetapkan
waktunya, yaitu sore jam 5 lebih, biasanya jam itu kampus mulai sepi dan
dosen-dosen lain sudah pulang. Aku cuma berharap saat itu Bu Hany sudah
pulang, kalau tidak rencana ini bisa tertunda atau mungkin gagal.
Keesokan harinya aku mulai menjalankan rencanaku dengan berdebar-debar.
Kupakai pakaianku yang seksi berupa sebuah baju tanpa lengan berwarna
biru dipadu dengan rok putih menggantung beberapa senti diatas lutut,
gilanya adalah dibalik semua itu aku tidak memakai bra maupun celana
dalam. Tegang juga rasanya baru pertama kalinya aku keluar rumah tanpa
pakaian dalam sama sekali, seperti ada perasaan aneh mengalir dalam
diriku.
Birahiku naik membayangkan yang tidak-tidak, terlebih hembusan AC di
mobil semakin membuatku bergairah, udara dingin berhembus menggelikitik
kemaluanku yang tidak tertutup apa-apa. Karena agak macet, aku baru tiba
di kampus jam setengah enam, kuharap Pak Qadar masih di kantornya.
Kampus sudah sepi saat itu karena saat menjelang ujian banyak kelas
sudah libur, kalaupun masuk paling cuma untuk pemantapan atau kuis saja.
Aku naik lift ke tingkat tiga. Seorang karyawan dan dua mahasiswa yang
selift denganku mencuri-curi pandang ke arahku, suatu hal yang biasa
kualami karena aku sering berpakaian seksi cuma kali ini bedanya aku
tidak pakai apa-apa di baliknya. Entah bagaimana reaksi mereka kalau
tahu ada seorang gadis di tengah mereka tidak berpakaian dalam,
untungnya pakaianku tidak terlalu ketat sehingga lekukan tubuhku tidak
terjiplak. Akupun sampai ke ruang dia di sebelah lab. Bahasa dan kulihat
lampunya masih nyala. Kuharap Bu Hany sudah pulang kalau tidak
sia-sialah semuanya. Jantungku berdetak lebih kencang saat kuketuk
pintunya.
"Masuk!" sahut suara dari dalam.
"Selamat sore Pak!"
"Oh, kamu Citra yang kemarin, ada apa lagi nih?" katanya sambil memutar kursinya yang menghadap komputer ke arahku.
"Itu.. Pak mau membicarakan masalah yang kemarin lagi, apa masih ada keringanan buat saya"
"Waduh.. Kan Bapak sudah bilang dari kemarin bahwa tanpa surat opname
atau ijin khusus, kamu tetap dihitung absen, disini aturannya memang
begitu, harap anda maklum"
"Jadi sudah tidak ada tawar-menawar lagi Pak?"
"Maaf Dik, Bapak tidak bisa membantumu dalam hal ini"
"Begini saja Pak, saya punya penawaran terakhir untuk Bapak, saya harap bisa menebus absen saya yang satu itu, bagaimana Pak?"
"Penawaran.. Penawaran, memangnya pasar pakai tawar-menawar segala," katanya dengan agak jengkel karena aku terus ngotot.
Tanpa pikir panjang lagi aku langsung menutup pintu dan menguncinya,
lalu berjalan ke arahnya dan langsung duduk diatas meja tepat
disampingnya dengan menyilangkan kaki. Tingkahku yang nekad ini
membuatnya salah tingkah. Selagi dia masih terbengong-bengong kuraih
tangannya dan kuletakkan di betisku.
"Ayolah Pak, saya percaya Bapak pasti bisa nolongin saya, ini penawaran
terakhir saya, masa Bapak nggak tertarik dengan yang satu ini" godaku
sambil merundukkan badan ke arahnya sehingga dia dapat melihat belahan
payudaraku melalui leher bajuku yang agak rendah.
"Dik.. Kamu kamu ini.. Edan juga.." katanya terpatah-patah karena gugup.
Wajahku mendekati wajahnya dan berbisik pelan setengah mendesah,
"Sudahlah Pak, tidak usah pura-pura lagi, nikmati saja selagi bisa."
Dia makin terperangah tanpa mengedipkan matanya ketika aku mulai
melepaskan kancing bajuku satu-persatu sampai kedua payudaraku dengan
puting pink-nya dan perutku yang rata terlihat olehnya. Tanpa melepas
pandangannya padaku, tangannya yang tadinya cuma memegang betisku mulai
merambat naik ke paha mulusku disertai sedikit remasan. Kuturunkan
kakiku yang tersilang dan kurenggangkan pahaku agar dia lebih leluasa
mengelus pahaku. Dengan setengah berdiri dia meraih payudaraku dengan
tangan yang satunya, setelah tangannya memenuhi payudaraku dia
meremasnya pelan diiringi desahan pendek dari mulutku.
"Dadamu bagus juga yah dik, kencang dan montok," pujinya
Dia lalu mendekatkan mulutnya ke arah payudaraku, sebuah jilatan menyapu
telak putingku disusul dengan gigitan ringan menyebabkan benda itu
mengeras dan tubuhku bergetar. Sementara tangannya yang lain merambah
lebih jauh ke dalam rokku hingga akhirnya menyentuh pangkal pahaku. Dia
berhenti sejenak ketika jari-jarinya menyentuh kemaluanku yang tidak
tertutup apa-apa
"Ya ampun Dik, kamu tidak pakai dalaman apa-apa ke sini!?" tanyanya terheran-heran dengan keberanianku.
"Iyah Pak, khusus untuk Bapak.. Makanya Bapak harus tolong saya juga."
Tiba-tiba dengan bernafsu dia bentangkan lebar-lebar kedua pahaku dan
menjatuhkan dirinya ke kursi kerjanya. Matanya seperti mau copot
memandangi kemaluanku yang merah merekah diantara bulu-bulu hitam yang
lebat. Sungguh tak pernah terbayang olehku aku duduk diatas meja
mekakangkan kaki di hadapan dosen yang kuhormati. Sebentar kemudian
lidah Pak Qadar mulai menjilati bibir kemaluanku dengan rakusnya.
Lidahnya ditekan masuk ke dalam kemaluanku dengan satu jarinya
mempermainkan klitorisku, tangannya yang lain dijulurkan ke atas
meremasi payudaraku.
"Uhh.. .!" aku benar-benar menikmatinya, mataku terpejam sambil
menggigit bibir bawah, tubuhku juga menggelinjang oleh sensasi permainan
lidah dia. Aku mengerang pelan meremas rambutnya yang tipis, kedua paha
mulusku mengapit erat kepalanya seolah tidak menginginkannya lepas.
Lidah itu bergerak semakin liar menyapu dinding-dinding kemaluanku, yang
paling enak adalah ketika ujung lidahnya beradu dengan klitorisku,
duhh.. Rasanya geli seperti mau ngompol. Butir-butir keringat mulai
keluar seperti embun pada sekujur tubuhku.
Setelah membuat vaginaku basah kuyup, dia berdiri dan melepaskan diri.
Dia membuka celana panjang beserta celana dalamnya sehingga 'burung'
yang dari tadi sudah sesak dalam sangkarnya itu kini dapat berdiri
dengan dengan tenggak. Digenggamnya benda itu dan dibawa mendekati
vaginaku.
"Bapak masukin sekarang aja yah Dik, udah nggak sabar nih"
"Eiit.. Sebentar Pak, Bapak kan belum ngerasain mulut saya nih, dijamin
ketagihan deh," kataku sambil meraih penisnya dan turun dari meja.
Kuturunkan badanku perlahan-lahan dengan gerakan menggoda hingga
berlutut di hadapannya. Penis dalam genggamanku itu kucium dan kujilat
perlahan disertai sedikit kocokan. Benda itu bergetar hebat diiringi
desahan pemiliknya setiap kali lidahku menyapunya. Sekarang kubuka
mulutku untuk memasukkan penis itu. Hhmm.. Hampir sedikit lagi masuk
seluruhnya tapi nampaknya sudah mentok di tenggorokanku. Boleh juga
penisnya untuk seusia dia, walaupun tidak seperkasa orang-orang kasar
yang pernah ML denganku, miliknya cukup kokoh dan dihiasi sedikit urat,
bagian kepalanya nampak seperti cendawan berdenyut-denyut.
Dalam mulutku penis itu kukulum dan kuhisap, kugerakkan lidahku memutar
mengitari kepala penisnya. Sesekali aku melirik ke atas melihat ekspresi
wajah dia menikmati seponganku. Berdasarkan pengalaman, sudah banyak
cowok kelabakan dengan oral sex-ku, mereka biasa mengerang-ngerang tak
karuan bila lidahku sudah beraksi pada penis mereka, Pak Qadar pun
termasuk diantaranya. Dia mengelus-elus rambutku dan mengelap dahinya
yang sudah bercucuran keringat dengan sapu tangan.
Namun ada sedikit gangguan di tengah kenikmatan. Terdengar suara pintu
diketuk sehingga kami agak panik. Pak Qadar buru-buru menaikkan kembali
celananya dan meneguk air dari gelasnya. Aku disuruhnya sembunyi di
bawah meja kerjanya.
"Ya.. Ya.. Sebentar tanggung ini hampir selesai," sahutnya membalas suara ketukan.
Dari bawah meja aku mendengar dia sudah membuka pintu dan berbicara
dengan seseorang yang aku tidak tahu. Kira-kira tiga menitan mereka
berbicara, Pak Qadar mengucapkan terima kasih pada orang itu dan
berpesan agar jangan diganggu dengan alasan sedang lembur dan banyak
pekerjaan, lalu pintu ditutup.
"Siapa tadi itu Pak, sudah aman belum?" tanyaku setelah keluar dari kolong meja.
"Tenang cuma karyawan mengantar surat ini kok, yuk terusin lagi Dik."
Lalu dengan cueknya aku melepaskan baju dan rokku yang sudah terbuka
hingga telanjang bulat di hadapannya. Aku berjalan ke arahnya yang
sedang melongo menatapi ketelanjanganku, kulingkarkan lenganku di
lehernya dan memeluknya. Dari tubuhnya tercium aroma khas parfum om-om.
Dia yang memangnya pendek terlihat lebih pendek lagi karena saat itu aku
mengenakan sepatu yang solnya tinggi.
Kudorong kepalanya di antara kedua gunungku, dia pasti keenakan
kuperlakukan seperti itu. Tiba-tiba aku meringis dan mendesis karena aku
merasakan gigitan pada puting kananku, dia dengan gemasnya menggigit
dan mencupangi putingku itu, giginya digetarkan pada bulatan mungil itu
dan meninggalkan jejak di sekitarnya. Tangannya mengelusi punggungku
menurun hingga mencengkram pantatku yang bulat dan padat.
"Hhmm.. Sempurna sekali tubuhmu ini Dik, pasti rajin dirawat ya," pujinya sambil meremas pantatku.
Aku hanya tersenyum kecil menanggapi pujiannya lalu kubenamkan kembali
wajahnya ke payudaraku yang sebelah, diapun melanjutkan menyusu dari
situ. Kali ini dia menjilati seluruh permukaannya hingga basah oleh
liurnya lalu diemut dan dihisap kuat-kuat. Tangannya dibawah sana juga
tidak bisa diam, yang kiri meremas-remas pantat dan pahaku, yang kanan
menggerayangi vaginaku dan menusuk-nusukkan jarinya di sana. Sebagai
respons aku hanya bisa mendesah dan memeluknya erat-erat, darah dalam
tubuhku semakin bergolak sehingga walaupun ruangan ini ber-AC,
keringatku tetap menetes-netes.
Mulutnya kini merambat naik menjilati leher jenjangku, dia juga mengulum
leherku dan mencupanginya seperti Dracula memangsa korbannya.
Cupangannya cukup keras sampai meninggalkan bercak merah selama beberapa
hari. Akhirnya mulutnya bertemu dengan mulutku dimana lidah kami saling
beradu dengan liar. Lucunya karena dia lebih pendek, aku harus sedikit
menunduk untuk bercumbuan dengannya. Sambil berciuman tanganku
meraba-raba selangkangannya yang sudah mengeras itu. Setelah tiga
menitan karena merasa pegal lidah dan susah bernafas kami melepaskan
diri dari ciuman.
"Masukin aja sekarang yah Pak.. Saya udah nggak tahan nih," pintaku sambil terus menurunkan resleting celananya.
Namun belum sempat aku mengeluarkan penisnya, dia sudah terlebih dulu
mengangkat tubuhku. Wow, pendek-pendek gini kuat juga ternyata, dia
masih sanggup menggendongku dengan kedua tangan lalu diturunkan di atas
meja kerjanya. Dia berdiri diantara kedua belah pahaku dan membuka
celananya, tangannya memegang penis itu dan mengarahkannya ke vaginaku.
Tangan kananku meraih benda itu dan membantu menancapkannya.
Perlahan-lahan batang itu melesak masuk membelah bibir vaginaku hingga
tertanam seluruhnya.
"Ooohh..!" desahku dengan tubuh menegang dan mencengkram bahu Pak Qadar.
"Sakit Dik?" tanyanya.
Aku hanya menggeleng walaupun rasanya memang agak nyeri, tapi itu cuma
sebentar karena selanjutnya yang terasa hanyalah nikmat, ya nikmat yang
semakin memuncak. Aku tidak bisa tidak mendesah setiap kali dia
menggenjotku, tapi aku juga harus menjaga volume suaraku agar tidak
terdengar sampai luar, untuk itu kadang aku harus menggigit bibir atau
jari. Dia semakin cepat memaju-mundurkan penisnya, hal ini menimbulkan
sensasi nikmat yang terus menjalari tubuhku.
Tubuhku terlonjak-lonjak dan tertekuk sehingga payudaraku semakin
membusung ke arahnya. Kesempatan ini tidak disia-siakan dia yang
langsung melumat yang kiri dengan mulutnya dan meremas-remas yang kanan
serta memilin-milin putingnya. Tak lama kemudian aku merasa dunia makin
berputar dan tubuhku menggelinjang dengan dahsyat, aku mendesah panjang
dan melingkarkan kakiku lebih erat pada pinggangnya. Cairan bening
mengucur deras dari vaginaku sehingga menimbulkan bunyi kecipak setiap
kali dia menghujamkan penisnya. Beberapa detik kemudian tubuhku melemas
kembali dan tergeletak di mejanya di antara tumpukan arsip-arsip dan
alat tulis.
Aku hanya bisa mengambil nafas sebentar karena dia yang masih bertenaga
melanjutkan ronde berikutnya. Tubuhku dibalikkan telungkup diatas meja
dan kakiku ditarik hingga terjuntai menyentuh lantai, otomatis kini
pantatku pun menungging ke arahnya. Sambil meremas pantatku dia
mendorongkan penisnya itu ke vaginaku.
"Uuhh.. Ngghh..!" desisku saat penis yang keras itu membelah bibir kemaluanku.
Dalam posisi seperti ini sodokannya terasa semakin keras dan dalam,
badanku pun ikut tergoncang hebat, payudaraku serasa tertekan dan
bergesekan di meja kerjanya. Pak Qadar menggenjotku semakin cepat,
dengusan nafasnya bercampur dengan desahanku memenuhi ruangan ini.
Sebisa mungkin aku menjaga suaraku agar tidak terlalu keras, tapi tetap
saja sesekali aku menjerit kalau sodokannya keras. Mulutku mengap-mengap
dan mataku menatap dengan pandangan kosong pada foto dia dengan
istrinya yang dipajang di sana.
Beberapa menit kemudian dia menarik tubuh kami mundur beberapa langkah
sehingga payudaraku yang tadinya menempel di meja kini menggantung
bebas. Dengan begitu tangannya bisa menggerayangi payudaraku. Pak Qadar
kemudian mengajak ganti posisi, digandengnya tanganku menuju sofa. Dia
menjatuhkan pantatnya disana, namun dia mencegahku ketika aku mau duduk,
disuruhnya aku berdiri di hadapannya, sehingga kemaluanku tepat di
depan wajahnya.
"Bentar yah Dik, Bapak bersihin dulu punyamu ini," katanya seraya menempelkan mulutnya pada kerimbunan bulu-bulu kemaluanku.
"Sluurp.. Sshhrrp" dijilatinya kemaluanku yang basah itu, cairan
orgasmeku diseruputnya dengan bernafsu. Aku mendesis dan meremas
rambutnya sebagai respons atas tindakannya. Vaginaku dihisapinya selama
sepuluh menitan. Setelah puas aku disuruhnya naik kepangkuannya dengan
posisi berhadapan. Kugenggam penisnya dan kuarahkan ke lubangku, setelah
rasanya pas kutekan badanku ke bawah sehingga penis dia tertancap pada
vaginaku. Sedikit demi sedikit aku merasakan ruang vaginaku terisi dan
dengan beberapa hentakan masuklah batang itu seluruhnya ke dalamku.
20 menit lamanya kami berpacu dalam gaya demikian berlomba-lomba
mencapai puncak. Mulutnya tak henti-henti mencupangi payudaraku yang
mencuat di depan wajahnya, sesekali mulutnya juga mampir di pundak dan
leherku. Akupun akhirnya tidak tahan lagi dengan memuncaknya rasa nikmat
di selangkanganku, gerak naik turunku semakin cepat sampai vaginaku
kembali mengeluarkan cukup banyak cairan orgasme yang membasahi penisnya
dan daerah selangkangan kami.
Semakin lama goyanganku semakin lemah, sehingga tinggal dia saja yang
masih menghentak-hentakkan tubuhku yang sudah lemas di pangkuannya.
Belakangan dia melepaskanku juga dan menyuruh menyelesaikannya dengan
mulut saja. Aku masih lemas dan duduk bersimpuh di lantai di antara
kedua kakinya, kugerakkan tangan kananku meraih penisnya yang belum
ejakulasi. Benda itu, juga bulu-bulunya basah sekali oleh cairanku yang
masih hangat. Aku membuka mulut dan mengulumnya.
Seiring dengan tenagaku yang terkumpul kembali kocokanku pun lebih
cepat. Hingga akhirnya batang itu semakin berdenyut diiringi suara
erangan parau dari mulutnya. Sperma itu menyemprot langit-langit
mulutku, disusul semprotan berikutnya yang semakin mengisi mulutku,
rasanya hangat dan kental dengan aromanya yang familiar denganku. Inilah
saatnya menjajal teknik menyepongku, aku berkonsentrasi menelan dan
mengisapnya berusaha agar cairan itu tidak terbuang setetespun.
Setelah perjuangan yang cukup berat akhirnya sempotannya makin mengecil
dan akhirnya berhenti sama sekali. Belum cukup puas, akupun menjilatinya
sampai bersih mengkilat, perlahan-lahan benda itu melunak kembali. Pak
Qadar bersandar pada sofa dengan nafas terengah-engah dan
mengibas-ngibaskan leher kemejanya. Setelah merasa segar kami kembali
memakai pakaian masing-masing. Dia memuji permainanku dan berjanji
berusaha membantuku mencari pemecahan masalah ini. Disuruhnya aku besok
datang lagi pada jam yang sama untuk mendengar keputusannya.
Ternyata ketika besoknya aku datang lagi keputusannya masih belum
kuterima, malahan aku kembali digarapnya. Rupanya dia masih belum puas
dengan pelayananku. Dan besok lusanya yang kebetulan tanggal merah aku
diajaknya ke sebuah hotel melati di daerah Tangerang. Disana aku
digarapnya setengah hari dari pagi sampai sore, bahkan sempat aku dibuat
pingsan sekali. Luar biasa memang daya tahannya untuk seusianya
walaupun dibantu oleh suplemen pria. Namun perjuanganku tidaklah
sia-sia, ketika sedang berendam bersama di bathtub dia memberitahukan
bahwa aku sudah diperbolehkan ikut dalam ujian.
"Kesananya berusaha sendiri yah Dik, jangan minta yang lebih lagi, Bapak
sudah perjuangkan hal ini dalam rapat kemarin," katanya sambil memencet
putingku.
"Tenang aja Pak, saya juga tahu diri kok, yang penting saya nggak mau
perjuangan saya selama ini sia-sia," jawabku dengan tersenyum kecil.
Akhirnya akupun lulus dalam mata kuliah itu walaupun dengan nilai B
karena UAS-nya lumayan sulit, lumayanlah daripada tidak lulus. Dan dari
sini pula aku belajar bahwa terkadang perjuangan itu perlu pengorbanan
apa saja.
E N D
No comments:
Post a Comment