Kisahku yang satu ini terjadi sudah agak lama, tepatnya pada akhir 
semester 3, dua tahun yang lalu. Waktu itu adalah saat-saat menjelang 
UAS. Seperti biasa, seminggu sebelum UAS nama-nama mahasiswa yang tidak 
diperbolehkan ikut ujian karena berbagai sebab seperti over absen, telat
 pembayaran, dan sebagainya tertera di papan pengumuman di depan TU 
fakultas.
Hari itu aku dibuat shock dengan tercantumnya namaku di daftar cekal 
salah satu mata kuliah penting, 3 SKS pula. Aku sangat bingung di sana 
tertulis absenku sudah empat kali, melebihi batas maksimum tiga kali, 
apakah aku salah menghitung, padahal di agendaku setiap absenku kucatat 
dengan jelas aku hanya tiga kali absen di mata kuliah itu.
Akupun complain masalah ini dengan dosen yang bersangkutan yaitu Pak 
Qadar, seorang dosen yang cukup senior di kampusku, dia berumur 
pertengahan 40-an, berkacamata dan sedikit beruban, tubuhnya pendek 
kalau dibanding denganku hanya sampai sedagu. Diajar olehnya memang enak
 dan mengerti namun dia agak cunihin, karena suka cari-cari kesempatan 
untuk mencolek atau bercanda dengan mahasiswi yang cantik pada jam 
kuliahnya termasuk juga aku pernah menjadi korban kecunihinannya.
Karena sudah senior dan menjabat kepala jurusan, dia diberi ruangan 
seluas 5x5 meter bersama dengan Bu Hany yang juga dosen senior merangkap
 wakil kepala jurusan. Kuketuk pintunya yang terbuka setelah seorang 
mahasiswa yang sedang bicara padanya pamitan.
"Siang Pak!" sapaku dengan senyum dipaksa.
"Siang, ada perlu apa?"
"Ini Pak, saya mau tanya tentang absen saya, kok bisa lebih padahal di 
catatan saya cuma tiga..," demikian kujelaskan panjang lebar dan dia 
mengangguk-anggukkan kepala mendengarnya.
Beberapa menit dia meninggalkanku untuk ke TU melihat daftar absen lalu 
kembali lagi dengan map absen di tangannya. Ternyata setelah usut punya 
usut, aku tertinggal satu jadwal kuliah tambahan dan cerobohnya aku juga
 lupa mencatatnya di agendaku. Dengan memohon belas kasihan aku memelas 
padanya supaya ada keringanan.
"Aduhh.. Tolong dong Pak, soalnya nggak ada yang memberitahu saya 
tentang yang tambahan itu, jadi saya juga nggak tahu Pak, bukan salah 
saya semua dong Pak."
"Tapi kan Dik, anda sendiri harusnya tahu kalau absen yang tiga 
sebelumnya anda bolos bukan karena sakit atau apa kan, seharusnya untuk 
berjaga-jaga anda tidak absen sebanyak itu dong dulu."
Beberapa saat aku tawar menawar dengannya namun ujung-ujungnya tetap 
harga mati, yaitu aku tetap tidak boleh ujian dengan kata lain aku tidak
 lulus di mata kuliah tersebut. Kata-kata terakhirnya sebelum aku pamit 
hanyalah,
"Ya sudahlah Dik, sebaiknya anda ambil hikmahnya kejadian ini supaya 
memacu anda lebih rajin di kemudian hari" dengan meletakkan tangannya di
 bahuku.
Dengan lemas dan pucat aku melangkah keluar dari situ dan hampir 
bertabrakan dengan Bu Hany yang menuju ke ruangan itu. Dalam perjalanan 
pulang di mobilpun pikiranku masih kalut sampai mobil di belakangku 
mengklaksonku karena tidak memperhatikan lampu sudah hijau.
Hari itu aku habis 5 batang rokok, padahal sebelumnya jarang sekali aku 
mengisapnya. Aku sudah susah-susah belajar dan mengerjakan tugas untuk 
mata kuliah ini, juga nilai UTS-ku 8, 8, tapi semuanya sia-sia hanya 
karena ceroboh sedikit, yang ada sekarang hanyalah jengkel dan sesal. 
Sambil tiduran aku memindah-mindahkan chanel parabola dengan remote, 
hingga sampailah aku pada channel TV dari Taiwan yang kebetulan sedang 
menayangkan film semi.
Terlintas di pikiranku sebuah cara gila, mengapa aku tidak memanfaatkan 
sifat cunihinnya itu untuk menggodanya, aku sendiri kan penggemar seks 
bebas. Cuma cara ini cukup besar taruhannya kalau tidak kena malah aku 
yang malu, tapi biarlah tidak ada salahnya mencoba, gagal ya gagal, 
begitu pikirku. Aku memikirkan rencana untuk menggodanya dan menetapkan 
waktunya, yaitu sore jam 5 lebih, biasanya jam itu kampus mulai sepi dan
 dosen-dosen lain sudah pulang. Aku cuma berharap saat itu Bu Hany sudah
 pulang, kalau tidak rencana ini bisa tertunda atau mungkin gagal.
Keesokan harinya aku mulai menjalankan rencanaku dengan berdebar-debar. 
Kupakai pakaianku yang seksi berupa sebuah baju tanpa lengan berwarna 
biru dipadu dengan rok putih menggantung beberapa senti diatas lutut, 
gilanya adalah dibalik semua itu aku tidak memakai bra maupun celana 
dalam. Tegang juga rasanya baru pertama kalinya aku keluar rumah tanpa 
pakaian dalam sama sekali, seperti ada perasaan aneh mengalir dalam 
diriku.
Birahiku naik membayangkan yang tidak-tidak, terlebih hembusan AC di 
mobil semakin membuatku bergairah, udara dingin berhembus menggelikitik 
kemaluanku yang tidak tertutup apa-apa. Karena agak macet, aku baru tiba
 di kampus jam setengah enam, kuharap Pak Qadar masih di kantornya. 
Kampus sudah sepi saat itu karena saat menjelang ujian banyak kelas 
sudah libur, kalaupun masuk paling cuma untuk pemantapan atau kuis saja.
Aku naik lift ke tingkat tiga. Seorang karyawan dan dua mahasiswa yang 
selift denganku mencuri-curi pandang ke arahku, suatu hal yang biasa 
kualami karena aku sering berpakaian seksi cuma kali ini bedanya aku 
tidak pakai apa-apa di baliknya. Entah bagaimana reaksi mereka kalau 
tahu ada seorang gadis di tengah mereka tidak berpakaian dalam, 
untungnya pakaianku tidak terlalu ketat sehingga lekukan tubuhku tidak 
terjiplak. Akupun sampai ke ruang dia di sebelah lab. Bahasa dan kulihat
 lampunya masih nyala. Kuharap Bu Hany sudah pulang kalau tidak 
sia-sialah semuanya. Jantungku berdetak lebih kencang saat kuketuk 
pintunya.
"Masuk!" sahut suara dari dalam.
"Selamat sore Pak!"
"Oh, kamu Citra yang kemarin, ada apa lagi nih?" katanya sambil memutar kursinya yang menghadap komputer ke arahku.
"Itu.. Pak mau membicarakan masalah yang kemarin lagi, apa masih ada keringanan buat saya"
"Waduh.. Kan Bapak sudah bilang dari kemarin bahwa tanpa surat opname 
atau ijin khusus, kamu tetap dihitung absen, disini aturannya memang 
begitu, harap anda maklum"
"Jadi sudah tidak ada tawar-menawar lagi Pak?"
"Maaf Dik, Bapak tidak bisa membantumu dalam hal ini"
"Begini saja Pak, saya punya penawaran terakhir untuk Bapak, saya harap bisa menebus absen saya yang satu itu, bagaimana Pak?"
"Penawaran.. Penawaran, memangnya pasar pakai tawar-menawar segala," katanya dengan agak jengkel karena aku terus ngotot.
Tanpa pikir panjang lagi aku langsung menutup pintu dan menguncinya, 
lalu berjalan ke arahnya dan langsung duduk diatas meja tepat 
disampingnya dengan menyilangkan kaki. Tingkahku yang nekad ini 
membuatnya salah tingkah. Selagi dia masih terbengong-bengong kuraih 
tangannya dan kuletakkan di betisku.
"Ayolah Pak, saya percaya Bapak pasti bisa nolongin saya, ini penawaran 
terakhir saya, masa Bapak nggak tertarik dengan yang satu ini" godaku 
sambil merundukkan badan ke arahnya sehingga dia dapat melihat belahan 
payudaraku melalui leher bajuku yang agak rendah.
"Dik.. Kamu kamu ini.. Edan juga.." katanya terpatah-patah karena gugup.
Wajahku mendekati wajahnya dan berbisik pelan setengah mendesah, 
"Sudahlah Pak, tidak usah pura-pura lagi, nikmati saja selagi bisa."
Dia makin terperangah tanpa mengedipkan matanya ketika aku mulai 
melepaskan kancing bajuku satu-persatu sampai kedua payudaraku dengan 
puting pink-nya dan perutku yang rata terlihat olehnya. Tanpa melepas 
pandangannya padaku, tangannya yang tadinya cuma memegang betisku mulai 
merambat naik ke paha mulusku disertai sedikit remasan. Kuturunkan 
kakiku yang tersilang dan kurenggangkan pahaku agar dia lebih leluasa 
mengelus pahaku. Dengan setengah berdiri dia meraih payudaraku dengan 
tangan yang satunya, setelah tangannya memenuhi payudaraku dia 
meremasnya pelan diiringi desahan pendek dari mulutku.
"Dadamu bagus juga yah dik, kencang dan montok," pujinya
Dia lalu mendekatkan mulutnya ke arah payudaraku, sebuah jilatan menyapu
 telak putingku disusul dengan gigitan ringan menyebabkan benda itu 
mengeras dan tubuhku bergetar. Sementara tangannya yang lain merambah 
lebih jauh ke dalam rokku hingga akhirnya menyentuh pangkal pahaku. Dia 
berhenti sejenak ketika jari-jarinya menyentuh kemaluanku yang tidak 
tertutup apa-apa
"Ya ampun Dik, kamu tidak pakai dalaman apa-apa ke sini!?" tanyanya terheran-heran dengan keberanianku.
"Iyah Pak, khusus untuk Bapak.. Makanya Bapak harus tolong saya juga."
Tiba-tiba dengan bernafsu dia bentangkan lebar-lebar kedua pahaku dan 
menjatuhkan dirinya ke kursi kerjanya. Matanya seperti mau copot 
memandangi kemaluanku yang merah merekah diantara bulu-bulu hitam yang 
lebat. Sungguh tak pernah terbayang olehku aku duduk diatas meja 
mekakangkan kaki di hadapan dosen yang kuhormati. Sebentar kemudian 
lidah Pak Qadar mulai menjilati bibir kemaluanku dengan rakusnya. 
Lidahnya ditekan masuk ke dalam kemaluanku dengan satu jarinya 
mempermainkan klitorisku, tangannya yang lain dijulurkan ke atas 
meremasi payudaraku.
"Uhh.. .!" aku benar-benar menikmatinya, mataku terpejam sambil 
menggigit bibir bawah, tubuhku juga menggelinjang oleh sensasi permainan
 lidah dia. Aku mengerang pelan meremas rambutnya yang tipis, kedua paha
 mulusku mengapit erat kepalanya seolah tidak menginginkannya lepas. 
Lidah itu bergerak semakin liar menyapu dinding-dinding kemaluanku, yang
 paling enak adalah ketika ujung lidahnya beradu dengan klitorisku, 
duhh.. Rasanya geli seperti mau ngompol. Butir-butir keringat mulai 
keluar seperti embun pada sekujur tubuhku.
Setelah membuat vaginaku basah kuyup, dia berdiri dan melepaskan diri. 
Dia membuka celana panjang beserta celana dalamnya sehingga 'burung' 
yang dari tadi sudah sesak dalam sangkarnya itu kini dapat berdiri 
dengan dengan tenggak. Digenggamnya benda itu dan dibawa mendekati 
vaginaku.
"Bapak masukin sekarang aja yah Dik, udah nggak sabar nih"
"Eiit.. Sebentar Pak, Bapak kan belum ngerasain mulut saya nih, dijamin 
ketagihan deh," kataku sambil meraih penisnya dan turun dari meja.
Kuturunkan badanku perlahan-lahan dengan gerakan menggoda hingga 
berlutut di hadapannya. Penis dalam genggamanku itu kucium dan kujilat 
perlahan disertai sedikit kocokan. Benda itu bergetar hebat diiringi 
desahan pemiliknya setiap kali lidahku menyapunya. Sekarang kubuka 
mulutku untuk memasukkan penis itu. Hhmm.. Hampir sedikit lagi masuk 
seluruhnya tapi nampaknya sudah mentok di tenggorokanku. Boleh juga 
penisnya untuk seusia dia, walaupun tidak seperkasa orang-orang kasar 
yang pernah ML denganku, miliknya cukup kokoh dan dihiasi sedikit urat, 
bagian kepalanya nampak seperti cendawan berdenyut-denyut.
Dalam mulutku penis itu kukulum dan kuhisap, kugerakkan lidahku memutar 
mengitari kepala penisnya. Sesekali aku melirik ke atas melihat ekspresi
 wajah dia menikmati seponganku. Berdasarkan pengalaman, sudah banyak 
cowok kelabakan dengan oral sex-ku, mereka biasa mengerang-ngerang tak 
karuan bila lidahku sudah beraksi pada penis mereka, Pak Qadar pun 
termasuk diantaranya. Dia mengelus-elus rambutku dan mengelap dahinya 
yang sudah bercucuran keringat dengan sapu tangan.
Namun ada sedikit gangguan di tengah kenikmatan. Terdengar suara pintu 
diketuk sehingga kami agak panik. Pak Qadar buru-buru menaikkan kembali 
celananya dan meneguk air dari gelasnya. Aku disuruhnya sembunyi di 
bawah meja kerjanya.
"Ya.. Ya.. Sebentar tanggung ini hampir selesai," sahutnya membalas suara ketukan.
Dari bawah meja aku mendengar dia sudah membuka pintu dan berbicara 
dengan seseorang yang aku tidak tahu. Kira-kira tiga menitan mereka 
berbicara, Pak Qadar mengucapkan terima kasih pada orang itu dan 
berpesan agar jangan diganggu dengan alasan sedang lembur dan banyak 
pekerjaan, lalu pintu ditutup.
"Siapa tadi itu Pak, sudah aman belum?" tanyaku setelah keluar dari kolong meja.
"Tenang cuma karyawan mengantar surat ini kok, yuk terusin lagi Dik."
Lalu dengan cueknya aku melepaskan baju dan rokku yang sudah terbuka 
hingga telanjang bulat di hadapannya. Aku berjalan ke arahnya yang 
sedang melongo menatapi ketelanjanganku, kulingkarkan lenganku di 
lehernya dan memeluknya. Dari tubuhnya tercium aroma khas parfum om-om. 
Dia yang memangnya pendek terlihat lebih pendek lagi karena saat itu aku
 mengenakan sepatu yang solnya tinggi.
Kudorong kepalanya di antara kedua gunungku, dia pasti keenakan 
kuperlakukan seperti itu. Tiba-tiba aku meringis dan mendesis karena aku
 merasakan gigitan pada puting kananku, dia dengan gemasnya menggigit 
dan mencupangi putingku itu, giginya digetarkan pada bulatan mungil itu 
dan meninggalkan jejak di sekitarnya. Tangannya mengelusi punggungku 
menurun hingga mencengkram pantatku yang bulat dan padat.
"Hhmm.. Sempurna sekali tubuhmu ini Dik, pasti rajin dirawat ya," pujinya sambil meremas pantatku.
Aku hanya tersenyum kecil menanggapi pujiannya lalu kubenamkan kembali 
wajahnya ke payudaraku yang sebelah, diapun melanjutkan menyusu dari 
situ. Kali ini dia menjilati seluruh permukaannya hingga basah oleh 
liurnya lalu diemut dan dihisap kuat-kuat. Tangannya dibawah sana juga 
tidak bisa diam, yang kiri meremas-remas pantat dan pahaku, yang kanan 
menggerayangi vaginaku dan menusuk-nusukkan jarinya di sana. Sebagai 
respons aku hanya bisa mendesah dan memeluknya erat-erat, darah dalam 
tubuhku semakin bergolak sehingga walaupun ruangan ini ber-AC, 
keringatku tetap menetes-netes.
Mulutnya kini merambat naik menjilati leher jenjangku, dia juga mengulum
 leherku dan mencupanginya seperti Dracula memangsa korbannya. 
Cupangannya cukup keras sampai meninggalkan bercak merah selama beberapa
 hari. Akhirnya mulutnya bertemu dengan mulutku dimana lidah kami saling
 beradu dengan liar. Lucunya karena dia lebih pendek, aku harus sedikit 
menunduk untuk bercumbuan dengannya. Sambil berciuman tanganku 
meraba-raba selangkangannya yang sudah mengeras itu. Setelah tiga 
menitan karena merasa pegal lidah dan susah bernafas kami melepaskan 
diri dari ciuman.
"Masukin aja sekarang yah Pak.. Saya udah nggak tahan nih," pintaku sambil terus menurunkan resleting celananya.
Namun belum sempat aku mengeluarkan penisnya, dia sudah terlebih dulu 
mengangkat tubuhku. Wow, pendek-pendek gini kuat juga ternyata, dia 
masih sanggup menggendongku dengan kedua tangan lalu diturunkan di atas 
meja kerjanya. Dia berdiri diantara kedua belah pahaku dan membuka 
celananya, tangannya memegang penis itu dan mengarahkannya ke vaginaku. 
Tangan kananku meraih benda itu dan membantu menancapkannya. 
Perlahan-lahan batang itu melesak masuk membelah bibir vaginaku hingga 
tertanam seluruhnya.
"Ooohh..!" desahku dengan tubuh menegang dan mencengkram bahu Pak Qadar.
"Sakit Dik?" tanyanya.
Aku hanya menggeleng walaupun rasanya memang agak nyeri, tapi itu cuma 
sebentar karena selanjutnya yang terasa hanyalah nikmat, ya nikmat yang 
semakin memuncak. Aku tidak bisa tidak mendesah setiap kali dia 
menggenjotku, tapi aku juga harus menjaga volume suaraku agar tidak 
terdengar sampai luar, untuk itu kadang aku harus menggigit bibir atau 
jari. Dia semakin cepat memaju-mundurkan penisnya, hal ini menimbulkan 
sensasi nikmat yang terus menjalari tubuhku.
Tubuhku terlonjak-lonjak dan tertekuk sehingga payudaraku semakin 
membusung ke arahnya. Kesempatan ini tidak disia-siakan dia yang 
langsung melumat yang kiri dengan mulutnya dan meremas-remas yang kanan 
serta memilin-milin putingnya. Tak lama kemudian aku merasa dunia makin 
berputar dan tubuhku menggelinjang dengan dahsyat, aku mendesah panjang 
dan melingkarkan kakiku lebih erat pada pinggangnya. Cairan bening 
mengucur deras dari vaginaku sehingga menimbulkan bunyi kecipak setiap 
kali dia menghujamkan penisnya. Beberapa detik kemudian tubuhku melemas 
kembali dan tergeletak di mejanya di antara tumpukan arsip-arsip dan 
alat tulis.
Aku hanya bisa mengambil nafas sebentar karena dia yang masih bertenaga 
melanjutkan ronde berikutnya. Tubuhku dibalikkan telungkup diatas meja 
dan kakiku ditarik hingga terjuntai menyentuh lantai, otomatis kini 
pantatku pun menungging ke arahnya. Sambil meremas pantatku dia 
mendorongkan penisnya itu ke vaginaku.
"Uuhh.. Ngghh..!" desisku saat penis yang keras itu membelah bibir kemaluanku.
Dalam posisi seperti ini sodokannya terasa semakin keras dan dalam, 
badanku pun ikut tergoncang hebat, payudaraku serasa tertekan dan 
bergesekan di meja kerjanya. Pak Qadar menggenjotku semakin cepat, 
dengusan nafasnya bercampur dengan desahanku memenuhi ruangan ini. 
Sebisa mungkin aku menjaga suaraku agar tidak terlalu keras, tapi tetap 
saja sesekali aku menjerit kalau sodokannya keras. Mulutku mengap-mengap
 dan mataku menatap dengan pandangan kosong pada foto dia dengan 
istrinya yang dipajang di sana.
Beberapa menit kemudian dia menarik tubuh kami mundur beberapa langkah 
sehingga payudaraku yang tadinya menempel di meja kini menggantung 
bebas. Dengan begitu tangannya bisa menggerayangi payudaraku. Pak Qadar 
kemudian mengajak ganti posisi, digandengnya tanganku menuju sofa. Dia 
menjatuhkan pantatnya disana, namun dia mencegahku ketika aku mau duduk,
 disuruhnya aku berdiri di hadapannya, sehingga kemaluanku tepat di 
depan wajahnya.
"Bentar yah Dik, Bapak bersihin dulu punyamu ini," katanya seraya menempelkan mulutnya pada kerimbunan bulu-bulu kemaluanku.
"Sluurp.. Sshhrrp" dijilatinya kemaluanku yang basah itu, cairan 
orgasmeku diseruputnya dengan bernafsu. Aku mendesis dan meremas 
rambutnya sebagai respons atas tindakannya. Vaginaku dihisapinya selama 
sepuluh menitan. Setelah puas aku disuruhnya naik kepangkuannya dengan 
posisi berhadapan. Kugenggam penisnya dan kuarahkan ke lubangku, setelah
 rasanya pas kutekan badanku ke bawah sehingga penis dia tertancap pada 
vaginaku. Sedikit demi sedikit aku merasakan ruang vaginaku terisi dan 
dengan beberapa hentakan masuklah batang itu seluruhnya ke dalamku.
20 menit lamanya kami berpacu dalam gaya demikian berlomba-lomba 
mencapai puncak. Mulutnya tak henti-henti mencupangi payudaraku yang 
mencuat di depan wajahnya, sesekali mulutnya juga mampir di pundak dan 
leherku. Akupun akhirnya tidak tahan lagi dengan memuncaknya rasa nikmat
 di selangkanganku, gerak naik turunku semakin cepat sampai vaginaku 
kembali mengeluarkan cukup banyak cairan orgasme yang membasahi penisnya
 dan daerah selangkangan kami.
Semakin lama goyanganku semakin lemah, sehingga tinggal dia saja yang 
masih menghentak-hentakkan tubuhku yang sudah lemas di pangkuannya. 
Belakangan dia melepaskanku juga dan menyuruh menyelesaikannya dengan 
mulut saja. Aku masih lemas dan duduk bersimpuh di lantai di antara 
kedua kakinya, kugerakkan tangan kananku meraih penisnya yang belum 
ejakulasi. Benda itu, juga bulu-bulunya basah sekali oleh cairanku yang 
masih hangat. Aku membuka mulut dan mengulumnya.
Seiring dengan tenagaku yang terkumpul kembali kocokanku pun lebih 
cepat. Hingga akhirnya batang itu semakin berdenyut diiringi suara 
erangan parau dari mulutnya. Sperma itu menyemprot langit-langit 
mulutku, disusul semprotan berikutnya yang semakin mengisi mulutku, 
rasanya hangat dan kental dengan aromanya yang familiar denganku. Inilah
 saatnya menjajal teknik menyepongku, aku berkonsentrasi menelan dan 
mengisapnya berusaha agar cairan itu tidak terbuang setetespun.
Setelah perjuangan yang cukup berat akhirnya sempotannya makin mengecil 
dan akhirnya berhenti sama sekali. Belum cukup puas, akupun menjilatinya
 sampai bersih mengkilat, perlahan-lahan benda itu melunak kembali. Pak 
Qadar bersandar pada sofa dengan nafas terengah-engah dan 
mengibas-ngibaskan leher kemejanya. Setelah merasa segar kami kembali 
memakai pakaian masing-masing. Dia memuji permainanku dan berjanji 
berusaha membantuku mencari pemecahan masalah ini. Disuruhnya aku besok 
datang lagi pada jam yang sama untuk mendengar keputusannya.
Ternyata ketika besoknya aku datang lagi keputusannya masih belum 
kuterima, malahan aku kembali digarapnya. Rupanya dia masih belum puas 
dengan pelayananku. Dan besok lusanya yang kebetulan tanggal merah aku 
diajaknya ke sebuah hotel melati di daerah Tangerang. Disana aku 
digarapnya setengah hari dari pagi sampai sore, bahkan sempat aku dibuat
 pingsan sekali. Luar biasa memang daya tahannya untuk seusianya 
walaupun dibantu oleh suplemen pria. Namun perjuanganku tidaklah 
sia-sia, ketika sedang berendam bersama di bathtub dia memberitahukan 
bahwa aku sudah diperbolehkan ikut dalam ujian.
"Kesananya berusaha sendiri yah Dik, jangan minta yang lebih lagi, Bapak
 sudah perjuangkan hal ini dalam rapat kemarin," katanya sambil memencet
 putingku.
"Tenang aja Pak, saya juga tahu diri kok, yang penting saya nggak mau 
perjuangan saya selama ini sia-sia," jawabku dengan tersenyum kecil.
Akhirnya akupun lulus dalam mata kuliah itu walaupun dengan nilai B 
karena UAS-nya lumayan sulit, lumayanlah daripada tidak lulus. Dan dari 
sini pula aku belajar bahwa terkadang perjuangan itu perlu pengorbanan 
apa saja.
E N D
      
     
     
No comments:
Post a Comment