Sial, aku semakin galau, Siti Fatimah entah mengapa bisa berubah begitu 
saja. Bukan saja sulit kuajak keluar, dia bahkan jarang mau menyapaku di
 tempat kerja. Walaupun kami belum resmi pacaran, namun aku merasa ada 
sedikit hati dengannya. Diperlakukan seperti itu membuat hatiku hancur. 
Aku sudah putus asa, berkali-kali aku mengajaknya keluar hanya 
mendapatkan penolakan. Aku seharusnya memupuskan harapanku itu, 
sebaiknya tidak terlalu berharap padanya.
***
Ada yang baru?, aku coba sms Pak Kartolo. Bermaksud untuk menghibur 
diri sendiri, aku mau menyalurkan galau ku. Walaupun sudah sedikit bosan
 dengan anak-anak yang dipekerjakan Pak Kartolo, aku sedikit berharap 
adanya anak baru di sana. Belum ada nih.., balas Pak Kartolo membuatku
 kecewa. Aku pun lalu tidak membalas smsnya, sebaiknya aku mencari 
tempat baru untuk menyalurkan hasrat. Namun tidak lama, handphone ku 
berbunyi, Pak Kartolo menelponku, Man, sorry... Belum ada yang 
baru..., katanya. Sebenarnya ada satu, Cuma belum stabil nih, ke sini 
saja biar saya ceritakan..., lanjut Pak Kartolo membuatku penasaran.
Aku pun segera menuju ke tempat Pak Kartolo yang tersembunyi itu. Rumah 
mewah miliknya itu adalah sarang prostitusi. Banyak penggila anak kecil 
di sana, karena di sana hanya menyediakan gadis di bawah umur.
Aku sudah sampai di depan gang menuju rumah Pak Kartolo. Rumahnya di 
ujung gang sana, tidak ada orang yang mencurigai tempat itu sebenarnya, 
sepanjang gang cuma rumah-rumah kecil kumuh berdempetan, hingga ke ujung
 hanya ilalang yang cukup tinggi hingga sepanjang jalan sampai rumahnya.
 Seperti biasa aku hanya parkir di ujung rumah batas tanah kosong menuju
 rumah Pak Kartolo. Selama ini warga hanya tahu Pak Kartolo orang kaya 
yang sedikit tertutup. 
Aku berjalan hingga ke rumahnya, dan segera mencari Pak Kartolo. 
Selamat datang man..., sambutnya lalu membawaku ke lantai dua. Satu 
kamar ia buka, dan ku lihat seorang gadis kecil terikat di kasur dengan 
wajah yang menangis. Baru nih?, tanyaku. Dia maling man..., kata Pak
 Kartolo. Aku menangkapnya tadi malam... Ia coba masuk ke dapur dan 
mencuri makanan..., lanjutnya. Trus dijadikan budak???, tanyaku 
heran. Sudah saya introgasi, dia tidak mempunya siapapun, hanya 
sebatang kara, dia perlu makan katanya..., jawab Pak Kartolo. Aku 
menawarkan bekerja di sini, namun dia diam saja, hanya bisa 
menangis..., Pak Kartolo menjelaskan bahwa dia tidak mungkin melepaskan
 anak itu atau pun membawanya ke kantor polisi, Pak Kartolo tidak mau 
usahanya ini terbongkar.
Kalau lu mau, lu pakai saja, bayar kalau lu puas, saya cuma gak bakalan
 membiarkannya kabur..., kata Pak Kartolo mempersilahkanku. Tapi 
pak..., aku coba meyakinkannya apakah ini tidak melanggar aturannya, 
setahuku Pak Kartolo mempekerjakan anak yang benar-benar bersedia 
bekerja. Tenang, nanti akan saja bujuk sampai mau..., jawab Pak 
Kartolo lalu meninggalkanku di kamar. Melihat gadis kecil itu bukan 
membuatku kasihan, entah mengapa, apa aku benar-benar telah kelainan?
Gadis itu terikat kuat, dengan keadaan bugil, tangan dan kakinya diikat 
bersama ke arah belakang. Ia terus menangis dengan mulut yang menggigir 
bibir bawahnya. Aku coba mendekatinya, dan duduk di sampingnya. Gila, 
gadis ini masih kecil, susunya saja baru tumbuh, putingnya benar-benar 
masih merah muda. Wajahnya sih standarlah, tidak cantik, namun juga 
tidak jelek. Terlihat wajah-wajah yang lugu terpancar. Dek, siapa 
namamu?, tanyaku sambil membelai rambutnya. Hiks... hiks.. hiks... 
Ranti... Ranti..., jawabnya sambil menangis dan gagap karena 
menahan-nahan tangisan. 
Jangan nangis dong..., bujukku. Umurmu berapa dek?, tanyaku lagi 
coba membuat percakapan. Sebelas tahun..., jawabnya pelan. Kamu 
lapar?, tanyaku. Gadis kecil itu hanya geleng-geleng. Jadi kamu mau 
apa?, tanyaku. Ranti perlu uang..., katanya. Bukannya Pak Kartolo 
akan menjamin kehidupanmu di sini?, tanyaku. Ia hanya diam. Aku coba 
membujuknya, lalu ku keluarkan dompetku, ini saya bayar tambahan. Aku 
tidak perduli dia butuh berapa banyak, ku taruh uang sebanyak lima ratus
 ribu di sampingnya. Tanpa mau mendengar lagi alasannya, aku langsung 
membuka pakaianku, karena penisku sudah mengeras melihat gadis kecil 
bugil di sampingku ini.
Gadis ini menangis, ia menggigit bibirnya ketika aku mulai mendekatinya 
dengan keadaanku yang sudah bugil ini. Ranti belum pernah..., ia 
menangis ketakutan. Tragis, aku sama sekali tidak prihatin, aku malah 
semakin bernafsu. Aku langsung saja menjamah dadanya yang hampir datar 
itu. Wuih, penisku langsung berdenyut-denyut. Jantungku pun berdetak 
kencang. Aku sudah mecapai tahap hypersex yang tinggi, mungkin aku sudah
 terserang penyakit phedofilia tahap akut. 
Aku memeluk Ranti, tubuhnya mungil sekali. Melihat gadis kecil ini dan 
mengetahui namanya, membuatku terbayang-bayang dengan artis di televisi,
 namanya Ranty Maria, artis yang pernah muncul di sinetron dan membuatku
 kesemsem. Artis itu kini sudah beranjak dewasa, aku terpaksa 
membayangkan tubuhnya yang masih imut, sambil memeluk Ranti. Ia masih 
terikat kuat, aku tak mau melepaskan ikatannya, aku takut ia kabur dan 
aku bakal disalahkan oleh Pak Kartolo.
Aku lalu mulai menciumi rambutnya, hmm, harum, sepertinya sebelum ini 
Rianti telah dibersihkan oleh Pak Kartolo. Tubuhnya juga harum, tidak 
seperti anak jalanan lainnya yang kucel. Aku mulai meraba susunya lagi, 
dan kuciumi bibirnya, Ranti masih menangis, ia tidak bisa berbuat 
apa-apa. Perlahan ku alihkan ciumanku hingga ke susunya. Nikmat, susu 
kecil ini sungguh segar, benar-benar kecil, dan belum tersentuh sama 
sekali. Slup slup slup, aku menjilatinya dengan nafsu, Ranti kegelian, 
ia hanya bisa menggerakkan bahunya menahan rasa geli ini.
Puas menikmati susu kecilnya itu aku kemudian berfokus ke vaginanya. 
Sungguh benar-benar bersih, tidak ada bulu yang nampak, ku buka 
selangkangannya, dan kecil sekali lubang vaginanya itu, bahkan aku tidak
 yakin penisku bisa menyusurinya, itu hanya akan menyobek vaginanya itu.
 Ku coba dulu dengan jariku, pelan-pelan ku tusukkan jari telunjukku, 
Argh, sakit bang!, teriak Ranti ketika aku hanya memasukkan ujung 
jariku. Benar-benar sempit, padahal penisku sudah tak tahan ingin 
memasukinya. Sakiitttt bang..., Ranti merintih dan menangis. Tolongg 
bang... Ranti belum pernah..., ia memohon agar aku tidak menggagahinya.
Aku sudah terlanjur, aku tak mungkin pergi tanpa melakukan apapun. Lalu 
aku mengambil posisi baru, aku duduk di kasur, dan mengangkat Ranti 
untuk tidur menghadapku. Ranti cukup sedotin aja deh..., pintaku. 
Ranti menangis memandangi penisku yang tepat di depan wajahnya. Ku tarik
 rambutnya dan ku dekatkan lagi hingga penisku mengenai bibir kecilnya. 
Tolong dek, abang ga tahan..., kataku.
Ranti lalu mulai memasukkan penisku ke mulutnya, hanya masuk sedikit 
saja penisku di mulutnya. Aku rasa ia pun ketakutan, daripada aku harus 
menyodok vaginanya, ia pasti lebih memilih menyepong penisku. Ranti 
belum pernah menyepong, aku tahu itu, dari caranya mengulum penisku 
sangatlah amatiran. Aku membiarkannya belajar sendiri. Ia hanya menangis
 sambil menyedoti penisku. Aku sangat menikmatinya, sambil meraba-raba 
dadanya yang sedikit datar itu. Nikmat sekali, kegalauanku benar-benar 
hilang dalam sekejab, hanya nafsu yang ingin ku salurkan.
Ranti masih terus menyepong, ia belum begitu bisa, dengan menangis ia 
hanya terus berusaha. Ia belum tahu bagaimana cara membuat aku cepat 
berejakulasi. Hingga hampir tiga puluh menit pun ia belum berhasil 
menyelesaikannya. Aku sudah cukup bosan, kubiarkan dulu ia terus 
menjilati dan menyedot penisku itu seperti permen lolipop hingga 
beberapa menit lagi.
Aku sudah tidak tahan, ingin sekali berejakulasi karena puncak 
kenikmatan sudah di ubun-ubun. Aku menarik penisku dari mulutnya, lalu 
kocok sendiri. Aku tak bisa menunggu Ranti menyelesaikannya. Aku kocok 
dengan tanganku di dekat wajah Ranti, Buka mulutmu.., pintaku kepada 
Ranti. Ku kocok di dekat mulutnya, hingga aku benar-benar menuju 
kenikmatan puncak. Aku berhasil berejakulasi. Aku semprotkan spermaku 
masuk hingga ke mulutnya. Telan!, perintahku. Ranti dengan terpaksa 
menelan spermaku. Ia nampak sedikit jijik, mungkin bau amis dari 
spermaku yang belum pernah ia temui itu, ia terpaksa menelannya hingga 
habis. Ku masukkan lagi penisku agar Ranti membersihkan sisa-sisa 
spermaku. Ranti pun kembali mengulumnya dan menjilatinya. Aku 
benar-benar merasakan nikmat setelah spermaku berhasil keluar.
Namun belum selesai aku menarik keluar penisku dari mulut Ranti, aku 
mendengar suara gaduh di luar sana. Aku kaget, apa yang sebenarnya 
terjadi di luar sana. Cepat-cepat ku tarik penisku dan segera berpakaian
 kembali. Ku intip keluar jendela, sial, di luar sana ada mobil polisi, 
temapt ini sudah terlacak. Aku harus kabur sebelum polisi masuk dan 
mendapatkanku di sini. Jantungku berdetak kencang, aku belum pernah 
merasa begini, sial, aku benar-benar ketakutan, aku mondar-mandir 
mencari ide keluar.
Jangan tinggalkan Ranti bang..., pinta Ranti. Aku tidak tahu apa harus
 menolongnya. Aku mungkin tidak punya banyak waktu untuk menolongnya. 
Namun Ranti coba membantuku, Ranti tahu belakang ada jalan, Ranti 
semalam datang dari sana..., katanya membuatku punya kesempatan untuk 
kabur. Aku segera melepaskan ikatannya, ku cari pakaian di kamar ini 
namun tidak ketemu sama sekali. Terpaksa Ranti hanya memakai selimut 
untuk menutupi tubuhnya, lalu ku gendong dan segera berlari ke arah 
belakang bangunan. 
Sedikit ku intip ke depan bangunan, Pak Kartolo sudah mengangkat 
tangannya tanda ia menyerah. Aku masih berlari, mungkin beberapa polisi 
sudah masuk ke tengah gedung. Beberapa anak kecil bersembunyi, ada yang 
mengunci dirinya dalam kamar, dan ada yang masuk ke dalam toilet. Rant 
memintaku ke arah dapur. Benar di sana ada pintu menuju belakang, dan 
tak disangka, belakang gedung ini terhubung ke sebuah rumah lagi yang 
kosong. Kata Ranti ia tidak sengaja menemukan pintu ini tidak terkunci 
ketika bermain-main ke rumah kosong itu.
Kami berhasil keluar dari gedung itu. Ranti menangis, aku tak tahu harus
 membawanya ke mana. Aku mencari tempat aman untuk bersembunyi. Sambil 
mengintip ku lihat ada polisi yang juga berhasil membuka pintu belakang,
 namun ia tidak menemukan apa-apa dan kemudian pergi. Aku sedikit lega. 
Aku tidak pernah berada dalam situasi seperti ini.
Untungnya motorku tadi parkir di depan rumah warga, sehingga tidak 
dicurigai polisi. Aku hanya menunggu polisi pergi dari tempat itu. 
Sambil menggendong Rianti yang tertutup selimut, aku mendekati motorku 
setelah polisi pergi. Rumah Pak Kartolo dipasang gadis polisi, kini 
sudah ditutup, aku tidak mungkin ke sini lagi. Aku lalu pulang ke kost 
ku dan membawa Ranti.
Aku tak mungkin merawatnya, tak mungkin menyembunyikannya di kost ku. 
Aku membelikannya pakaian dan memintanya pergi. Rianti menangis sambil 
mengucapkan Terima kasih, lalu ia pergi meninggalkanku, berjalan kaki 
dan memulai petualangannya lagi.
TAMAT
No comments:
Post a Comment