Hai, perkenalkan namaku Erina. Usiaku sekarang 18 tahun. Teman-temanku 
sering memuji wajahku yang bulat dan manis dengan rambutku yang hitam 
sebahu yang menurut mereka amat serasi dengan bentuk wajahku. Tubuhku 
yang mungil dengan tinggi 152 cm, memberi kesan imut yang sering menjadi
 daya tarik tersendiri bagi teman-temanku. Aku merupakan seorang 
mahasiswi keturunan Chinese dari Medan yang bisa tergolong sebagai 
pendatang baru di Jakarta. Aku merantau ke Jakarta sendirian untuk 
melanjutkan pendidikanku di sebuah universitas swasta di Jakarta Barat. 
Sehari-harinya aku bekerja sebagai guru les privat yang mengajar 
anak-anak sekolah yang pada umumnya adalah anak-anak SMP atau SD. Aku 
melakukan ini untuk membiayai uang kuliah dan segala keperluanku. 
Maklumlah, sebagai pendatang baru di kota besar seperti Jakarta, aku 
harus bisa membiayai segala keperluanku sendiri. Apalagi keluargaku yang
 berasal dari daerah juga bukan tergolong keluarga yang cukup mampu 
untuk membiayaiku, maka aku memutuskan untuk mandiri sendiri di 
perantauanku. Suatu hari, aku mendapat panggilan dari sebuah keluarga 
yang ingin agar aku mengajar les anak tunggal mereka. Mereka menawarkan 
gaji yang bagiku amat tinggi dan kurasa cukup untuk membiayai 
kehidupanku di Jakarta. Tanpa pikir panjang lagi, segera kuterima 
tawaran keluarga itu, dan kami setuju bahwa aku akan mulai mengajar anak
 mereka besok sore harinya sepulang kuliah. Esok harinya, aku pun datang
 untuk mulai mengajar murid baruku itu. Sesampainya di rumah itu, aku 
tertegun melihat arsitektur rumah itu yang seperti sebuah istana yang 
dilengkapi taman hijau dan dikelilingi pagar terali yang tinggi. 
Dibandingkan dengan rumahku di daerah yang hanya ¼ luas rumah itu, 
apalagi tempat kosku yang kecil dan sumpek, tentu saja memiliki rumah 
seperti ini sudah menjadi impianku sejak kecil.
DING-DONG!! Kutekan bel pintu di sebelah pagar rumah itu.
"Siapa?" terdengar suara wanita di Interkom yang terletak di samping bel pintu itu.
"Saya Erina, guru les privat anak anda yang baru!" jawabku
"Oh, Erina! Ayo, silakan masuk!"
Tiba-tiba, gerbang terali rumah itu terbuka. Aku pun segera masuk 
kedalam. Pintu garasi itu terbuka dan keluarlah seorang wanita paruh 
baya, usianya sekitar 40-an tahun. Dari penampilannya yang necis seperti
 seorang business-woman, sudah jelas bahwa ia adalah pemilik rumah ini. 
Wanita itu segera menyambut kedatanganku.
"Halo, Erina! Bagaimana kabarnya?"
"Baik-baik saja bu. Anda Bu Diana? Ibu Rendy?" tanyaku dengan sopan.
"Ya, betul! Ayo masuk, kita bicara didalam!" ujarnya mempersilahkanku masuk
Sambil menuju ke ruang tamu, kami berbincang-bincang sejenak. Dari situ 
aku tahu bahwa bu Diana adalah pemilik Bridal Studio ternama di Jakarta 
sekaligus seorang desainer gaun pengantin yang sering pergi ke luar 
negeri untuk melihat pameran-pameran di luar negeri. Bahkan, di rumahnya
 banyak terpajang piala penghargaan bagi desainer di pameran luar 
negeri. Sementara suaminya adalah kepala cabang sebuah bank 
multinasional yang saat ini tinggal di Jerman. Maka ia hanya tinggal 
berdua saja dengan anaknya di rumah itu. Seringkali anaknya dititipkan 
ke kerabatnya apabila bu Diana hendak pergi ke luar negeri. Aku pun 
dipersilahkan untuk menunggu di ruang tamu sementara bu Diana 
mengambilkan minuman untukku. Aku hanya terpaku melihat hiasan-hiasan 
indah di rumah itu. Rasa-rasanya, harga salah satu hiasan patung ataupun
 lukisan itu cukup untuk membiayai uang kuliahku untuk satu semester.
"Hayo, kok malah melamun?" aku dikagetkan oleh suara bu Diana yang segera menyajikan segelas es sirop untukku.
"Eh.. tidak.. maaf, Bu!" aku tergagap salah tingkah, namun bu Diana 
hanya tersenyum melihatku. Bu Diana segera duduk di sofa ruang tamu di 
depanku.
"Nah, Erina. Kamu akan mengajar Rendy mulai hari ini. Ibu harap kamu bisa memperbaiki nilai-nilainya di sekolah."
"Baik bu. Saya akan berusaha sebaik mungkin."
"Saya senang melihat semangatmu. Tapi apa kamu tahan menghadapi anak-anak nakal?"
"Memangnya ada apa, bu?" tanyaku penasaran
"Rendy sekarang duduk di kelas 3 SMP, usianya tahun ini 16 tahun. Kamu 
tahu, itu masa yang rawan bagi anak remaja. Nilai Rendy terus menurun, 
ia lebih sering menghabiskan waktunya buat bermain atau menonton di 
kamarnya." Bu Diana tampak menghela napas.
"Tenang saja, bu. Saya akan berusaha untuk membuatnya belajar. Saya yakin, nilai Rendy pasti akan segera membaik."
"Bagus. Kinerjamu akan dinilai lewat nilai-nilai ujian semester mereka Juni ini."
"Berarti, 5 bulan dari sekarang?"
"Benar. Tunggu sebentar ya, Erina? Ibu akan memanggil Rendy dulu."
Rendy
Aku mengangguk menyetujui. Bu Diana lalu beranjak pergi ke lantai atas. 
Tak lama kemudian, Bu Diana turun beserta seorang anak laki-laki. Wajah 
anak itu tidak bisa dibilang tampan, menurutku. Tubuhnya kurus dan 
termasuk tinggi untuk anak seusianya, bahkan lebih tinggi dariku. Tapi 
mukanya yang tampak masam saat melihatku yang duduk di hadapannya, dari 
wajahnya sudah terlihat ia seorang yang nakal dan bermasalah.
"Ayo, beri salam ke Kak Erina! Mulai hari ini dia yang akan menjadi guru privatmu!"
"Rendy." Anak itu tampak acuh dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman denganku.
"Erina, salam kenal!" Aku berusaha tersenyum sambil membalas uluran tangannya.
"Baiklah, ayo antar kak Erina ke kamarmu dan mulai belajar!" perintah bu
 Diana, yang hanya dijawab oleh gerutuan dari Rendy. Aku tersenyum dan 
mengikuti Rendy ke kamarnya. Sejak hari itu, aku mulai mengajari Rendy 
sebagai guru privatnya.
Hari demi hari berlalu. Tidak terasa, sudah 3 bulan berlalu sejak hari 
itu. Tiap hari Senin hingga Jumat sore, aku terus mengajari Rendy 
sebagai guru privatnya secara rutin. Lama-lama aku pun semakin mengenal 
Rendy. Rendy sering bergaul dengan teman-temannya, namun sayangnya Rendy
 salah memilih pergaulan. Ia bergaul dengan anak-anak nakal di 
sekolahnya. Aku pernah melihat teman-temannya yang nakal itu, mereka 
selalu saja mengajak Rendy untuk membolos saat aku mengajar, yang 
seringkali dituruti olehnya, belum lagi sikap mereka yang menurutku 
tidak sopan maupun cara mereka bergaul yang lebih condong ke arah 
pergaulan bebas. Aku selalu bersabar mengajari Rendy, tapi anak itu 
benar-benar bandel. Setiap kali aku mengajarinya, ia hanya mengacuhkanku
 ataupun bengong melamun. Semua tugas yang kuminta untuk dikerjakan 
tidak pernah disentuhnya sama sekali. Parahnya lagi, tidak jarang 
kulihat kepingan DVD porno yang disembunyikannya dibawah kasurnya. Aku 
tidak pernah menghiraukan hal itu, karena tugasku di sini adalah untuk 
mengajarinya bahan pelajaran, bukan untuk menceramahinya. Mungkin karena
 pengaruh DVD itu dan pergaulannya, dia juga sering menggodaku untuk 
menjadi pacarnya. Aku memang masih single, tapi pacaran dengan anak 
dibawah umur? Tak pernah sama sekali terlintas di benakku untuk 
melakukan hal itu, apalagi Rendy adalah muridku.
Sering aku nyaris kehilangan kesabaran karena ulah Rendy, namun aku 
selalu teringat akan janjiku pada bu Diana untuk memperbaiki nilai Rendy
 dan mengingat biaya yang dikeluarkan bu Diana untuk membayarku, sudah 
cukup untuk membuatku selalu tegar menghadapi kebandelan Rendy. Namun 
seberapapun aku berusaha menahan kesabaranku, rupanya kesabaran bu Diana
 mulai habis. Suatu hari, ia memanggilku saat aku mengajar Rendy.
"Erina, saya pikir kamu sudah tahu kalau nilai Rendy selama ini sama sekali tidak membaik." Ujarnya agak keras
"Maaf, bu. Saya sudah berusaha, tapi Rendy.."
"Saya tidak mau mendengar alasan, Erina. Kamu tahu berapa gajimu setiap 
bulan bukan? Saya berharap pengeluaran itu setimpal dengan hasil yang 
kamu berikan. Tapi kalau begini hasilnya, saya benar-benar kecewa.." 
ujarnya dengan nada agak ketus
"Tapi.."
"Begini saja. Saya akan tetap berpegang pada janji saya untuk menilaimu 
lewat hasil Rendy pada semester ini. Kalau nilainya masih juga belum 
membaik, saya terpaksa mencari pembimbing yang lebih mampu."
"Tapi bu.." aku berusaha memberi argumen dengan Bu Diana.
"Sudahlah Erina, saya harus pergi ke studio sekarang! Saya harap, kamu 
bisa memperbaiki nilai Rendy secepat mungkin!" tegas bu Diana sambil 
berlalu pergi keluar dari rumahnya.
Kata-kata bu Diana benar-benar membuatku mulai patah arang. Bagaimana 
cara menggerakkan anak sebandel itu untuk belajar? Yang kutahu ia hanya 
tertarik dengan game PlayStation dan koleksi film miliknya, baginya 
memegang buku pelajaran pasti lebih susah daripada berenang melintasi 
samudra! Rasa putus asa menyelimutiku saat aku membayangkan bagaimana 
membiayai kuliahku apabila bu Diana meberhentikanku. Dengan lesu, aku 
kembali ke kamar Rendy untuk mengajar. Namun, sesampainya di kamar, aku 
melihatnya tertawa terbahak-bahak saat aku memasuki kamarnya.
"Apa yang lucu?!" ketusku dengan muka masam.
"Mau dipecat ya, Kak? Kasihaan deeeh!" ejeknya sambil tertawa.
Mendengar ejekan Rendy sudah lebih dari cukup untuk membuat amarahku yang sudah lama terpendam, meledak seketika.
 "Kamu maunya apa sih?! Kakak sudah memberimu penjelasan dan 
latihan-latihan, tapi sama sekali tak digubris!! Bagaimana nilaimu bisa 
bagus kalau kamu tidak pernah belajar!! Setiap hari yang kamu tahu cuma 
main game atau bengong saja!!" bentakku pada Rendy. Aku benar-benar 
merasa marah dan dipermainkan oleh anak itu. Tapi Rendy hanya tersenyum 
mendengar bentakanku itu.
"Oke deh, kalau Kakak maunya begitu. Rendy akan minta Mami untuk mencari
 guru baru. Kakak cari saja murid yang mau menurut!!" Ujarnya dengan 
sombong.
Seketika itu juga aku ambruk ke lantai, air mataku menetes karena putus 
asa. Aku sudah harus membayar biaya kuliahku bulan depan yang rencananya
 akan kubayar dengan gajiku bulan ini. Apabila aku diberhentikan 
sekarang, bagaimana caraku untuk membayar uang itu? Tidak mungkin 
meminta kiriman uang dari keluargaku, aku tidak memiliki kerabat di 
Jakarta dan lagipula mana mungkin teman-temanku mau meminjamkan uang 
untuk mahasiswi miskin sepertiku ini? Sebenarnya banyak mahasiswa yang 
tertarik padaku dan mau menjadi pacarku. Bisa saja aku meminjam uang 
dari mereka, namun aku tak mau kalau harus berhutang budi pada mereka, 
bisa saja itu menjadi alasan mereka untuk memaksaku menjadi pacar 
mereka. Pikiran bahwa aku harus berhenti kuliah membuatku galau dan 
putus asa. Aku pun menangis terisak di hadapan Rendy.
"Waah, malah nangis.. Dasar cengeng!" ejek Rendy saat melihatku menangis, namun itu tidak menghentikan isak tangisku.
"Oke, oke. Aku mau belajar, tapi kakak harus menuruti permintaanku, Oke?!" Rendy mulai membujukku.
"A..apa yang kamu mau?!" jawabku sambil terisak.
"Pertama, kakak berdiri dulu ya?" Rendy memegang tanganku dan membantuku
 berdiri. Aku pun segera beranjak bangun. Kulihat mata Rendy tampak 
menggerayangi lekuk tubuhku. Ia lalu berjalan berputar-putar 
mengelilingiku. Aku pun mulai risau melihat gelagat anak itu.
"Sudah! Jangan putar-putar melulu! Kepala kakak pusing tahu!! Kamu maunya apa sih?!" bentakku tidak sabaran.
"Kak, Rendy penasaran deh.." ungkap Rendy.
"Apanya?!"
"Kakak itu cewek kan?"
"Lalu kenapa? Bukannya sudah jelas kan?!" jawabku kesal.
"Kalau begitu, kakak punya memek juga doong.." balas Rendy dengan nada mengejek.
"Rendy penasaran nih.. Memek kakak mirip nggak ya, dengan memek 
cewek-cewek yang sering kulihat di film-film porno?" sambungnya dengan 
santai.
Oh, astaga! Bagai tersambar petir, aku benar-benar marah mendengar 
ucapan Rendy itu. Moral anak ini benar-benar sudah hancur sama sekali!! 
Bagaimana bisa dia menanyakan hal seperti itu didepan seorang gadis 
dengan santainya? Anak ini benar-benar sudah kelewat batas!
PLAAK.. Tanpa sadar kutampar pipi kiri Rendy hingga anak itu terjatuh ke lantai. Rendy pun merintih kesakitan.
"Aduh, sakiit.." rintihnya pelan.
Ya ampun! Apa yang telah kulakukan? Sesaat aku sontak tersadar, namun 
sudah terlambat. Tamparanku sudah keburu mendarat di pipi Rendy. Melihat
 Rendy yang terjatuh, aku pun merasa semakin panik. Segera kuhampiri 
Rendy yang masih merintih di lantai.
"Rendy, Rendy! Kamu nggak apa-apa kan?! Maaf ya, kakak tak sengaja. Maaf.." tanyaku cemas.
Aku berusaha menggenggam tangan Rendy, namun ia segera menepis tanganku.
"Pergi sana! Rendy akan laporkan kakak ke Mami!! Biar nanti kakak dituntut ke polisi!!" teriaknya.
"Rendy.. Kakak minta maaf ya? Kakak benar-benar tak sengaja.." aku 
benar-benar panik mendengar ancaman Rendy, yang sangat mungkin menjadi 
kenyataan mengingat keluarganya yang cukup terpandang.
"Nggak mau! Pergi sana!! Tunggu saja sampai Mami pulang, Kakak pasti 
kulaporkan!" ancam Rendy sekali lagi. Rendy segera beranjak, hendak 
keluar dari kamarnya.
Aku benar-benar putus asa dan kebingungan. Masalah yang datang 
menghampiriku silih berganti. Bagaimana ini? Sebelumnya, ancaman 
pemecatanku sudah diambang mata dan sekarang malah aku terancam dituntut
 oleh keluarga kaya ini. Pikiranku pun mulai buntu dan tanpa pikir 
panjang lagi, kutarik tangan Rendy untuk mencegahnya keluar kamar.
"Tunggu Rendy!! Kakak akan menuruti permintaan Rendy! Apapun! Tapi 
tolong jangan laporkan kakak ke bu Diana!" bujukku pada Rendy.
Langkah kaki Rendy terhenti sebentar. Rendy lalu melirik melihatku.
"Benar nih? Kakak nggak bohong kan?" tanyanya tidak percaya.
"Iya, iya! Kakak janji! Tapi cuma sekali ini saja ya!" jawabku putus asa.
"Oke deh kalau begitu. Rendy mau lihat memek kakak sekarang." Perintahnya padaku.
"Tapi cuma lihat saja ya! Jangan macam-macam!"
"Iya, deeh.." jawab Rendy puas.
Aku lalu berdiri di depan Rendy, perlahan-lahan kunaikkan rok putihku 
yang selutut di hadapan anak itu. hingga akhirnya rokku mencapai 
pinggul, menampakkan pahaku dan celana dalam pink berendaku dengan 
jelas. Rendy tampak takjub saat melihat celana dalamku yang masih 
menutupi selangkanganku.
"Tunggu Kak! Jangan bergerak dulu!" perintah Rendy mendadak. Aku pun tak
 punya pilihan lain selain memamerkan celana dalamku di hadapan Rendy.
Perasaanku campur aduk saat melihat mata Rendy yang tampak 
berbinar-binar takjub melihat celana dalamku. Aku pun bisa mendengarnya 
menelan ludah. Pasti ini pengalaman pertamanya melihat celana dalam 
seorang gadis yang asli. Kurasa selama ini dia hanya melihat celana 
dalam wanita lewat film pornonya saja. Ia tampak gugup sekaligus senang 
melihat celana dalamku. Sementara jantungku berdegup kencang sekali saat
 mengingat seorang anak ABG sedang mengamati celana dalamku dengan 
seksama. Wajahku sekarang pasti sudah lebih merah dari buah tomat yang 
matang karena malu. Rendy menoleh sejenak ke belakang sambil menghela 
nafas. Kurasa ia juga amat gugup karena dari tadi mengamati celana 
dalamku tepat di depan wajahnya. Tapi, ia segera kembali menoleh melihat
 celana dalamku dan kali ini kulihat sorot matanya yang secara khusus 
mengamati bayangan vaginaku dibalik celana dalamku. Sorot matanya yang 
mengamati dengan seksama memberiku sensasi yang aneh. Belum pernah 
kulihat sorot matanya seserius itu.
Semakin lama, kepalanya semakin maju hingga memasuki rokku dan tampaknya
 ia benar-benar menikmati saat mengamati celana dalamku. Aku dapat 
merasakan dengan sangat jelas detak jantungku yang berdegup semakin 
kencang. Aku merasa bingung mengapa jantungku bisa berdetak sekencang 
itu hanya karena Rendy sedang mengamati celana dalamku? Aduuh.. andai 
saja aku tidak menamparnya tadi, sesalku dalam hati.
"Rendy, sudah ya.. Kakak sudah capek nih.." bujukku pada Rendy.
"Belum kak. Kakak masih belum menepati janji kakak!" protesnya padaku.
"Apa lagi, sih, Rendy?!"
"Aku mau melihat memek kakak! Bukannya tadi kakak berjanji untuk 
menuruti keinginanku? Ayo, buka celana dalamnya dong kak!" pintanya 
padaku.
"Tapi.. tapi.." aku berusaha mencari alasan untuk menolak permintaan 
Rendy, namun pikiranku buntu sama sekali. Memang benar tadi Rendy sempat
 berkata bahwa ia ingin melihat kewanitaanku. Tapi bagaimanapun, aku 
merasa amat keberatan kalau seorang anak kecil melihat vaginaku yang 
selalu kujaga baik-baik untuk suamiku di masa depan.
"Ayo, kak! Kalau tidak aku akan melaporkan kakak ke Mami lho!!" ancamnya
 sekali lagi. Aku sadar, aku tidak mungkin meloloskan diri dari 
permintaan Rendy.
"Iya deh! Tapi cuma sebentar saja ya!" gerutuku. Saat mendengar kata 
melapor ke Mami, aku sudah kalah telak tanpa bisa membantah atau 
menolak permintaan anak ini.
"Oke deh!!" serunya dengan riang setelah mendapat izin dariku.
Tanpa menunggu lama, ia segera melorotkan kedua sisi celana dalamku dan 
menurunkan celana dalamku hingga celana dalamku tergulung di pahaku. 
Sekarang, tanpa pelindung apapun, kewanitaanku terpampang jelas 
dihadapan Rendy yang kini mengalihkan perhatiannya ke vaginaku. Pikiran 
dalam hatiku berkecamuk. Apa yang sebenarnya kulakukan? Bukankah bu 
Diana membayarku untuk mengajar les privat anaknya? Namun kenyataannya 
sekarang, celana dalamku sudah ditarik turun oleh muridku sendiri yang 
kini sedang sibuk mengamati kewanitaanku. Kalau bu Diana mengetahui hal 
ini, aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya padaku. Paling tidak aku 
agak beruntung karena bu Diana tidak berada di rumah saat ini, jadi aku 
tidak perlu khawatir akan kepergok olehnya.
"Waah, beda sekali dengan memek cewek-cewek di film porno. Memek kakak 
bersih ya! Nggak ada rambut-rambutnya!" puji Rendy padaku.
Tentu saja! Aku paling menjaga dan merawat daerah kewanitaanku sebaik 
mungkin. Aku selalu teratur membersihkan vaginaku dan mencukur rambut 
kemaluanku. Mana mungkin vaginaku disamakan dengan vagina para perempuan
 di video porno yang pasti tidak dirawat dengan teratur! Pikirku kesal.
"Hei, Rendy. Sudah cukup ya?" pintaku pada Rendy.
"Sebentar lagi, ya. Kak!"
Ampuun! Aku benar-benar terjebak! Memamerkan kewanitaanku di depan anak 
SMP sudah lebih dari cukup untuk membuatku malu seumur hidup! Aku tak 
berani membayangkan kalau ada orang yang melihat hal ini. Badanku terasa
 panas dan keringatku mulai mengucur deras hanya karena kewanitaanku 
diamati oleh Rendy. Apalagi mengingat kalau aku seharusnya mengajarinya 
dalam pelajaran, bukan malah memberinya tontonan yang tidak pantas 
seperti ini.
 "Waah.. kok memek kakak makin lama makin basah sih?!" tanya Rendy tiba-tiba.
"Ah.. Eh?!" mendadak aku tersadar dari lamunanku, saat itulah aku baru 
menyadari kalau jari telunjuk Rendy sudah menyentuh bibir vaginaku. 
Ujung jari Rendy sudah mulai masuk sedikit ke dalam liang vaginaku dan 
mulai menggosok-gosok bibir vaginaku yang sudah basah karena luapan 
cairan cintaku tanpa sadar.
"AAH!!! Hei!! Hentikan, Rendy!!!" aku benar-benar panik melihat jari 
Rendy di vaginaku itu. Aku takut kalau keperawananku malah terenggut 
oleh jari-jari Rendy. Namun Rendy tidak berhenti.
"Rendy! Sudah cukup, hei!! Bukannya kamu berjanji hanya melihat saja?!" protesku pada Rendy.
"Aargh! Berisik! Diam saja! Kalau tidak, kutusukkan jariku kedalam memek kakak dalam-dalam, mengerti?!" bentak Rendy padaku.
Aku benar-benar takut. Rendy memang memegang kendali saat ini, apalagi 
dengan jarinya yang masih sibuk memainkan bibir vaginaku, mudah saja 
baginya untuk memperawaniku dengan jarinya. Aku berpikir daripada aku 
diperawani jari-jari Rendy, mungkin lebih baik kalau aku menuruti 
kemauannya. Aku kembali menangis terisak, namun Rendy tidak menghiraukan
 tangisanku, ia malah menggosok-gosokkan jarinya di sela vaginaku dengan
 pelan. Saat itulah aku tersentak sesaat merasakan kenikmatan gosokan 
jari Rendy di vaginaku. Jujur saja, ini merupakan pengalaman pertama 
bagiku merasakan kenikmatan seperti itu karena aku tidak pernah beronani
 sebelumnya. Aku pun merasa tenagaku untuk berontak lenyap seketika.
"Ah.. ohh.. aakh.." tanpa sadar, aku mendesah nikmat karena gosokan jari Rendy.
"Ada apa, Kak?!" tanya Rendy padaku.
"Aahh.. hentikan.. Rendy.. jangan.. auuch.." Suaraku sudah mulai bercampur dengan lenguhanku.
"Lho, kok kakak mau berhenti? Bukannya rasanya enak Kak?" balasnya setengah mengejek.
"Eegh.. itu.. itu.." tanpa sadar, aku pun melepaskan rokku yang dari tadi kupegang, tapi Rendy segera menyibakkan rokku kembali.
Rendy terus mengamati wajahku untuk melihat reaksiku, aku berusaha tidak
 menatap wajahnya, walaupun sesekali dapat kulihat ia tersenyum dengan 
reaksiku. Badanku terasa limbung ke belakang, tempat meja belajar Rendy 
berada. Aku pun menyandarkan diri di meja belajar itu dan kedua tanganku
 memegang bibir meja itu agar aku tidak jatuh. Rendy sekarang memegangi 
rokku dan menekannya di perutku, sehingga rokku tersibak dan vaginaku 
terpampang semakin jelas.
"Nah, kita mulai sekarang ya, Kak?" ujarnya padaku dan ia mulai 
mempercepat gosokannya di bibir dan celah-celah vaginaku. Aku pun tidak 
lagi menolak. Lagipula, aku tidak ingin Rendy menghentikan aktivitasnya 
saat ini, aku sudah terlanjur dikuasai kenikmatan yang melanda tubuhku
"Ouchhh.. aahh.. aahhh.." desahku menahan kenikmatan di vaginaku, akal 
sehatku sudah lenyap dan aku sepenuhnya dikuasai oleh kenikmatan di 
kewanitaanku. Entah mengapa, fakta bahwa yang mengocok vaginaku adalah 
muridku sendiri yang masih SMP malah membuatku semakin bernafsu.
"Aduuh.. aw.. aw.. aww.." rintihan-rintihan kenikmatan keluar dari 
mulutku setelah 3 menit berlalu sejak bibir kewanitaanku dilayani oleh 
jari-jari Rendy. Aku pun sudah tidak tahan lagi, aku merasa akan segera 
mencapai orgasmeku untuk pertama kalinya. Namun, tiba-tiba terdengar 
suara decitan mobil di halaman rumah. Bu Diana telah pulang! Aku dan 
Rendy segera menghentikan aktifitas kami, dan aku segera merapikan 
celana dalam dan rokku kembali. Kami lalu bergegas kembali ke meja 
belajar untuk melanjutkan les. Walaupun aku merasa agak kecewa karena 
nyaris saja mencapai orgasme, namun aku tetap melanjutkan mengajari 
Rendy walaupun suasana hatiku amat galau saat itu. Akhirnya aku pun 
selesai mengajar Rendy hari itu. tapi harus kuakui, Rendy tampak lebih 
bersemangat menyimak penjelasanku sehabis kejadian itu. Hanya saja aku 
tampak kacau karena banyak hal yang terjadi hari itu. Tapi bagaimanapun 
aku juga masih bersyukur karena selaput daraku tidak sampai robek akibat
 ulah Rendy tadi.
Sebelum pulang, Rendy sempat meminjam Handphoneku. Alasannya, ia mau 
mengirimkan lagu-lagu baru untukku, aku pun hanya mengiyakan saja 
permintaan Rendy itu. Setelah Rendy mengembalikan Handphoneku, aku pun 
segera pamit kepada bu Diana dan kemudian pulang ke tempat kosku. Aku 
berharap semua kejadian hari ini hanyalah mimpi buruk semata.
Esok harinya, aku pun terbangun dalam keadaan galau. Semalaman aku 
mencoba tidur, namun di kepalaku selalu terbayang kejadian kemarin sore 
di rumah bu Diana. Akibatnya, bisa ditebak, aku benar-benar merasa amat 
letih dan lesu. Aku pun mencoba menyetel lagu yang kemarin diberikan 
Rendy padaku untuk mempercerah suasana. Aku lalu membuka handphoneku 
untuk mendengarkan lagu. Tapi aku tidak menemukan satupun file musik 
baru di handphoneku, malahan, lagu-lagu koleksiku banyak yang terhapus. 
Penasaran, aku pun memeriksa isi handphoneku. Sekarang, di bagian video,
 malah ada sebuah video yang berukuran ekstra besar. Penasaran dengan 
video di handphoneku, aku pun mulai memutar video itu. Astaga! Aku 
benar-benar terkejut setengah mati saat melihat diriku yang sedang 
memamerkan celana dalam di hadapan Rendy terekam di video itu dan 
bagaimana Rendy memainkan jari-jarinya di vaginaku juga terlihat dengan 
amat jelas dari arah samping. Saat itulah aku baru ingat bahwa saat aku 
memamerkan selangkanganku, sebuah handycam milik Rendy tergeletak di 
ranjangnya yang ada di samping meja belajarnya. Berarti, Rendy secara 
diam-diam berhasil merekam adegan mesumku! Tidak terbayang bagaimana 
perasaanku saat itu. Rasa letih d an lesu yang menyerangku dari pagi 
kini ditambah dengan perasaan cemas dan takut kalau video itu 
disebarluaskan, apalagi wajahku tampak jelas di video itu. Aku bingung, 
apa yang harus kulakukan? Bagaimana apabila video itu sudah 
disebarluaskan? Aku pasti diberhentikan dari universitas. Parahnya lagi,
 aku pasti akan dianggap sebagai perempuan rendahan oleh masyarakat. 
Bagaimana caraku menjelaskan pada keluargaku tentang video itu? 
Bayangan-bayangan itu terus berkecamuk didalam pikiranku selama seharian
 penuh. Walaupun begitu, sore harinya aku kembali berangkat menuju rumah
 bu Diana untuk mengajari Rendy. Saat aku datang, bu Diana masih belum 
pulang karena harus menyelesaikan proyek di studionya. Aku pun segera 
menemui Rendy untuk menyelesaikan masalah ini. Kebetulan, Rendy yang 
membukakan pintu untukku. Seolah ia sudah lama menunggu kedatanganku.
"Halo, Kak Erina. Bagaimana, video klip lagunya bagus tidak?" tanyanya dengan nada mengejek.
"Rendy, kenapa kamu sejahat itu dengan kakak?! Buat apa kamu merekam 
video beginian sih?! Belum cukup kamu mempermainkan kakak kemarin?!!" 
jawabku dengan perasaan kesal bercampur cemas.
"Waah, kenapa Rendy dibilang mempermainkan kakak? Bukannya kemarin kakak
 terlihat nyaman saat aku layani?" Mata Rendy tampak semakin 
merendahkanku.
"Sudahlah! Mana videonya? Cepat berikan ke kakak!!" perintahku.
"Tenang saja kak, videonya Rendy simpan dengan baik kok. Jadi kakak tenang saja!"
Aku mengepalkan tanganku, menahan berbagai macam emosi yang bergejolak 
di dalam hatiku. Nyaris aku kembali menangis karena rasa cemas yang 
semakin kuat mencengkeram diriku, namun aku berusaha mengendalikan diri.
 Aku sadar aku tidak bisa mengambil jalan kekerasan untuk menghadapi 
Rendy, karena malah akan membuat masalahku tambah runyam. 
"Oh iya, Rendy juga belum memperlihatkan videonya ke orang lain. Waah, 
sayang sekali ya kak? Padahal videonya bagus kan?" lanjutnya.
Mendengar pernyataan Rendy itu, aku merasa melihat secercah cahaya dan 
harapanku sedikit pulih. Namun masih saja aku merasa tegang dan cemas. 
Aku pun berusaha membujuk Rendy untuk menyerahkan video itu padaku.
"Rendy, kakak mohon.. berikan video itu ke kakak, ya? Tolong jangan 
sakiti kakak lagi.." aku memohon meminta belas kasihan pada Rendy.
"Hmm.. kalau begitu, kakak harus mau menuruti perintahku lagi, aku berjanji akan memberikan videonya ke kakak."
"Kakak mohon, Rendy.. Jangan lagi.." air mataku kembali mengucur saat 
mendengar syarat yang diajukan Rendy. Berarti aku harus kembali 
merendahkan diriku dihadapannya.
"Kakak mau atau tidak?! Kalau tidak, ya sudah! Kakak bisa melihat 
videonya di internet besok pagi." Ketusnya tanpa menghiraukan 
perasaanku.
Aku pun tidak punya pilihan lain, selain menuruti kemauan Rendy. 
Tampaknya percuma saja aku berusaha meminta belas kasihan anak ini. Yang
 ada di pikirannya saat ini pasti hanyalah keinginan untuk mempermainkan
 diriku sekali lagi. Terpaksa aku harus melayani permintaannya lagi agar
 video itu kudapatkan.
"Baiklah, kakak mengerti.. Kakak akan menuruti perintahmu, tapi kamu 
harus berjanji akan memberikan video itu ke kakak!" jawabku memberi 
persetujuan.
"Beres, Kak!" Kali ini Rendy tampak girang sekali saat mendengar kalimat persetujuanku itu.
"Nah, sekarang apa yang kamu mau?!" Tanyaku tidak sabaran
"Tunggu sebentar dong Kak.. Jangan buru-buru! Kalau sekarang pasti cuma sebentar karena Mami sebentar lagi pulang."
"Lalu, kamu maunya kapan?"
"Nah, kebetulan 2 hari lagi Mami akan berangkat ke luar negeri, soalnya 
Mami akan memperagakan busana pengantin buatannya di pameran."
"Lalu kenapa?"
"Kebetulan minggu depan ada ulangan yang penting, jadi aku boleh tinggal
 di rumah ini sampai mami pulang. Selama itu, aku mau kakak untuk 
tinggal bersamaku di rumah, sambil mengajariku! Bagaimana? Kita bisa 
bersenang-senang sampai puas kan, Kak?"
"Memangnya sampai kapan bu Diana ada di luar negeri?" tanyaku kembali.
"Yaah, karena Mami juga mau ketemu Papi di Jerman, makanya Mami tinggal di sana selama 2 minggu."
"Tapi apa bu Diana akan mengizinkan kakak untuk tinggal disini?"
"Tenang saja, kak! Biar nanti Rendy yang bicara dengan Mami." Ujarnya meyakinkanku.
 Aku menghela nafas sejenak sambil berpikir menimbang-nimbang permintaan 
Rendy. Sebenarnya aku tidak begitu rugi apabila aku menginap di rumah bu
 Diana. Aku bisa menghemat uang kosku selama setengah bulan kalau aku 
menginap di rumah bu Diana. Lagipula aku akan lebih bisa mengawasi Rendy
 untuk belajar menghadapi ujian semesternya yang kian mendekat, dengan 
begitu, aku bisa mendapat kesempatan untuk mengamankan pekerjaanku. 
Sebenarnya yang perlu kulakukan hanyalah memastikan kalau Rendy tidak 
"mengerjaiku" lebih parah dari kemarin.
"Baiklah, kakak setuju. Tapi kamu juga harus berjanji, kamu harus 
belajar yang rajin selama kakak tinggal di rumahmu." Anggukku sambil 
memberinya penawaran.
"Berees, kak! Asal kakak mau menurutiku selama itu, aku pasti belajar!" jawabnya dengan bersemangat.
"Iya, iya.." balasku dengan perasaan agak lega.
Kami lalu segera beranjak ke kamar Rendy dan aku pun mulai mengajarinya.
 Tapi hari ini ada yang berbeda dari Rendy. Ia tampak lebih serius dan 
bersemangat dalam menyimak penjelasanku. Kurasa dia sudah cukup senang 
saat mendengar aku akan menginap di rumahnya 2 hari lagi. Tak lama 
kemudian, kudengar suara bu Diana di lantai bawah.
"Nah, Mami sudah pulang! Kakak tunggu sebentar ya! Aku mau bicara dulu dengan Mami!"
Rendy segera beranjak dari kursinya dan keluar dari kamarnya tanpa 
menghiraukanku. Sayup-sayup kudengar suara percakapan Rendy dengan bu 
Diana, namun aku tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang mereka 
katakan. Sambil menunggu Rendy, aku mempersiapkan soal-soal latihan yang
 akan kuberikan untuknya nanti. Sekitar 5 menit kemudian, Rendy kembali 
ke kamarnya bersama bu Diana.
"Halo, Erina. Rendy meminta saya untuk mengizinkanmu tinggal di rumah ini selama saya tidak di rumah."
"Eh? I.. iya, bu Diana! Rendy memberitahu saya kalau ia ingin mendapat 
les tambahan dari saya selama bu Diana tidak dirumah.. Katanya.. untuk 
persiapan ujian semester.." ujarku dengan agak gugup.
"Wah, kebetulan sekali kalau begitu! Soalnya tante Rendy juga akan ikut 
ke Jerman. Makanya tadi saya sempat mengajak Rendy untuk ikut. Tapi 
karena ada ulangannya yang penting, Saya jadi ragu-ragu."
"Jadi?" tanyaku
"Kalau kamu mau, Saya memperbolehkan kamu tinggal disini selama saya 
tidak dirumah. Tapi saya juga meminta kamu untuk mengurus Rendy selama 
itu. Sebagai gantinya, saya akan berikan tambahan bonus untukmu di akhir
 bulan ini. Bagaimana?" Jawab bu Diana memberikan tawaran.
"Baik, bu Diana. Saya setuju!" anggukku sambil tersenyum. Sekarang aku 
mendapat tambahan keuntungan dengan menerima tawaran Rendy. Dengan bonus
 yang disediakan bu Diana dan penghematan uang kosku selama setengah 
bulan, aku bisa menambah uang tabunganku sekaligus membiayai sebagian 
keperluanku bulan depan.
"Baguslah! Kalau begitu, Erina, tolong kamu siapkan barang-barangmu yang
 akan kamu bawa untuk tinggal disini. Lusa nanti saya akan menjemputmu 
sebelum kamu mengajar Rendy." Ujar bu Diana.
"Iya, bu Diana!" aku mengiyakan permintaan bu Diana.
Setelah menyelesaikan tugasku hari itu, aku segera bergegas pulang untuk
 mulai mengemas barang-barangku. Untunglah aku tidak memiliki banyak 
barang selain pakaian dan perlengkapan-perlengkapan kecil milikku. Aku 
juga memberitahu pemilik rumah kosku bahwa aku akan pindah selama 
setengah bulan. Syukurlah mereka mau mengerti dan bersedia menyimpankan 
kamar bagiku apabila aku kembali.
2 hari kemudian, bu Diana dan Rendy pun datang menjemputku sebelum aku 
mengajar Rendy. Aku lalu diantar ke rumah mereka. Aku diizinkan untuk 
tidur di kamar tamu di lantai bawah. Malam harinya, aku diberitahu bu 
Diana tugas-tugasku di rumah itu selama bu Diana di luar negeri. Aku 
diminta untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga seperti 
memasak, mencuci dan membersihkan rumah. Aku sudah terbiasa memasak dan 
mencuci sendiri sejak kecil, maka tugas ini tidak lagi sesulit yang 
kubayangkan. Lagipula untuk keperluan sehari-hari, bu Diana sudah 
menyuruh anak buahnya untuk mengantar bahan makanan dan supir studio 
untuk mengantar-jemput kami. Apabila ada hal lainnya yang diperlukan, 
aku hanya perlu menelepon studio untuk meminta bantuan mereka. Esok 
harinya, bu Diana sudah berangkat saat aku pulang dari kuliah. Sehingga 
hanya ada aku dan Rendy sendiri di rumah. Aku segera menuju kamar mandi 
untuk membersihkan tubuhku. Seusai mandi, aku benar-benar terkejut saat 
melihat semua pakaian milikku menghilang. Hanya ada satu pelaku yang 
dapat melakukan hal ini! Aku lalu menutupi tubuhku dengan selembar 
handuk yang untungnya, tidak sempat diambil oleh "pencuri" itu. Aku 
segera naik ke lantai atas untuk mengambil kembali pakaian milikku.
"Rendy! Reendyy!! Buka pintunya!" Seruku sambil menggedor kamar Rendy. 
Pintu kamar itu sedikit dibuka dan wajah Rendy muncul dari sela-sela 
pintu kamar itu.
"Ya, ada apa kak?!" tanyanya padaku. Namun matanya segera melirik 
tubuhku yang hanya berbalutkan sebuah handuk dan ia tersenyum 
cengengesan melihat keadaanku.
"Wah, waah.. Kakak sudah tidak sabaran ya?" tanyanya sambil tertawa kecil.
"Huuh! Dasar usiil!! Ayo, kembalikan baju kakak!!" gerutuku.
"Lhooo.. memangnya baju kakak kuambil? Apa ada buktinya?"
"Kalau bukan kamu siapa lagii? Sudah, ayo cepat kembalikan baju kakak!"
"Kak, kalau menuduh orang tanpa bukti itu tidak baik lho! Hukumannya, 
aku tidak mau memberitahu dimana kusembunyikan baju kakak, Hehehe.." 
Rendy tersenyum mengejekku dan menutup dan mengunci pintu kamarnya 
dihadapanku.
"Aah! Hei, Rendy! Tunggu duluu.." protesku, tapi Rendy sudah keburu menutup pintu kamarnya sambil mengejekku dibalik pintu.
Aku pun terpaksa menggigil kedinginan, suhu di rumah itu dingin sekali 
karena dipasangi AC, ditambah lagi aku baru saja mandi dan sekarang 
tubuhku hanya ditutupi oleh selembar handuk saja. Selama beberapa menit 
aku terus menggedor pintu kamar Rendy dan berusaha membujuknya, namun ia
 sama sekali tidak menggubrisku.
"HATSYII..!!!" Karena tidak biasa, aku pun bersin akibat pilek karena suhu dingin itu.
"Kak! Kakak pilek, ya?" tiba-tiba terdengar suara Rendy dari balik pintu.
"I.. iya.. Rendy, tolong... kembalikan pakaian kakak.. disini dingin sekali.. kakak tidak tahan.."
"Oke deh, tapi kakak harus mau memakai pakaian yang kuberikan ya!"
"Iya.. iya.. cepat doong... Kakak kedinginan disini.." pintaku pada Rendy
Rendy kembali keluar dari kamarnya. Ia melihat sekujur tubuhku yang 
menggigil kedinginan. Anehnya, raut wajahnya tampak berubah, ia tidak 
lagi tampak senang ataupun puas mengerjaiku. Kini ia tampak agak 
gelisah.
"Haa.. HATSYII!!!" kembali aku bersin dihadapannya. Kulihat raut wajahnya semakin cemas saja melihat keadaanku.
"Ayo Kak, ikut denganku!" pinta Rendy padaku yang segera kuturuti saja.
Rendy menuntunku ke ruang disebelah kamarnya. Pintu ruang itu dikunci, 
namun Rendy segera membuka pintu itu dengan sebuah kunci di tangannya. 
Begitu aku masuk, aku takjub melihat puluhan helai gaun pengantin putih 
dalam berbagai ukuran dan model yang tergantung rapi di kamar itu. 
Berbagai aksesoris pengantin wanita juga tertata rapi bersama gaun-gaun 
itu. Rupanya kamar itu adalah kamar desain bu Diana sekaligus tempatnya 
menyimpan hasil rancangannya yang belum dikirim ke studio.
"Kak, aku minta kakak memakai baju itu." ujar Rendy seraya menunjuk ke 
arah sehelai gaun pengantin putih yang dipasang di sebuah mannequin.
"Apaa?! Kenapa kakak harus memakai baju seperti itu? Memangnya kakak mau
 menikah, apa?!" jawabku setengah tak percaya, setengah kebingungan.
"Ya, sudah! Kalau kakak tidak mau, kakak boleh memakai handuk itu saja kok!" balas Rendy.
"Iyaa! Dasar!! Kamu mintanya yang aneh-aneh saja!!" ujarku agak kesal. 
Terpaksa kuturuti permintaan Rendy, daripada pilekku semakin parah.
"Oh iya Kak!"
"Apa lagii?"
"Pakaiannya yang lengkap ya, Kak! Soalnya baju itu sudah 1 set dengan aksesorisnya!" pinta Rendy.
"Jangan lupa juga untuk merias diri dengan kosmetik Mami ya Kak! Sudah kusiapkan lhoo.." imbuhnya.
 Aku menghela nafas sejenak sambil berpikir menimbang-nimbang permintaan 
Rendy. Sebenarnya aku tidak begitu rugi apabila aku menginap di rumah bu
 Diana. Aku bisa menghemat uang kosku selama setengah bulan kalau aku 
menginap di rumah bu Diana. Lagipula aku akan lebih bisa mengawasi Rendy
 untuk belajar menghadapi ujian semesternya yang kian mendekat, dengan 
begitu, aku bisa mendapat kesempatan untuk mengamankan pekerjaanku. 
Sebenarnya yang perlu kulakukan hanyalah memastikan kalau Rendy tidak 
"mengerjaiku" lebih parah dari kemarin.
"Baiklah, kakak setuju. Tapi kamu juga harus berjanji, kamu harus 
belajar yang rajin selama kakak tinggal di rumahmu." Anggukku sambil 
memberinya penawaran.
"Berees, kak! Asal kakak mau menurutiku selama itu, aku pasti belajar!" jawabnya dengan bersemangat.
"Iya, iya.." balasku dengan perasaan agak lega.
Kami lalu segera beranjak ke kamar Rendy dan aku pun mulai mengajarinya.
 Tapi hari ini ada yang berbeda dari Rendy. Ia tampak lebih serius dan 
bersemangat dalam menyimak penjelasanku. Kurasa dia sudah cukup senang 
saat mendengar aku akan menginap di rumahnya 2 hari lagi. Tak lama 
kemudian, kudengar suara bu Diana di lantai bawah.
"Nah, Mami sudah pulang! Kakak tunggu sebentar ya! Aku mau bicara dulu dengan Mami!"
Rendy segera beranjak dari kursinya dan keluar dari kamarnya tanpa 
menghiraukanku. Sayup-sayup kudengar suara percakapan Rendy dengan bu 
Diana, namun aku tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang mereka 
katakan. Sambil menunggu Rendy, aku mempersiapkan soal-soal latihan yang
 akan kuberikan untuknya nanti. Sekitar 5 menit kemudian, Rendy kembali 
ke kamarnya bersama bu Diana.
"Halo, Erina. Rendy meminta saya untuk mengizinkanmu tinggal di rumah ini selama saya tidak di rumah."
"Eh? I.. iya, bu Diana! Rendy memberitahu saya kalau ia ingin mendapat 
les tambahan dari saya selama bu Diana tidak dirumah.. Katanya.. untuk 
persiapan ujian semester.." ujarku dengan agak gugup.
"Wah, kebetulan sekali kalau begitu! Soalnya tante Rendy juga akan ikut 
ke Jerman. Makanya tadi saya sempat mengajak Rendy untuk ikut. Tapi 
karena ada ulangannya yang penting, Saya jadi ragu-ragu."
"Jadi?" tanyaku
"Kalau kamu mau, Saya memperbolehkan kamu tinggal disini selama saya 
tidak dirumah. Tapi saya juga meminta kamu untuk mengurus Rendy selama 
itu. Sebagai gantinya, saya akan berikan tambahan bonus untukmu di akhir
 bulan ini. Bagaimana?" Jawab bu Diana memberikan tawaran.
"Baik, bu Diana. Saya setuju!" anggukku sambil tersenyum. Sekarang aku 
mendapat tambahan keuntungan dengan menerima tawaran Rendy. Dengan bonus
 yang disediakan bu Diana dan penghematan uang kosku selama setengah 
bulan, aku bisa menambah uang tabunganku sekaligus membiayai sebagian 
keperluanku bulan depan.
"Baguslah! Kalau begitu, Erina, tolong kamu siapkan barang-barangmu yang
 akan kamu bawa untuk tinggal disini. Lusa nanti saya akan menjemputmu 
sebelum kamu mengajar Rendy." Ujar bu Diana.
"Iya, bu Diana!" aku mengiyakan permintaan bu Diana.
Setelah menyelesaikan tugasku hari itu, aku segera bergegas pulang untuk
 mulai mengemas barang-barangku. Untunglah aku tidak memiliki banyak 
barang selain pakaian dan perlengkapan-perlengkapan kecil milikku. Aku 
juga memberitahu pemilik rumah kosku bahwa aku akan pindah selama 
setengah bulan. Syukurlah mereka mau mengerti dan bersedia menyimpankan 
kamar bagiku apabila aku kembali.
2 hari kemudian, bu Diana dan Rendy pun datang menjemputku sebelum aku 
mengajar Rendy. Aku lalu diantar ke rumah mereka. Aku diizinkan untuk 
tidur di kamar tamu di lantai bawah. Malam harinya, aku diberitahu bu 
Diana tugas-tugasku di rumah itu selama bu Diana di luar negeri. Aku 
diminta untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga seperti 
memasak, mencuci dan membersihkan rumah. Aku sudah terbiasa memasak dan 
mencuci sendiri sejak kecil, maka tugas ini tidak lagi sesulit yang 
kubayangkan. Lagipula untuk keperluan sehari-hari, bu Diana sudah 
menyuruh anak buahnya untuk mengantar bahan makanan dan supir studio 
untuk mengantar-jemput kami. Apabila ada hal lainnya yang diperlukan, 
aku hanya perlu menelepon studio untuk meminta bantuan mereka. Esok 
harinya, bu Diana sudah berangkat saat aku pulang dari kuliah. Sehingga 
hanya ada aku dan Rendy sendiri di rumah. Aku segera menuju kamar mandi 
untuk membersihkan tubuhku. Seusai mandi, aku benar-benar terkejut saat 
melihat semua pakaian milikku menghilang. Hanya ada satu pelaku yang 
dapat melakukan hal ini! Aku lalu menutupi tubuhku dengan selembar 
handuk yang untungnya, tidak sempat diambil oleh "pencuri" itu. Aku 
segera naik ke lantai atas untuk mengambil kembali pakaian milikku.
"Rendy! Reendyy!! Buka pintunya!" Seruku sambil menggedor kamar Rendy. 
Pintu kamar itu sedikit dibuka dan wajah Rendy muncul dari sela-sela 
pintu kamar itu.
"Ya, ada apa kak?!" tanyanya padaku. Namun matanya segera melirik 
tubuhku yang hanya berbalutkan sebuah handuk dan ia tersenyum 
cengengesan melihat keadaanku.
"Wah, waah.. Kakak sudah tidak sabaran ya?" tanyanya sambil tertawa kecil.
"Huuh! Dasar usiil!! Ayo, kembalikan baju kakak!!" gerutuku.
"Lhooo.. memangnya baju kakak kuambil? Apa ada buktinya?"
"Kalau bukan kamu siapa lagii? Sudah, ayo cepat kembalikan baju kakak!"
"Kak, kalau menuduh orang tanpa bukti itu tidak baik lho! Hukumannya, 
aku tidak mau memberitahu dimana kusembunyikan baju kakak, Hehehe.." 
Rendy tersenyum mengejekku dan menutup dan mengunci pintu kamarnya 
dihadapanku.
"Aah! Hei, Rendy! Tunggu duluu.." protesku, tapi Rendy sudah keburu menutup pintu kamarnya sambil mengejekku dibalik pintu.
Aku pun terpaksa menggigil kedinginan, suhu di rumah itu dingin sekali 
karena dipasangi AC, ditambah lagi aku baru saja mandi dan sekarang 
tubuhku hanya ditutupi oleh selembar handuk saja. Selama beberapa menit 
aku terus menggedor pintu kamar Rendy dan berusaha membujuknya, namun ia
 sama sekali tidak menggubrisku.
"HATSYII..!!!" Karena tidak biasa, aku pun bersin akibat pilek karena suhu dingin itu.
"Kak! Kakak pilek, ya?" tiba-tiba terdengar suara Rendy dari balik pintu.
"I.. iya.. Rendy, tolong... kembalikan pakaian kakak.. disini dingin sekali.. kakak tidak tahan.."
"Oke deh, tapi kakak harus mau memakai pakaian yang kuberikan ya!"
"Iya.. iya.. cepat doong... Kakak kedinginan disini.." pintaku pada Rendy
Rendy kembali keluar dari kamarnya. Ia melihat sekujur tubuhku yang 
menggigil kedinginan. Anehnya, raut wajahnya tampak berubah, ia tidak 
lagi tampak senang ataupun puas mengerjaiku. Kini ia tampak agak 
gelisah.
"Haa.. HATSYII!!!" kembali aku bersin dihadapannya. Kulihat raut wajahnya semakin cemas saja melihat keadaanku.
"Ayo Kak, ikut denganku!" pinta Rendy padaku yang segera kuturuti saja.
Rendy menuntunku ke ruang disebelah kamarnya. Pintu ruang itu dikunci, 
namun Rendy segera membuka pintu itu dengan sebuah kunci di tangannya. 
Begitu aku masuk, aku takjub melihat puluhan helai gaun pengantin putih 
dalam berbagai ukuran dan model yang tergantung rapi di kamar itu. 
Berbagai aksesoris pengantin wanita juga tertata rapi bersama gaun-gaun 
itu. Rupanya kamar itu adalah kamar desain bu Diana sekaligus tempatnya 
menyimpan hasil rancangannya yang belum dikirim ke studio.
"Kak, aku minta kakak memakai baju itu." ujar Rendy seraya menunjuk ke 
arah sehelai gaun pengantin putih yang dipasang di sebuah mannequin.
"Apaa?! Kenapa kakak harus memakai baju seperti itu? Memangnya kakak mau
 menikah, apa?!" jawabku setengah tak percaya, setengah kebingungan.
"Ya, sudah! Kalau kakak tidak mau, kakak boleh memakai handuk itu saja kok!" balas Rendy.
"Iyaa! Dasar!! Kamu mintanya yang aneh-aneh saja!!" ujarku agak kesal. 
Terpaksa kuturuti permintaan Rendy, daripada pilekku semakin parah.
"Oh iya Kak!"
"Apa lagii?"
"Pakaiannya yang lengkap ya, Kak! Soalnya baju itu sudah 1 set dengan aksesorisnya!" pinta Rendy.
"Jangan lupa juga untuk merias diri dengan kosmetik Mami ya Kak! Sudah kusiapkan lhoo.." imbuhnya.
 Aku menghela nafas dan menutup pintu kamar itu. Memang kulihat gaun itu 
dilengkapi dengan mahkota, sarung tangan, bahkan stocking dan sepatu 
yang semuanya berwarna putih susu. Luar biasa! Sejenak aku kagum dengan 
kepandaian bu Diana dalam merancang gaun itu, komposisi yang disusunnya 
benar-benar serasi. Aku lalu menuruti perintah Rendy untuk memakai semua
 pakaian itu dengan lengkap. Berat bagiku memang, karena aku belum 
pernah memakai gaun pengantin sebelumnya. Setelahnya, aku pun merias 
diriku dengan kosmetik milik bu Diana. Kulihat semua kosmetik itu buatan
 luar negeri. Aku sendiri agak canggung untuk memakai kosmetik-kosmetik 
itu, mengingat harganya yang selangit bagi mahasiswi sepertiku. Tapi 
setidaknya, aku mendapat sebuah kesempatan untuk mencoba 
kosmetik-kosmetik itu, maka aku berusaha untuk tidak menyia-nyiakan 
kesempatan ini. Setelah beberapa lama, aku akhirnya selesai 
mempengantinkan diriku. Kubuka pintu kamar itu dan seperti yang sudah 
kuduga, Rendy sedari tadi sudah menungguku di depan pintu. Ia tampak 
amat terpana melihatku yang berbusana pengantin itu. Busana pengantinku 
berupa sebuah gaun pengantin putih yang indah sekali. Atasan gaun 
memiliki sepasang puff bahu yang terikat dengan sepasang sarung tangan 
satin dengan panjang selengan di kedua tanganku yang kini menutupi 
jari-jariku yang lentik. Di bagian perut dan dada gaunku bertaburan 
kristal-kristal imitasi yang samar-samar membentuk sebuah pola hati. 
Bagian pinggang gaun itu memiliki hiasan kembang-kembang sutra yang 
melingkari bagian pinggang gaun itu seperti sebuah ikat pinggang yang 
seolah menghubungkan atasan gaunku dengan rok gaun polos yang dihiasi 
manik-manik membentuk hiasan bunga-bunga yang bertebaran disekeliling 
rok gaunku. Pinggulku dipasangi pita putih besar. Aku juga memakaikan 
rok petticoat di pinggangku agar rok gaunku tampak mengembang. Rendy 
sendiri tampak kagum melihat cantiknya wajahku yang sudah kurias 
sendiri; kelopak mataku kurias dengan eye-shadow berwarna pink dan 
alsiku yang kurapikan dengan eye-pencil. Sementara lipstick yang 
berwarna pink lembut kupilih untuk melapisi bibirku yang tampak serasi 
dengan riasan bedak make-upku.
Riasan mahkota bunga putih tampak serasi dengan rambut hitam-sebahuku 
yang kubiarkan tergerai bebas. Aku telah memasang stocking sutra 
berwarna putih yang lembut di kakiku yang dilengkapi dengan sepasang 
sepatu hak tinggi berwarna putih yang tampak serasi seperti gaun 
pengantinku. Tubuhku juga kuberi parfum melati milik bu Diana sehingga 
sekujur tubuhku memancarkan aroma melati yang amat wangi.
"Nah, bagaimana?" ujarku pada Rendy yang masih melongo melihat penampilanku.
"Hei! Kok malah bengong sih?!" seruku, yang segera menyadarkan Rendy dari lamunannya.
"E.. eh.. ccantik sekali Kak!" jawab Rendy tergagap-gagap, aku tertawa kecil melihat tingkahnya yang kebingungan.
"Kak, ini.. buat kakak.." Rendy mengulurkan setangkai mawar merah kepadaku. Mawar merah yang indah itu tampak segar berkilauan.
"Waah, terima kasih ya!!" otomatis aku mencium bunga itu untuk menghirup
 aromanya. Sejenak aroma yang menyengat memasuki hidungku aku pun 
langsung merasa pandanganku tiba-tiba kabur dan tubuhku terasa lemas.
Aku pun ambruk tidak sadarkan diri. Sayup-sayup kulihat senyuman Rendy, 
aku berusaha untuk tetap sadarkan diri, namun mataku terasa berat sekali
 dan akhirnya aku menutup kelopak mataku. Entah apa yang terjadi pada 
tubuhku, namun saat aku sadar, aku melihat diriku sudah terbaring 
mengangkang di sebuah ranjang canopy dalam keadaan berbusana pengantin 
lengkap. Kedua tanganku terikat di belakang punggungku sementara kakiku 
terikat erat di sisi kanan-kiri tiang ranjang itu sehingga posisi 
tubuhku mengangkang lebar. Aku merasa amat geli di daerah kewanitaanku, 
seperti ada sebuah daging lunak hangat yang menyapu-nyapu daerah 
kewanitaanku, terkadang daging itu menusuk-nusuk seolah hendak membuka 
bibir kewanitaanku melewati celah vaginaku. Aku juga merasa daerah 
disekitar vaginaku amat becek akibat gerakan daging itu.
"Aahh.. oohhh.." Aku pun mendesah pelan menikmati sensasi di 
kewanitaanku itu. Rasanya vaginaku seolah diceboki, namun gerakan daging
 itu yang seolah berputar-putar mempermainkan vaginaku menimbulkan 
sensasi nikmat disekujur tubuhku. Aku merasa tubuhku diairi listrik 
tegangan rendah saat daging itu membelah bibir kewanitaanku dan 
menyentuh lubang pipisku.
"Eh! Kakak sudah bangun rupanya!!" tiba-tiba kudengar suara Rendy 
dibalik gaunku. Aku berusaha mendongak dan kulihat wajah Rendy sedang 
berada tepat di depan selangkanganku yang terbuka lebar. Sadarlah aku 
kalau "daging" tadi tak lain adalah lidah Rendy yang sedang menjilati 
vaginaku. Aku berusaha berontak, namun untuk menutup kedua pahaku yang 
sedang terbuka lebar saja amat sulit. Tubuhku terasa amat lemas tanpa 
tenaga. Saat aku melihat sekitarku, aku baru sadar kalau aku kini berada
 di dalam kamar bu Diana. 
"Badan kakak masih belum bisa digerakkan, soalnya pengaruh obat tidur 
Mami masih tersisa." Jelas Rendy sambil berjalan ke sampingku.
Sekejap aku merasa amat panik dan berusaha mengerahkan seluruh tenagaku 
untuk kabur, tapi sia-sia saja. Tubuhku tidak mau bergerak sedikitpun. 
Astaga! Bagaimana aku bisa sebodoh itu mencium aroma bunga yang ditaburi
 obat bius?! Niatku untuk menjaga jarak dari Rendy kini sia-sia saja. 
Sekarang malah kesucianku terpampang jelas di hadapannya, aku dalam 
keadaan terjepit dan tidak bisa kabur lagi.
"Kakak tenang saja, dijamin enak kok! Hehehe.." tawa Rendy terkekeh-kekeh.
"Jangan, Rendy.. Jangan.. kakak mohon!!" pintaku berderai air mata saat 
melihat Rendy berbalik berjalan menuju arah selangkanganku.
Namun sia-sia saja, Rendy sama sekali tidak mau mendengar permohonanku. 
Aku pun semakin panik dan cemas. Air mataku kembali meleleh membasahi 
mataku, namun apa dayaku? Tubuhku kini amat sulit digerakkan karena 
ikatan itu ditambah rasa lemas disekujur tubuhku karena pengaruh obat 
bius yang tersisa. Kini aku hanya bisa pasrah membiarkan Rendy menyantap
 kewanitaanku. Jantungku berdegup semakin kencang dan wajahku merah 
merona saat Rendy semakin mendekati selangkanganku. Rendy lalu memegang 
kedua pahaku yang mulus. Ia mulai mengendusi paha kananku sementara paha
 kiriku dibelai-belai dengan tangannya.
"Essh.." aku mendesis sesaat setelah bibir Rendy mencium bibir 
kemaluanku. Hembusan nafas Rendy di pahaku membuat tubuhku sedikit 
mengigil kegelian. Saat bibir kemaluanku bertemu dengan bibir Rendy, 
Rendy mulai menjulurkan lidahnya. Seperti lidah ular yang menari-nari, 
bibir kemaluanku dijilati olehnya. Kembali bibir kewanitaanku dibelah 
oleh lidah Rendy, yang kembali menarikan lidahnya menceboki liang 
vaginaku perlahan-lahan. Aku berusaha sekuat mungkin untuk menahan 
gejolak birahi yang kini mulai melanda diriku, namun tetap saja suara 
desahan-desahanku yang tertahan sesekali terdengar keluar dari bibirku 
karena rasa nikmat yang menjuluri tubuhku apalagi belaian lembut Rendy 
di pahaku semakin terasa geli akibat stocking sutra yang kupakai.
"Haaa?! Aakh..!!" Sontak aku menjerit terkejut saat merasakan sensasi 
rasa geli dan nikmat yang tiba-tiba melanda tubuhku. Rupanya Rendy 
menjilati klitorisku. Sesekali ia menyentil klitorisku dengan lembut 
sehingga sekujur tubuhku seperti dialiri listrik dan bulu kudukku 
berdiri. Rendy menyadari bahwa aku mulai dikuasai oleh gejolak birahiku.
 Ia terus melancarkan serangannya ke klitorisku. Berulang kali 
permohonanku yang disertai dengan desahan kusampaikan ke Rendy, namun ia
 malah tampak kian bersemangat mengerjaiku. Kesadaranku pun semakin 
menghilang tergantikan dengan rasa nikmat dan hasrat seksual yang 
semakin merasuki tubuhku.
"Bagaimana kak? Enak tidak?" tanya Rendy padaku.
"Rendyy.. stoop.. auhhh.. jangaan.."
"Ah masaa? Bukannya kakak mendesah keenakan tuh? Yakin nih, nggak mau 
lagi?" ejeknya sambil menjauhkan wajahnya dari kemaluanku. Namun secara 
refleks, aku malah mengangkat pinggangku kehadapan wajah Rendy, seolah 
menawarkannya untuk kembali mencicipi liang vaginaku.
"Tuh, kan?! Malu-malu mau, nih cewek!" kembali Rendy menghinaku. 
Dipeganginya kedua bongkahan pantatku dengan telapak tangannya dan 
dtegadahkannya tangannya, sehingga kini pinggangku ikut terangkat tepat 
dihadapan wajah Rendy. 
"Aww.. aww.. aaahh.." kembali aku merintih saat Rendy mengecup dan 
mengisap-isap daging klitorisku. Sesekali aku merasa sentuhan giginya 
pada klitorisku dan hisapannya membuatku kini hanya berusaha untuk 
mengejar kenikmatan seksualku semata.
SLURP.. SLURP.. Sesekali terdengar suara Rendy yang menyeruput cairan 
cintaku yang sudah banyak keluar dari vaginaku, seolah hendak melepas 
dahaganya dengan cairan cintaku.
"AAHH.. AAHHH.. AAA.." Desahanku semakin keras. Aku merasa ada sebuah 
tekanan luar biasa di vaginaku yang sebentar lagi hendak meledak dari 
dalam tubuhku. Otot-otot tubuhku secara otomatis mulai menegang 
sendirinya.
"HYAA.. AAAKH!!!" jeritku bersamaan dengan meledaknya tekanan dalam 
tubuhku. Tanpa bisa kutahan, pinggangku menggelepar liar, bahkan Rendy 
terlontar mundur akibat dorongan tubuhku. Aku bisa merasakan vaginaku 
memuncratkan cairan cintaku dalam jumlah yang banyak. Seluruh simpul 
sarafku terasa tegang dan kaku saat sensasi geli dan nikmat yang luar 
biasa itu menjalari tubuhku, dan akhirnya muncul perasaan lega yang 
nyaman setelahnya. Aku pun terkapar kelelahan, nafasku tersengal-sengal.
 Tenaga di tubuhku seolah lenyap seketika. Aku sadar, baru saja aku 
mengalami orgasme yang luar biasa!
 "Wah, waah.. Rupanya galak juga nih, kalau orgasme!" ejek Rendy yang kini terduduk di hadapan selagkanganku.
Ia mendekati vaginaku dan kembali ia menyeruput cairan cintaku yang 
masih tersaji di vaginaku setelah ledakan orgasmeku barusan. Aku pun 
hanya mendesah kecil tanpa memberontak. Kepalaku serasa kosong dan aku 
membiarkan Rendy menikmati cairan cintaku sesuka hatinya. Setelah puas 
meminum cairan cintaku, Rendy berdiri di hadapanku dan melepas 
pakaiannya sehingga ia telanjang bulat dihadapanku. Bisa kulihat 
penisnya yang panjangnya sekitar 14 cm sudah menegang keras melihat 
keadaanku yang mengangkang lebar, memamerkan kewanitaanku di depannya. 
Rendy berjalan melewati tubuhku hingga akhirnya ia tiba didepan 
kepalaku. Rendy lalu berlutut di hadapan wajahku sambil mengocok 
penisnya.
"Kak, tadi rasa memek kakak enak sekali loh! Nah sekarang giliran kakak 
ya, ngerasain punya Rendy?" seloroh Rendy. Aku yang menyadari kalau 
Rendy akan mengoral penisnya dengan mulutku, mulai menjerit meminta 
pertolongan.
"TOL.. uumph!!" jeritanku terhenti karena Rendy langsung menyumpalkan 
penisnya didalam mulutku. Walaupun ukuran penisnya tidak begitu besar, 
namun batang penisnya sudah cukup memenuhi rongga mulutku yang mungil.
"Hhmmphh.. hmph.." suaraku teredam oleh penis Rendy.
Aku berusaha memuntahkan penis itu, namun Rendy memajukan pantatnya 
sehingga penisnya tetap masuk didalam mulutku hingga menyentuh 
kerongkonganku. Rendy menjambak poni rambutku dan mulai menggerakkan 
kepalaku maju mundur. Rasa sakit di ubun-ubunku karena poni rambutku 
dijambak sudah cukup untuk membuatku tidak berontak lebih jauh, aku 
mengikuti gerakan tangan Rendy yang sedang memaksaku mengulum dan 
mempermainkan penisnya dalam mulutku.
"Aahh.. Enaak.." desah Rendy saat penisnya keluar masuk dari mulutku.
"Hmmp.. mpp.. phh.." aku berusaha mengambil nafas untuk menyesuaikan 
gerakan penis Rendy dalam mulutku. Kocokan mulutku masih belum berhenti,
 namun aku merasa agak mual karena rasa dalam mulutku saat ini. 
Sementara leherku juga pegal karena dipaksa naik-turun oleh Rendy.
Beberapa saat kemudian, Rendy berhenti manjambak poniku, aku pun segera 
merebahkan kepalaku yang pegal-pegal keatas bantal yang lembut untuk 
melepas penat. Namun rupanya penderitaanku belum juga berakhir. Rendy 
belum mau melepaskan kenikmatannya dioral olehku. Belum sempat penisnya 
keluar dari mulutku, sekarang ia malah menekan selangkangannya ke 
wajahku dan menggoyang-goyangkan pantatnya sehingga penisnya kembali 
masuk kedalam rongga mulutku. Aku bisa merasakan buah zakarnya yang 
tergantung menampar-nampar daguku berulang kali bersamaan dengan gerakan
 pantatnya yang maju mundur dihadapan wajahku yang kini tertekan oleh 
bantal, aku pun berulang kali tersedak karena penis Rendy dalam mulutku 
bergerak dengan amat cepat.
 "Oke, kak! Sekarang giliran kakak yang main! Ayo kulum dan mainin pakai 
lidah kakak!" perintah Rendy sambil menghentikan gerakannya. Aku sendiri
 sudah mati kutu, kepalaku terjepit diantara selangkangan Rendy dan 
bantalku, sehingga aku tidak bisa bergerak bebas.
"Ayo, Kak! Atau mau kugerakkan sendiri dimulut kakak seperti barusan?" 
ancamnya padaku. Aku pun tidak punya pilihan lain selain menuruti 
perintah Rendy, setidaknya aku akan lebih leluasa bernafas apabila aku 
yang bergerak sendiri. Aku pun menggerakkan lidahku membelai-belai 
batang penisnya yang masuk hingga rongga mulutku. Sesekali lidahku juga 
bersentuhan dengan kepala penisnya. Sebenarnya aku agak jijik juga 
karena tercium bau agak pesing dari ujung penis Rendy, namun apa dayaku?
 Lebih baik kuturuti perintah anak ini supaya siksaanku cepat selesai. 
Aku pun berusaha untuk tidak begitu mempedulikan bau itu. Penis Rendy 
kuanggap saja seperti permen yang luar biasa tidak enak. Aku pun terus 
mengemut penis Rendy itu.
"Ayo, kak! Terus! Jago juga nih, nyepongnya! Enak bangeet!"
"Mmphh.." erangku.
"Isapin juga kak! Seperti ngisap permen!" kembali Rendy memberi perintah padaku, yang langsung saja kuturuti.
Kuhisap penisnya dengan pelan dan lembut dengan harapan anak ini bisa 
segera menghentikan aksinya dan aku bisa terbebas dari siksaan ini. 
Herannya, selama beberapa menit kuoral, Rendy masih saja tidak puas. Aku
 pun mulai kelelahan mempermainkan penisnya dalam mulutku, walaupun aku 
mulai terbiasa dengan situasiku sekarang.
Entah setan apa yang merasukiku, namun saat aku mengingat bahwa aku 
sedang mengoral penis anak kecil yang tak lain adalah muridku, aku 
merasa hasrat seksualku kembali meninggi dalam tubuhku. Aku ingin sekali
 mencapai orgasme sekali lagi dan aku ingin mencoba sesuatu yang lebih 
hebat lagi bersama Rendy. Pikiran itupun membuatku memainkan penis Rendy
 sebaik mungkin dalam mulutku agar Rendy mencapai kepuasannya.
"Ookh.." Aku mendengar suara erangan panjang keluar dari mulut Rendy dan
 saat itulah, aku merasa mulutku disembur oleh cairan kental berbau 
amis. Aku menyadari bahwa Rendy baru saja berejakulasi dalam mulutku, 
dan kini mulutku dipenuhi spermanya. Rendy kembali menekankan 
selangkangannya ke wajahku.
"Telan kak! Jangan sampai bersisa!"
Aku pun menuruti perintah Rendy, kutelan semua sperma dalam mulutku, 
sekaligus kuhisap-hisap penis Rendy agar spermanya tidak bersisa. Rendy 
hanya mengerang keenakan saat penisnya kubersihkan dengan mulutku.
"Woow.. enaak.. lebih enak dari onanii..." seloroh Rendy. Namun aku 
tidak peduli, aku terus menghisap-hisap penisnya itu hingga aku yakin 
tidak ada lagi sperma yang tersisa. Setelah selesai, Rendy mengeluarkan 
penisnya dari dalam mulutku.
"Waah.. Kakak jago banget lho! Enak sekali kak!"
"Rendy, kamu jahaat.." protesku.
"Lho kenapa? Bukannya kakak sekarang sudah jadi pengantinku?" balasnya.
"You may kiss your briide!!" sorak Rendy tiba-tiba.
Tanpa basa-basi, Rendy segera mencium bibirku. Bibirku diemut-emut 
dengan lembut dan sesekali bibirku juga dijilati oleh lidahnya. Aku 
hanya membiarkannya mempermainkan bibirku sesuka hatinya. Pelan-pelan 
lidah Rendy membelah bibirku dan lidahnya menyusup kedalam rongga 
mulutku. Aku pun merespon dengan menghisap lidah Rendy dengan lembut. 
Sesekali juga kujulurkan lidahku, sehingga giliran Rendy yang menghisap 
air ludahku yang menyelimuti lidahku. Gairah seksualku sekarang 
benar-benar menguasai tubuhku, semakin kuingat bahwa Rendy yang saat ini
 sedang bercinta denganku, semakin aku tenggelam dalam hasratku. Selama 
beberapa menit kami terlibat dalam French kiss itu, sebelum akhirnya 
Rendy menghentikan ciumannya di bibirku. Aku pun tampak kecewa saat 
Rendy menjauhkan wajahnya.
"Kenapa kak? Enak kan rasanya? Masih mau lagi?" tanyanya.
Pertanyaan Rendy itu seketika memancing gairah seksualku yang meningkat.
 Aku merasa ini adalah sebuah kesempatan bagiku, namun sebelum aku 
sempat menjawab, tiba-tiba Rendy mengambil sehelai celana dalam putih 
berenda yang tadi kupakai dan menjejalkannya ke mulutku hingga celana 
dalamku memenuhi seluruh rongga mulutku. Belum puas, Rendy juga melakban
 mulutku sehingga celana dalamku itu tersumpal sempurna di dalam 
mulutku.
"Mmfff..." Protesku pada Rendy. Namun suaraku terhalang oleh celana dalam yang menyumbat mulutku.
"Jangan dijawab dulu, Kak. Nanti ya, Rendy mau istirahat dulu!"
"Oh, Kakak juga boleh istirahat kok! Nah, daripada bosan, bagaimana 
kalau kakak nonton saja dulu?" lanjut Rendy. Aku bisa mendengar suara 
televisi yang dinyalakan dan suara pemutar DVD yang dibuka oleh Rendy. 
Setelah selesai, Rendy lalu mendatangiku yang masih terbaring 
mengangkang di ranjang.
"Jangan berontak ya, Kak! Kalau macam-macam, video kakak kusebarkan!" 
ancamnya. Rendy lalu melepaskan ikatan kakiku di kedua tiang ranjang 
itu. Aku disandarkan ke kepala ranjang dan Rendy menyandarkan sebuah 
bantal di punggungku dan juga sebuah bantal kecil di pantatku untuk 
kududuki agar aku merasa nyaman. Tali yang tadi dipakai untuk mengikat 
kakiku kini digunakan untuk mengikat sikut tanganku yang masih terikat 
di punggungku pada kedua tiang bagian atas ranjang canopy itu agar aku 
tidak kabur.
"Oke deh! Rasanya sudah cukup!! Nah, kakak santai saja ya? Nikmati saja filmnya!" Rendy lalu memutar DVD itu.
 "Mmff!!" Aku berteriak terkejut saat melihat adegan percintaan seorang 
wanita berambut pirang di layar televisi itu, rupanya Rendy menyetelkan 
DVD porno untuk kutonton..
"Kakak pelajari gayanya dulu, ya! Supaya nanti siap main dengan Rendy! 
OK?!" Rendy tersenyum dan beranjak pergi, meninggalkanku sendiri terikat
 di ranjang sambil berusaha menahan gejolak birahiku yang semakin 
mendera karena suguhan adegan panas dihadapanku. 
Aku pun terpaksa menonton film porno itu sekitar 2 jam. Yah, aku memang 
pernah melihat sekilas film porno di handphone teman-teman SMUku, namun 
mungkin karena ini pengalaman pertamaku melihat film porno selama itu, 
muncul keinginanku agar vaginaku dimasuki oleh penis seperti wanita bule
 yang ada di film porno itu. Pikiranku bergejolak, aku sadar bahwa aku 
akan kehilangan keperawananku apabila vaginaku dimasuki penis Rendy, 
namun di sisi lain, aku penasaran akan rasa nikmat yang tampaknya 
melanda wanita di film itu saat vaginanya dimasuki oleh penis. Aku juga 
ingin merasakan kenikmatan itu. Apakah aku juga akan merasa senikmat itu
 apabila vaginaku dimasuki oleh penis? Aku masih bisa mengingat dengan 
jelas rasa nikmat saat vaginaku dijilati dan dipermainkan oleh Rendy 
sebelumnya. Tentunya aku akan merasa lebih nikmat lagi apabila vaginaku 
dipermainkan oleh penis Rendy. Lagipula, setidaknya aku tidak perlu 
khawatir akan hamil sebab masa suburku baru saja terlewati minggu lalu. 
Akhirnya rasa penasaran dan gairah seksualku mengalahkan perasaanku. 
Sudah kuputuskan, aku akan melayani Rendy sepenuh hatiku. Aku sudah 
tidak peduli lagi akan statusku sebagai gurunya ataupun perbedaan usia 
kami, yang kini kuinginkan hanyalah mengejar kenikmatan seksualku 
semata. Bahkan status dan perbedaan usia kami malah menjadi sumber 
gejolak gairah seksualku. Detik dan menit berlalu, namun bagiku yang 
kini dikuasai gairah seksualku, serasa menunggu selama berhari-hari. 
Cairan cintaku sudah semakin banyak keluar dari vaginaku sehingga aku 
bisa merasakan bantal yang kududuki semakin basah. Akhirnya, pintu kamar
 itu terbuka juga dan masuklah Rendy kedalam kamar itu.
"Bagaimana kak? Sudah puas nontonnya?"
"Sudah tahu kan bagaimana gaya-gayanya?" lanjutnya. Aku hanya mengangguk pelan dengan wajah memelas. 
"Bagus, bagus!! Kakak emang pintar!" ujarnya sambil membelai kepalaku dengan pelan, seolah memuji anak kecil.
"Hff.." jawabku.
"Nah, kalau begitu kakak mau tidak kalau aku setubuhi seperti di film?" 
muncullah pertanyaan yang sedari tadi kutunggu. Tanpa pikir panjang, aku
 langsung mengangguk sambil melihat wajah Rendy. Namun Rendy malah 
pura-pura tidak melihat sambil mematikan DVD playernya.
"Apaa? Rendy nggak bisa dengar nih!"
"Mmff!!" Aku berusaha untuk meminta Rendy melepaskan sumbatan mulutku 
agar aku bisa berbicara, namun Rendy malah melepas ikatan di kedua 
sikutku sehingga aku terbebas dari ranjang canopy itu. namun tanganku 
masih terikat kencang di punggungku. Aku lalu dituntun turun dari 
ranjang. Rendy tidak lagi mengawasiku dengan ketat. Ia tahu bahwa aku 
sekarang sudah tidak ingin kabur lagi.
"Waah, udah gede masih ngompol yah, Kak?" ejek Rendy saat melihat bekas cairan cintaku di bantal yang tadi kududuki.
Aku hanya menggeleng pelan, namun kurasa Rendy juga tahu bahwa itu 
adalah cairan cintaku yang meluber karena aku terangsang sedari tadi. 
Rendy lalu menarikku kehadapan sebuah papan tulis putih di kamar itu 
yang ditempeli berbagai rancangan bu Diana. Rendy melepas semua 
rancangan itu agar papan tulis itu bersih. Rendy juga memposisikan 
tubuhku agar terjepit diantara sebuah meja dihadapanku dan papan tulis 
itu dibelakangku. Aku terkejut saat Rendy dengan sigap menundukkan 
tubuhku di meja itu sehingga posisiku kini menungging kearah papan tulis
 itu. Rendy juga menaikkan rok gaun dan petticoatku bagian belakang dan 
mengaitkannya di pita putih gaunku yang ada di pinggangku, sehingga kini
 pantatku terpampang jelas menungging didepan papan tulis itu.
"Nah, gimana kalau kakak tulis saja apa yang kakak mau? Soalnya kakak 
nggak bisa ngomong sekarang" ujarnya dari belakang. Aku pun semakin 
heran, bagaimana caraku menulis dengan tangan terikat dan posisi tubuh 
menungging seperti ini? Aku hendak berdiri, namun punggungku ditekan ke 
meja itu oleh Rendy.
"Tahan sebentar ya, Kak" ujar Rendy sambil membuka celah pantatku. Rendy
 lalu menuangkan lotion ke jari telunjuknya dan mengusapkan lotion itu 
ke lubang pantatku. Sesaat aku merasakan jari Rendy yang menempel 
dilubang pantatku bergerak pelan mengoleskan lotion itu dan aku bisa 
merasakan rasa dingin dan licin akibat lotion itu di pantatku.
Setelah lubang pantatku selesai dilumuri lotion, aku merasa ada sesuatu 
di lubang pantatku, aku tahu benda itu bukanlah jari Rendy karena benda 
itu terasa lebih besar dan keras dari jari Rendy.
 "HMMFF!!" jeritku saat tiba-tiba aku merasakan rasa sakit yang luar 
biasa di lubang pantatku. Suatu benda yang panjang dan keras menekan 
memasuki lubang pantatku. Aku menoleh ke belakang dan melihat Rendy 
memaksakan untuk memasukkan benda itu ke dalam anusku. Benda itu 
diputarnya perlahan masuk ke dalam pantatku seperti sekrup. Air mataku 
meleleh saat merasakan rasa perih yang amat sangat saat Rendy 
memperawani anusku dengan benda itu. Lubang pantatku serasa 
tersayat-sayat dan rasa perihnya tak terkira.
"Wuiih.. lubang pantatnya seret banget! Padahal sudah dikasih lotion! 
Pasti masih perawan, nih!" komentar Rendy yang terus memutar benda itu 
masuk kedalam anusku. Aku hanya bisa menggeleng-geleng keras memohon 
agar Rendy menghentikan aksinya itu. Namun Rendy terus memaksakan benda 
itu untuk masuk kedalam pantatku.
"Oke! Selesai deh!" seru Rendy. Aku menoleh kebelakang, aku amat panik 
saat menyadari sebuah spidol berukuran besar kini tertanam didalam 
pantatku. Spidol itu tampak mengacung tegak kearah papan tulis karena 
posisi tubuhku yang menungging.
"Oops, tenang saja, Kak! Spidolnya sudah kumasukkan dengan baik, kok! 
Kakak tahan saja spidolnya dengan otot pantat kakak supaya tidak jatuh!"
 ujar Rendy. Kata-kata Rendy sama sekali tidak menenangkanku apalagi 
saat merasakan spidol besar yang sedang tertanam dalam pantatku.
"Nah, ayo tulis apa yang kakak mau!"
"MMFF!!" aku menggeleng memprotes Rendy. Ide anak ini benar-benar gila! 
Aku yakin dia pasti mempelajari cara ini lewat film-film pornonya untuk 
mempermalukanku.
"Ayoo, kalau tidak, kakak nanti kubiarkan seperti ini, lho! Spidolnya 
tidak akan kucabut kalau kakak tidak mau menurut!" ancamnya.
"Mmm.." aku memelas mendengar ancaman Rendy. Aku tahu kalau sedari awal 
aku tidak memiliki posisi menawar melawan Rendy dengan kondisi seperti 
ini.
"Nah! Ayo, tulis di papan tulis kak! Seperti waktu kita belajar! 
Sekarang, aku mau kakak mengajariku menulis!" ujar Rendy sambil beranjak
 duduk dihadapanku, seolah sedang mendengarkan pelajaran di kelas.
Aku berusaha tetap tenang dan mulai menggerakkan pantatku di papan tulis itu.
"Mmf!" aku menjerit kecil dan mataku membelalak saat ujung spidol di pantatku menyentuh permukaan papan tulis.
Pantatku terasa geli dan sedikit perih akibat tekanan spidol itu. Rendy 
tampak senang melihat ekspresi wajahku yang dipenuhi rasa panik, malu 
dan bingung akan keadaanku sekarang. Perlahan-lahan aku berusaha untuk 
menulis dengan pantatku di papan tulis itu. Kaki dan pahaku ikut 
bergerak menaik-turunkan tubuhku yang menungging. Aku selalu merintih 
setiap kali satu goresan kutulis di papan tulis itu karena sensasi yang 
ditimbulkan spidol itu dalam pantatku, yang entah bagaimana semakin 
membangkitkan gairah seksualku.
"Hati-hati lho, kak. Kalau terlalu ditekan, spidolnya bisa tergelincir 
masuk kedalam pantat kakak. Nanti tidak bisa keluar lagi lhoo.." sorak 
Rendy.
Dasar badung! Pikirku. Memangnya salah siapa kalau nanti spidol ini 
malah terselip masuk kedalam pantatku?! Malah sekarang aku yang harus 
berusaha keras menangkal resiko yang diciptakan oleh anak ini untuk 
tubuhku! Aku pun mulai kehilangan ketenanganku akibat sorakan Rendy itu.
 Apalagi sesekali aku merasa spidol itu semakin masuk kedalam pantatku 
saat aku menulis. Namun aku tetap berusaha keras dan hasilnya, 5 huruf 
yang acak-acakan tertulis di papan tulis itu. Aku menghela nafas lega 
saat aku melihat hasil tulisanku itu. Sulit untuk dibaca memang, bahkan 
aku yakin tulisan anak SD pasti jauh lebih mudah dibaca dari tulisanku; 
namun aku yakin telah menulis huruf P-E-N-I-S di papan tulis itu.
 "Waah, tulisan kakak jelek sekali! Padahal katanya sudah kuliah!" 
kembali Rendy mempermalukan diriku. Ia lalu berjalan kehadapanku, 
melepas lakban mulutku dan menarik keluar celana dalamku yang sedari 
tadi telah menjejali mulutku.
"Ahh.. ohk.. ohkk.." Aku terbatuk-batuk dan menghela nafas lega. Kulihat
 Rendy sedang mengendusi celana dalamku yang basah karena ludahku dan 
sesekali ia menghisap-hisap ludahku yang membasahi celana dalamku itu.
"Hmmm.. ludahnya kakak memang enaak.. Nah sekarang coba kakak baca apa yang kakak tulis!"
"Pe.. penis.." ujarku pelan dengan perasaan yang amat malu.
"Apaa? Apa yang kakak mau?" tanyanya dengan nada mengejek, seolah tidak mendengar ucapanku barusan.
"Penis!!" jawabku tidak sabaran.
"Penis siapa, hayooo?"
"Penisnya Rendy!!" aku mengumpulkan seluruh keberanianku untuk meneriakkan kata itu dan akhirnya terucap juga.
"Iya deh! Nah, tahan sebentar ya, Kak!" Rendy lalu berjalan kebelakang 
tubuhku yang masih menungging. Aku bisa merasakan ia memegang spidol 
yang tertanam dalam pantatku. Perlahan-lahan ditariknya spidol itu 
keluar dari pantatku.
"Aww.. auuch.." rintihku pelan saat merasakan gesekan batang spidol itu 
di permukaan lubang pantatku yang rasanya sedikit sakit, namun agak geli
 juga. Apalagi saat aku mengejan, pantatku terasa semakin nikmat dengan 
tekanan itu.
PLOOP! Terdengarlah suara lepasnya spidol itu dari pantatku.
"AAHH!!" Sontak aku berteriak merasakan kelegaan yang kembali ke lubang 
pantatku setelah sekian lama disumbat. Namun, sebelum aku sempat berdiri
 dan merasakan kelegaan, Rendy segera menarik dan menghempaskan tubuhku 
ke ranjang canopy itu sehingga aku kembali terbaring diatas ranjang.
"Aduh!" Aku segera berusaha bangkit, namun Rendy segera menerkam dan menimpa tubuhku.
"Jangan bergerak Kak!" perintahnya. Entah bagaimana, aku segera menuruti
 perintah Rendy dan mulai merelakan tubuhku dipermainkan olehnya.
"Sekarang kakak kupanggil pakai nama saja ya? Erina.." pintanya manja.
"I, iya.. terserah kamu.." jawabku dengan wajah memerah saat menatap wajah Rendy yang ada tepat diatas wajahku.
"Ah!" aku menjerit kecil saat Rendy mencengkeram dan meremas-remas 
dadaku. Tangan kanannya menekan payudaraku dengan perlahan dan 
mencubitnya dengan lembut, sementara tangan kirinya menyibakkan 
rambutku. Rendy lalu mendekatkan wajahnya dan mencium pipiku.
"Erina, kamu wangi deh!" pujinya seraya melayangkan kecupan ke bibirku yang segera kubalas.
Rendy lalu duduk bersimpuh di atas ranjang itu dan memangku kepalaku 
diatas pahanya. Rendy kembali menjamah payudaraku, namun kali ini ia 
mengulurkan tangannya menyusupi bagian dada gaunku. Jari-jarinya 
menjalar pelan diatas payudaraku sambil mencari puting payudaraku. Aku 
merasa agak sesak karena aku masih memakai BH, namun itu tidak 
menghalangi jari-jari nakal Rendy untuk mempermainkan dadaku.
"Aw!" aku merasakan puting payudaraku disentuh oleh jari Rendy. Rendy 
segera memencet putingku sehingga aku merasa seperti tersetrum oleh 
listrik di sekujur dadaku.
"Ahh.." desahku pelan saat Rendy kembali meremas payudaraku.
Payudaraku digerakkan berputar pelan oleh jari Rendy sambil sesekali 
memencet putingku. Aku semakin terhanyut saat Rendy menyentil-nyentil 
puting payudaraku dengan kukunya yang agak panjang ataupun saat memencet
 puting susuku dengan kuku jempol dan jari telunjuknya. Saraf-saraf 
tubuhku kini semakin sensitif karena aku semakin terangsang dengan 
pijatan di payudaraku. Kakiku mulai menggeliat-geliat pelan dan aku bisa
 merasakan cairan cintaku kembali meluber dari vaginaku. Rendy yang 
melihat pergerakan-pergerakan terangsang tubuhku, mengentikan aksinya. 
Kini ia kembali bergerak kearah selangkanganku. Ia lalu duduk dihadapan 
tubuhku yang masih terbaring
"Nah, Erina. Ayo buka pahamu. Yang lebar ya!" aku merentangkan kakiku 
selebar mungkin dihadapan Rendy. Ia tersenyum melihat aku yang tidak 
menolak perintahnya lagi. Rendy lalu mengamati selangkanganku. Bagaimana
 kewanitaanku yang masih basah oleh cairan cintaku dan lubang pantatku 
yang terbuka sedikit setelah diperawani spidol, terhidang di hadapannya.
 Rendy mencolek vaginaku dan mencicipi cairan cintaku yang ada di 
jarinya. Rendy kembali membenamkan jarinya dengan pelan di celah 
vaginaku, jarinya bergerak lembut seolah mencari sesuatu.
"Aww.." desahku pelan saat jari telunjuk Rendy menyentuh klitorisku. 
Rendy yang akhirnya menemukan apa yang dicarinya dalam liang vaginaku 
tampak kegirangan. Jarinya segera menyentil-nyentil klitorisku. 
Akibatnya, bisa ditebak, aku kembali melayang kelangit ketujuh. Aku 
merintih-rintih keenakan dihadapan muridku yang kini sedang memainkan 
gairah seksualku.
"Aahh.. ohh.. aww.." desahanku semakin keras dan akhirnya tubuhku 
kembali serasa akan meledak. Punggungku melengkung bagai busur dan 
kakiku kembali menegang, siap untuk menyambut orgasmeku untuk yang kedua
 kalinya. Namun, Rendy yang tahu bahwa aku akan orgasme segera mencabut 
jarinya keluar dari liang vaginaku; otomatis, kenikmatan yang sebentar 
lagi akan kucapai lenyap seketika.
"Rendyy.. jahaat.. ayo lagiii.." pintaku memohon pada Rendy.
"Apanya yang lagi, Erina?" tanyanya seolah tidak mengerti.
"Ayoo.. mainin vagina Erinaa.. Erina sukaa.." jawabku seperti seorang pelacur rendahan.
"Suka apa?"
"Erina suka kalau vagina Erina dimainin Rendy.. ayo doong.. Erina mau 
orgasme lagii.. enaak.." kembali aku mempermalukan diriku sendiri. Aku 
sudah tidak bisa berpikir lagi karena tubuhku sudah sepenuhnya dikuasai 
dorongan seksualku yang sudah di ambang batas.
"Panggil aku "Sayang"! Kan kamu sudah jadi pengantinku!" perintah Rendy
"Iyaa.. Rendy sayaang.. ayoo.." entah bagaimana aku terjebak dalam 
permainan psikologis Rendy. Aku sekarang bertingkah seolah-olah dia 
adalah suamiku yang sah. Aku agak terkesan karena walaupun masih begitu 
muda, Rendy sudah tahu bagaimana menjalankan trik psikologis untuk 
mempengaruhiku agar menuruti permintaannya, mungkin ini juga pengaruh 
dari video pornonya. Namun kuakui, permainan psikologis ini semakin 
membangkitkan gairahku dan aku amat menikmatinya! Sekarang hubungan kami
 bukan lagi seperti seorang murid dan guru, namun lebih seperti sepasang
 pengantin baru.
"Nah, Erina. Boleh tidak kalau Rendy memasukkan adik kecil ke memek Erina?"
"Boleh sayang.. Erina kan pengantinnya Rendy.." selorohku. Aku sekarang 
sudah rela memberikan keperawananku untuk Rendy. Lagipula mulut dan 
pantatku kini sudah tidak perawan lagi, jadi tidak ada salahnya kalau 
aku sekalian merelakan kesucianku kepada Rendy. Aku pun menarik rok 
gaunku hingga ke perutku sehingga kewanitaanku terpampang jelas sekali 
dihadapan Rendy.
"Ayo sayang. Erina mau orgasme lagi.." aku memohon pada Rendy. Rendy 
segera merespon dengan duduk dihadapan selangkanganku dan mengatur 
posisi tubuh kami sehingga penisnya sekarang berada di bibir 
kewanitaanku. Aku bisa merasakan penisnya yang kembali membesar seperti 
saat aku mengoralnya barusan menyentuh celah vaginaku. Aku menghela 
nafas, menyiapkan diriku untuk menerima kenyataan bahwa keperawananku 
akan direnggut sesaat lagi. Aku berusaha mengatur nafasku yang memburu 
untuk mengusir rasa takut dan cemas akibat degup jantungku yang amat 
kencang.
"Bagaimana, Erina? Sudah siap?" aku mengangguk pelan menjawab pertanyaan Rendy akan kesiapanku.
"Rendy.. yang pelan ya? Jangan kasar.." pintaku kembali.
Aku tidak ingin Rendy memperawaniku seperti sebuah pemerkosaan, yang 
kuinginkan hanya agar aku bisa diperlakukan lebih lembut. Maklumlah, ini
 juga merupakan pengalaman pertamaku yang pasti akan berkesan seumur 
hidupku. Untunglah, Rendy tampaknya mengerti akan perasaanku. Ia 
mengangguk dan sorot matanya seolah menenangkanku. Rendy mulai mendorong
 pinggangnya ke depan. Sesaat penisnya berhasil membelah bibir vaginaku,
 namun mungkin karena vaginaku licin akibat cairan cintaku, penis Rendy 
malah meleset keluar dari celah vaginaku. Mengakibatkan timbulnya suara 
tertahan dari mulutku. Rendy kembali berusaha, namun tampaknya agak 
susah baginya untuk memasukkan penisnya kedalam vaginaku karena diameter
 penisnya juga cukup lebar (walaupun masih kalah dengan penis yang 
kulihat di film porno barusan), apalagi aku juga masih perawan sehingga 
liang vaginaku masih sempit. Setelah beberapa kali berusaha, Rendy 
tampak kesal karena belum berhasil memperawaniku. Akhirnya ia meraih 
batang penisnya dan mengarahkannya tepat dihadapan celah bibir 
kewanitaanku. Tangannya masih kuat mencengkeram penisnya saat ia sekali 
lagi menggerakkan pantatnya ke depan dan..
"AAGH!!!" aku membelalak dan menjerit keras saat merasakan rasa ngilu 
dan perih yang amat hebat melanda vaginaku. Akhirnya selaput daraku 
robek dan keperawananku sekarang lenyap sudah terenggut oleh Rendy. Aku 
bisa merasakan penis Rendy yang kini terjepit di vaginaku dan ujung 
penisnya didalam lubang pipisku. Rendy kembali memajukan pinggulnya 
dengan pelan, mengakibatkan rasa sakit itu semakin mendera vaginaku. 
Bahkan rasanya jauh lebih sakit daripada saat pantatku diperawani oleh 
spidol barusan.
"Rendy, Rendy!! Sakit! Sebentar!! Aduuh!!" aku kembali meminta dengan 
panik pada Rendy. Air mataku meleleh akibat rasa perih itu. 
"Sebentar, Erina. Tenang ya, sebentar lagi.." jawab Rendy sambil mendorong pinggangnya dengan pelan.
Penisnya semakin dalam memasuki vaginaku diiringi dengan jeritan piluku 
yang tersiksa oleh rasa sakit itu. Kepalaku terbanting kekiri-kanan 
menahan rasa sakit, seolah menolak penetrasi Rendy kedalam lubang 
vaginaku.
"Ohh.." Rendy melenguh dan menghentikan dorongannya. Aku bisa merasakan 
sepasang buah zakarnya bergelantungan di bongkahan pantatku dan paha 
kami yang sekarang saling bersentuhan.
"Hhh.." aku mengambil nafas sejenak merasakan rasa sesak di vaginaku 
akibat besarnya penis Rendy didalam lubang pipisku. Aku akhirnya sadar 
kalau sekarang ini seluruh penis Rendy sudah terbenam sepenuhnya didalam
 kewanitaanku. Rambut-rambut kemaluannya yang baru tumbuh juga 
menggelitik selangkanganku. Untuk beberapa saat, kami terdiam dalam 
posisi itu. Rendy memberiku waktu untuk menyesuaikan diri dengan 
keadaanku.
"Erina.." panggil Rendy pelan.
"Ya?"
"Hangat sekali rasanya didalam. Kamu lembut sekali, Erina.." pujinya. 
Aku tidak bisa merespon jelas karena rasa perih yang menyiksa ini, namun
 bisa kulihat kalau Rendy tampak mencemaskan keadaanku.
"Sakit ya?" tanyanya penuh perhatian
"I, iya, sakit sekali.." jawabku pelan.
"Sekarang kita sudah bersatu lho, Erina. Aku dan kamu sekarang jadi 
satu.." Aku mengangguk membenarkan pernyataan Rendy. Memang, sekarang 
tubuh kami sudah bersatu karena kemaluan kami masing-masing telah 
menyatukan tubuh kami.
"Rendy.. sakiit.." protesku pada Rendy. Rendy terdiam, ia hanya mengusap air mataku.
"Sabar ya, Erina? Sebentar lagi pasti enak kok!"
Rendy lalu menarik penisnya sedikit vaginaku dan dengan pelan 
dilesakkannya kembali kedalam liang vaginaku. Rasa pedih kembali 
menyengat vaginaku, namun Rendy selalu berusaha menenangkanku. Aku 
merasa tampaknya Rendy juga tahu bagaimana sakitnya saat seorang gadis 
diperawani untuk pertama kalinya karena ia selalu berusaha memompa 
penisnya selembut mungkin untuk mengurangi rasa sakitku.
 Lama kelamaan, muncul rasa nikmat dari vaginaku akibat gerakan penis 
Rendy. Walaupun masih bercampur dengan rasa perih, aku bisa merasakan 
bahwa sensasi baru ini berbeda dari saat vaginaku dioral dan 
dipermainkan oleh jari Rendy. Sensasi ini lebih menyentuh sekujur 
syarafku. Rendy kembali membelai pahaku sambil menjilatinya pelan 
sehingga gairah seksualku kembali bangkit perlahan. Rasa perih itu 
semakin hilang dan digantikan dengan sensasi baru di tubuhku. Rasa geli,
 sakit dan sesak yang melanda vaginaku memberikan sensasi tersendiri 
yang mengasyikkan. Rendy yang melihat bahwa aku sudah terbiasa akan 
pergerakannya mulai leluasa mengatur gerakannya. Sekarang penisnya 
ditarik keluar hingga hanya tersisa pangkal penisnya saja dalam vaginaku
 otomatis bibir vaginaku ikut tertarik keluar. Tiba-tiba, Rendy 
mendorong pantatnya mendadak dengan cepat sehingga penisnya kembali 
menghunjam liang vaginaku dengan keras.
"Hyahh.." jeritku kaget, namun sekarang rasanya tidak lagi perih seperti
 tadi. Rendy mulai menggerakkan penisnya dengan tempo yang lebih cepat, 
membuatku akhirnya melenguh-lenguh nikmat merasakan sensasi di vaginaku.
"Oohh..ahhh...aahh..aakhh.." aku mendesah-desah keenakan saat penis Rendy menghunjam vaginaku.
Sesekali Rendy berhenti menggerakkan pinggangnya saat penisnya tertanam 
penuh dalam vaginaku dan mulai menggoyang-goyangkan pantatnya sehingga 
penisnya seolah mengaduk-aduk isi liang vaginaku, membuatku semakin 
melayang diatas awan kenikmatan seksual. Semakin lama, kurasakan tempo 
goyangan penis Rendy semakin cepat keluar-masuk vaginaku dan menggesek 
klitorisku saat memasuki vaginaku. Tubuhku juga berguncang mengikuti 
irama pompaan penis Rendy seiring dengan desahan-desahan erotis dari 
bibirku. Malah, saat Rendy menghentikan gerakan penisnya, secara 
otomatis aku menurunkan pinggulku menjemput penisnya, seolah tidak rela 
melepaskan penisnya itu. Rendy terlihat puas melihatku yang sekarang 
sudah berhasil ditaklukkan olehnya. Tidak terasa sudah sekitar 10 menit 
sejak penis Rendy memasuki vaginaku pertama kalinya. Rendy masih dengan 
giat terus menggerakkan penisnya menjelajahi vaginaku. Sementara aku 
sendiri sudah kewalahan menerima serangan kenikmatan di vaginaku, 
orgasmeku sudah siap meledak kapan saja.
"OH! AAKHHH..!!!" akhirnya aku menjerit keras dan tubuhku 
terbanting-banting saat aku merasakan gelombang kenikmatan yang melanda 
seluruh simpul syarafku, mengiringi ledakan orgasmeku untuk kedua 
kalinya. Tanpa bisa kukontrol, kakiku menendang bahu Rendy sehingga 
Rendy terpelanting ke ranjang. PLOP! Otomatis terdengar suara pelepasan 
penisnya yang tercabut keluar dari vaginaku seiring dengan rebahnya 
tubuh Rendy di ranjang. Cairan cintaku yang hangat kembali terasa meluap
 dari celah kewanitaanku. Rendy bergerak menjauh sedikit membiarkan 
tubuhku bergerak liar meresapi kenikmatan orgasme yang saat ini 
kurasakan. Setelah merasakan ledakan orgasme itu, tubuhku kembali 
melemas, serasa tenagaku lenyap seluruhnya. Nafasku terasa berat dan 
degup jantungku juga masih saja kencang. Rendy membiarkanku beristirahat
 sesaat untuk mengembalikan staminaku.
"Waah, nggak nyangka nih! Padahal tampangnya alim, tapi rupanya Erina memang galak kalau orgasme!" Rendy menggodaku .
"Gimana? Enak nggak rasanya?" tanyanya padaku. Aku mengangguk pelan sambil tersenyum kecil.
"Mau lagi?" kembali Rendy bertanya menantangku.
"Mau.." jawabku mengiyakan.
"Nah, sekarang ikut aku kak!" Rendy menarik tanganku turun dari ranjang 
dan melepas ikatan kedua tanganku. Aku lalu digandengnya kehadapan meja 
rias bu Diana. Meja rias itu dilengkapi sebuah cermin besar sehingga aku
 bisa melihat penampilanku dengan jelas dihadapan cermin itu.
"Erina, sekarang coba kamu menungging!" aku pun membungkukkan badanku 
dan menumpukan tubuhku pada kedua lenganku yang menekan meja rias bu 
Diana, sehingga aku dalam posisi menungging dihadapan cermin meja rias 
itu.
"Lebarkan pahamu dan coba lebih menunduk!" kembali Rendy memberi 
perintah yang segera kuturuti, pahaku kulebarkan dan aku semakin 
menunggingkan tubuhku. Rendy lalu menyingkapkan rok gaunku dan menaikkan
 petticoatku dari belakang dan menjepitnya dengan pita gaunku, sehingga 
kembali pantat dan vaginaku terpampang jelas dihadapannya. Rendy lalu 
berdiri dibelakangku, aku bisa melihat tubuhnya yang berdiri dibelakang 
pantatku lewat cermin itu. Tampaknya Rendy memang ingin agar aku bisa 
melihat keadaan sekitarku lewat cermin itu.
"Auuch.." aku merintih pelan saat penis Rendy kembali menghunjam 
vaginaku dari belakang. Sekarang Rendy memegang pinggulku dan 
menggerakkannya maju mundur sehingga vaginaku dihentak-hentakkan oleh 
penisnya.
"Aw.. aakhh.. aawww.." rintihku saat gesekan antara kemaluan kami 
kembali menimbulkan sensasi kenikmatan yang melanda tubuhku. Suara 
beturan tubuh kami juga menggema didalam kamar itu mengikuti 
desahan-desahan yang keluar dari bibirku.
"Erina, coba kamu lihat cermin." Perintah Rendy sambil terus memompaku. 
Aku menatap cermin dan aku bisa melihat ekspresi wajah cantikku yang 
tampak dilanda kenikmatan di tubuhku. Aku bisa melihat mataku yang sayu 
dan bibirku yang megap-megap berusaha mencari nafas dan melontarkan 
desahan-desahanku.
"Apa yang kamu lihat di cermin itu?" tanyanya
"Erina.. aakh.. Erina jadi.. pengantin.. Rendy.. auuhh.." jawabku terbata-bata.
"Oh ya? Apa yang sedang dilakukan Erina, pengantin Rendy itu?"
"Oohh.. Erina.. Erina sedang disetubuhi.. aww.. Rendy.. ahh.."
"Bagaimana menurutmu, penampilanmu sekarang?"
"Erina.. Erina jadi.. aww.. cantik sekali.. Erina.. suka.. gaun Erina.. juga.. ahh.. indah.."
"Erina senang tidak jadi pengantin?" ujar Rendy.
Aku hanya menganggukkan kepalaku merespon pertanyaan Rendy karena 
mulutku sekarang sedang sibuk mendesah penuh kenikmatan. Memang dengan 
penampilanku sebagai pengantin saat ini, aku tampak cantik sekali. Saat 
aku melihat wajah cantikku itu tampak dikuasai oleh gairah seksualku, 
entah kenapa aku semakin terangsang. Apalagi saat aku melihat diriku 
yang sedang disetubuhi dari belakang oleh Rendy, dalam balutan busana 
pengantinku yang indah, gairah seksualku semakin meningkat drastis.
"Oouch.. ahhh..aww.." aku berusaha menggapai orgasmeku, namun Rendy 
malah berusaha bertahan agar aku tidak mencapai orgasmeku dengan cepat. 
Sesekali gerakannya dipercepat, namun saat merasakan aku akan mencapai 
orgasmeku, ia segera menghentikan serangan penisnya di vaginaku. 
Akibatnya siksaan orgasmeku semakin mendera tubuhku. 
"Rendyy.. kamu jahaat.. auuch.. kakak mau orgasmee..hyaah.." aku memprotes perlakuan Rendy padaku.
"Iyaa.. soalnya Erina kan sudah orgasme dua kali! Rendy juga mau! " 
balasnya. Memang benar, dari tadi Rendy terus memberi pelayanan yang 
membuatku mencapai orgasme dua kali, namun dia sendiri hanya sekali 
berejakulasi dalam mulutku.
Tiba-tiba, Rendy menghentikan gerakannya, sehingga aku mendesah tertahan
 sejenak. Aku cemas karena tampaknya Rendy tidak berminat lagi 
meneruskan pompaannya.
"Sekarang, giliran Erina yang gerak, ya?" pinta Rendy yang segera 
kurespon dengan senang hati. Goyangan maju-mundur pantatku pun menjemput
 dan mempermainkan penisnya dalam vaginaku. Aku merasa lega karena 
setidaknya vaginaku masih bisa merasakan kenikmatan dari persetubuhanku 
dengan Rendy.
"Erina, ayo lihat cerminnya lebih dekat!" kembali aku menuruti perintah 
Rendy. Wajahku kudekatkan pada cermin itu sehingga cermin itu mengembun 
akibat hembusan nafasku. Aku bisa melihat pantatku yang kini bergerak 
maju-mundur dan ekspresi nikmat di wajah Rendy.
 "Erina suka lihat cerminnya?"
"Iyaa.. wajah Erina cantiik.. eeghh.. dan nakaal.."
"Jadi, Erina cewek yang nakal yaa?" tanyanya sedikit menggodaku sambil menghentakkan penisnya secara tiba-tiba di vaginaku.
"Aww.. iyaa.. Erina memang nakaal.." celotehku tanpa pikir panjang.
"Bagaimana, rasanya enak tidak dientot, Erina?"
"Mmm.. aah..enaak.. nikmaaat.. Erina sukaa.."
"Kalau begitu, boleh kan kalau Rendy mengentoti Erina lagi?" selorohnya.
"Boleeh.. Erina.. auuh.. boleh dientot Rendy.. kapaan saja.. Erina kan..
 sudah jadi.. pengantin Rendy.. oh.." jawabku yang sekarang sudah 
sepenuhnya takluk oleh Rendy.
"Kalau begitu, Erina tidak boleh selingkuh dengan orang lain ya?"
"Iyaa.. ooh.. Rendy sayaang.. Erina cuma mau dientot Rendy sajaa.. nggak
 mau sama cowok laiin.." secara otomatis aku menyatakan kesetiaanku pada
 Rendy.
Rendy terus mempermainkan mentalku sambil mempermalukanku. Anehnya, 
dipermalukan sedemikian rupa, malah semakin merangsangku dan aku semakin
 mempercepat gerakan pantatku walaupun sendi-sendi paha dan pinggangku 
terasa ngilu akibat kelelahan. Akhirnya Rendy mencengkeram pinggulku dan
 menghentikan pergerakanku.
"Rendyy.. kenapaa?" tanyaku penuh kekecewaan.
"Sekarang giliranku ya, Erina?" aku hanya mengangguk pelan mengiyakan 
permintaan Rendy. Ada untungnya juga bagiku karena tubuhku sudah amat 
lelah dan aku juga merasa aku tidak bisa melanjutkan gerakanku lebih 
lama lagi.
Rendy kembali menggerakkan pinggulku maju-mundur dengan cepat sehingga 
aku semakin kewalahan. Dengan nakalnya, Rendy melesakkan jari 
telunjuknya kedalam lubang pantatku. Tidak seperti tadi, anusku yang 
sekarang sudah amat becek akibat lelehan cairan cintaku yang sekarang 
juga meluber ke anusku. Lubang pantatku dengan mudahnya menelan jari 
telunjuk Rendy sehingga kembali rasa perih yang sedikit nikmat melanda 
anusku. Jari telunjuk itu lalu digerakkan seirama dengan gerakan 
penisnya di vaginaku sehingga aku semakin tenggelam dalam kenikmatanku. 
Desahan-desahanku semakin keras karena sensasi di selangkanganku saat 
ini dimana penis Rendy masih terbenam dalam vaginaku, sementara jari 
telunjuknya berputar-putar menjelajahi isi pantatku apalagi saat jarinya
 mempermainkan saraf di sekitar lubang pantatku. Saat aku mengejan, 
Rendy malah semakin memasukkan jarinya lebih dalam kedalam pantatku 
sehingga sensasi rasa geli dan sakit di anusku kian menjadi. Aku semakin
 kewalahan dengan rasa nikmat yang datang menguasai tubuhku apalagi aku 
bisa merasakan otot-otot tubuhku yang menegang lebih keras dari 
sebelumnya, aku mengepalkan tanganku dengan keras menahan desakan dari 
dalam tubuhku. Namun sekuat-kuatnya aku berusaha menahan diri, akhirnya 
pertahananku runtuh juga.
"Ahhk.. aah.. AKHHH!!!" dengan diiringi teriakanku, orgasmeku kembali 
meledak. Aku merasakan vaginaku berdenyut keras seolah menyempit dan 
penis Rendy semakin terjepit erat di dinding kewanitaanku. Tubuhku 
langsung dialiri oleh ledakan rasa nikmat dan kelegaan yang luar biasa.
"OOKH.. Erinaa.." Merasakan sensasi jepitan vaginaku saat orgasme, Rendy
 akhirnya tidak bisa menahan dirinya. Sekali lagi dihentakkannya 
penisnya sekeras mungkin kedalam vaginaku dan saat itu pula aku 
merasakan cairan hangat menyembur dari penis Rendy memenuhi rahimku.
Rendy pun mencabut jarinya dari lubang pantatku sebelum menarik penisnya
 keluar dari vaginaku setelah spermanya telah tertuang sepenuhnya 
kedalam rahimku. Aku tidak tahan lagi melawan rasa lelah tubuhku. 
Setelah mencapai orgasmeku itu tubuhku serasa kehilangan seluruh 
tenagaku. Aku pun jatuh lunglai tanpa tenaga di lantai kamar bu Diana. 
Rendy menghampiriku yang masih tergeletak lelah dan mencium bibirku 
sekali lagi dengan lembut sambil melumat bibirku. Aku menggerakkan 
bibirku membalas kecupan Rendy dengan pelan sebelum rasa lelah 
mengalahkanku sehingga aku pun tertidur kelelahan. Aku terbangun saat 
kurasakan sentuhan lembut di pipiku. Saat aku membuka mataku, aku 
melihat Rendy sedang duduk disampingku yang kini terbaring di ranjang bu
 Diana. Aku masih berbusana pengantin lengkap seperti sebelumnya. 
Melihatku yang terbangun, Rendy segera membelai kepalaku dengan penuh 
kasih sayang. Aku merasa terkesan dengan perhatiannya, belaiannya terasa
 lembut melindungiku seolah menjawab perasaanku sebagai seorang wanita 
yang ingin dilindungi dan diperhatikan oleh seorang kekasih. Akhirnya 
kusadari kalau aku telah jatuh cinta pada Rendy.
Walaupun bisa disebut sebagai cinta terlarang antara guru dan murid, 
namun bagiku hal itu sekarang bukan lagi hambatan bagiku. Aku hanya 
ingin agar bisa bersama dengan Rendy selama mungkin. Lagipula, dialah 
yang telah membuatku menjadi pengantinnya dan merenggut keperawananku 
yang tadinya kujaga dengan baik demi calon suamiku dimasa depan. Jadi, 
wajar saja kalau dia berhak menerima cintaku.
"Erina, kamu akhirnya bangun juga.." panggil Rendy pelan.
"Ya, sayang.." jawabku manja sambil melihat wajahnya.
"Kamu suka tidak sama Rendy?" tanyanya dengan mimik cemas.
"Erina cinta Rendy kok! Erina mau jadi pengantin Rendy selamanya!" jawabku mantap.
"Benar?" tanyanya dengan ragu.
"Iyaa.. kan Erina sudah jadi pengantin Rendy? Niih lihaat!" jawabku 
nakal sambil memamerkan gaun pengantinku. Rendy tersenyum melihat 
tingkahku itu dan ia segera mencium bibirku. Sekali lagi kami berciuman 
diatas ranjang itu dan kali ini, tidak ada paksaan atas diriku untuk 
memadu kasih dengan Rendy. Perasaanku terhadap Rendy telah berubah 
seluruhnya menjadi perasaan cinta sepenuh hatiku. Sekarang aku adalah 
seorang pengantin wanita bagi seorang lelaki yang telah berhasil 
menaklukkan hatiku dengan kehebatannya bercinta denganku. Rendy juga 
tampak bahagia karena berhasil menjadikanku sebagai kekasih hidupnya. 
Ya, sekarang aku telah menjadi pengantin muridku, Rendy!
No comments:
Post a Comment