Theo terkejut ketika membaca dua kalimat singkat pada sepotong kertas yang terselip di antara hasil test murid-muridnya...
"Saya ingin punya cowok yang seperti Bapak, jantan! Apalagi kumis Bapak yang tebal itu, menggemaskan".
Setelah membacanya, ia menarik nafas panjang beberapa kali. Ia menduga 
bahwa potongan kertas itu terselip di kertas test muridnya yang nakal, 
Debby. Lalu ia memutuskan untuk merobek kertas itu menjadi beberapa 
potongan kecil. Ia tak ingin istrinya menemukan dan membaca kertas itu.
Tanpa disadarinya, pikiran Theo menerawang ke beberapa 'peristiwa 
menyenangkan' ketika ia mengajarkan matematika di kelas 2B. Kelas itu 
menjadi berbeda daripada kelas-kelas lainnya karena di kelas itu ada 
Debby yang cantik, berhidung bangir, berkulit kuning bersih, dan selalu 
duduk di kursi barisan paling depan. Kursi itu berjarak kira-kira 3 
meter dari meja guru dan persis berhadap-hadapan.
Debby menjadi murid yang 'istimewa' karena bila sedang latihan 
mengerjakan soal, lututnya selalu agak renggang. Dari mejanya, Theo 
dapat memandang celah di antara kedua lutut itu. Dan karena murid-murid 
lainnya sedang sibuk mengerjakan soal masing-masing dengan kepala 
tertunduk, maka Theo merasa bebas menatap pemandangan indah di depannya.
Pertama kali, Theo merasa bahwa hal itu hanya sebuah ketidaksengajaan. 
Murid yang istimewa itu mungkin terlalu asyik dan serius mengerjakan 
soal latihan sehingga tidak menyadari posisi duduknya yang menggairahkan
 birahi lelaki. Sesekali kedua lutut itu dirapatkan, tapi tak lama 
kemudian terbuka kembali.
Ia jadi terlena menatap keindahan paha dan kecantikan wajah gadis remaja
 yang duduk di depannya. Dan tak sengaja, ia melihat senyum kecil di 
sudut bibir gadis itu ketika memergoki arah tatapan matanya. Saat itu, 
ia langsung mengalihkan pandangan ke sekeliling ruang kelas. Tapi tak 
lama kemudian, seperti dihipnotis, pandangannya beralih kembali ke 
tempat semula. Ternyata kedua lutut itu terbuka semakin renggang hingga 
ia dapat melihat kemulusan paha bagian dalamnya.
Theo tak mampu mengalihkan matanya ketika muridnya itu kembali 
mengangkat wajahnya. Sesaat, tatapan mata mereka berbenturan. Lalu 
keduanya tersenyum. Tak lama kemudian, kedua lutut itu semakin 
direnggangkan hingga ia terpana menatap segaris celana dalam berwarna 
putih. Barulah disadarinya bahwa paha itu memang sengaja direnggangkan 
agar ia dapat memandang keindahan yang tersembunyi di balik rok seragam 
berwarna abu-abu itu.
Pada kesempatan lain, Theo hanyut ke dalam fantasinya sendiri. 
Seandainya mungkin, ia ingin menghampiri dan melihat keindahan itu lebih
 dekat lagi. Ia ingin mengusap kemulusan paha itu dan mengecup 
pori-porinya berulang kali. Ia ingin mencicipi kehalusan kulit paha itu 
dengan ujung lidahnya. Lalu ia akan mengecup dan sesekali menjilat, 
mulai dari lutut hingga ke pangkal paha. Ia juga ingin menyusupkan 
telapak tangannya ke bawah rok gadis remaja itu agar dapat meremas 
bongkah pinggul yang pasti masih kenyal.
Dan yang paling penting, ia ingin menyibak secarik kain tipis penutup 
pangkal paha gadis itu agar ia dapat menghirup aroma semerbak yang 
tersembunyi di situ. Aroma seorang gadis belia pasti sangat segar, 
katanya dalam hati. Aroma yang membius! Aroma yang membuat ia tak 
berdaya! Lalu ia akan menghirup aroma itu dalam-dalam. Setelah aroma itu
 memenuhi rongga dadanya, ia akan mencium dan menjilat-jilat kelembutan 
bibir vagina yang segar itu. 
Lidahnya akan menari-nari dengan liar agar kedua belah paha mulus itu 
'menggunting' lehernya sehingga lidahnya terperangkap dalam liang vagina
 yang basah. Setelah melipat lidahnya seperti bentuk sekop, akan 
dihisapnya semua lendir yang tersembunyi di bibir dalam dan dinding 
vagina itu. Akhirnya, ia akan meremas-remas bongkahan pinggul kenyal itu
 sambil membiarkan lidahnya merasakan denyutan-denyutan vagina seorang 
gadis remaja yang sedang mencapai puncak orgasmenya.
Kira-kira seminggu setelah menyuguhi pemandangan indah di pangkal 
pahanya, tiba-tiba Debby berjalan menghampiri Theo. Saat itu bel jam 
istirahat telah berbunyi. Gadis itu sengaja keluar paling akhir dari 
ruang kelas.
"Ini untuk Bapak!" katanya sambil meletakkan sepotong kertas di atas meja, lalu melangkah terburu-buru meninggalkan ruang kelas.
Theo membaca tulisan di kertas itu, 'Coba tebak, besok Debby pakai CD 
warna apa?'. Dan di bawah tulisan itu ada nomor HP. Setelah merenung 
sejenak, Theo memasukkan nomor 
HP itu ke dalam memory HP-nya. Sejenak ia ragu mengirimkan SMS untuk 
menjawab pertanyaan itu. Tapi ada bisikan di lubuk hatinya, 'Ini hanya 
sebuah game, tak salah untuk dicoba.' Dan kemudian ia menuliskan satu 
kata, 'Pink.'
Kira-kira semenit kemudian, HP Theo berbunyi. Ia membaca SMS yang masuk,
 'Salah.' Lalu dibalasnya, 'Biru muda.' Tak lama kemudian, masuk 
jawaban, 'Salah!'. Dibalasnya lagi dengan, 'Putih!'. Jawabannya, 'Masih 
salah!'. Setelah merenung sejenak, Theo membalas, 'Hitam.' Lalu ia 
menerima balasan, 'Ayo, itu CD siapa? Debby nggak punya CD warna 
hitam!'.
Theo tersipu. Lalu ia menulis SMS yang agak panjang, 'Nyerah deh. Yg 
pernah aku lihat hanya: putih, pink, dan biru muda. 2 hr y.l aku nggak 
bisa melihatnya krn pahamu kurang terbuka!' Dan ia pun menerima jawaban 
yang agak panjang, 'Jadi Bpk ingin bsk Debby pakai warna apa?' Merasa 
game yang mereka mainkan telah meningkat panas dan mesra, dengan berani 
Theo menulis, 'Jgn pakai!!' Dan setelah SMS itu dikirimkan, hingga 
menjelang tidur malam harinya ia tidak mendapat balasan. Mungkin ia 
marah dan tersinggung, pikir Theo.
Keesokan harinya, jantung Theo berdebar-debar ketika berada di ruang 
kelas. Setelah menjelaskan beberapa contoh soal, ia melangkah 
berkeliling di antara kursi murid-muridnya. Ia berbuat demikian agar tak
 sempat bertatap mata dengan gadis remaja yang nakal itu. Tapi ketika 
sedang melangkah di sebelah kiri kursi Debby, gadis itu sengaja 
menjatuhkan pensilnya ke lantai persis di depan kursinya.
Tanpa sadar, dengan refleks ia berhenti lalu menunduk memungut pensil 
itu. Dan ketika menengadah, tiba-tiba wajahnya merona merah. Walau hanya
 sesaat, dilihatnya gadis itu sengaja mengangkangkan kedua pahanya 
lebar-lebar, lalu dengan cepat dirapatkan kembali. Memang hanya dalam 
hitungan detik, tetapi ia sempat melihat pangkal paha itu dari jarak 
yang sangat dekat. Di pangkal paha itu ada setumpuk kecil bulu-bulu ikal
 berwarna hitam. 
Bukan hitam pekat, tetapi hitam kecokelat-cokelatan karena bercampur 
dengan bulu-bulu halus, lurus, dan masih pendek. Bulu-bulu yang baru 
tumbuh!
Setelah berdiri kembali dan berhasil menguasai dirinya, Theo menatap ke 
sekeliling ruang kelas. Tak terlihat ada tanda-tanda bahwa murid-murid 
lainnya mengetahui peristiwa itu. Lalu dengan suara tegas berwibawa, ia 
berkata..
"Kerjakan latihan soal nomor 1 dan 2."
Sore itu, ketika baru saja menutup pintu mobilnya, HP Theo berbunyi. Ia terpana ketika membaca nama yang muncul, Debby.
"Ya, ada apa Debby?"
"Bapak marah ya?! Kenapa setelah mengambil pensil Debby dari lantai 
Bapak tidak duduk kembali di kursi Bapak. Padahal hari ini Debby sengaja
 tidak pakai CD agar Bapak bisa memandanginya!"
Lidah Theo tiba-tiba terasa kelu. Gila, katanya dalam hati. Si Debby ini
 bicara to the point. Berkesan vulgar. Menantang. Gadis itu seolah tak 
peduli, atau memang tak mau peduli efek dari kalimat-kalimat nakal yang 
diucapkannya.
"Aku tidak marah! Aku sedang memikirkan apakah aku masih akan 
mendapatkan kesempatan memandang pangkal pahamu dari jarak sedekat itu."
 kata Theo setelah memutuskan untuk 
'masuk' ke game yang lebih dalam lagi.
Hanya orang bodoh yang menolakmu, katanya dalam hati. Bahkan kamu bisa 
membuat semua lelaki menjadi bodoh dan tak berani membantah keinginanmu.
 Lelaki mana yang berani menolak keinginan seorang gadis remaja yang 
cantik dan seksi seperti kamu? Lelaki mana yang akan membantahmu bila 
kau janjikan akan mendapatkan hadiah berupa sepasang paha ramping dan 
panjang yang akan membelit pinggangnya?
"Bapak suka?"
"Suka banget! Apalagi kalau boleh dicium!"
"Bapak mau mencium paha Debby?"
"Mau! Paha dan pangkalnya ya!"
"Ha?!"
"Apa vagina Debby belum pernah dicium?"
Sejenak tak ada jawaban. Theo pun sempat ragu-ragu untuk melanjutkan. 
Apakah mungkin si Debby yang vulgar dan nakal itu masih virgin? Belum 
pernah merasakan lidah lelaki menjilat-jilat bibir vaginanya, 
mengisap-isap klitorisnya? Apakah mungkin ia belum pernah 
menggosok-gosokkan dan menghentak-hentakkan celah vagina di bibir dan 
hidung seorang lelaki? Kalau belum, mengapa ia mengatakan suka pada 
kumisku?, tanya Theo dalam hati.
Rasa penasaran membangkitkan gairah kejantanannya. Bagian bawah pusarnya
 mulai tegang ketika membayangkan keindahan bulu-bulu di sekitar vagina 
itu. Bulu-bulu yang dapat ia tatap sepuas hatinya. Tidak hanya pandangan
 sekilas seperti ketika ia memungut pensil dari depan kursi gadis belia 
itu. Bulu-bulu halus yang masih pendek, yang membuat ia gemas ingin 
menarikinya dengan bibirnya. Menggelitiknya dengan kumisnya yang kasar. 
Gelitikan yang membuat pinggul itu mengelinjang. Lalu ia akan 
menjilatnya. Dan karena tak sabar, gadis itu akhirnya menarik kepalanya 
agar ia mencium dan menjilati bibir vagina yang mungil itu. Ini 
kesempatan emas yang mungkin terjadi hanya sekali seumur hidup, atau 
tidak akan pernah terjadi sama sekali! Take it or leave it, katanya 
dalam hati.
"Hallo Debby!"
"Kalau dicium di situ belum pernah. Kalau dahi dan pipi sering, dicium Papa."
"Terserah Debby deh. Aku akan menurut saja. Kalau hanya boleh memandang 
saja, aku suka. Kalu diijinkan mencium, aku pun suka. Dilarang, aku pun 
akan patuh."
"Kalau suka, Debby akan mengijinkan Bapak memandangnya lagi dari jarak dekat!"
"Kapan?"
"Mau sekarang?"
"Hah?!"
"Debby sekarang ada di Mall Arion. Bapak jemput Debby ya. Jangan parkir.
 Masuk ke halaman mall dan melewati pintu depan. Debby sekarang berdiri 
di situ, buruan ya!"
"OK!"
Theo tersenyum sambil melirik Debby yang duduk di sebelahnya. Secara 
material, walau hanya seorang guru matematika, ia tidak kekurangan. Ia 
berasal dari keluarga yang berkecukupan. Ia memiliki rumah dan mobil 
sedan yang baik pemberian orangtuanya. Ia mencintai matematika dan ingin
 mengajarkannya kepada orang lain. Cita-citanya hanya ingin membuat 
matematika menjadi sebuah ilmu yang mudah untuk dimengerti. Sikapnya 
yang sabar ketika mengajar membuat ia disukai murid-muridnya. Ia memang 
tidak ingin diarahkan orangtuanya menjadi seorang pengusaha seperti yang
 dialami adiknya.
"Kita ke mana?" tanya Theo memecah keheningan.
"Ke rumah Debby saja. Di rumah Debby hanya ada pembantu. Papa dan Mama sedang ke Singapore."
"Karena sekarang tidak sedang di kelas, sebaiknya panggil langsung nama, jangan pakai Pak."
"Benar? Nggak marah?"
"Benar! Walau perbedaan usia di antara kita mencolok, bukan berarti kita
 harus membuat sekat pemisah. Sekat seperti itu sangat membatasi ruang 
dan gerak. Secara formal, kadang-kadang sekat seperti itu memang 
diperlukan untuk menjaga jarak karena kita terikat pada norma dan etika.
 Kalau informal, sekat-sekat itu tak diperlukan karena akan membatasi 
seseorang dalam mengekspresikan dirinya. Setuju?" Debby tertawa kecil 
mendengar uraian Theo.
"Kayak menjelaskan rumus matematika saja!" komentarnya.
Ternyata gadis remaja itu tinggal di sebuah rumah besar dan mewah. Debby
 menggandeng tangan Theo menuju ruang keluarga yang terletak di bagian 
tengah, lalu menghilang di balik salah satu pintu setelah aku 
menghempaskan pantat di atas sebuah sofa besar dan empuk. Tak lama 
kemudian, seorang pembantu datang meletakkan segelas minuman ringan di 
hadapanku dan kemudian dengan terburu-buru menghilang kembali ke arah 
belakang.
Sambil menunggu, Theo melayangkan pandangan ke sekeliling ruangan. Semua
 furniture di ruangan itu tertata rapi dan bersih. Pada sebuah dinding, 
tergantung lukisan berukuran kira-kira 1 x 1 meter. Lukisan seorang anak
 perempuan kira-kira berumur 7 tahun yang berdiri diapit oleh ayah dan 
ibunya. Anak itu sedang tersenyum lugu. Rambutnya berponi. Lucu. Itu 
pasti Debby dan kedua orangtuanya, kata Theo dalam hati.
Kurang lebih 15 menit kemudian, Theo terhenyak. Gadis remaja itu berdiri
 di hadapannya dengan gaun tipis berwarna putih yang ujung bagian 
bawahnya tergantung kira-kira sejengkal di atas lutut. Gaun tanpa 
lengan. Hanya dua utas tali di bahu kiri dan kanan yang mengikat gaun 
itu agar tetap tergantung menutupi tubuh pemiliknya. Cantik. Seksi. 
Mempesona. Rambutnya lurus sebahu. Tingginya yang kira-kira 165 cm 
membuat ia tampak anggun. Tonjolan dadanya proporsional. Gaun tipis itu 
seolah menebarkan sejuta misteri yang memaksa mata lelaki menatap tak 
berkedip untuk mengungkap rahasia lekuk-lekuk tubuh yang tersembunyi di 
baliknya. Bagian bawah gaunnya yang lebar dan berenda seolah menjanjikan
 telaga birahi yang akan menyeret lelaki menyelam dalam sejuta fantasi.
"Debby, kau cantik sekali," kata Theo memuji. Pujian jujur yang keluar dari lubuk hatinya.
Debby tersenyum. Selama ini belum pernah ada lelaki yang memujinya 
seperti itu. Ia senang mendengar pujian itu. Ia pun sangat senang karena
 sebelumnya tak pernah melihat guru matematikanya itu terpesona 
menatapnya. Ia pun belum pernah melihat tajamnya sorot mata lelaki yang 
terpesona menatap. Dengan sikap feminin, ia duduk di sebelah kiri Theo.
"Debby, mengapa kamu memakai gaun seperti itu?"
"Karena Debby suka pada Bapak. Juga karena Bapak tampan dan jan.."
"Ehh, ehh! Tidak pakai sebutan Bapak!"
"Lupa..! Juga karena Theo tampan dan jantan, itu jawabannya!"
"Alasan lain?"
"Debby nggak punya saudara. Debby anak tunggal. Sering kesepian di rumah
 karena sering ditinggal Papa dan Mama. Nggak punya sahabat karena 
banyak teman-teman perempuan yang iri sama Debby. Nggak punya pacar 
karena cowok yang seusia Debby rata-rata egois. Obsesinya mereka selalu 
tentang sex. Padahal Debby belum tentu suka. Jelas Bapak guru?"
Theo tertawa karena kata 'bapak guru' itu diucapkan dengan cara yang 
lucu. Dan sebelum tawanya berakhir, tangannya meraih bahu gadis itu. 
Dirangkulnya dengan ketat. Tak ada perlawanan. Sisa sabun beraroma 
lavender yang memancar dari tubuh gadis itu terasa menyegarkan ketika 
aromanya menyengat hidung Theo. Dengan gemas, di kecupnya pipi gadis 
itu. Kiri dan kanan. "Seperti Papa," kata Debby sambil tertawa kecil.
Lalu ia bangkit dan berjalan ke arah pintu penghubung yang membatasi 
ruang keluarga dengan bagian belakang rumah. Setelah mendengar 'klik', 
ia melangkah kembali menghampiri 
Theo dan duduk rapat persis di sebelah lelaki itu.
Theo menggamit dagu gadis itu agar menoleh ke arahnya, kemudian dengan 
cepat bibirnya memagut bibir mungil gadis itu. Bibir yang terlihat basah
 walau tanpa lipstik. Sejenak tak ada reaksi. Diulangnya mengulum sambil
 menjulurkan lidahnya untuk mengait-ngait. Tapi lidah gadis itu masih 
tetap diam bersembunyi di rongga mulutnya. Sejenak, Theo melepaskan 
pagutan bibirnya. Ditatapnya wajah yang cantik itu sambil menggerakkan 
jari tangannya untuk menyibak beberapa helai rambut yang terjatuh di 
kening gadis itu. Dan ketika kembali mengulang ciumannya, ia merasakan 
ujung lidah yang menyusup di antara bibirnya.
Segera dipagutnya lidah itu. Dihisapnya dengan lembut agar menyusup 
lebih dalam ke rongga mulutnya. Kedua telapak tangannya turun ke bahu. 
Setelah mengusapkan jari-jarinya berulang kali, telapak tangannya 
meluncur ke punggung. Lalu dibelai-belainya punggung itu dengan 
ujung-ujung jarinya sambil mempermainkan lidah gadis itu dengan ujung 
lidahnya. Tak lama kemudian, ia merasakan dua buah lengan melingkari 
lehernya. Semakin lama lengan itu merangkul semakin ketat. Kemudian ia 
mulai merasakan lidah gadis itu bergerak-gerak. Tidak hanya pasrah 
menyusup, tetapi mulai bergerak membelit dan balas mengisap.
Theo melepaskan pagutan bibirnya. Sejenak mereka saling menatap. 
Terlihat bias-bias birahi di kedua bola mata mereka. Lalu dikecupnya 
dahi gadis itu dengan mesra. Kemudian bibirnya berpindah mengecup bahu. 
Mengecup berulang kali. Dari bahu bibirnya merayap ke leher. Sesekali 
lidahnya dijulurkan untuk menjilat.
Debby menggelinjang karena geli, seolah sekujur tubuhnya sedang 
digelitiki oleh jari-jari yang nakal dan menggemaskan. Ia menyukai hal 
itu, menyukai kecupan dan jilatan yang merambat di sekeliling lehernya. 
Apalagi ketika ia merasakan lidah itu menjilat-jilat kerongkongannya 
disertai telapak tangan yang meremas buah dadanya. Sesaat, ia menahan 
nafas ketika telapak tangan itu hanya menekan buah dadanya, tetapi tak 
lama kemudian, ia menghembuskan nafas lega merasakan telapak tangan itu 
meremas dengan lembut.
"Aahh, Theo," desahnya sambil menghembuskan nafas panjang.
Bibir Theo kembali merayap ke bahu. Sambil sesekali mengecup, ia 
menggunakan giginya untuk melepaskan tali yang mengikat gaun itu. Lidah 
dan hembusan nafasnya membuat gadis itu menggelinjangkan bahunya.
Debby baru menyadari bahwa tali pengikat gaunnya telah terlepas setelah 
ia merasakan bibir lelaki itu menyusur menciumi belahan atas buah 
dadanya. Bulu roma di sekujur tubuhnya meremang. Belum pernah ada lelaki
 yang melakukan hal itu. Ia ingin menolak, ingin mendorong kepala yang 
semakin mendekati buah dadanya, tetapi tangannya terasa lemah tak 
bertenaga. Ada rasa geli dan nikmat yang menjalar di pori-pori sekujur 
tubuhnya. Rasa yang membuat ia tak berdaya menolak. Apalagi setelah 
merasakan lidah itu menjilat-jilat dadanya. Jilatan-jilatan basah yang 
membuat jari-jari tangannya menekan kepala lelaki itu ke dadanya.
Ia menarik nafas lega, merasa beruntung karena tidak mengenakan bra di 
balik gaunnya. Bibirnya sesekali mendesis-desis seperti kepedasan ketika
 ia merasakan jilatan-jilatan itu semakin liar menjelajahi buah dadanya 
yang baru mekar. Dan ketika puting buah dadanya terperangkap dalam 
jepitan bibir lelaki itu, ia merintih sambil menghentakkan telapak 
kakinya di atas karpet..
"Aarrgghh.. Theo, enaak! Aduuhh..!".
Sekujur tubuhnya merinding ketika merasakan puting dadanya 
dijentik-jentik dengan ujung lidah. Lalu digigit dengan lembut. 
Dilepaskan. Digigit kembali. Dilepas. Dan tiba-tiba ia merasakan buah 
dadanya dihisap agak keras, seolah ingin ditelan!
Debby mendesah ketika merasakan jari-jari tangan Theo mengelus-elus 
bagian dalam pahanya. Ia mendesah dalam kenikmatan sambil menghempaskan 
lehernya di sandaran sofa. Secara naluriah, direnggangkannya kedua belah
 pahanya agar jari-jari dan telapak tangan itu dapat merayap lebih 
dalam. Ia ingin segera merasakan jari-jari tangan itu mengelus-elus 
pangkal pahanya.
Isyarat itu dimanfaatkan Theo dengan baik. Dengan sebuah tarikan kecil, 
ia menyingkap gaun gadis remaja itu. Tak ada kesulitan ketika menyingkap
 gaun itu. Bagian bawahnya yang lebar membuat gaun itu tersangkut dengan
 mudah di bawah pusar. Ia terpaksa menghentikan aktivitas bibirnya 
karena ia ingin menunduk agar dapat memandang pangkal paha itu lebih 
jelas.
"Aku akan menciumnya," kata Theo sambil bangkit dari sofa, kemudian duduk di atas karpet persis di antara kedua lutut Debby.
"Jangan dicium, Theo. Debby takut."
"OK, tapi kasih pemandangan yang paling indah ya," kata Theo sambil mengangkat kaki kanan gadis itu.
Lalu diletakkannya telapak kaki kanan itu di atas sofa. Tak lama 
kemudian, bola matanya terbelalak menatap pesona yang terpampang di 
hadapannya! Sebelah paha tergeletak di atas sofa, sedangkan paha yang 
sebelah lagi tertekuk, telapaknya menginjak pinggir sofa. Dengan sebuah 
dorongan kecil menggunakan jari, paha yang tertekuk di atas sofa itu 
terbuka lebar-lebarnya.
"Indah sekali!" sambung Theo sambil menengadah menatap wajah gadis 
remaja yang cantik itu. Debby tersenyum malu. Ia ingin menutup pahanya, 
tapi gerakannya tertahan oleh tekanan jari di lututnya.
"Debby malu, Theo!" katanya dengan manja. Tapi di dasar hatinya, ada 
perasaan senang dan bangga melihat guru matematikanya berlutut di 
hadapannya, persis di antara kedua belah pahanya. Perasaan yang membuat 
dirinya merasa sangat dimanja dan dihargai.
Theo terbelalak menatap kemulusan paha dan celana dalam mini dari satin 
di hadapannya. Urat darah di batang kemaluannya meronta menatap 
pemandangan indah itu. Bagian depan celananya terasa sempit. Apalagi 
ketika ia menatap segaris bagian basah yang tercetak di permukaan vagina
 gadis itu. Bagian basah itu memperjelas bayangan bibir vagina yang 
tersembunyi di baliknya. Dan karena celana dalam satin itu sangat tipis,
 ia bahkan dapat melihat bayangan bulu-bulu yang tumbuh di sekitar bibir
 vaginanya.
Keindahan itu sangat mempesona sehingga ia terpaksa melepaskan ikat 
pinggang dan ritsleting celananya agar batang kemaluannya terbebas dari 
penderitaan. Lalu diciumnya paha bagian dalam yang tertekuk di atas sofa
 itu. Diciumnya berulang kali seolah tak puas merasakan kehalusan kulit 
paha itu di bibirnya. Setelah itu ciumannya berpindah ke paha 
sebelahnya. Sambil terus mencium dan sesekali menjilat, dielus-elusnya 
pula paha bagian luar. Semakin lama ciumannya semakin mendekati pangkal 
paha. Lalu ia berhenti sejenak untuk menghirup aroma semerbak yang 
semakin tajam menusuk hidungnya. Fantasinya di depan kelas telah menjadi
 kenyataan. Dengan gemas, dibenamkannya hidungnya persis di antara bibir
 vagina gadis remaja itu. Sesekali diselingi dengan menggeleng-gelengkan
 kepalanya.
"Theoo..! Aauuw!" pekik Debby karena terkejut sambil menggelinjangkan pinggulnya.
Tapi beberapa detik kemudian, ketika ia merasakan lidah lelaki itu 
menjilat-jilat bagian luar celana dalamnya, ia merintih-rintih. Ia 
merasa nikmat setiap kali lidah itu menjilat dari bawah ke atas. Jilatan
 yang lahap! Basah. Berliur. Jilatan yang membuat ia terpaksa memejamkan
 mata meresapi kenikmatan yang mengalir di sekujur tubuhnya. Jilatan 
yang membuat ia menjadi liar, yang membuat ia menghentak-hentakkan 
kakinya karena beberapa kumis kasar lelaki itu terasa seolah menyusup 
menembus celana dalamnya yang tipis. Di sela-sela kenikmatan yang 
mendera, kumis itu terasa menggelitiki vaginanya, membuat ia 
menggeliatkan pinggulnya berulang kali.
Celana dalam mini gadis itu semakin basah. Belahan bibir vaginanya 
semakin jelas terlihat. Lendir semakin banyak bermuara di vaginanya. 
Lendir itu bercampur dengan air liur. Karena tak tahan lagi menerima 
kenikmatan yang mendera vaginanya, sebelah tangannya menjambak rambut 
Theo, dan yang sebelah lagi menekan bagian belakang kepala.
"Theoo, aarrgghh! Debby seperti ingin pipis..!" kata gadis itu di sela-sela rintihannya. 
Theo menghentikan jilatan lidahnya. Ia menengadah dan melihat mata gadis itu sedang terpejam.
"Debby ingin pipis, Sayang?" tanyanya sambil menyisipkan jari telunjuk 
ke balik celana dalam yang menutupi bibir vagina gadis itu, lalu 
ditariknya ke samping.
Terpampanglah di hadapannya vagina seorang gadis remaja yang sedang 
dilanda birahi. Masih kuncup tetapi menebarkan janji untuk segera 
merekah dihisap serangga yang menghinggapinya. Dengan jari telunjuk, 
dibukanya sedikit bibir luar vagina berlendir itu. Lipatan yang sedikit 
terbuka hingga memperlihatkan vagina yang bersih, segar dan berwarna 
pink. Melihat hal itu, ia memutuskan untuk memberikan cumbuan terbaik. 
Cumbuan yang sulit untuk dilupakan, yang akan membuat gadis itu menjadi 
jinak. Ia merasa mampu untuk melakukan hal itu. Dan sebagai balasannya, 
mungkin ia akan mendapatkan perlakuan yang sama. Mempertimbangkan hal 
itu, ia menenggelamkan dan menggosok-gosokkan hidungnya ke belahan bibir
 vagina gadis itu. Semakin ditekan hidungnya, semakin semerbak aroma 
yang memenuhi rongga paru-parunya.
Debby membuka kelopak matanya. Bola matanya seolah ditutupi kabut basah 
dan terlihat mengkilat ketika ia menunduk menatap wajah gurunya yang 
terselip di pangkal pahanya. Ia tak dapat mengucapkan kata-kata. 
Bibirnya terasa kelu. Kaku. Nafasnya terengah-engah. Mulutnya setengah 
terbuka megap-megap menghirup udara. Ia terpaksa menggeliatkan 
pinggulnya untuk menahan cairan yang terasa ingin mengalir keluar dari 
vaginanya. Ia tidak tega 'mempipisi' mulut guru matematikanya itu.
Dicobanya mendorong kepala itu agar terlepas dari vaginanya. Tapi kepala
 itu malah sengaja semakin ditekan ke pangkal pahanya. Dicobanya untuk 
menarik pinggulnya. Tapi kedua lengan guru yang sangat disayanginya itu 
semakin kuat merangkul pinggulnya. Walau telah mencoba meronta, mulut 
yang memberinya kenikmatan itu tetap menghisap-hisap vaginanya. Semakin 
meronta, semakin keras remasan tangan di kedua bongkahan pantatnya. Dan 
semakin keras pula tarikan di bongkahan pantatnya agar vaginanya tak 
lepas dari hisapan dan jilatan mulut itu.
Akhirnya ia menyimpulkan bahwa mulut itu memang ingin 'dipipisinya'. 
Mulut itu memang sengaja ingin memanjakan vaginanya. Kesimpulan itu 
membuat ia melayang semakin tinggi dalam kenikmatan, membuat lendir 
semakin banyak mengalir ke lubang vaginanya. Sedikit pun ia tak merasa 
ragu ketika mengangkat kakinya yang terjuntai di atas karpet, dan 
melilitkan betisnya di leher lelaki itu. Ia sudah tak ingin kepala itu 
lepas dari pangkal pahanya. Bahkan ia mempererat tekanan betisnya di 
leher lelaki yang sedang memanjakannya itu. Selain menggunakan betis dan
 paha, ia pun menggunakan kedua lengannya untuk menjambak rambut dan 
menekan bagian belakang kepala lelaki itu lebih keras. Ia ingin membantu
 agar mulut itu terbenam di dalam vaginanya ketika ia mengeluarkan 
'pipisnya'.
Lidah Theo telah merasakan bibir dan dinding vagina itu 
berdenyut-denyut. Ia pun dapat merasakan hisapan lembut di lidahnya, 
seolah vagina itu ingin menarik lidahnya lebih dalam. Sejenak, ia 
mengeluarkan lidahnya untuk menjilat dan menghisap bibir vagina mungil 
itu. Dikulumnya berulang kali. Bibir vagina itu terasa hangat dan sangat
 halus di lidahnya. Ia menyelipkan lidahnya kembali ketika menyadari 
bahwa tak ada lagi cairan lendir yang tersisa di bibir luar. Dijilatinya
 kembali dinding dan bibir dalam vagina gadis remaja itu.
"Theo, Theoo.., Debby nggak tahan lagi. Debby ingin pipiis!"
Theo semakin bersemangat menjilat dan menghisap-hisap. Lidahnya yang 
rakus seolah belum terpuaskan oleh lendir yang telah dihisapnya. 
Kumisnya sesekali menyapu bibir uar vagina yang segar itu, membuat 
pinggul gadis itu terhentak-hentak di atas sofa. Walaupun kepalanya 
terperangkap dalam jepitan paha dan betis, tetapi ia dapat merasakan 
setiap kali pinggul gadis itu terangkat dan terhempas. Berulang kali hal
 itu terjadi. Terangkat dan terhempas kembali. Sesekali pinggul itu 
menggeliat menyebabkan kumisnya menjadi basah.
Ia dapat memastikan bahwa dalam hitungan detik sejumput lendir orgasme 
akan mengalir ke kerongkongannya. Dan ketika merasakan rambutnya 
dijambak semakin keras diiringi dengan pinggul yang terangkat menghantam
 wajahnya, ia segera mengulum klitoris gadis itu. Dikulumnya dengan 
lembut seolah klitoris itu adalah sebuah permen cokelat yang hanya 
mencair bila dilumuri air ludah. Sesekali dihisapnya disertai tarikan 
lembut hingga klitoris itu hampir terlepas dari bibirnya. Ketika 
merasakan pinggul gadis itu agak berputar, dijepitnya klitoris itu 
dengan kedua bibirnya agar tak lepas dari hisapannya.
"Debby pipis, Theoo! Aargh.. Aarrgghh..!"
Theo menjulurkan lidah sedalam-dalamnya. Bahkan ditekannya lidah dan 
kedua bibirnya agar terperangkap dalam jepitan bibir vagina itu. Ia tak 
ingin kehilangan kesempatan mereguk cairan orgasme langsung dari vagina 
seorang gadis remaja yang cantik dan seksi. Cairan orgasme yang belum 
tentu ia dapatkan dari murid lainnya. Setelah mencicipi rasa di ujung 
lidahnya, dihisapnya cairan itu sekeras-kerasnya. Direguknya lendir itu 
dengan lahap. Lalu dibenamkannya kembali hidungnya di antara celah bibir
 vagina yang berdenyut-denyut itu.
Ia ingin menghirup aroma paling pribadi yang dimiliki seorang gadis 
belia. Dengan gemas, ia menghirup aroma itu dalam-dalam. Dan ketika 
merasakan pinggul gadis itu terhempas kembali ke atas sofa, Theo 
menjilati vaginanya. Setetes lendir pun tak ia sisakan! Bahkan lendir 
yang membasahi bulu-bulu ikal dan bulu-bulu halus di sekitar vagina 
gadis itu pun dijilatinya. Bulu-bulu itu jadi merunduk rapi seperti baru
 selesai disisir!
"Theo.., ooh, aarrgghh.., Theo! Enak banget, Theoo..! Aargh.., pipis 
Debby kok diminum?" desah gadis itu terbata-bata sambil mengusap-usap 
rambut Theo. Setelah menjilati vagina Debby hingga bersih, Theo 
menengadah.
"Pipis Debby enak banget! Kecut. Agak asin. Tapi ada manisnya!" jawabnya.
"Suka ya minum pipis, Debby?"
"Suka banget! Mau pipis lagi?"
"Hmm.." kata gadis itu dengan manja. Merajuk.
"Benar suka?" sambungnya.
"Suka! Ini tanda sayang dan suka," kata Theo sambil menunduk dan mengulum sebelah bibir luar vagina gadis itu.
Debby tertawa kecil. Senang. Bangga. Merasa dimanjakan. Tersanjung 
karena telah merasakan nikmatnya menjepit kepala guru matematikanya di 
pangkal pahanya. Nikmat yang baru pertama kali ia rasakan. Tapi 
tiba-tiba bola matanya terbuka lebar ketika melihat Theo membungkuk 
melepaskan celana sekaligus celana dalamnya dengan sekali tarikan. 
Dalam hitungan detik, celana itu teronggok di atas karpet. Dan ia 
bergidik melihat batang kemaluan gurunya. Batang kemaluan berwarna 
cokelat. Panjangnya kira-kira 15 cm. 
Batang kemaluan itu hanya berjarak setengah meter dari matanya. Dan 
karena baru pertama kali melihat kemaluan lelaki, gadis remaja itu 
terkesima. Kelopak bola matanya terbuka lebar ketika ia mengamati 
urat-urat berwarna biru kehijauan yang terlihat menghiasi kulit batang 
kemaluan itu.
Theo menarik pinggul Debby hingga sedikit melewati pinggir sofa. Lalu ia
 mengarahkan batang kemaluannya ke vagina gadis itu. Debby tekejut. 
Dengan refleks ia menarik pinggulnya.
"Debby masih virgin, Theo," katanya setengah berbisik. Nadanya memelas.
Theo terpana mendengarnya. Sejak awal mencumbuinya, ia memang sudah 
menduga bahwa gadis itu masih perawan. Terutama karena ia merasakan 
celah yang sangat sempit ketika menyusupkan lidahnya di antara bibir 
vagina gadis itu. Tapi bila mengingat keberaniannya menggoda dengan cara
 merenggangkan kedua lututnya, ia menjadi ragu-ragu. Apalagi karena 
muridnya itu berani bersekolah tanpa celana dalam. Setelah menarik nafas
 panjang, diraihnya lengan kanan gadis itu.
"Aku tak akan melakukan hal-hal yang tidak Debby sukai. Aku pun tak akan menyakitimu," katanya dengan raut wajah tulus.
"Tapi adik kecil ini sedang menderita, Debby," sambungnya sambil menunjuk batang kemaluannya yang terangguk-angguk.
"Debby elus-elus ya. Kalau dibiarin, kasihan..!"
Lalu diletakkannya telapak tangan gadis itu di batang kemaluannya. Debby
 terkejut merasakan panas yang mengalir dari batang kemaluan itu ke 
telapak tangannya. Sejenak ia terlihat ragu. Ia menarik lengannya, 
tetapi Theo meraih dan meletakkannya kembali ke batang kemaluannya. 
Akhirnya batang kemaluan itu digenggamnya sambil menengadah menatap 
wajah lelaki yang disayanginya itu. Tak lama kemudian, ia menunduk 
kembali untuk mengamati batang kemaluan dalam genggamannya.
"Sesekali agak diremas seperti begini," kata Theo mengajari.
"Dan sesekali dimaju-mundurkan seperti ini," sambungnya sambil menggerakkan tangan gadis itu maju-mundur.
Debby mulai mengelus-elus. Ada sensasi yang menggelitik dirinya ketika 
merasakan kehangatan batang kemaluan itu di ujung jari-jari tangannya. 
Ia mendekatkan wajahnya untuk mengamati urat-urat berwarna kehijauan 
yang semakin menggelembung di ujung jarinya. Lalu ia mulai menggenggam 
dan memaju-mundurkan telapak tangannya. Dan ketika mendengar lelaki itu 
menarik nafas panjang, ia menengadah.
"Kenapa? Sakit?"
"Enak!"
"Enak?!"
"Enak banget! Apalagi kalau pakai dua tangan."
"Begini?" tanya gadis itu sambil menggenggamkan kedua telapak tangannya.
"Ya, ya, begitu, oohh!"
Debby menjadi bersemangat. Ia merasa senang karena dapat memberikan 
sesuatu yang menyenangkan kepada gurunya itu. Ia ingin membalas 
kenikmatan yang telah ia dapatkan. Apalagi sikap lelaki itu penuh 
pengertian. Tak ada sikap memaksa ketika ia mengatakan bahwa ia masih 
virgin. Ia hanya diminta untuk mengelus-elus dan sesekali meremas batang
 kemaluan itu. Oleh karena itu, tangannya mulai digerakkan maju dan 
mundur, dari leher batang kemaluan hingga ke pangkalnya. Wajahnya 
semakin mendekat karena ia ingin mengamati cendawan yang menghiasi 
batang kemaluan itu. Cendawan yang semakin lama semakin berwarna merah 
tua. Dielus-elusnya pula cendawan itu dengan ujung jari jempolnya.
"Ooh.., nikmat, Sayang!"
"Kalau diremas seperti ini, nikmat nggak?" tanya gadis itu sambil meremas biji kemaluan Theo.
"Ooh, ya, ya!" sahut Theo sambil meletakkan kedua belah telapak tangannya di atas kepala gadis itu.
Lalu dengan tarikan yang sangat lembut, ia menarik kepala itu agar 
semakin mendekat ke batang kemaluannya. Debby tidak menolak tarikan 
lembut di kepalanya karena batang kemaluan itu terlihat sangat indah dan
 menarik. Ia pun dapat merasakan batang kemaluan itu berdenyut di 
telapak tangannya, seperti bernafas. Ada sensasi yang mulai menggelitiki
 saraf-saraf birahi di sekujur tubuhnya ketika ia mengamati batang 
kemaluan itu. Sensasi itu membuat ia tak menyadari bahwa batang kemaluan
 yang digenggamnya hanya tinggal berjarak kira-kira 20 cm dari mulutnya.
"Theo, ada sedikit pipis di lubang ini."
"Bukan pipis sayang. Itu lendir enak."
"Enak?"
"Ya, enak!" jawab Theo sambil memegang jari jempol yang baru saja mengusap-usap lubang kemaluannya.
"Coba deh dicicipi," sambungnya.
"Hmm.." gumam Debby ketika menjilat ujung jarinya.
"Enak 'kan?!"
"Enak!"
"Cicipi lagi! Jangan pakai jari. Langsung pakai lidah!"
Debby menengadah. Ia sangat ingin menyenangkan hati gurunya itu, tetapi 
ragu-ragu untuk melaksanakannya. Sesaat, ia manatap bola mata lelaki 
yang disayanginya itu. Dilihatnya binar-binar ketulusan cinta. Tak ada 
tersirat niat untuk menyakiti. Lalu ia menunduk dan mendekatkan bibirnya
 ke bagian tengah cendawan itu. Lidahnya terjulur dan ujungnya mengoles 
sisa lendir yang masih tersisa. Sambil memejamkan mata, ia mencicipinya.
"Enak 'kan?!" Debby menengadah kembali. Ia mengangguk sambil tersenyum malu.
"Sekarang dicium dan dijilat-jilat biar lendirnya keluar lagi! Dan 
jangan terkejut kalau nanti tiba-tiba ada segumpal lendir yang muncrat 
ya, Sayang."
Debby menunduk kembali, dan tanpa keraguan lagi dikulumnya cendawan itu.
 Leher kemaluan itu dijepitnya dengan bibirnya sambil mengoles-oleskan 
lidahnya.
Theo mendesah. Setelah menghirup udara yang memenuhi rongga dadanya, ia 
menunduk. Matanya berbinar menatap takjub. Nafasnya tertahan menatap 
seorang gadis belia yang cantik dan seksi sedang berjongkok sambil 
menghisap-hisap dan mengulum kepala batang kemaluannya. Darahnya 
mendidih menatap gadis yang berjongkok dengan gaun bagian atas dan bawah
 bertumpuk terlipat-lipat di pinggangnya yang ramping. Matanya nanar 
menatap buah dada yang belum sepenuhnya mekar. Sejuta pesona ia rasakan 
melihat seorang gadis yang sedang berjongkok di hadapannya dengan paha 
terkangkang. Indah sekali!
"Argh.., aduuhh..!" desah Theo sambil menekan bagian belakang kepala 
gadis itu lebih keras. Setengah batang kemaluan telah masuk ke dalam 
mulut mungil itu.
Debby menengadah karena mendengar desahan itu. Ia merasa khawatir karena
 giginya menggesek kulit kemaluan yang sedang dikulumnya. Tapi lelaki 
yang telah memberinya kenikmatan itu ternyata hanya meringis. Ia masih 
menengadah ketika merasakan lagi tekanan di bagian belakang kepalanya, 
tekanan yang membuat ia menelan batang kemaluan itu lebih dalam.
Theo mengusap-usap rambut gadis remaja itu. Perlahan-lahan, ditariknya 
kemaluannya hingga hanya cendawan kemaluannya yang masih tersisa. Dan 
dengan perlahan-lahan pula, didorongnya kembali batang kemaluannya. 
Diulangnya gerakan itu beberapa kali sambil mengamati bibir mungil yang 
melingkari batang kemaluannya. Setelah yakin bahwa gadis itu telah 
terbiasa dengan gerakan batang kemaluannya, tiba-tiba didorongnya lagi 
dengan keras hingga bibir mungil itu menyentuh bulu-bulu di pangkal 
kemaluannya.
Debby terkejut. Nafasnya terhenti sesaat. Ia tersendat karena ujung 
batang kemaluan itu menyentuh kerongkongannya. Sebelum ia sempat 
meronta, dengan cepat batang kemaluan itu telah bergerak mundur kembali.
"Nggak apa-apa 'kan sayang," kata Theo membujuk sambil mengusap-usap pipi gadis remaja itu.
Debby ingin mengatakan 'jangan ulangi', tapi kata-kata itu tak 
terucapkan karena cendawan itu masih tersisa di bibirnya. Ia menengadah.
 Sejenak mereka saling tatap. Dan ia melihat sorot mata yang memancarkan
 kenikmatan birahi, seolah memohon untuk dipuaskan.
Karena merasa tak tega untuk menolak, kembali cendawan itu dihisapnya. 
Mungkin karena aku belum terbiasa, katanya dalam hati. Akhirnya ia 
memutuskan untuk memberi kenikmatan total. Kenikmatan sebesar kenikmatan
 yang telah ia dapatkan. Bila mungkin, ia akan memberi melebihi dari apa
 yang telah ia nikmati. Percintaan yang membara adalah percintaan yang 
pasrah dalam memberi, bisik hatinya. Percintaan yang lebih mementingkan 
kenikmatan pasangannya dari pada kenikmatan dirinya sendiri. Dan ia akan
 pasrah memberi agar guru yang disayanginya itu dapat pula meraih puncak
 kenikmatannya.
Lalu batang kemaluan itu dikeluarkannya dari mulutnya. Ia ingin 
totalitas. Oleh karena itu, beberapa detik kemudian, ia mulai menjilati 
batang kemaluan itu hingga ke pangkalnya. Bahkan ujung lidahnya beberapa
 kali menyentuh biji kemaluan itu. Semakin sering lidahnya menyentuh, 
semakin keras pula didengarnya dengusan nafas lelaki yang disayanginya 
itu. Ketika merasakan jambakan lembut di kepalanya, tanpa ragu, 
dihisap-hisapnya biji kemaluan itu.
Ia semakin bersemangat karena merasakan erotisme yang luar biasa ketika 
batang kemaluan itu menggesek-gesek ujung hidungnya. Ada sensasi yang 
membakar pori-pori di sekujur tubuhnya ketika bulu-bulu di biji kemaluan
 itu bergesekan dengan lidahnya! Gesekan itu merangsang lidahnya melata 
ke arah bawah untuk mengecup dan menjilat-jilat celah sempit antara biji
 kemaluan dan lubang dubur.
No comments:
Post a Comment