Ini adalah kisah pengalamanku yang 
 sengaja aku beberkan untuk pertama  kalinya. Sebut saja namaku Arman,  
aku sendiri tinggal di Bandung.  Kejadian yang aku alami ini kalau tidak
  salah ingat, terjadi ketika aku  akan lulus SMA pada tahun 2010 lalu. 
Sungguh sebelumnya aku tak menyangka bahwa aku akan meniduri adikku   
sendiri yang bernama Ratih. Dia termasuk anak yang rajin dan ulet, sebab
   dia adalah yang memasak dan mencuci pakaian sehari-hari. Ibuku adalah
   seorang pedagang kelontong di pasar, sedangkan ayahku telah lama   
meninggal. Entah mengapa Ibu tidak berniat untuk menikah lagi. 
Yang ibu lakukan setiap hari adalah sejak jam 4 subuh dia sudah pergi ke
   pasar dan pulang menjelang magrib, aku pun sekali-sekali pergi ke  
pasar  untuk membantu beliau, itu pun kalau terpaksa sedang tidak punya 
 uang.  Sedangkan adikku karena seringnya tinggal di rumah maka dia  
kurang  pergaulan hingga kuperhatikan tampaknya dia belum pernah  
pacaran. Oh ya,  selisih umurku dengan adikku hanya terpaut dua setengah
  tahun dan saat  itu dia masih duduk di kelas 1 SMA. 
***** 
Baiklah, aku akan mulai menceritakan pengalaman seks dengan adikku ini. 
  Kejadiannya ketika itu aku baru pulang dari rumah temanku Anto pada   
siang hari, ketika sampai di rumah aku mendapati adikku sedang asyik   
menonton serial telenovela di salah satu TV swasta. aku pun langsung   
membuat kopi, merokok sambil berbaring di sofa. Saat itu serial tersebut
   sedang menampilkan salah satu adegan ciuman yang hanya sebentar 
karena   langsung terpotong oleh iklan. Setelah melihat adegan tersebut 
aku   menoleh kepada adikku yang ternyata tersipu malu karena ketahuan 
telah   melihat adegan tadi. 
"Pantesan betah nonton film gituan" ujarku.
"Ih, apaan sih" cetusnya sambil tersipu malu-malu. 
Beberapa menit kemudian serial tersebut selesai jam tayangnya, dan   
adikku langsung pergi ke WC. Kudengar dari aktifitasnya, rupanya dia   
sedang mencuci piring. Karena acara di televi\si
  tidak ada yang seru,  maka aku pun mematikan TV tersebut dan setelah  
itu aku ke WC untuk buang  air kecil. Mataku langsung tertuju pada  
belahan pantat adikku yang  sedang berjongkok karena mencuci piring. 
"Ratih, ikut dulu sebentar pingin pipis nih" sahutku tak kuat menahan. 
Setelah aku selesai buang air kecil, pikiranku selalu terbayang pada  bongkahan pantat adikku Ratih. Aku sendiri
  tadinya tak mau berbuat  macam-macam karena kupikir dia adalah adikku 
 sendiri, apalgi adikku ini  orangnya lugu dan pendiam. Tetapi dasar  
setan telah menggoyahkan  pikiranku, maka aku berpikir bagaimana caranya
  agar dapat mencumbu  adikku ini. 
Aku seringkali mencuri pandang melihat adikku yang sedang mencuci, dan  
 entah mengapa aku tak mengerti, aku langsung saja berjalan menghampiri 
  adikku dan memeluk tubuhnya dari belakang sambil mencium tengkuknya.  
 Mendapat serangan yang mendadak tersebut adikku hanya bisa menjerit   
terkejut dan berusaha melepaskan diri dari dekapanku. 
Aku sendiri lalu tersadar. Astaga, apa yang telah aku lakukan terhadap  
 adikku. Aku malu dibuatnya, dan kulihat adikku sedang menangis   
sesenggukan dan lalu dia lari ke kamarnya. Melihat hal itu aku langsung 
  mengejar ke kamarnya. Sebelum dia menutup pintu aku sudah berhasil 
ikut   masuk dan mencoba untuk menjelaskan perihal peristiwa tadi. 
"Maafkan.. Aa Ratih, Aa tadi salah"
"Terus terang, Aa nggak tahu kenapa bisa sampai begitu" 
Adikku hanya bisa menangis sambil telungkup di tempat tidurnya. Aku mendekati dia dan duduk di tepi ranjang. 
"Ratih, maafin Aa yah. Jangan dilaporin sama Ibu" kataku agak takut.
"Aa jahat" jawab adikku sambil menangis.
"Ratih maafin Aa. Aa berbuat demikian tadi karena Aa nggak sengaja lihat
   belahan pantat kamu, jadinya Aa nafsu, lagian kan Aa sudah seminggu  
ini  putus ama Teh Dewi" kataku.
"Apa hubungannya putus ama Teh Dewi dengan meluk Ratih" jawab adikku lagi.
"Yah, Aa nggak kuat aja pingin bercumbu"
"Kenapa sama Ratih" jawabnya. 
Setelah itu aku tidak bisa berbicara lagi hingga keadaan di kamar adikku
   begitu sunyi karena kami hanya terdiam. Dan rupanya di luar mulai   
terdengar gemericik air hujan. Di tengah kesunyian tersebut lalu aku   
mencoba untuk memecah keheningan itu. 
"Ratih, biarin atuh Aa meluk kamu, kan nggak akan ada yang lihat ini"   
Adikku tidak menjawab hanya bisa diam, mengetahui hal itu aku mencoba   
membalikkan tubuhnya dan kuajak bicara.
"Ratih, lagian kan Ratih pingin ciuman kayak di film tadi kan?" bujukku.
"Tapi Aa, kita kan adik kakak?" jawabnya.
"Nggak apa-apa atuh Ratih, sekalian ini mah belajar, supaya entar kalo pacaran nggak canggung" 
Entah mengapa setelah aku bicara begitu dia jadi terdiam. Wah bisa nih, 
  gumanku dalam hati hingga aku pun tak membuang kesempatan ini. Aku   
mencoba untuk ikut berbaring bersamanya dan mencoba untuk meraih   
pinggangnya. Aku harus melakukannya dengan perlahan. Belum sempat aku   
berpikir, Ratih lalu berkata.. 
"Aa, Ratih takut"
"Takut kenapa, Say?" tanyaku.
"Ih, meuni geuleh, panggil Say segala" katanya.
"Hehehe, takut ama siapa? Ama Aa? Aa mah nggak bakalan gigit kok", rayuku.
"Bukan takut ama Aa, tapi takut ketahuan Ibu" jawabnya. 
Setelah mendengar perkataannya, aku bukannya memberi alasan melainkan   
bibirku langsung mendarat di bibir ranum adikku yang satu ini. Mendapat 
  perlakuanku seperti itu, tampak kulihat adikku terkejut sekali, karena
   baru pertama kalinya bibir yang seksi tanpa lipstick ini dicumbu oleh
   seorang laki-laki yang tak lain adalah kakaknya sendiri. Adikku pun  
 langsung mencoba untuk menggeserkan tubuhnya ke belakang. Tetapi aku   
mencoba untuk menarik dan mendekapkan lebih erat ke dalam pelukanku. 
"Mmhh, mmhh.., Aa udah dong" pintanya. Aku menghentikan pagutanku, dan  
 kini kupandangi wajah adikku dan rasanya aku sangat puas meskipun aku  
 hanya berhasil menikmati bibir adikku yang begitu merah dan tipis ini.
"Ratih, makasih yah, kamu begitu pengertian ama Aa" kataku.
"Kalau saja Ratih bukan adik Aa, udah akan Aa.." belum sempat aku habis bicara..
"Udah akan Aa apain" bisiknya sambil tersenyum. Aku semakin geregetan saja dibuatnya melihat wajah cantik dan polos adikku ini.
"Udah akan Aa jadiin pacar atuh. Eh Ratih, Ratih mau kan jadi pacar Aa", tanyaku lagi. 
Mendengar hal demikian adikku lalu terdiam dan beberapa saat kemudian ia bicara.. 
"Tapi pacarannya nggak beneran kan" Katanya sedikit ragu.
"Ya nggak atuh Say, kita pacarannya kalo di rumah aja dan ini rahasia   
kita berdua aja, jangan sampai temen kamu tau, apalagi sama Ibu" jawabku
   meyakinkannya. Setelah itu kulihat jam dinding yang ternyata sudah   
menunjukan jam 4 sore.
"Udah jam 4 tuh, sebentar lagi Ibu pulang. Aa mandi dulu yah", kataku kemudian. 
Maka aku pun bangkit dan segera pergi meninggalkan kamar adikku. Setelah
   kejadian tadi siang aku sempat tidak habis pikir, apakah benar yang  
aku  alami tadi. Di tengah lamunanku, aku dikejutkan oleh suara Ibuku. 
"Hayoo ngelamun aja, Ratih mana udah pada makan belum?" kata Ibuku.
"Ada tuh, emang bawa apaan tuh Bu?" aku melihat Ibuku membawa bungkusan. 
Setelah aku lihat ternyata Ibu membeli bakso, kemudian Ibuku memangil   
Ratih dan kami bersama-sama menyantap Baso itu. Untungnya setelah   
kejadian tadi siang kami dapat bersikap wajar, seolah tidak terjadi   
apa-apa sehingga Ibuku tidak curiga sedikit pun. 
Malamnya aku sempat termenung di kamar dan mulai merencanakan sesuatu,  
 nanti subuh setelah Ibu pergi ke pasar aku ingin sekali mengulangi   
percumbuan dengan adikku sekalian ingin tidur sambil mendekap tubuh   
adikku yang montok. Keesokannya rupanya setan telah menguasaiku sehingga
   aku terbangun ketika Ibu berpamitan kepada adikku sambil menyuruhnya 
  untuk mengunci pintu depan. Setelah itu aku mendekati adikku yang akan
   bergegas masuk kamar kembali. 
"Ehmm, ehmm, bebas nih", ujarku. 
Adikku orangnya tidak banyak bicara. Mengetahui keberadaanku dia seolah 
  tahu apa yang ingin aku lakukan, tetapi dia tidak bicara sepatah kata 
  pun. Karena aku sudah tidak kuat lagi menahan nafsu, maka aku langsung
   melabrak adikku, memeluk tubuh adikku yang sedang membelakangiku. 
Kali   ini dia diam saja sewaktu aku memeluk dan menciumi tengkuknya.
Dinginnya udara subuh itu tak terasa lagi karena kehangatan tubuh adikku
   telah mengalahkan hawa dingin kamar ini. Kontolku yang mulai ngaceng 
  aku gesek-gesekkan tepat di bongkahan pantatnya. 
"Say, Aa pingin bobo di sini boleh kan?" pintaku.
"Idih, Aa genit ah, jangan Aa, entar.."
"Entar kenapa?" timpalku. 
Belum sempat dia bicara lagi, aku langsung membalikkan tubuhnya dan   
langsung aku pagut bibir yang telah sejak tadi siang membuat pikiranku  
 melayang. Aku kemudian langsung mendorongnya ke arah dinding dan   
menghimpit hangat tubuhnya agar melekat erat dengan tubuhku. Aku mencoba
   untuk menyingkap dasternya dan kucoba untuk meraba paha dan 
pantatnya. 
Walaupun dia menyambut ciumanku, tetapi tangannya berusaha untuk   
mencegah apa yang sedang kulakukan. Tetapi aku tersadar bahwa ciumannya 
  kali ini lain daripada yang tadi siang, ciuman ini terasa lebih hot 
dan   mengairahkan karena kurasakan adikku kini pun menikmatinya dan 
mencoba   menggerakkan lidahnya untuk menari dengan lidahku. Aku 
tertegun karena   ternyata diam-diam adikku juga memiliki nafsu yang 
begitu besar, atau   mungkin juga ini karena selama ini adikku belum 
pernah merasakan   nikmatnya bercumbu dengan lawan jenis. 
Kini tanpa ragu lagi aku mulai mencoba untuk menyelinapkan tanganku   
untuk kembali meraba pahanya hingga tubuhku terasa berdebar-debar dan   
denyut nadiku terasa sangat cepat, karena ini adalah untuk pertama   
kalinya aku meraba paha perempuan. Sebelumnya dengan pacarku aku belum  
 pernah melakukan ini, karena Dewi pacarku lebih sering memakai celana  
 jeans. Dengan Dewi kami hanya sebatas berciuman. 
Kini yang ada dalam pikiranku hanyalah satu, yaitu aku ingin sekali   
meraba, menikmati yang namanya heunceut (vagina dalam bahasa Sunda)   
wanita hingga aku mulai mengarahkan jemariku untuk menyelinap di antara 
  sisi-sisi celana dalamnya. Belum juga sempat menyelipkan jariku di   
antara heunceutnya, Ratih melepaskan pagutannya dan mulutnya seperti   
ikan mas koki yang megap-megap dan memeluk erat tubuhku kemudian   
menyilangkan kedua kakinya di antara pantatku sambil menekan-nekan   
pinggulnya dengan kuat. Ternyata Ratih telah mengalami orgasme. 
"Aa.. aah, eghh, eghh" rintih Ratih yang dibarengi dengan hentakan pinggulnya. 
Sesaat setelah itu Ratih menjatuhkan kepalanya di atas bahuku. Aku belai
   rambutnya karena aku pun sangat menyayanginya, kemudian aku bopong   
tubuh yang telah lunglai ini ke atas tempat tidur dan kukecup keningnya. 
"Gimana Sayang, enak?" bisikku. Aku hanya bisa melihat wajah memerah   
adikku ini yang malu dan tersipu, selintas kulihat wajah adikku ini   
manisnya seperti Nafa Urbach.
"Gimana rasanya, Sayang?" tanyaku lagi.
"Aa, yang tadi itu apa yang namanya orgasme?" Eh, malah ganti bertanya adikku tersayang ini.
"Iya Sayang, gimana, enak?" jawabku sambil bertanya lagi.
"He-eh, enakk banget" jawabnya sambil tersipu. 
Entah mengapa demi melihat kebahagian di wajahnya, aku kini hanya ingin 
  memandangi wajahnya dan tidak terpikir lagi untuk melanjutkan aksiku  
 untuk mengarungi lembah belukar yang terdapat di kemaluannya hingga   
sesaat kemudian karena kulihat matanya yang mulai sayu dan mengantuk   
akibat orgasme tadi maka aku mengajaknya untuk tidur. Kami pun terus   
tertidur dengan posisi saling berpelukan dan kakiku kusilangkan di   
antara kedua pahanya... 
No comments:
Post a Comment