"Aarrgghh..!" desah Theo ketika merasakan lidah muridnya itu menjilat-jilat semakin liar.
Bahkan ia mulai merasakan bibir gadis itu mulai mengisap-isap celah di 
dekat lubang duburnya. Sangat dekat dengan lubang duburnya! Dan sesaat 
ia berhenti bernafas ketika merasakan ujung lidah gadis itu akhirnya 
menyentuh lubang duburnya. Ia menggigil merasakan nikmat yang mengalir 
dari ujung lidah itu. Nikmat yang bahkan tidak pernah ia dapatkan dari 
isterinya.
Sebelumnya ia tidak pernah merasakan lidah menyentuh lubang duburnya. 
Apalagi lidah seorang gadis remaja yang cantik dan seksi. Matanya 
terbeliak ketika merasakan tangan gadis itu membuka lipatan daging di 
antara bongkah pantatnya. Hanya bagian putih di bola matanya yang 
terlihat ketika ia meresapi nikmatnya lidah gadis itu saat menyentuh 
lubang duburnya.
"Oorgh.., aarrgghh.. Nikmat, Sayang!" desah Theo sambil menggerakkan pinggulnya menghindari jilatan-jilatan di duburnya.
Ia sudah tak kuat menahan kenikmatan yang mendera tubuhnya. Cendawan 
batang kemaluannya sudah membengkak. Lalu ia mengarahkan batang 
kemaluannya ke mulut gadis itu.
"Aku sudah tak tahan, Debby!!" sambungnya sambil menghunjamkan batang kemaluannya sedalam-dalamnya.
Debby tersendat kembali ketika merasakan cendawan itu menyumbat 
kerongkongannya. Tapi sudah tidak menyebabkan rasa mual seperti ketika 
pertama kali tersendat. Dan ketika batang kemaluan itu bergerak mundur, 
ia mengisap cendawannya dengan keras hingga terdengar bunyi 'slurp'. 
Kedua telapak tangannya mengusap-usap bagian belakang paha lelaki itu.
Lalu ia kembali menengadah. Mereka saling tatap ketika batang kemaluan 
itu kembali menghunjam rongga mulutnya. Telapak tangannya ikut menekan 
bagian belakang paha lelaki itu. Kepalanya ikut maju setiap kali batang 
kemaluan itu menghunjam mulutnya. Ia merinding setiap kali ujung 
cendawan itu menyentuh kerongkongannya.
"Aarrgghh.., Debby, aku sudah mau keluar. Mau pipis, aarrgghh..! Telan sayang. Telan lendir enaknya ya!"
"Hmm.." sahut gadis itu sambil mengangguk.
Theo semakin tegang setelah melihat anggukan itu. Sendi-sendi tungkai 
kakinya menjadi kaku. Nafasnya mengebu-gebu seperti seorang pelari 
marathon. Sebelah tangannya menggenggam kepala gadis itu, dan yang 
sebelah lagi menjambak. Pinggulnya bergerak seirama dengan tarikan dan 
dorongan lengannya di kepala gadis itu. Hentakan-hentakan pinggulnya 
membuat gadis itu terpaksa memejamkan matanya.
Batang kemaluannya sudah menggembung. Lendir berwarna putih susu terasa 
bergerak dengan cepat dari kantung biji kemaluannya. Ia berusaha untuk 
menahannya. Tapi semakin ia berusaha, semakin besar tekanan yang 
menerobos saluran di kemaluannya. Akhirnya ia meraung sambil 
menghunjamkan batang kemaluannya sedalam-dalamnya. Berulang kali. 
Ditariknya, dan secepatnya dihunjamkan kembali.
"Aarrgghh.., aduuh! Aarrgghh..!" raung Theo sekeras-kerasnya ketika ia 
merasakan air maninya muncrat 'menembak' kerongkongan gadis itu.
Sesaat ia merasa kejang. Dibiarkannya batang kemaluannya terbenam. 
Tangannya mencengkeram kepala gadis itu dengan keras karena tak ingin 
kepala itu meronta. Ia tak ingin kepala itu terlepas ketika ia sedang 
berada pada puncak kenikmatannya. Keinginan itu ternyata menjadi 
kenikmatan ekstra, yaitu kenikmatan karena 'tembakannya' langsung masuk 
ke kerongkongan gadis itu. 'Tembakan' itu akan membuat kerongkongan itu 
agak tersendat sehingga air maninya akan langsung tertelan. Setelah 
'tembakan' pertama, ia masih merasakan adanya tekanan air mani di 
saluran lubang kemaluannya. Maka dengan cepat ia menarik batang 
kemaluannya, dan menghunjamkannya kembali sambil 'menembak' untuk yang 
kedua kalinya.
"Hisap sayang, aarrgghh..! Aarrgghh..!"
Ditariknya kembali batang kemaluannya. Tapi sebelum kembali 
menghunjamkannya, ia merasakan gigitan di leher batang kemaluannya. Ia 
pun berkelojotan ketika merasakan gigitan itu disertai kuluman lidah. 
'Tembakan' kecil masih terjadi beberapa kali ketika lidah gadis itu 
mengoles-oles lubang kemaluannya.
"Ooh.., nikmatnya!" gumam Theo sambil membelai-belai kedua belah pipi 
gadis itu. Belaian mesra yang mengalir dari lubuk hatinya yang paling 
dalam. Belaian ungkapan kasih sayang dan tanda terima kasih!
Sambil menengadah dan membuka kelopak matanya, Debby terus mengulum dan 
menjilat-jilat. Tak ada lendir berwarna susu yang mengalir dari sudut 
bibirnya. Tak ada setetes pun yang menempel di dagunya. Dan tak ada pula
 lendir yang tersisa di cendawan kemaluan Theo! Bersih. Semua ditelan! 
Gadis belia itu 'membayar' tuntas kenikmatan yang ia dapatkan 
sebelumnya!
Tak lama kemudian, Theo menghempaskan pinggulnya ke atas karpet. Ia 
merasa sangat lemas. Lunglai. Ia tak mampu berdiri lebih lama lagi. 
Debby tersenyum puas. Ia pun bangkit dari sofa, dan kemudian duduk di 
pangkuan Theo. Kedua belah kakinya melingkari pinggang lelaki yang masih
 terengah-engah itu. Posisi duduknya menyebabkan vaginanya persentuhan 
dengan batang kemaluan yang mulai mengkerut. Terasa hangat dan mesra.
"Puas?" tanya gadis itu.
"Puas banget!" jawab Theo.
"Enak lendirku?" sambungnya.
"Enak banget!"
"Mau lagi?"
"Ha?!" jawab Debby sambil mencubit pipi Theo dengan manja.
"Kapan-kapan ya, kita nabung dulu."
"Nabung apaan?"
"Nabung pipis!"
Dan mereka serentak tertawa. Renyah. Lalu saling berangkulan dengan 
mesra. Pipi mereka saling bersinggungan. Kedua belah tangan 
membelai-belai punggung pasangannya. Kemudian masing-masing berbisik 
langsung ke telinga pasangannya.
"Theo suka pipis Debby!"
"Debby suka pipis Theo!"
Villa itu terletak di bagian tengah sebidang tanah perbukitan yang 
luasnya hampir 2 hektar. Dari jauh, villa itu terlihat asri karena 
dinding luarnya dihiasi dengan batu-batu pualam dan marmer serta 
beberapa ornamen kayu jati. Di bagian depan dan belakang, berbatasan 
dengan villa-villa di sekitarnya, tumbuh beberapa pohon pinus yang 
lebat. Tingginya mencapai 4 hingga 5 meter. Halaman di sekelilingnya 
terlihat hijau karena ditumbuhi oleh rumput yang terpangkas rapi. 
Beberapa batu alam berwarna abu-abu dan cokelat tua dengan berbagai 
bentuk dan ukuran tergeletak menghiasi halaman yang luas itu. Di pojok 
belakang sebelah barat terdapat sebuah rumah kecil yang dihuni oleh 
penjaga villa.
Bangunan villa itu tidak terlalu besar. Di lantai 1 hanya ada sebuah 
kamar tidur utama serta sebuah ruang keluarga dan dapur. Sedangkan di 
lantai 2 ada dua buah kamar tidur dan ruang kosong yang tembus hingga ke
 lantai 1. Tak banyak furniture yang melengkapi villa mungil dan mewah 
itu. Dan hampir semuanya terbuat dari kayu jati berukir. Berbagai bentuk
 ukiran terasa mendominasi isi villa. Termasuk bingkai cermin berukuran 
besar yang menempel pada dinding kamar tidur utama. Nuansa artistik 
terasa sangat menonjol di dalam dan luar villa.
Debby baru saja tiba di villa itu kira-kira 10 menit yang lalu. Setelah 
meletakkan tasnya di teras dan memberi beberapa instruksi kepada lelaki 
tua penjaga villa, ia segera melangkah ke kamar tidur depan di lantai 2.
 Ditanggalkannya celana jeans dan t-shirt yang dipakainya sejak dari 
Jakarta. Sambil berdiri di depan cermin, dikenakannya sebuah kimono. 
Sejenak, ia ragu melilitkan tali kimono itu di pinggangnya. Tapi 
akhirnya, sambil ditanggalkan pula. Ia tersenyum ketika mengikat tali 
kimono itu. Senyum yang menyimpan sebuah rencana, dan sekaligus senyum 
untuk dirinya sendiri karena tak ada lagi yang tersembunyi di balik 
kimono itu.
Debby berdiri di balkon depan yang menghadap ke timur. Sejak kecil ia 
suka menghabiskan waktunya di balkon itu. Terutama bila sore hari, ia 
suka menatap embun tipis yang perlahan-lahan turun dari atas dan mulai 
bertebaran di halaman. Embun itu kadang-kadang sirna tertiup angin 
tetapi kadang-kadang angin bertiup mendorong segerombol embun yang 
sebagian di antaranya tersangkut di daun-daun pohon pinus. Kira-kira 
satu jam kemudian, ketika sore berubah menjadi senja, embun tipis 
berwarna putih itu mulai menyelimuti pucuk-pucuk pinus. Diam tak 
beranjak. Hanya beberapa gerombol di atas rumput yang terlihat masih 
bergerak tertiup angin. Dan ketika senja sirna, lampu-lampu taman yang 
bertebaran di halaman pun tak berdaya mengusir embun yang menyelimuti 
villa dan sekelilingnya.
Debby melirik jam tangannya. Hm, kurang lebih setengah jam lagi Theo 
akan tiba, katanya dalam hati. Setiap kali menyebut nama lelaki itu 
jantungnya terasa berdebar. Walau lelaki itu 15 tahun lebih tua dari 
usianya, tetapi ia merasa sangat nyaman bila berada di dekatnya. Lelaki 
yang selalu memanjakannya, yang berani membantah tetapi bila terus 
didesak akhirnya akan menuruti kemauannya. Ia tersenyum dikulum, 'Theo 
memang selalu memperlakukanku seolah aku adalah satu-satunya benda 
berharga baginya' gumam gadis remaja itu. Kemudian ia teringat beberapa 
peristiwa 'nakal' yang membuatnya merasa sangat dimanjakan.
Saat itu mereka sedang menikmati santap malam di sebuah restoran yang 
terkenal dengan sajian 'rib roast'-nya. Mereka duduk berdampingan pada 
sebuah meja yang posisinya di sudut dan menghadap ke bagian tengah 
restoran. Sesekali mereka terpaksa berbisik untuk mengalahkan suara 
musik dan lagu-lagu merdu Frank Sinatra. Ketika ia menggigit rib yang 
terakhir, setetes kecap jatuh ke lututnya. Ia memang sengaja tidak 
menggunakan serbet untuk menutupi pahanya. Sejak merasakan nikmatnya 
lidah Theo saat menjilati paha dalam dan pangkal pahanya, ia selalu 
menggunakan rok mini yang bagian bawahnya lebar. Ia selalu ingin 
memperlihatkan sepasang pahanya yang mulus. Bila duduk, rok mini itu 
semakin tertarik sehingga hanya kira-kira 10 cm saja yang menutupi 
pahanya. Ia tidak khawatir akan 'ditonton' tamu-tamu lainnya karena ada 
taplak meja yang menghalangi, taplak yang menjuntai hingga hampir 
menyentuh lantai.
"Theo, jangan dilap pakai tissue," katanya ketika melihat Theo menjumput selembar tissue.
"Jadi pakai apa, Sayang."
"Pakai lidah yang suka 'mimik' pipis Debby!", bisiknya manja.
Theo tertegun. Ditatapnya mata gadis belia itu seolah sedang mencari 
ketegasan atas kalimat yang baru saja didengarnya. Ia pun terkesima 
mendengar kata 'mimik'. Kata yang lebih mesra sebagai pengganti kata 
'minum'. Selintas ia teringat ketika pertama kali mencumbui vagina gadis
 itu. Sangat sulit dilupakannya kehangatan yang mengalir dari bibir 
vagina gadis itu ketika menjepit lidahnya. Jepitan yang disertai 
enyutan-denyutan vagina yang hampir mencapai orgasmenya. 
Denyutan-denyutan yang membuat ia semakin rakus menghisap-hisap lendir 
di vagina itu. Dan tak lama kemudian, ia merasakan segumpal lendir 
orgasme mengalir membasahi kerongkongannya. Dan setelah menjilati bibir 
luar vagina gadis itu hingga bersih, ia mendengar gadis belia itu 
bertanya dengan polos.
"Kok pipis debby diminum?"
"Kok bengong, Theo. Nggak mau ya?"
"Kamu memang nakal dan kadang-kadang keterlaluan."
"Udah nggak sayang sama Debby, ya!"
"Sayangnya tetap selangit. Tapi ini di restoran. Di tempat umum!"
"Biarin!" kata gadis itu setengah merajuk.
"Entar dilihat orang lain. Malu 'kan kalau ketahuan."
"Biarin!"
"Biarin?"
"Paling juga mereka jadi iri. Yang laki-laki ingin jadi Theo, yang 
perempuan ingin jadi Debby!" jawab gadis itu sambil tertawa kecil. Tawa 
yang menggemaskan!
Sekilas, Theo memandang ke sekeliling ruangan. Tak ada tamu yang sedang 
memandang ke arah mereka. Pelayan-pelayan restoran pun terlihat sibuk 
melayani tamu-tamu. Dadanya berdebar-debar. Hatinya terpancing untuk 
mencoba. Lalu dengan cepat ia menunduk dan menjilat. Dan dengan cepat 
pula ia mengangkat kepalanya kembali. Jantungnya masih berdebar-debar 
ketika pandangannya menyapu sekeliling ruangan. Tak ada perubahan. Tak 
ada seorang pun yang memandangnya!
Debby tertawa kecil. Dicubitnya pinggang guru matematikanya itu dengan 
manja. Sejenak mereka saling tatap, kemudian serentak tertawa renyah. 
Tak lama kemudian, gadis belia itu sengaja mengerak-gerakkan kakinya. 
Sesekali sebelah kakinya agak diangkat hingga roknya yang mini semakin 
tersingkap. Ia semakin bersemangat menggerak-gerakkan kakinya ketika 
memergoki Theo tertegun menatap keindahan pahanya. Gerakannya baru 
berhenti setelah ujung roknya tersangkut di pangkal paha. Ia merasa 
yakin bahwa G-string yang dipakainya telah terlihat mengintip dari 
pangkal pahanya.
"Kelihatan nggak?"
"Sedikit!"
"Warna apa?"
"Pink!"
"Suka?"
"Suka banget!"
"Cium dong!"
"Ha?! Di sini?"
"Hmm!!"
Jantung Theo kembali berdebar-debar. Tantangan, katanya dalam hati. 
Tantangan dari seorang gadis belia yang cantik, seksi, masih perawan, 
dan sekaligus nakal! Itulah salah satu sebab yang membuat ia selalu 
ingin memanjakan gadis itu. Ide-idenya yang nakal kadang-kadang 
menciptakan sensasi. Menciptakan gairah untuk menaklukkan tantangan yang
 disodorkannya. Ia memang belum pernah melakukan hal itu. Dan ia pun 
yakin bahwa gadis itu -dalam keramaian publik- belum pernah mendapat 
ciuman di pangkal pahanya. Ia menarik nafas panjang dan berusaha 
menenteramkan debar-debar jantungnya. Sekilas, ia kembali memandang 
tamu-tamu di sekelilingnya. Setelah yakin tak ada yang memperhatikan, ia
 menunduk dan mengecup G-string dari sutera itu. Kecupan yang persis di 
belahan bibir vagina!
Debby menggelinjangkan pinggulnya. Ia hampir memekik. Tapi karena 
jari-jari tangannya segera menutupi mulutnya, pekikan itu hanya 
terdengar lemah. Suara pekikan itu tersangkut di lehernya.
"Suka?" tanya Theo sambil mengangkat kepalanya.
"Suka banget! Nikmat dan mendebarkan!"
"Mau lagi?"
"Entar ketahuan."
"Biarin!" jawab Theo sambil tersenyum.
"Benar?"
"Hmm!"
"Tapi mata Theo harus tertutup. Dan setelah dikecup, dijilat ya," bisik gadis itu. 
Theo terdiam sejenak, lalu bertanya..
"Kok harus menutup mata?"
"Tentu ada alasannya."
"Kalau hanya mengecup dan menjilat, aku pasti mau."
"Kalau matanya nggak tertutup, Debby yang nggak mau!" kata gadis itu 
merajuk manja. Theo terdiam kembali. Tapi tak lama kemudian ia 
menjawab..
"OK," katanya sambil mengangguk. 
Gadis itu tersenyum manis.
"Lihat ke Debby dan tutup matanya. Biar Debby yang mengawasi mereka," 
katanya sambil menolehkan kepalanya ke arah tamu-tamu di restoran 
itu."Nanti kalau Debby bilang 'cium' baru menunduk ya." sambungnya 
sambil membuka kedua lututnya lebih lebar. Lutut sebelah kirinya agak 
diangkat agar pangkal pahanya cukup terbuka untuk menampung sebuah 
kepala.
"OK." jawab Theo sambil memejamkan matanya. Tak lama kemudian, ia mendengar bisikan di telinganya..
"Sekarang cium, Theo!"
Dengan cepat Theo menunduk. Ia merasakan jari-jari tangan gadis itu 
menekan bagian belakang kepalanya, menuntun agar bibirnya mendarat di 
tempat yang tepat. Dan.., sejenak ia terkesima setelah bibirnya mendarat
 di pangkal paha gadis itu. Aroma yang sudah sangat dikenalnya tiba-tiba
 terasa langsung menyergap lubang hidungnya. Tapi karena khawatir bila 
harus menunduk terlalu lama di balik meja, ia segera mencium pangkal 
paha gadis itu. Ia sangat terkejut karena bibirnya bersentuhan langsung 
dengan bibir vagina yang lembut. Vagina yang hangat dan sedikit lembab.
Secara bergantian, dengan cepat, dikulumnya kedua bibir luar vagina itu.
 Lalu dijulurkannya lidah untuk menjilat celah sempit di antara ke dua 
bibir itu. Lidahnya segera tenggelam dalam kehangatan yang licin. 
Jilatannya tajam seperti mata pisau yang mengiris mentega. Dan.., seolah
 ada alarm berbunyi di telinganya ketika ia merasakan tarikan rambut di 
bagian belakang kepalanya. Ia segera mengangkat wajahnya sambil membuka 
mata. Sebelum kepalanya benar-benar tegak, ia masih sempat melihat jari 
telunjuk gadis itu melepaskan tarikan tepi G-stringnya agar vaginanya 
tertutup kembali.
Sejenak mereka saling tatap. Di bola mata mereka tersirat binar-binar 
birahi. Dan sambil tertawa kecil, keduanya berangkulan dengan mesra!
Debby masih berdiri di balkon. Tatapannya menerawang jauh dan terbentur 
pada lampu-lampu villa-villa di sekitar villanya. Ia menarik nafas 
panjang. Udara segar yang bertiup di sekitar Puncak Pass terasa sejuk 
memenuhi rongga dadanya. Hembusan udara mulai terasa dingin di kulitnya.
 Tapi ia menyukai dinginnya udara itu, terutama ketika berhembus menerpa
 bagian bawah pusarnya. Pangkal pahanya terasa sejuk. Dinginnya udara 
meredakan letupan-letupan gairah yang sempat memanas ketika ia teringat 
pada ciuman dan jilatan Theo di restoran rib roast itu.
Debby kembali melihat jam tangannya. Tak lama lagi Theo akan tiba, 
katanya dalam hati. Semakin dekat waktu yang telah mereka sepakati, 
semakin gelisah ia menunggu. Ia merasa lebih gelisah daripada biasanya 
karena ia sudah memutuskan bahwa malam itu ia akan mengucapkan "selamat 
tinggal masa remaja!" Dan itu akan ia ucapkan tepat ketika ia berusia 17
 tahun. Usia untuk menjadi seorang wanita! Masih terbayang dalam 
ingatannya raut wajah Theo yang terlihat bingung ketika menerima denah 
jalan menuju villa. Raut wajah itu semakin bingung ketika ia mengatakan,
 "Nanti malam, di villa, Debby akan memberikan sebuah hadiah yang sangat
 istimewa."
Sebenarnya ia telah membuat keputusan itu beberapa hari yang lalu. 
Bahkan ingin memberikannya pada saat itu juga. Tapi karena hari ulang 
tahunnya yang ke-17 tinggal beberapa hari lagi, ia memutuskan untuk 
menundanya. Ia tahu bahwa Theo akan merasa sangat berbahagia menerima 
hadiah itu. Ia sadar bahwa lelaki yang selalu memanjakannya itulah orang
 yang paling tepat dan berhak untuk mendapatkan hadiah itu. Lelaki yang 
dengan kedua bibirnya dapat membuatnya menderita dalam rintihan nikmat. 
Lelaki yang telah memberikan arti nikmatnya sebuah cumbuan di pangkal 
pahanya. Lelaki yang lidahnya menari-nari pertama kali di vaginanya 
kira-kira sebulan yang lalu, yang kemudian secara rutin seminggu dua 
kali selalu 'mimik' pipis enak dari pangkal pahanya. Lelaki yang selama 
sebulan telah bersabar mencumbu dan dicumbu hanya dengan bibir dan 
lidah.
'Theo memang lelaki yang sabar dan penuh perhatian', gumamnya ketika 
teringat pada cendawan di ujung batang kemaluan Theo. Seolah masih 
terasa lembutnya cendawan itu menyusup ke dalam rongga mulutnya. 
Cendawan yang terasa mengalirkan kehangatan ketika menyentuh 
kerongkongannya, yang membuat ia tersendat dalam nikmat, yang membuat 
rasa dahaganya sirna setelah mendapatkan 'mimik' pipis enak dari batang 
kemaluan itu, dan yang membuatnya terpejam ketika segumpal lendir panas 
tiba-tiba 'menembak' kerongkongannya.
Gadis remaja itu tersenyum manis ketika melihat cahaya lampu mobil yang 
mendekati villanya. Tergopoh-gopoh ia menuruni tangga ke lantai 1 dan 
setengah berlari menuju halaman. Langkahnya yang cepat membuat pahanya 
yang berwarna kuning gading sesekali menyembul dari belahan kimono yang 
pakainya. Segera dipeluknya pinggang lelaki itu. Pelukannya yang sangat 
ketat seolah menunjukkan kerinduan yang mendalam. Padahal mereka baru 
berpisah beberapa jam yang lalu.
Theo menggamit dagu gadis remaja itu, membuat wajahnya yang cantik 
menengadah. Lalu ia menunduk dan menggosok-gosokkan hidungnya ke ujung 
hidung gadis itu. Dalam keremangan cahaya lampu neon di teras, bibirnya 
memagut bibir gadis itu. Dikulumnya bibir mungil itu dengan penuh 
perasaan. Ia ingin menunjukkan rasa cintanya yang dalam. Dan ketika 
lidah gadis itu menjulur, lidah itu segera dipilinnya dengan lidahnya 
sambil dihisapnya dengan lembut.
"Kangen nggak?"
"Kangen banget, Sayang!" jawab Theo sambil mengecup leher jenjang gadis itu.
"Geli, Theo!"
"Oh ya. Kalau yang ini..?" tanya Theo sebelum mengecup dan menjentikkan ujung lidahnya persis di bawah dagu.
"Enak..!"
Jawaban itu membuat Theo lebih bersemangat menciumi leher gadis itu. 
Sesekali lidahnya menjulur menjilat hingga membuat gadis itu beberapa 
kali mendongakkan kepalanya. Lalu ia merasakan kedua belah lengan yang 
merangkul pinggangnya berpindah ke lehernya, membuat buah dada gadis itu
 menempel ketat ke dadanya. Karena senang dan gemas, kedua telapak 
tangannya segera meremas bongkah pantat gadis itu. Bongkah pantat itu 
terasa kenyal karena belum sepenuhnya mengembang. Diremasnya berulang 
kali. Bahkan sambil meremas, bongkah pantat itu agak ditariknya ke atas 
agar ia tak perlu terlalu menunduk ketika menciumi leher.
Debby menyukai tarikan di bongkah pantatnya walau hal menyebabkan ia 
harus berjinjit. Tak lama kemudian, karena jari-jari kakinya mulai 
terasa kelu, ia menggantung di leher agar dapat melingkarkan kedua belah
 kakinya di pinggang lelaki itu. Tumitnya terpaksa menekan pinggul Theo 
ketika ia merasakan ciuman-ciuman basah merayap menuju buah dadanya. 
Ciuman yang membuat ia beberapa kali melengkungkan punggungnya ke 
belakang, memberi ruang yang lebih luas kepada lelaki itu untuk menciumi
 buah dadanya. Beberapa menit kemudian, tumitnya menekan lebih keras 
karena ia ingin mengangkat badannya lebih tinggi agar ciuman-ciuman itu 
segera mendarat di buah dadanya.
Theo menarik bongkah pantat gadis itu lebih tinggi setelah menyadari 
bahwa di balik kimono itu tidak ada bra yang menghalangi. Walau kimono 
itu belum sepenuhnya terbuka, bibirnya sudah tidak sabar untuk segera 
mengecup celah di antara kedua buah dada yang baru mekar itu. Lidahnya 
pun mulai merayap dari lekukan bawah hingga ke putingnya yang kecil. 
Semakin lama lidah itu bergerak semakin cepat. Menjilati bergantian. 
Buah dada kiri dan kanan. Dan ketika merasakan air liurnya telah 
membasahi kedua buah dada itu, ia segera mengulum putingnya yang 
kemerahan.
"Ooh..! Ooh.., Theo! Aarrgghh..!" desah Debby ketika merasakan puting 
dadanya digigit dengan lembut. Dan ketika bibir lelaki itu berpindah ke 
buah dada sebelahnya, lalu mengulum dan menjentik-jentikkan ujung lidah 
di putingnya, ia mengerang..
"Theoo..! Aargh.., enak!!" Tapi beberapa detik kemudian, ia mendorong kepala lelaki itu.
"Gendong ke atas dong, Theo," katanya sambil menunjuk ke arah balkon.
Debby tahu bahwa setelah menciumi buah dadanya, guru matematikanya yang 
tampan itu akan menciumi betis, lalu paha, dan pangkal pahanya. Dari 
beberapa cumbuan oral yang mereka lakukan sejak sebulan yang lalu, ia 
pun tahu bahwa kedua betisnya akan mendapat ciuman-ciuman basah bila 
cumbuan itu dilakukan di atas tempat tidur. Tapi kali ini ia 
menginginkan cumbuan yang agak berbeda. Sesuatu yang berbeda akan 
menciptakan sensasi yang berbeda pula, yang akan membuat tubuhnya 
menderita dalam kenikmatan berkepanjangan. Ia menginginkan ciuman dan 
jilatan basah merayap dari kedua betis hingga ke bibir vaginanya 
dilakukan ketika ia sedang berdiri di balkon villa! Walaupun 
sesungguhnya ia tak dapat memastikan apakah hangatnya jilatan-jilatan 
rakus di vaginanya akan mampu melawan dinginnya embun dan tiupan angin 
malam yang menerpa tubuhnya.
Ia merinding membayangkan kenikmatan akibat sensasi yang luar biasa itu.
 Merinding karena ia ingin mengalami orgasme dalam terpaan embun putih 
dan dinginnya angin malam! Suasana seperti itulah yang diinginkannya. Di
 satu sisi ia ingin merasakan dinginnya tiupan angin malam di sekujur 
tubuh, dan di sisi lain ia ingin merasakan hangatnya lidah yang terselip
 di bibir vaginanya. Sensasi yang luar biasa itu akan membuat tubuhnya 
kejang pada saat segumpal lendir orgasmenya akan langsung dihisap oleh 
lelaki yang dicintainya itu dengan rakus. Lendir orgasme yang tumpah 
ketika ia berdiri menggigil kedinginan dalam selimut embun malam!
Gadis itu merasa melayang ketika Theo menggendongnya menuju balkon. 
Vaginanya mulai terasa basah ketika lelaki itu menurunkan tubuhnya 
dengan hati-hati. Karena tali kimono yang melilit pinggangnya sudah 
kendur, angin malam yang dingin terasa langsung menerpa bagian depan 
tubuhnya. Ia mulai menggigil.
"Di sini?"
"Hmm!"
Debby menyandarkan punggungnya ke kusen pintu, lalu memandang ke 
sekelilingnya. Putih berkabut. Ia menoleh ke arah rumah penjaga villa di
 sudut barat, juga putih berkabut. Walaupun lampu neon di balkon tidak 
dimatikan, ia merasa yakin tidak ada orang yang dapat melihat mereka. 
Sambil tersenyum, diangkatnya kaki kirinya lalu meletakkan telapak 
kakinya di sandaran lengan kursi di sebelahnya. Bagian tengah kimononya,
 dari pinggang ke bawah menjadi terbelah dua.
"Di sini, Theo. Puaskan Debby di sini! Sepuas-puasnya, Sayang. Debby 
ingin malam ini menjadi malam yang tak terlupakan. Debby ingin pipis 
enak di sini. 'Mimik' ya Sayang. Kalau udah puas 'mimik', baru kita 
pindah ke dalam. Debby akan beri hadiah istimewa untuk Theo di kamar!"
Theo tertegun. Posisi gadis belia yang disayanginya itu sangat 
menantang, membuat ia tak mampu menjawab. Matanya nanar menatap 
keindahan kaki yang keluar dari belahan tengah kimono, yang lututnya 
tertekuk karena telapaknya menginjak lengan kursi. Mulutnya setengah 
terbuka ketika matanya menatap pangkal paha gadis itu. Terkesima. Ia 
baru menyadari bahwa tak ada celana dalam mini atau G-string yang 
menutupi pangkal paha itu. Dalam keremangan, masih dapat dilihatnya 
bulu-bulu ikal halus dan tipis di bagian atas vagina yang segar itu.
"Mau 'kan, Theo?"
"Akan kuturuti apa pun yang Debby inginkan," kata Theo sambil berlutut di hadapan gadis itu.
Dengan posisi berlutut, betis indah itu berada persis di sebelah pipi 
Theo. Dan dengan lembut diusap-usapkannya telapak tangannya ke betis 
itu. Semenit kemudian, dibelai-belainya betis itu dengan pipinya. Ia 
ingin merasakan kehalusan pori-pori betis itu di pipinya! Lalu ia 
mengecupnya. Mula-mula ia mengecup bagian bawah, tetapi semakin lama 
semakin naik ke arah belakang lutut. Mula-mula kecupannya kering, tetapi
 semakin mendekati belakang lutut, kecupannya semakin basah. Ketika 
bibirnya telah terselip di belakang lutut yang tertekuk itu, ia mengecup
 sambil mempermainkan ujung lidahnya.
"Geli, Theo!" kata gadis ketika ia merasakan kumis Theo menggelitik belakang lututnya.
Kedua belah tangannya mendekap dada untuk mengurangi dinginnya terpaan 
angin sekaligus untuk menahan agar belahan tengah kimononya tetap 
tertutup. Sebaliknya, ia mulai merasakan kehangatan di pangkal pahanya.
Theo memindahkan kecupannya ke betis yang sebelah lagi. Betis itu terasa
 lebih kenyal karena berat badan Debby bertumpu pada sebelah kaki. 
Dengan sabar, Theo mengecup kembali. Mengulangnya berulangkali. Dan 
kemudian mulai menjilat ke arah bawah. Sesekali ia mengecup dengan 
gemas, setengah menggigit.
Debby menunduk dengan mata terbuka lebar. Ia merasa senang dan 
tersanjung menatap guru matematikanya itu berlutut di antara kedua belah
 kakinya. Jantungnya berdebar-debar melihat lelaki yang sabar itu harus 
membungkuk agar dapat mengecup betisnya. Ia merasa senang dan 
tersanjung. Perasaan itu seolah membongkah dan memberi kehangatan di 
rongga dadanya. Membuat dirinya seolah melambung tinggi ke dalam 
dinginnya embun malam. Ia pun sangat menikmati hembusan nafas yang 
terasa hangat di betisnya. Setiap kali lelaki itu mengecup, seolah 
tersisa kehangatan di bekas kecupannya.
Theo mulai menciumi lutut bagian dalam. Sambil mencium, matanya menatap 
bibir vagina gadis itu. Walau terlihat samar, tetapi cahaya lampu neon 
di langit-langit balkon membuat bibir vagina tampak mengkilap. Pasti 
sudah ada sedikit cairan lendir yang terselip di antara bibir itu, 
katanya dalam hati. Lalu dengan cepat diterkamnya vagina yang segar itu.
 Lidahnya segera membelah, dan bibirnya segera mengisap. Setelah itu, 
dengan cepat pula ia menarik kepalanya menjauhi vagina itu. Hanya 
sedikit cairan lendir yang terhisap.
Debby memekik karena terkejut. Ia tak menduga Theo akan 'menerkam' 
vaginanya secepat itu. Walau hanya sekejap, dalam keterkejutannya, 
terkaman itu ternyata mampu mengalirkan kehangatan di sekujur tubuhnya. 
Mungkin karena terkejut, sekejap ia lupa pada dinginnya terpaan angin 
malam.
"Theo jahat! Nggak sabar ya?"
"Ingat, tak ada setetes pun yang terbuang!"
"Paha dulu!" kata gadis itu sambil mendorong kepala Theo ke arah pahanya.
Theo menatap keindahan paha yang terpampang di depannya. Paha itu 
terbuka lebar dan karena telapaknya terletak di atas sandaran lengan 
kursi, dengan mudah ia menciumi dan sesekali menjilatnya karena paha itu
 persis setinggi kepalanya. Kulit paha itu terasa dingin di bibirnya. 
Lalu diusapkannya wajahnya beberapa kali ke permukaan paha dalam yang 
mulus itu. Ia suka merasakan kemulusan paha itu di wajah dan pipinya. 
Semakin sering mengusap-usapkan wajah dan menciuminya, kulit paha itu 
terasa semakin hangat. Kedua belah telapak tangannya pun giat bergerak 
menyalurkan kehangatan. Tangan kirinya mengusap-usap paha kanan bagian 
luar, sedangkan telapak kanannya digunakan untuk mengusap-usap betis 
kiri gadis itu.
Debby sangat menyukai usapan-usapan telapak tangan Theo. Usapan-sapan 
itu mengurangi dinginnya terpaan angin malam. Bahkan kehangatan pun 
mulai terasa menjalar di bagian bawah perutnya ketika ia merasakan lidah
 Theo merayap mendekati lipatan antara paha dalam dan vaginanya. Ia 
merintih ketika bibir lelaki yang suka 'mimik' pipisnya itu menariki 
bulu-bulu halus di sekitar bibir vaginanya. Bulu-bulu itu masih terlalu 
pendek, masih sepanjang bulu alis mata sehingga bibir itu selalu gagal 
menariknya. Hal itu malah membuat vaginanya semakin basah. Setelah 
mengencangkan lilitan kimono agar belahan di bagian dadanya tidak 
terbuka, kedua lengannya segera jatuh di atas kepala lelaki itu. Ia 
menginginkan lidah hangat itu membelah bibir vaginanya.
"Theo, mimik dulu dong lendirnya," kata gadis itu sambil membuka bibir 
vaginanya dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. Sejenak, Theo 
menghentikan ciuman-ciumannya. Ia menengadah sambil tersenyum, tak lama 
kemudian, ia kembali menciumi paha kiri gadis itu. Sengaja tidak 
diturutinya keinginan gadis itu.
"Theo, jahat!" kata gadis itu sambil menarik kepala Theo ke arah pangkal
 pahanya. Kedua tangannya menahan agar kepala itu tetap berada di 
pangkal pahanya. Dan ketika ia merasakan kehangatan lidah menyusup ke 
dalam vaginanya, ia merintih..
"Ooh, ooh.., enak Theo! Aarrgghh..!"
Tarikan nafasnya pun mulai tak teratur ketika lidah itu menjilati 
dinding dan bibir dalam vaginanya. Ia mendorong pinggulnya agar lidah 
itu masuk semakin dalam. Ia mulai lupa dan tak merasakan dinginnya angin
 malam. Biasanya, keadaan seperti itu membuat pori-pori di sekujur 
tubuhnya terbuka. Berkeringat. Tapi saat ini, tak ada setetes pun 
keringat di kulitnya. Pori-porinya tetap tertutup. Kenikmatan dan 
kehangatan nafas yang mendengus-dengus di vaginanya hanya mampu memberi 
kehangatan tetapi tak mampu membuatnya berkeringat. Dan ia menyukai hal 
itu! Sebuah sensasi yang membuat vaginanya semakin basah berlendir. 
Apalagi ketika merasakan lelaki itu mengisap lendir yang terselip di 
bibir dalam baginanya, ia merintih berulang kali..
"Argh..! Argh..! Theo, Oh nikmatnya, sstt, sstt.., aarrgghh..!" Ia 
menjadi lupa pada paha kirinya yang belum cukup banyak mendapat cumbuan.
Malam itu Theo merasakan sebuah perbedaan. Aroma segar kemaluan gadis 
itu tidak setajam biasanya. Mungkin karena aroma itu langsung tertiup 
angin malam. Karena rindu akan aroma itu, Theo menekan hidungnya ke 
celah sempit di antara bibir vagina gadis itu. Ditekannya 
sedalam-dalamnya sambil menghirup aroma yang sangat dirindukannya itu.
Debby terkejut merasakan hidung lelaki itu tiba-tiba menusuk lubang 
vaginanya. Ia menggelinjangkan pinggulnya. Menggelinjang dalam 
kenikmatan. Geli dan nikmat tiba-tiba terasa menusuk hingga ke 
jantungnya. Ia merintih-rintih berkepanjangan akibat dengusan nafas di 
dalam lubang vaginanya.
"Aarrgghh..! Aarrghh..! Ampun, Theo..! Aarrgghh.., aarrgghh..!" 
rintihannya semakin keras ketika merasakan kumis lelaki itu menyapu 
klitorisnya.
"Ampun, ampun.. Theo! Aarrgghh..! Debby mau pipiis!"
Tapi ia tak berusaha menghindari hidung itu. Ia bahkan memutar 
pinggulnya sambil menekan bagian belakang kepala lelaki itu. Ia tak 
ingin hidung itu tak lepas dari jepitan bibir vaginanya. Hal itu tak 
berlangsung lama. Ia hanya mampu memutar-mutar pinggulnya beberapa kali!
 Tiba-tiba saja ia merasakan adanya dorongan lendir orgasme yang tak 
mampu ditahannya. Dorongan itu terasa sangat kuat. Jauh lebih kuat 
daripada dorongan yang biasanya ia rasakan ketika mendekati puncak 
orgasmenya.
"Theo, Theo.., Debby mau pipis! Aarrgghh.., mimik!"
Theo mendengar rintihan itu. Tapi ia tak ingin menarik hidungnya. Ia tak
 peduli walaupun merasakan dua lengan memukul-mukul kepalanya dengan 
gemas. Ia telah terbius oleh aroma, kehangatan, kelembutan, dan 
kehalusan dinding vagina gadis remaja itu. Bahkan semakin diremas dan 
ditariknya kedua bongkah pantat gadis itu agar hidungnya semakin 
tenggelam ke dalam liang vagina yang segar itu.
Remasannya di bongkah pantat itu sangat kuat, membuat gadis itu hanya 
dapat merintih dan meronta-ronta. Dan tak lama kemudian, ia merasakan 
lendir hangat membasahi ujung hidungnya. Ia sangat senang merasakan 
kehangatan lendir itu. Lendir yang membasahi hidungnya ternyata membuat 
batang kemaluannya semakin tegang. Bengkak. Mungkin karena merasakan 
nikmat yang berbeda dari biasanya. Selama sebulan, telah berkali-kali ia
 rasakan orgasme gadis itu di ujung lidahnya. Tapi kali ini berbeda, ia 
merasakannya di ujung hidungnya!
Walaupun terasa agak sesak, Theo menarik nafas. Ia menghirup aroma yang 
sangat pribadi itu langsung dari bagian yang sangat dalam dan 
tersembunyi! Ia pun merasa sangat puas karena baru kali ini ia mendengar
 gadis cantik itu merintih-rintih minta ampun!
"Aarrgghh.., ampun! Ampun.., Debby pipiis!" rintih gadis itu sambil berusaha menarik pinggulnya agar hidung lelaki itu terlepas.
Ia tak mampu mengendalikan rasa nikmat dan geli yang bercampur menjadi 
satu di lubang vaginanya. Tapi remasan telapak tangan di bongkah 
pantatnya lebih kuat daripada tarikan pinggulnya. Akhirnya ia hanya 
merintih-rintih melepaskan lendir orgasmenya ketika hidung itu 
mendengus-dengus. Seluruh sendi-sendi di sekujur tubuhnya menjadi 
lunglai. Membuat ia pasrah dan berusaha agar tak terjatuh ke lantai.
Theo menarik hidungnya setelah merasakan lendir orgasme itu berhenti 
mengalir. Ia menengadah sambil tersenyum puas. Ia dapat melihat 
kenikmatan yang baru saja usai mendera gadis itu. Hal itu terlihat dari 
bola mata yang menatap hampa dan kelopak mata yang setengah terpejam.
"Theo jaa.. haatt.., Theo jahat! " kata Debby terengah-engah sambil 
meminjit hidung lelaki itu dengan jempol dan telunjuknya. Tapi jari itu 
terpeleset karena hidung itu masih dipenuhi lendir licin.
"Jahat!" ulangnya sambil memijit kembali."Oh ya?" sahut Theo sambil 
menunduk. Lalu ia mulai menjilati vagina yang masih berlepotan lendir 
itu.
Debby menggeliat ketika merasakan kembali lidah yang menjilati bibir 
luar vaginanya. Ia merasa lelah tetapi ia pun tahu bahwa ia tak dapat 
menghindar dari lidah yang selalu rajin membersihkan sisa-sisa lendir 
orgasme di terasa pegal, terutama tungkai kakinya yang menginjak lengan 
kursi. Ia tidak akan mendorong kepala itu menjauhi vaginanya. Percuma. 
Ia tahu bahwa lelaki yang selalu memanjakannya itu tak akan berhenti 
menjilati sebelum vaginanya benar-benar bersih. Selain itu masih ada hal
 yang belum ia dapatkan. Malam itu ia belum merasakan nikmatnya 
'menumpahkan' lendir orgasmenya langsung ke dalam mulut yang terjebak di
 dalam vaginanya. Terjebak di bagian yang paling dalam dan tersembunyi. 
Belum merasakan nikmatnya 'menumpahkan' lendir orgasme langsung ke dalam
 bibir dan lidah yang menghisap-hisap vaginanya ketika dinginnya angin 
malam menerpa tubuhnya.
Ia menunduk sambil mengusap-usap rambut lelaki tampan yang masih rajin 
menjilati vaginanya. Kelopak matanya kembali terbuka. Bola matanya 
berbinar-binar menikmati pemandangan erotis di pangkal pahanya. 
Menikmati indahnya lidah yang menjulur dan menghilang dalam belahan 
bibir vaginanya. Lidah yang basah mengkilap ketika keluar dari lubang 
vaginanya. Tanpa sadar ia mendesah ketika lidah itu mulai mencari-cari 
sisa lendir di balik sekumpulan urat saraf yang menutupi klitorisnya. Ia
 menggeliat. Dan menggeliat lagi ketika merasakan klitorisnya 
dijentik-jentik dengan ujung lidah. Lalu diturunkannya telapak kaki 
kirinya dari lengan kursi. Setelah memindahkan berat badannya ke kaki 
kirinya, diangkatnya kaki kanannya dan diletakkannya pahanya di pundak 
lelaki itu. Ia menarik nafas lega merasakan kehangatan di bagian dalam 
pahanya, bagian yang menempel dengan pipi Theo.
"Nggak apa-apa 'kan, Sayang." kata gadis itu sambil mempermainkan jari-jari tangannya di rambut lelaki itu.
Ia terpaksa bertanya karena sebelumnya tidak pernah melakukan hal 
seperti itu. Tidak pernah berdiri sambil menjepit kepala di pangkal 
pahanya.Theo menengadah, lalu mengangguk.
"Puaskan Debby ya, Sayang. Sebentar lagi, mimik lagi ya." Theo 
mengangguk kembali sambil mengulum klitoris gadis remaja yang nakal itu.
Melihat anggukan kepala itu, Debby jadi lebih bersemangat untuk meraih 
puncak orgasmenya. Kedua tangannya segera menekan kepala lelaki itu agar
 semakin terdesak ke vaginanya. Satu tangan menekan bagian belakang 
kepala, dan yang sebelah lagi menjambak segenggam rambut. Posisi seperti
 itu membuatnya sangat bergairah. Kelopak matanya terbuka lebar menatap 
kepala yang pasrah di pangkal pahanya. Seolah kepala itu dipersembahkan 
sebagai alat untuk meraih puncak orgasmenya.
Walaupun vaginanya telah pernah beberapa kali dioral oleh guru 
matematikanya itu, tetapi ia belum pernah merasakan nikmatnya 
mengendalikan kepala itu di pangkal pahanya. Mengendalikan sesuka 
hatinya. Jantungnya berdebar-debar ketika ia mulai menggerak-gerakkan 
pinggulnya. Ia merasa lebih nikmat karena pinggulnya bebas bergerak 
sesuka hatinya. Ia pun merasa bebas untuk mengerak-gerakan kepala lelaki
 itu ke arah yang ia inginkan. Menekannya, mendorongnya, atau bahkan 
menariknya. Beberapa kali ia terpaksa menariknya sambil berjinjit karena
 kumis lelaki itu terasa menyentuh ujung atas belahan vaginanya.
"Argh..! Argh..!" rintihnya menahan nikmat yang mendera sekujur 
tubuhnya. Debby merasakan lendir yang semakin deras mengalir ke 
vaginanya.
"Mimik, Sayang," katanya sambil menekan pundak Theo dengan paha belakangnya.
Ia ingin lidah itu menyusup ke dalam vaginanya, menarik lendir dan 
mengisapnya. Ia merasa bahwa sebentar lagi ia akan mencapai puncak 
orgasmenya. Ia ingin merasakan kelembutan dan kehangatan bibir itu 
ketika dinding vaginanya berdenyut-denyut. Sambil agak menekuk kedua 
lututnya, dihentakkannya pinggulnya agar lidah dan bibir lelaki itu 
masuk lebih dalam ke lubang vaginanya. Ia seolah mendapat sinyal ketika 
merasakan remasan di bongkah pantatnya, sinyal yang menyatakan bahwa 
lelaki itu menyukai hentakan pinggulnya. Tanpa ragu, ia kembali 
menghentakkan pinggulnya sambil menekan bagian belakang kepala lelaki 
itu. Dilakukannya berulang kali, seolah ingin menunjukkan bahwa 
vaginanya ingin menelan lidah dan mulut lelaki itu.
"Theoo.., aarrgghh..," rintihnya sambil menekan dahi lelaki itu dengan 
ujung jarinya. Tekanan itu menyebabkan wajah Theo terdongak hingga 
mulutnya persis berada di bawah vaginanya.
"Mimik 'pipis' Debby, Sayaang," rintihnya sambil menghentak-hentakkan pinggulnya dengan cepat.
      
     
     
No comments:
Post a Comment