Bagian 2 : Ketika Bara Memercik
Seminggu setelah peristiwa di belakang panggung itu, Kino mengantar Susi
 ke sanggar Mba Rien. Sebelum berangkat, ia sudah bersumpah untuk tidak 
berlama-lama. Begitu sampai, ia akan segera melepas Susi dan kembali 
kerumah secepatnya. Kepada Susi ia telah pual berpesan agar tidak perlu 
diantar sampai pintu ruang latihan. Susi mencibir manja, tetapi tidak 
membantah ucapan kakaknya.
Namun semua rencana buyar ketika ternyata Kino berjumpa Mba Rien di 
gerbang halaman sanggar. Turun dari sepedanya, Kino tergagap 
menyampaikan salam kepada wanita yang tubuhnya memenuhi hayal Kino 
seminggu ini. "Hai, Kino ... lama sekali kamu tidak kelihatan. Kemana 
saja?" sambut Mba Rien riang. 
"Sibuk, mbak..," jawab Kino menunduk. Adiknya sudah turun dan berlari 
masuk. "Wah... begitu sibuknya, sampai tidak sempat menonton Mba Rien 
lagi, ya!?" sergah Mba Rien sambil tersenyum manis. Kino menyahut dengan
 gumam tak jelas, dan menunduk seperti seorang pesakitan di hadapan 
polisi. "Eh .. tidakkah kamu ingin melihat adikmu menari lengkap?" ucap 
Mba Rien lagi, dan tiba-tiba tangannya telah menyentuh tangan Kino. 
Tergagap, Kino menjawab sekenanya, tetapi entah apa isi jawaban itu, ia 
sendiri tak ingat! "Hayo masuk, sekali ini kamu bisa melihat anak-anak 
menari sampai selesai!" kata Mba Rien yang kini sudah memegang erat satu
 tangan Kino dan menariknya masuk ke halaman sanggar. Kino tak kuasa 
menolak, dan dengan kikuk ia mengikuti langkah Mba Rien sambil menyeret 
sepedanya.
Mba Rien tidak memakai kain sore ini. Tubuhnya dibungkus rok span hitam 
dan hem kuning muda dengan leher V yang agak rendah. Ia juga tidak 
berdiri memberi contoh di depan anak-anak, melainkan duduk bersimpuh di 
lantai, di sebelah Kino yang bersila. Dari tempat mereka duduk, Kino 
bisa melihat anak-anak menari lengkap tanpa instruksi Mba Rien. Bagi 
Kino, anak-anak itu kelihatan seperti daun-daun kering yang berterbangan
 di tiup angin. Jauh sekali bedanya dibandingkan dengan jika yang menari
 adalah Mba Rien.
 Kino melirik ke sebelah kanannya, tempat Mba Rien bersimpuh. Darahnya 
berdesir cepat melihat rok span wanita itu terangkat sampai setengah 
pahanya. Aduhai, pahanya mulus sekali, dihiasi bulu-bulu halus yang 
hampir tak tampak. Betisnya juga indah sekali, tidak terlalu besar, 
tetapi juga tampak kokoh karena sering berdiri lama ketika menari. Mba 
Rien sendiri sedang serius memperhatikan anak-anak menari, sehingga 
tidak menyadari bahwa remaja di sampingnya sedang sibuk menelan ludah! 
Ketika suatu saat Mba Rien harus berganti posisi bersimpuhnya, Kino 
mencuri pandang lagi. Sekejap, ia bisa melihat seluruh pangkal paha Mba 
Rien. Celana dalam berwarna putih, tipis menerawangkan warna kehitaman 
di selangkangan, membuat Kino terkesiap. Cepat-cepat dialihkannya 
pandangan kembali ke tempat anak-anak menari. 
Rien menoleh untuk menanyakan sesuatu, tetapi seketika ia melihat wajah 
Kino seperti kepiting rebus. Ah, ia tiba-tiba sadar akan posisi 
duduknya. Remaja yang sekarang sedang pura-pura memperhatikan tarian itu
 pasti tadi melihat rok ku tersingkap, pikir Rien menahan tawa. Minta 
ampun, remaja sekarang begitu cepat matang! Rien membatalkan 
keinginannya untuk menanyakan komentar Kino. Sebaliknya, ia malah 
bangkit membuat Kino memalingkan muka dengan wajah bersalah. Pikir Kino,
 jangan-jangan ia tahu aku tadi melihat pahanya.
"Kamu mau minum, Kino?" tanya Mba Rien setelah berdiri, dan tanpa 
menunggu jawab ia berkata lagi, "Yuk, ikut saya ambil minum di ruang 
sebelah." Kino bangkit dan mengikuti wanita pujaannya seperti kerbau 
dicucuk hidungnya. Entah kenapa, wanita ini tidak bisa kubantah! ucapnya
 dalam hati. 
Ruangan itu terletak di sebelah ruangan latihan, berupa sebuah dapur 
lengkap dengan meja makannya. Ada sebuah lemari es besar, dan Mba Rien 
tampak sedang membukanya dan mengambil beberapa minuman botol. Kino 
berdiri tidak jauh di belakangnya, melihat dengan takjub tubuh yang agak
 membungkuk di depannya. Kepala Mba Rien tersembunyi di balik pintu 
lemari es, tetapi bagian belakang tubuhnya yang seksi terlihat nyata di 
mata Kino. Gila! Segalanya terlihat indah! umpat Kino dalam hati. 
Kemudian mereka minum sambil duduk di kursi makan. Mba Rien menawarkan 
kue, tetapi Kino menolak halus. Mereka berbincang-bincang, atau lebih 
tepatnya Mba Rien bercerita tentang segala macam. Kino lebih banyak 
mendengarkan daripada berbicara. Entah kenapa, Rien sendiri merasa 
semakin dekat dengan remaja di hadapannya. Rien merasa bahwa Kino adalah
 adik lelaki yang tak pernah dimilikinya. Saudara kandungnya semua 
perempuan, dan tinggal di lain kota. Di sini ia hidup sendirian, di 
sebuah kamar indekos tak jauh dari sanggar. Untuk Rien, Kino adalah 
remaja yang menyenangkan. Tidak berulah seperti kebanyakan remaja 
seusianya. Kino juga sopan, walaupun matanya sering nakal. Ah, seusia 
itu pastilah sedang mengalami kebangkitan gairah seksual. Ia ingat, pada
 usia seusia Kino dulu, ia juga mengalami "revolusi" yang sama. Saat 
itu, pikirannya tak lekang dari gairah seks dan lawan jenis. Kino 
pastilah tak berbeda, cuma ia sangat sopan dan pemalu. 
Sore itu mereka berpisah karena latihan menari telah usai. Kino 
mengucapkan terimakasih atas suguhan Mba Rien, dan Rien melambai di 
gerbang sambil mengucap, "Jangan bosan kemari, ya, Kino!" Ah, bagaimana 
aku bisa bosan? ujar Kino dalam hati.
 *****
 Hubungan Rien dan Kino berkembang cepat bagai api membakar ilalang 
kering. Susi sudah tidak lagi latihan menari, karena kini ayah dan ibu 
menyuruh Susi lebih berkonsentrasi ke pelajaran sekolah. Ujian akan 
berlangsung tiga bulan lagi. Kino tidak lagi mengantar Susi, tetapi 
justru kunjungannya ke sanggar semakin sering! Ada satu hal yang membuat
 mereka semakin dekat. Keduanya suka berenang, dan Rien dengan senang 
hati mengajak Kino ke pantai jika waktu senggang. Seperti kali ini, Kino
 pulang lebih cepat karena guru-gurunya harus berseminar di luar kota. 
Dari sekolah, Kino menuju sanggar untuk melihat kalau-kalau Mba Rien 
ingin berenang. Dan ternyata Rien memang sedang tidak berkegiatan, 
sedang sendirian membaca-baca majalah di sanggar. 
"Berenang, yuk, Mba Rien..," ajak Kino. Kini ia sudah berani mengajak 
duluan, setelah berkali-kali mereka berenang bersama di sungai, di kolam
 renang, maupun di pantai. Selama itu, mereka berenang bersama-sama 
dengan beberapa orang lainnya. Kadang-kadang bersama Dodi dan Iwan, 
sahabat Kino. Kadang-kadang bersama Niken, salah seorang penari di 
sanggar. Teman-teman Kino pun kini tahu, bahwa di antara Mba Rien dan 
Kino "ada apa-apa". Tetapi mereka cuma bungkam, karena Kino pasti akan 
berang setiap kali topik itu diangkat dalam pembicaraan. 
Siang itu mereka berenang berdua saja. Teman-teman Kino memilih 
memancing di danau di luar kota. Niken tidak ada di sanggar karena harus
 belanja ke pasar. Rien dengan senang hati menerima ajakan Kino, dan 
segera mengambil pakaian renang dan sepedanya. Di pantai tidak banyak 
orang, karena ini memang bukan hari libur. Rien mengajak Kino ke sebuah 
bukit pasir yang dipenuhi semak, karena tempat itu jauh lebih sejuk di 
bandingkan tempat di mana orang-orang biasa berenang atau bermain pasir.
 Kino menurut saja. Mereka pun lalu berenang, bermain-main air dan 
saling berlomba mencapai batu karang di tengah laut. Mba Rien bukanlah 
perenang yang dapat diremehkan, begitu selalu kata Kino kepada 
teman-temannya. Tubuhnya gesit seperti ikan, dan tahan berenang 
berjam-jam. 
Setelah puas berenang, mereka kembali berteduh di bawah semak-semak. 
Kino menggelar dua handuk lebar yang selalu dibawanya jika berenang ke 
pantai. Rien merebahkan tubuhnya yang penat di sebelah Kino yang juga 
sudah tergeletak kecapaian. Mereka terdiam mendengarkan debur ombak 
memecah pantai. Kino memejamkan mata dan merasakan otot-otot tubuhnya 
pegal dan sedikit linu.
"Kino..," tiba-tiba Rien berucap, hampir tak terdengar.
"Hah?..." Kino kaget dan setengah bangkit. Mba Rien masih tergeletak dengan mata tertutup, tetapi bibirnya tersenyum.
"Ada apa, Mba?" tanya Kino.
"Aku mau tanya, tetapi kamu musti jawab yang jujur ya!" kata Mba Rien, masih memejamkan mata dan tersenyum. Kino cuma diam.
"Kino .., kamu senang melihat saya, bukan?" tanya Mba Rien pelan. Kino 
cuma diam, tak tahu harus menjawab apa. Di hadapannya tergeletak seorang
 wanita dewasa, dengan tubuh sempurna, basah oleh air laut, dan bertanya
 seperti itu! Apa jawabannya?
"Lho, kenapa diam?" sergah Mba Rien, kini membuka matanya, memandang 
Kino dengan sinar mata yang menembus kalbu. Kino menelan ludah, lalu 
menunduk. 
Rien lalu bangkit, duduk bersila menghadap Kino yang kini juga sudah 
duduk dengan kepala agak menunduk. Lalu Rien melakukan sesuatu yang 
selama ini tak pernah terduga oleh Kino. Ia membuka pakaian renangnya, 
menanggalkan bagian atasnya, memperlihatkan buah dadanya yang ranum, 
putih mulus dan basah berkilauan! Aduhai indahnya dua bukit kenyal yang 
turun naik seirama nafas pemiliknya, dengan puncak yang dihiasi dua 
puting coklat kehitaman, berdiri tegak bagai menantang!
Kino mengangkat muka, pandangannya terpaku di kedua payudara indah di 
hadapannya. Mulutnya terkunci rapat. Rien tersenyum melihatnya, lalu 
dengan lembut digenggamnya kedua tangan Kino.
"Jangan malu, Kino. Katakan kamu memang suka melihat tubuh saya, bukan?" ucapnya setengah berbisik. Kino mengangguk pelan.
"Ingin menyentuhnya?" bisik Mba Rien lagi. Kino tergagap, mengangkat 
mukanya dan memandang wajah wanita di depannya tak percaya. 
Tetapi di wajah itu ada sepasang mata yang sangat sejuk, bagai danau di 
kaki bukit tempat teman-temannya biasa memancing. Sebuah hamparan air 
yang tampak tenang meneduhkan hatinya yang bergejolak. 
"Apa maksud, Mba Rien?" ucap Kino tersekat.
"Tidak inginkah kamu menyentuh dadaku?" jawab Mba Rien, genggaman 
tangannya semakin kuat, dan kini perlahan-lahan mengangkat tangan Kino. 
Tersenyum lagi, Rien merasa betapa kedua tangan itu bergetar. 
Cepat-cepat kemudian ia meletakkan kedua tangan Kino di dadanya, di 
puncak-puncak payudaranya yang membusung. Kino segera menarik kembali 
tangannya, bagai menyentuh benda bertegangan listrik. Rien tertawa 
kecil.
"Hayo, pegang lagi...," ucapnya ringan. Diraihnya lagi kedua tangan Kino
 dan diletakkannya kembali di atas payudaranya. Kali ini Kino tak 
menarik tangannya, dan membiarkan kedua telapak tangannya menerima 
sebuah kelembutan, kehangatan, kekenyalan, dan entah apa lagi .... 
semuanya serba menakjubkan. Pelan-pelan, Kino mulai memegang lebih erat,
 menempelkan seluruh telapaknya di puncak-puncak payudara Mba Rien. Baru
 kali ini, setelah lepas dari susu ibunya 13 tahun yang lalu, Kino 
memegang kembali payudara seorang wanita!
"Senang?" tanya Mba Rien, masih dengan suaranya yang setengah berbisik, 
setengah menuntut. Kino hanya bisa mengangguk dan menatap lekat mata Mba
 Rien, seakan-akan hanya dari kedua mata itulah ia bisa memiliki 
kekuatan untuk hidup saat ini. 
Lalu Mba Rien menurunkan tangan Kino, mengenakan kembali pakaian renangnya, dan mengusap lembut wajah Kino.
"Kamu sekarang sudah dewasa, Kino!" ucapnya riang, sambil bangkit dan 
menarik tangan Kino untuk ikut berdiri. Lalu ia berlari, menyeret Kino 
kembali ke laut, terjun sambil berteriak riang, dan melesat meninggalkan
 Kino menuju batu karang di tengah. 
Kino merasa tubuhnya yang panas bagai bara dicelupkan ke dalam air 
dingin, segera memadamkan api yang tadinya sudah hampir membesar. Kino 
menyelam sedalam-dalamnya, seakan-akan hendak bersembunyi dari rasa malu
 yang tiba-tiba mengukungnya. Tapi kemudian ia segera timbul kembali, 
segera bersemangat lagi mengejar wanita yang baru saja memberinya 
pelajaran sangat berharga dalam hidup ini. Aku telah dewasa! jeritnya 
dalam hati. 
*****
Pengalaman di pantai segera disusul pengalaman-pengalaman berikutnya. 
Kino kini sangat dekat dengan Mba Rien-nya, tetapi hubungan mereka 
menampakkan dimensi yang aneh. Jika ada orang bertemu mereka berdua, 
niscaya orang-orang itu akan berkata, 'Akur sekali kakak-beradik itu!'. 
Bahkan kedua orang tua Kino memandang seperti itu, dan karenanya tidak 
pernah tahu apa yang terjadi antara Rien dan anak mereka.  Sebaliknya, 
bagi Rien dan Kino, hubungan mereka telah memasuki babak yang sangat 
menentukan. Bagi Rien, kini Kino adalah seorang lelaki sempurna, lengkap
 dengan segala atributnya, termasuk birahinya terhadap wanita. Kino 
adalah sebuah kepompong yang sedang berubah menjadi kupu-kupu. Dan Rien 
adalah seorang peri yang membantu kupu-kupu itu terbang. 
Minggu sore itu, Rien mengajak Kino mencari kenari di hutan kecil dekat 
danau. Mereka berangkat setelah pukul 3, saat matahari memulai 
perjalanan turunnya. Tadinya Niken hendak ikut, demikian pula Dodi teman
 Kino. Tetapi lalu Niken sakit perut karena datang bulan, dan Dodi harus
 mengantar ibunya ke dokter gigi. Jadilah akhirnya mereka hanya berdua 
ke hutan. 
Rien hanya bercelana pendek, dan memakai t-shirt yang ditutupi jaket 
parasut. Kino bercelana khaki militer, lengkap dengan sepatu bot, dan 
t-shirt hijau tua. Berdua mereka menyusuri jalan setapak, masuk semakin 
jauh ke dalam hutan yang konon dulu menjadi salah satu tempat pertahanan
 bala tentara Nippon. Di hutan ini banyak pohon kenari, dan dalam waktu 
kurang dari setengah jam, keranjang mereka berdua sudah dipenuhi kenari.
 Dengan gesit, Rien berlarian menemukan kenari-kenari yang masih utuh di
 tanah. Kino selalu kalah gesit, terutama karena ia selalu lebih banyak 
memandang Mba Rien yang tampak seksi sore itu.  Lalu, tiba-tiba saja 
hujan turun. Pertama cuma rintik-rintik, tetapi lalu berubah sangat 
lebat. Mereka pun berlarian mencari tempat berteduh, dan beruntung 
karena tidak jauh dari situ ada sebuah gua kecil bekas persembunyian 
tentara Jepang. Kino menyeret Mba Rien berlari ke gua itu, dan tiba di 
sana sedetik sebelum hujan yang sangat deras jatuh ke bumi. 
"Wah, untung ada gua ini!" tukas Mba Rien sambil gemetar menahan dingin 
yang tiba-tiba menyerbu. Gua kecil ini tidaklah terlalu dalam, tetapi 
sangat lembab, sehingga dindingnya dipenuhi lumut dan udaranya lebih 
dingin dari di luar. Apalagi sekarang turun hujan. Kino pun ikut gemetar
 kedinginan. 
Mereka berdiri berdekatan, dan entah bagaimana, Rien akhirnya memeluk 
tubuh Kino dari belakang. Kino tak menolak, dan bahkan merentangkan 
tangannya ke belakang, balas memeluk kedua lengan Mba Rien. 
Perlahan-lahan, gemetaran tubuh mereka mereda, sejalan dengan 
tersebarnya kehangatan dari dua tubuh yang menempel itu. Kino 
perlahan-lahan mulai merasakan kekenyalan di punggungnya, tempat kedua 
payudara Mba Rien menempel erat. Rien merebahkan kepalanya di punggung 
pemuda belia yang harum sabun mandi ini. Sebentuk perasaan sayang 
tiba-tiba saja menghambur keluar dari dadanya, menyebabkan Rien 
memejamkan mata. 
Setelah lebih dari sepuluh menit, hujan tampaknya makin membesar saja. 
Sementara langit mulai gelap menjelang sore. Rien sedang berpikir-pikir 
bagaimana caranya pulang, ketika ia mendengar Kino memanggil namanya.
"Kenapa, Kino?" tanyanya sambil tetap memejamkan mata dan merebahkan kepala di punggung remaja itu.
"Aku juga ingin memeluk, Mba Rien..." ucap Kino pelan. Rien tersenyum dan berkata pelan,
"Seperti aku memeluk kamu?" Kino tidak menyahut. Ia tidak tahu harus 
menjawab apa. Seperti apa ia ingin memeluk Mba Rien, ia belum tahu 
caranya! Rien tersenyum lagi, lalu melepaskan pelukannya. Ia berkata 
lembut,
"Sini..., putar tubuhmu menghadap aku.." 
Kino memutar tubuhnya, lalu tiba-tiba saja ia sudah memeluk Mba Rien 
yang tubuhnya agak lebih pendek sedikit darinya. Dagu Kino menyentuh 
dahi Mba Rien, dan kedua tangan Mba Rien merengkuh erat, bagai hendak 
meluluhkan tubuh Kino. Oh, begini rupanya rasanya dipeluk seorang wanita
 dewasa! pikir Kino dalam hati, dan ia merasakan sebuah kehangatan 
menjalar dari antara kedua kakinya. 
"Begini?" tanya Mba Rien dengan sedikit nada menggoda. Kino cuma 
mengangguk. Rien tertawa kecil, nafasnya yang hangat menyerbu leher Kino
 dan menelusup ke dalam t-shirtnya. Kino pun bergidik, membuat Rien 
tambah tertawa. Lalu tiba-tiba Rien menggigit leher Kino. Tersentak, 
Kino lalu ikut tertawa kegelian. 
Rien tidak berhenti menggigit, dan bahkan lalu berubah menciumi leher 
perjaka ini. Hmm, harum sabun wangi, desahnya dalam hati. Persis seperti
 wangi bayi kakaknya yang dulu ia sering bantu memandikannya. Dengan 
gemas, ia menciumi terus leher Kino, membuat remaja ini menggelinjang 
kegelian. Saat itulah Kino merasakan sebuah desakan kuat untuk membalas 
tindakan Mba Rien. Tanpa disadari, Kino menunduk dan menempelkan 
wajahnya ke wajah Rien yang sedang tengadah. Tanpa sengaja pula, kedua 
bibir mereka telah berpadu. Sejenak Rien tersentak kaget, tapi ia lalu 
memejamkan mata dan segera melumat bibir Kino. Berdesir cepat darah Kino
 merasakan bibir basah yang hangat mengulum bibirnya, dan desahan nafas 
harum menyerbu penciumannya. Astaga, inilah rupanya ciuman pertama itu! 
Tentu saja Kino tak tahu cara berciuman. Ia diam saja membiarkan Mba 
Rien mengerjakan segalanya, termasuk memaksanya membuka mulut agar 
lidahnya bisa masuk ke dalam mulutnya. Dengan nafas tersengal, Kino 
mencoba melakukan sesuatu dengan lidahnya sendiri, tetapi ia tidak tahu 
harus berbuat apa. Maka ia diam saja, membiarkan Mba Rien mengulum-ulum 
bibirnya, menelusuri rongga mulut dengan lidahnya, dan menghisap-hisap 
bibir bawahnya dengan rakus. 
Rien sendiri merasa kaget atas apa yang ia kerjakan. Rupanya, birahi 
yang selama ini tak pernah ia tampilkan, kini menyeruak keluar dengan 
kekuatan sendiri tanpa dapat dicegah. Telah lama sekali Rien tidak 
berciuman, sejak ia memutus hubungan dengan Rian yang sekarang entah di 
mana. Telah lama tubuhnya tidak merasa gejolak seperti ini, dan kalaupun
 ia membiarkan Kino memegang payudaranya di pantai, itu hanyalah untuk 
menghapus penasaran remaja yang menarik simpatinya. Kejadian di pantai 
dulu, bagi Rien, bukanlah birahi. Tetapi kini, di gua yang gelap dan 
dingin ini, Rien kaget ketika sadar bahwa ia begitu bersemangat menciumi
 Kino! 
Untunglah kesadaran itu cepat datang. Buru-buru ia menghentikan 
ciumannya, dan dengan satu tangan ia menghapus bekas-bekas ludah di 
bibir Kino. Sambil tersenyum, ia minta maaf dengan suara lembut,
" ... Mba Rien keterlaluan, nih!" Kino mengernyitkan dahi tak mengerti.
"Kenapa berhenti, Mba?" tanyanya penuh heran.
"Tidak. Kamu tidak boleh saya ciumi seperti itu. Kamu bukan pacar 
saya...," kata Mba Rien, masih dengan suara lembut, meneduhkan hati Kino
 yang sudah bergejolak.
"Tapi saya suka, Mba Rien..." Kino bersikeras. Rien tersenyum melihat tuntutan remaja ini.
"Suka apa?" tanyanya menggoda.
"Suka dicium seperti itu," jawab Kino cepat. Ia kini semakin berani berdebat. 
Sejenak Rien bimbang. Simpatinya kembali datang. Kasihan ia melihat 
remaja ini terputus di tengah jalan yang sedang dinikmatinya. Tetapi ia 
tahu, kalau ciuman itu diteruskan, dirinya sendiri akan ikut hanyut. 
Satu-satunya jalan untuk menghindari kekecewaan Kino adalah dengan 
menciumnya lagi, tetapi tidak dengan birahi. 
Maka Rien berkata, 
"Baiklah ..." lalu ia menarik leher Kino, mendekatkan bibirnya ke bibir 
Kino dan menciumi remaja ini dengan lembut. Kino memejamkan mata, 
menikmati ciuman Mba Rien yang terasa sekali dipenuhi kasih sayang. 
Tubuhnya bagai disiram kehangatan kasih yang tak tergambarkan oleh 
kata-kata. Tubuhnya bagai melayang tak menginjak bumi. Tubuhnya bagai 
awan di langit yang biru sejuk. 
Rien menahan senyum melihat tingkah Kino yang memejamkan mata dan 
memeluk tubuhnya seperti tak hendak dilepaskan. Tetapi ada satu hal yang
 tidak diperhitungkannya! Perlahan tapi pasti, ia merasakan sesuatu 
membesar menempel sedikit di atas perutnya. Karena Kino lebih tinggi, 
maka bagian depan kelaki-lakiannya menempel di perut Rien, dan Rien 
segera menyadari apa yang terjadi. 
Dengan tangan kirinya, Rien meraba bagian itu. Ah, tegang sekali 
kelaki-lakian Kino, dan panas pula rasanya, seperti dialiri air 
mendidih. Sejenak Rien bimbang lagi, sementara bibirnya masih sibuk 
mengulum-ngulum bibir Kino. Apa yang harus ku lakukan? Rien berpikir 
keras, tetapi tangannya sudah pula mulai meremas. Seakan-akan tangan itu
 punya pikiran sendiri di luar kepalanya! 
Akhirnya kepala Rien mengalah kepada tangannya. Ia melanjutkan remasan, 
dan mulai menyukai pilihannya. Nafas Kino terdengar terengah-engah, dan 
Rien semakin merasa tak enak jika harus berhenti sekarang. Ia sudah 
membangkitkan api di tubuh remaja ini, ia pula yang harus memadamkannya.
 Dengan pikiran begitu, Rien membuka resleting celana Kino yang masih 
terpejam seakan-akan tak sadar. Pelan-pelan tangan Rien merayap ke dalam
 celana dalam Kino dan menemukan kelaki-lakiannya sudah tegang dan agak 
basah di ujungnya. Ah, halus dan kenyal sekali kelaki-lakiannya, desah 
Rien dalam hati, diam-diam menikmati apa yang dikerjakannya. 
Kino merasakan tangan Mba Rien merayapi kelaki-lakiannya, membuat 
dirinya semakin terlena. Ia merasakan desakan aneh yang nikmat, sama 
dengan desakan-desakan yang selama ini ia rasakan kalau berhayal 
sendirian di kamarnya. Kini desakan itu semakin kuat, dan apa yang 
dikerjakan Mba Rien di bawah sana sangat berbeda dengan apa yang biasa 
ia kerjakan. Kali ini jauh lebih nikmat, jauh lebih menggairahkan. 
Tangan Rien meremas lebih kuat, lalu menggosok ke atas ke bawah. Ia tahu
 persis apa yang harus dilakukan. Rian, pacarnya dulu, pernah 
mengajarkan bagaimana cara terbaik untuk memuaskan laki-laki dengan 
tangan. Maka dilakukannya apa yang telah lama tidak dilakukannya. Rien 
kini ikut memejamkan mata, berkonsentrasi pada bagian bawah tubuh Kino 
tanpa melepaskan ciumannya. Ia merasakan betapa kelaki-lakian itu kini 
menegang dengan cepat, dan mulai berdenyut-denyut. Rien tahu, sebentar 
lagi Kino akan mencapai orgasme pertama di tangannya. Sejenak ia 
menurunkan telapak tangannya sampai ke pangkal kelaki-lakian Kino, lalu 
dengan gaya mengurut ia membawa naik telapak tangannya, dan sesampai di 
atas ia meremas-remas dengan kuat.
Kino tak tahan lagi. Tangan Mba Rien yang halus dirasakannya bagai 
sedang menarik lepas sebuah sumbat di bawah sana. Dan dengan lepasnya 
sumbat itu, sebuah air bah yang dahsyat menyerbu keluar. Kino mengerang 
pelan, melepaskan bibirnya dari bibir Mba Rien, mendongak seakan 
berusaha menghisap lebih banyak udara, lalu menjerit tertahan. 
Rien merasakan betapa kelaki-lakian Kino tiba-tiba membesar dengan 
cepat, lalu bergetar dan berdenyut-denyut kuat. Telapak tangan Rien 
meremas untuk terakhir kalinya, lalu mulai menerima semprotan-semprotan 
cairan kental panas. Ia mengepalkan tangannya, menampung semua itu agar 
tidak bermuncratan ke mana-mana. Tidak kurang dari tujuh kali rasanya 
semprotan cairan itu memenuhi kepalannya. Lalu, Kino terkulai lemas, dan
 memeluk tubuh Mba Rien. Pelan-pelan Rien mengeluarkan tangannya, dan 
diam-diam mengambil sapu tangan untuk membersihkan tangan itu. 
"Enak?" tanya Mba Rien lembut, seperti seorang ibu menanyakan bagaimana 
rasanya makan malam yang dihidangkannya. Kino tertawa tertahan, malu 
bercampur senang. Hujan masih turun, walau tak lagi lebat. Kino tak 
peduli. Walau harus bertarung melawan macan di hutan ini pun, ia tak 
peduli. Selama Mba Rien ada di sisinya, ia tak peduli!
      
     
     
No comments:
Post a Comment