#4 Menutup Layar
Kino terus menciumi leher jenjang yang harum dan kini agak basah oleh 
keringat. Ia mengecup-mengembus, menggigit kecil, menghela nafas 
menghirup semerbak tubuh wanita yang menggairahkan ini. Rasa terimakasih
 memicu semangat dan birahinya, ingin rasanya ia mendekap dan melumat 
tubuh hangat yang ditindihnya ini. 
Mba Rien tertawa kecil menerima perlakuan Kino,
"Stop ....," ucapnya, tetapi kata itu seperti kehilangan makna. Dan Kino
 tak mau berhenti, malah semakin bersemangat menelusuri urat samar 
kebiruan di leher yang bak pualam itu. Kino naik menciumi dagu Mba Rien,
 menyusur bawah rahangnya, lalu turun lagi sampai ke pangkal leher. 
Tangannya dengan cepat menyibak kaos wanita itu, sekaligus membuka beha 
coklat di bawahnya, menampakkan dada ranum yang bergerak naik-turun 
dengan cepatnya.
"Ah, Kino .... Ohhh," akhirnya Mba Rien hanya bisa mendesah, dan 
perlahan tangannya yang tenggelam di rambut Kino kini justru menekan 
kepala pemuda itu. Justru mendorongnya agak lebih ke bawah, sehingga 
bibir Kino kini menelusuri lembah indah di antara kedua payudara yang 
membusung-mengembung-menggairahkan. Harum sekali lembah itu, lembut dan 
bergetar menyembunyikan jantung yang berdebar kencang. 
Kino semakin berani, mengangkat mukanya menggigit daging yang membola 
halus-licin itu sehingga Mba Rien menggelinjang dan menjerit kecil,
"Oh, .... jangan Kino..." tapi tangannya tak juga sanggup mendorong 
kepala Kino lepas dari dadanya. Mba Rien hanya bisa berkata tak bisa 
berbuat. Sebuah penolakan yang tak punya daya, sebuah penyerahan yang 
tak terelakkan. Apalagi ketika mulut pemuda yang menghembus-hembuskan 
nafas panas itu kini tiba di satu puncak payudaranya.
"Oh ... jangan itu,... Kino, jangan itu... ", erang Mba Rien, tetapi terlambat sudah!
Dengan cepat Kino menyedot puting kenyal yang berdiri menantang itu. 
Mba Rien menggeliat, melepaskan tangannya dari kepala Kino, 
meremas-remas seprai seperti hendak mencari kekuatan dari situ. Dunia 
nyata seperti menghilang dari pandangan Rien yang kini terpejam menahan 
nikmat tak terperi yang menyerbu tubuhnya. Satu tangannya bergerak ke 
atas, menggenggam tiang ranjang seakan kini seluruh hidupnya bergantung 
di sana. Tak ada lagi pikiran bimbang, atau takut, atau kuatir di 
kepalanya. Semuanya hilang berganti kenikmatan belaka, menjalar-jalar 
seperti api keluar dari mulut Kino yang kini mengemut-emut puting 
susunya. Kino pun semakin bersemangat, menyedot kuat-kuat dan 
mengulum-ulum daging kecil kenyal yang terasa aneh di mulutnya itu. 
Beginikah seorang bayi merasakan susu ibunya? pikir Kino sambil membayangkan betapa rakusnya dulu ketika ia masih bayi! 
Rien merasakan kewanitaannya berdenyut lagi, bagai bangkit dari 
istirahat, setelah tak lebih dari 10 menit lalu bergeletar terlanda 
orgasme. Kini kedua kakinya membuka lebih lebar lagi, dan tak sadar ia 
menarik satu tangan Kino untuk kembali ke bawah sana. Kino pun tak perlu
 mendapat tuntunan lagi sekarang. Tiba-tiba saja ia sudah menjadi 
piawai. Tangannya dengan cepat melakukan lagi apa yang baru saja ia 
pelajari dalam permainan serba menggairahkan ini. Tangan itu tahu harus 
berbuat apa di ladang subur yang selalu menjanjikan kehangatan itu. 
Penuh kepastian, tangan pemuda itu kini mengusap-usap, 
menerobos-menelusup, meraih-raih. Rien membuka pahanya semakin lebar, 
semakin menguak, menyediakan keleluasaan kepada Kino.
"Ohhh, Kino.... Ohhh, aku mau .... Aaah, aku ingin ....," Mba Rien seperti kehabisan kata-kata, "Kino,... aku,... ahhh.."
Apa yang hendak disampaikannya? tanya Kino dalam hati, tetapi ia tidak 
berani bertanya. Mulutnya tak hendak lepas dari mainan baru di puncak 
payudara yang menggelorakan itu!
Dengan satu jari tengahnya, Kino membuka-menguak sepasang bibir di bawah
 sana. Telah menebal, bibir-bibir itu. Basah dan licin pula. Hangat dan 
berdenyut juga. Jari Kino seperti menari-nari, melenggak-lenggok di 
taman sutera yang halus menggelincirkan. Terkadang, jari itu menelusup 
jauh ke bawah dan sampai di sebuah liang sempit yang berdenyut-denyut. 
Rien tersentak ketika disentuh ujung jari Kino di bagian yang sangat 
peka itu. Tubuh bagian bawahnya tiba-tiba terangkat meninggalkan kasur, 
dan akibat gerakan itu jari Kino akhirnya melesak masuk, tergelincir 
cepat sampai tenggelam sepanjang satu buku jari. Ada sedikit lengket dan
 panas dan basah terasa oleh Kino di ujung jari yang dilingkari sebentuk
 otot liat-kenyal yang bergerak-gerak seperti mulut kecil.
Dan Rien pun merintih pelan, ".... teruskan ... masukkan .... Oh, Kino... teruskan...".
Dan Kino mendorong lebih dalam, merasakan jarinya kini menelusuri 
dinding licin bak sutra yang basah. Dan Rien semakin keras mengerang 
lalu memutar pinggulnya dalam gerakan asal-asalan. Kino menarik sedikit 
jarinya, tapi tangan Mba Rien mendorongnya kembali. Kino menarik lagi, 
tetapi didorong lagi. Ditarik-didorong. Ditarik-didorong. Berkali-kali, 
semakin lama semakin cepat, seperti kereta api sedang mengambil ancang 
untuk melaju. 
Rien menutup mulut dengan punggung tangannya, menahan sebuah 
teriakan-teriakan kecil yang terputus-putus... ah ... ah ... ah. Lalu ia
 menggelepar kuat sekali, dan tangan Kino lepas dari selangkangannya, 
seperti dilemparkan oleh kekuatan gaib. Kino sendiri terkejut sekali 
dibuatnya. Dan Mba Rien tidak bisa diajak bicara, karena wanita itu 
menggeliat, mengguling ke samping, lalu tertelungkup dengan tubuh 
berguncang-guncang. Ranjang berderit-derit. 
Kino terpana. Astaga, apa yang telah kulakukan?
Kino hendak bangkit meninggalkan tempat tidur, tetapi tiba-tiba Mba Rien
 telah berbalik. Wajahnya agak memerah dan bibirnya yang menggairahkan 
itu seperti tomat matang. Matanya setengah tertutup, memandang sayu, 
tetapi penuh dengan sinar yang tak bisa digambarkan oleh kata-kata. Kino
 setengah terduduk di pinggir ranjang, tak pasti apa yang harus 
dilakukannya. Lagipula, kini ia kuatir ada orang yang mendengar 
kegaduhan di kamar ini, walaupun ia juga tahu paviliun tempat Mba Rien 
indekos terpisah oleh halaman cukup luas dari rumah utama. 
Mba Rien tiba-tiba tertawa kecil,
"Aduh, Kino... lihat apa yang telah kamu lakukan," ucapnya masih agak 
terengah. Pakaiannya semrawut, behanya sudah terlepas sama sekali, dan 
roknya tersingkap lebar.
"Maaf, Mba ...," ucap Kino pelan. Ia sungguh-sungguh bermaksud minta maaf.
"Hei... kenapa harus minta maaf?", ucap Mba Rien ringan, lalu ia bangkit
 dan merapikan pakaiannya, tetapi tidak memakai kembali beha maupun 
celana dalamnya yang kini entah di mana.
"Kamu memberikan lebih dari yang aku minta, dan tak perlu minta maaf 
untuk itu ..." lanjut Mba Rien lagi dengan suara lembut, hampir 
berbisik. 
Mereka duduk berdua di pinggir ranjang. Mba Rien memeluk bahu Kino, lalu
 mencium leher Kino sedikit di bawah kuping. Kino menggeliat kegelian, 
lalu balas memeluk pinggang Mba Rien. Kemudian ia mendengar wanita itu 
berbisik dengan nafasnya yang hangat menyentuh tengkuk Kino, 
"..sekarang giliran kamu, yaa..."
Tangan Mba Rien cepat sekali telah membuka resleting celana Kino yang 
diam saja tak tahu harus berbuat apa. Lalu dengan lembut tetapi agak 
memaksa, Mba Rien mendorong tubuh pemuda itu sehingga telentang di 
kasur, sementara ia sendiri tetap duduk dan terus membuka resleting 
sampai lepas sama sekali. Lalu jari-jarinya yang letik mulai 
mengelus-elus di atas celana dalam Kino yang telah menggembung dan agak 
basah di sana-sini. Ah, Kino pun hanya bisa memejamkan mata, membiarkan 
apa pun yang akan terjadi berikutnya. Ia pasrah saja. 
Dengan tangan yang lain Mba Rien membuka kancing baju Kino, satu-persatu
 dengan ketrampilan dan ketenangannya. Tak lama kemudian, dada Kino yang
 bidang telah terbuka sama sekali. Lalu Mba Rien membungkukan badannya 
sedikit, dan .... Kino menggeliat kegelian ketika bibir basah wanita itu
 tiba di putingnya yang kecil. Rasanya seperti disengat kenikmatan dan 
Kino mengerang pelan. Mba Rien bahkan lalu mengulum dan menyedot, 
sehingga Kino tak lagi hanya mengerang tetapi juga merintih. Enak 
sekali, ternyata jika seseorang bermain-main dengan puting susumu! 
pikirnya dalam hati. 
Sementara itu jemari-jemari Mba Rien yang lain telah masuk menyelinap ke
 balik celana dalam Kino, dan menemukan kejantanan pemuda itu 
tegak-keras-panas. Jemari itu lalu meremas pelan, mengelus dan menelusur
 ke atas ke bawah. Kino memejamkan matanya erat-erat, seakan memastikan 
bahwa ini adalah sebuah mimpi yang nyata, sebuah kenyataan yang 
dimimpikannya. Tubuhnya meregang merasakan jemari itu melakukan sesuatu 
yang menakjubkan, membuat seluruh daerah di bawah perutnya terasa tiga 
kali lebih besar dari biasanya. 
Mulut Rien terus mengulum puting Kino yang kecil, tangannya terus 
menggosok-meremas. Dua sumber kenikmatan saling bertumbukan di tubuh 
Kino, menyebabkan pemuda ini bergetar hebat. Sebuah desakan gairah mulai
 terkumpul di tubuh bagian bawahnya, membuat kedua pahanya terasa berat.
 Seluruh otot tubuhnya seperti sedang bersiap-siap meledak, seperti 
seorang lifter bersiap-siap mengangkat barbel, seperti kuda yang 
berancang-ancang melompat, seperti burung garuda yang bersiap mengudara.
 
Gerakan Rien makin cepat, dan sedotan mulutnya makin kuat memilin-milin 
puting Kino yang tentu saja tak pernah lebih besar dari semula. Tidak 
seperti puting payudaranya Mba Rien. Tangan Mba Rien naik-turun dengan 
bergairah, begitu cepat sehingga hanya tampak dalam bayang-bayang. Kino 
mengerang panjang ketika akhirnya ia tak bisa lagi menahan serbuan 
puncak birahi menerjang mencari jalan keluar. Apalagi kemudian satu 
tangan Mba Rien yang masih bebas, ikut bermain di bawah sana, memegangi 
kantong di bawah kelaki-lakian Kino yang seperti mengeras-membatu. 
Tangan Mba Rien meremas pelan kantong kenyal itu. Pelan saja, tetapi 
sudah cukup membuat Kino menggeramkan penyerahannya, mengerangkan 
kepasrahannya, ketika dengan deras cairan hangat kental lepas dari 
tempat persembunyiannya, menghambur keluar. 
Langit-langit kamar Mba Rien memudar di mata Kino. Ranjang Mba Rien 
terasa seperti awan yang membumbung membawa tubuhnya melayang. Jemari 
dan tangan Mba Rien masih meremas menggosok. Mulutnya yang basah masih 
mengulum-menyedot. Dunia nyata seakan berkeping-keping. Meledak 
mengamburkan pijar-pijar pelangi di kepala Kino. Sungguh menakjubkan! 
Lalu sepi bagai turun dari langit. Kino tergeletak lemas. Mba Rien 
tertelungkup di sebelahnya, dengan kepala tersandar ke dadanya. Nafas 
mereka berdua masih memburu. Samar-samar terdengar detik jam dinding. 
Malam minggu sedang menuju titik kulminasi. 
Setelah segalanya tenang, Kino bangkit dan merapikan pakaiannya. Mba 
Rien keluar menuju kamar mandi. Segalanya seperti sediakala, kecuali 
ranjang yang berantakan tak keruan. Dengan cekatan Kino membereskan 
seprai dan mengembalikan bantal ke tempatnya. Ia menemukan beha dan 
celana dalam Mba Rien, yang segera dilipatnya baik-baik dan diletakkan 
di kursi meja rias. Setelah menghela nafas dalam-dalam, ia melangkah 
keluar, ke ruang tamu. Kosong tak ada siapa-siapa. 
Lalu Mba Rien muncul dari kamar mandi. Wajahnya penuh senyum seperti 
biasanya. Lalu mereka duduk berhadap-hadapan. Lama tidak berkata-kata, 
cuma saling menukar senyum. Ketika akhirnya Mba Rien membuka percakapan,
 bahan pembicaraan terasa hambar, dan wanita yang wajahnya bersinar 
tetapi kelihatan letih itu pun berkali-kali menguap tak mampu mengusir 
kantuk. 
Pukul 10 lewat seperempat, Kino akhirnya berpamit. Mba Rien berdiri di 
pintu depan memandangnya pergi. Kino tak bisa melihat wajahnya, karena 
terlindung bayangan pintu, tetapi ia tahu Mba Rien tersenyum. Maka ia 
pun tersenyum sekali lagi, lalu berbalik menuntun sepedanya ke jalan 
raya. Gelap malam segera menyambutnya, merangkulnya dengan embun basah 
yang segar. Entah kenapa, Kino merasa seperti seorang ksatria pulang 
dari medan pertempuran! 
******* 
Itulah malam paling bergelora yang pernah dijalani Kino bersama Mba 
Rien. Seminggu setelah itu, sekolah dimulai dan pertemuan keduanya tak 
pernah lagi terjadi malam hari. Kino juga tak lagi bisa sering 
mengantar-jemput Susi ke tempat latihan menari, karena kini ia punya 
aktifitas baru: mengantar Alma pulang. Mengerjakan PR bersama. Latihan 
vocal group untuk acara-acara sekolah. Kegiatan ekstrakulikuler selepas 
sekolah. Dan sebagainya. 
Mba Rien masih sering mengajak berenang bersama (tetapi Alma tidak 
pernah ikut karena ia tidak bisa berenang), mereka masih dengan riang 
saling berlomba mencapai batu karang, mengalahkan Dodi dan Iwan dan 
Niken yang selalu terlalu banyak tertawa. Mereka juga masih mencari 
kenari ke hutan, tetapi anehnya tak lagi ada hujan yang menyebabkan 
mereka terpaksa berteduh di gua. Tak sekali pun mereka pernah 
membicarakan adegan-adegan bergelora yang sering diputar-ulang oleh Kino
 di atas ranjangnya sendirian. Mba Rien seperti lupa tentang apa pun 
yang terjadi malam itu, seperti halnya ketika ia melupakan kejadian di 
pantai dan di gua. Segalanya normal-normal saja. 
Dan hari-hari pun berlalu dengan cepat, musim berganti dari hujan ke 
panas, dari basah ke kering. Ada suatu masa kemarau yang agak panjang, 
membuat daun-daun menguning dan suasana gerah di mana-mana. Pada masa 
seperti itu, kota kecil tempat mereka tinggal pun seperti kehilangan 
energi. Orang-orang jarang mau ke luar rumah, lebih sering duduk-duduk 
di beranda, atau berteduh di bawah pohon di halaman sendiri. Toko-toko 
yang jumlahnya memang tidak banyak, juga sepi pengunjung. Babah Ong, 
pemilik toko kelontong di ujung jalan semakin sering mengomel-mengeluh. 
****** 
Kemarau kali ini membawa cerita lain bagi Kino. Ia semakin dekat 
berhubungan dengan Alma dan semakin jarang bertemu dengan Mba Rien. 
Bukan apa-apa, tetapi memang suasana panas menghalangi keinginan pergi 
ke pantai, sementara sungai juga menipis airnya, dan kenari tidak 
berbuah. Lagipula, setiap kali mengantar Alma pulang, Kino dipaksa 
mampir. Ibunda Alma, Nyonya Tuti, seorang bidan satu-satunya di kota 
itu, menyukai pemuda ini. Ia selalu mempunyai alasan tepat untuk 
menyuruh Kino berlama-lama menemani Alma. Misalnya, hari itu ibu yang 
bertubuh gemuk bulat itu sudah menyediakan es cendol segar. Siapa bisa 
menolak itu di siang yang begini terik? Tetapi Kino bersopan-santun, 
mencoba menolak tawaran menggiurkan itu. 
"Ayooo...," sergah Alma manja, menarik kelingking Kino, menyeretnya masuk ke beranda seperti menyeret anak kambing,
"Kamu tadi bilang haus..."
"Sudah siang, Alma," kata Kino mencoba berdalih.
Ibu Tuti tertawa mendengar alasan Kino, "Setiap hari kalian pulang pukul 1, apa bedanya hari ini?"
"Ayooo...," Alma menarik-narik lagi, kali ini pergelangan Kino yang 
dicekalnya erat-erat. Terpaksa Kino melangkah masuk, menunduk 
menghindari tatapan Ibu Tuti yang seperti mau menggodanya sambil 
berkata,
"Kino malu sama Ibu, ya? Baiklah kalau begitu Ibu masuk, kalian berdua saja minum cendol itu." 
Begitulah, akhirnya Kino minum cendol yang memang segar. Berdua saja di 
beranda yang sepi. Ibunda sudah pergi ke paviluan sebelah, tempatnya 
membuka praktek KB. Rumah besar yang menghadap jalan kecil menuju pasar 
ini tampak lengang. Berhadapan, diam-diam, Alma dan Kino menghabiskan 
minuman mereka. Sejuk sekali rasanya leher menelan cendol-cendol yang 
dingin itu. 
Kino menyukai suasana seperti ini, di mana ia bisa berlama-lama 
berhadapan dengan Alma tanpa siapa-siapa di sekeliling mereka. Wajah 
Alma yang selalu tampak segar itu (Kino kadang-kadang membandingkannya 
dengan buah jeruk manis yang baru dikelupas) selalu sedap dipandang. 
Apalagi kalau kedua matanya yang bening menatap kepadanya, dengan bulu 
mata lentik yang jarang berkerejap. Di suasana panas seperti ini, Kino 
senang sekali berteduh di sinar mata yang lembut itu. Senang sekali 
mereguk nada rindu yang mengalun pula dari sana. 
"Apa, sih, yang kamu lihat?" sergah Alma sambil menggigit-gigit sendok plastiknya.
"Kamu." jawab Kino pendek, bertopang dagu dengan satu tangan.
"Setiap hari kamu lihat saya. Tidak bosan?" 
Kino menggeleng. Pertanyaan kuno, ucapnya dalam hati sambil menahan 
tawa. Itu pertanyaan yang mengundang tanggapan lebih lanjut, mengundang 
kata-kata seperti, "tak kan pernah bosan" atau "mana mungkin aku bosan 
memandangmu" dan yang semacam itu. Kino mengunci mulutnya, tetapi tidak 
menyembunyikan senyum di matanya. 
"Tidak bosan?" tanya Alma lagi, sudah berhenti menggigit-gigit 
sendoknya. Bibirnya yang semakin basah oleh minuman terlihat indah agak 
berkilauan. Kino menggeleng lagi. Ia tahu Alma ingin mendengar 
serentetan kata-kata berbunga tentang ketidak-bosanan, tentang kerinduan
 yang menerus, tentang keinginan untuk selalu berdua. Tetapi Kino 
menguatkan hati. Kadang-kadang ia ingin menyampaikan segala sesuatu yang
 indah dalam diam. Tanpa kata-kata.
"Betul?" kali ini Alma terdengar penasaran, gemas diperlakukan seperti 
ini oleh pemuda yang tak pernah berhenti membuatnya terpesona.
"Kenapa tidak bosan?" tanya Alma. 
Kino menahan senyum. Mengangkat bahu dan tetap mengunci mulutnya. Alma 
semakin gemas, dan karena tidak tahan lagi, ia bangkit berpindah tempat 
ke sebelah Kino. Jemarinya yang halus tiba-tiba saja sudah hinggap di 
pangkal lengan Kino, mengancamkan sebuah cubitan. 
"Ayo jawab. Atau Alma cubit!" ucapnya sengit. Kino pura-pura tidak 
mendengar, memandang ke luar beranda dan melihat sekeliling. Sepi sekali
 siang ini. Alma mencubit pelan. Mana tega ia mencubit keras. Kino 
meringis pura-pura kesakitan, lalu menoleh memandangi wajah Alma yang 
kini dekat sekali di sisinya. Aku ingin mencium bibir ranum yang basah 
itu, ucap Kino dalam hati. Pasti manis seperti es cendol yang 
diminumnya. 
Jawab...atau...," bisik Alma lirih, tak meneruskan kalimatnya melihat 
kedua mata Kino memandangnya dengan penuh rindu. Dekat sekali. 
Kino semakin mendekatkan wajahnya sampai bibirnya hampir bersentuhan 
dengan bibir Alma. Gadis itu terdiam, jemarinya berhenti mencubit, 
berubah menjadi cengkraman lemah. Kino menghela nafas menikmati harum 
nafas Alma yang hangat menghambur dari mulutnya yang setengah terbuka. 
Perlahan-lahan wajah mereka semakin mendekat. Kino mencium gadis itu, 
merasakan manis gula jawa yang tersisa di bibirnya yang basah, mengulum 
lembut seperti khawatir tindakannya akan menimbulkan gempa bumi. 
Alma menyambut ciuman Kino dengan mata terpejam dan dengan kehangatan yang justru mengusir terik kemarau hari itu. 
******* 
Suatu Sabtu di penghujung musim panas, Kino menerima sepucuk surat dari 
Mba Rien yang disampaikan lewat Susi. Ketika itu Kino baru saja tiba 
dari bermain voli di lapangan di depan kantor Pak Camat. Dengan tangan 
masih berpeluh, buru-buru disobeknya sampul putih yang cuma bertuliskan 
"untuk Kino di rumah" itu. Di dalamnya, ada sehelai kertas surat biru 
muda tipis, dan potongan sebuah brosur. Apa ini? tanya Kino dalam hati, 
lalu ia mulai membaca: 
Adikku Kino yang cakep... (Kino tersenyum membaca sapaan ini. Ada rasa 
rindu menjalar tiba-tiba. Telah lama ia tak berjumpa Mba Rien).
Hari Minggu besok, Mba Rien akan pergi ke ibukota. Ada seorang sutradara
 tari menawarkan peran untuk sebuah pertunjukan besar. Mba Rien tidak 
tahu berapa lama akan berada di ibukota. Kalau peran itu jadi diberikan 
kepada Mba Rien, mungkin Mba Rien akan berada di sana lebih dari setahun
 .. (Kino menelan ludah, merasakan mulutnya kering. Lama sekali, setahun
 itu!) 
Mba Rien ingin mengucapkan selamat tinggal. Rajin-rajinlah belajar agar 
nanti bisa bersekolah ke institut teknologi yang dulu pernah kamu 
ceritakan itu ... (Jantung Kino berdegup kencang. Mengapa tiba-tiba ia 
merasa dirinya akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga?). 
Mba Rien tidak akan pernah melupakan kamu. Mba Rien juga tahu kamu akan 
tetap mengingat Mba Rien. Tetapi jangan lupa mengingat hal-hal lain yang
 penting dalam hidupmu. Terutama, jangan pernah melupakan cita-citamu, 
keinginan mu yang tertinggi... (Sampai di sini, Kino menghela nafas 
panjang, merasakan segumpal kesedihan menyumbat kerongkongannya. Apakah 
ini ucapan perpisahan?). 
Mudah-mudahan kita akan berjumpa lagi. Sampaikan salam Mba Rien kepada 
orang tuamu. Jaga Susi baik-baik, ia seorang yang berbakat tari. 
Peluk-cium, Mba Rien
NB : Mba Rien lampirkan potongan brosur pertunjukan tari di ibukota dan 
alamat sanggarnya. Kalau kamu berkesempatan, tengoklah Mba Rien di sana.
 
Kino melihat jam di dinding. Jarum menunjukkan pukul tiga sore. Masih 
ada waktu sebelum bertandang ke rumah Alma. Cepat-cepat Kino berlari ke 
kamar mandi untuk membasuh tubuhnya yang berkeringat dan berdebu. 
Seperempat jam kemudian ia sudah mengayuh sepedanya dengan kecepatan 
maksimum menuju rumah kost Mba Rien. Ia ingin menemui wanita istimewa 
itu untuk mengucapkan selamat jalan. 
******** 
"Baru saja Mbak Rien pergi, dijemput oleh kakaknya naik mobil." kata 
Mbak Laras di depan pintu. Kino lemas mendengar penjelasan itu.
"Tapi, bukankah ia baru akan berangkat ke ibukota hari Minggu besok?" 
tanya Kino, seperti hendak mempersoalkan benar-tidaknya Mbak Rien telah 
pergi.
"Betul," jawab Mbak Laras, "Tetapi kakaknya ingin Mbak Rien menginap di 
rumahnya, sebelum berangkat ke ibukota. Di rumah kakaknya itu telah 
berkumpul kedua orang tua mereka dan anggota keluarga yang lain. Semacam
 pesta perpisahan."
"Rumah kakaknya tidak jauh, bukan?" tanya Kino, teringat tentang 
kepergian Mbak Rien sewaktu masa ujian dulu. Kalau tidak salah, jaraknya
 hanya 6 kilometer.
"Bukan kakaknya yang di dekat sini," kata Mbak Laras,
"Yang menjemputnya tadi adalah kakak yang satu lagi, yang tinggal di kota L." 
Kino merasakan bumi tempatnya berpijak bergoyang-goyang. Kota itu 
jauhnya 100 km dari sini. Ia menunduk lesu, bersandar ke pintu rumah 
kost, membuat Laras iba. Kasihan pemuda ini, pikir Laras dalam hati, ia 
pasti sangat kecewa tidak berjumpa "kakak kesayangan"-nya. Laras bisa 
membaca hubungan istimewa yang terjalin antara teman kostnya dengan 
pemuda ini, walau tak pernah tahu seberapa jauh mereka berhubungan. Ia 
hanya tahu, Rien sangat menyayangi pemuda ini, dan memberlakukannya 
seperti adik sendiri. Tapi ia tidak pernah tahu bahwa keduanya pernah 
bergumul di kamar ketika ia pergi menonton beberapa waktu yang silam. 
Setelah mengucapkan permisi, Kino meninggalkan rumah kost itu dengan 
tubuh tanpa daya. Ia tidak menaiki sepedanya, melainkan berjalan saja 
perlahan-lahan. Hari telah menjelang senja, matahari dipenuhi semburat 
merah-jingga. Angin semilir seperti mencoba memberikan sedikit saja 
kesejukan di hari yang panas ini. Baju Kino basah oleh keringat, karena 
tadi ia mengeluarkan semua tenaganya untuk cepat-cepat sampai ke rumah 
kost. Kini ia mengutuk-utuk ajakan Dodi dan Iwan untuk main voli, dan 
menyesali diri karena menampik permintaan Susi untuk menjemputnya di 
sanggar. Seandainya tadi aku menjemput Susi, pastilah aku masih sempat 
bertemu Mbak Rien! umpatnya dalam hati. Sebuah batu agak besar di 
pinggir jalan ditendangnya. Tentu saja, jempolnya sakit bukan main, 
sedangkan batu itu tak bergeming. 
****** 
Malamnya, malam minggu yang seharusnya indah, terasa kelabu bagi Kino. 
Ia berusaha menyembunyikan galau di hatinya sekuat tenaga. Tetapi 
percuma saja menyembunyikan perasaan di depan Alma. Gadis itu punya 
indra kesepuluh, khusus untuk menembus dinding kalbu Kino! 
Akhirnya Kino mengaku dan menceritakan kepergian Mbak Rien. Tidak itu 
saja, Kino juga menceritakan hubungannya dengan Mbak Rien, setelah 
memberlakukan sensor ketat di sana-sini. Alma terdiam mendengarkan 
cerita itu. Gadis ini memang telah lama menduga bahwa antara Kino dan 
wanita itu terjadi sesuatu yang lebih dari sekedar persahabatan. Tetapi 
ia tidak pernah punya bukti, dan kalau ia bertemu Mbak Rien (dan ini 
sering terjadi), ia selalu menaruh hormat kepada wanita yang tampak 
selalu ceria tetapi juga penuh wibawa itu. Kini, melihat dan mendengar 
Kino bercerita tentangnya, Alma merasa dadanya bergemuruh. Cemburu. Iri.
 Curiga.
"Kenapa kamu baru cerita sekarang?" tanyanya ketus.
"Karena kamu tidak pernah bertanya," jawab Kino, berusaha menyembunyikan
 kagetnya mendengar Alma berucap dengan nada ketus. Baru kali ini ia 
mendengar nada itu di suara Alma.
"Kenapa tidak kamu susul ke kota L," ujar Alma, kini dengan nada sinis. 
Kino mengangkat mukanya, memandang Alma lekat-lekat. Benarkah ia berucap
 seperti itu, sinis begitu? Kino menemukan sebuah wajah dingin, dengan 
bibir terkatup rapat membentuk garis tipis yang tegas. Jelas sekali, 
Alma yang manis dan lembut itu kini sedang meradang. Marah. 
Pukul 8 malam, hanya setengah jam dari waktu kedatangannya, Kino 
berpamitan. Alma tidak mengantar ke gerbang seperti biasa. Tidak 
membiarkan bibirnya dikecup. Tidak melambai. Kino berjalan gontai pulang
 ke rumah. Ia merasa, sebuah babak dalam kehidupannya usai sudah. 
Panggung sudah kembali diterangi lampu-lampu. Penonton sudah bertepuk 
tangan. Pemain telah berganti pakaian dan pulang ke rumah masing-masing.
Di langit banyak sekali ada bintang. Kino menengadah. Ia menyerah pada Sang Sutradara di atas sana.
      
     
     
No comments:
Post a Comment