# 3 : Menguak Rahasia Berdua
"Peristiwa Kenari", demikian Rien menamakannya, adalah sebuah langkah 
tak terencana yang sempat membuat wanita lajang ini panik. Ketika mereka
 berdua akhirnya tiba kembali di kota, menembus rintik hujan dan gelap 
senja, Rien sempat ingin berbincang dahulu. Ia ingin menjelaskan 
sesuatu, agar Kino tak salah tangkap. Tetapi mulutnya terkunci, dan 
otaknya buntu. Lagipula, apa yang bisa ia jelaskan? Misteri apa yang 
bisa ia ungkap dalam sebuah peristiwa pendek yang begitu bergelora tadi?
 Dan kenapa ia harus kuatir akan Kino; kesalah-tangkapan apa yang 
mungkin terbesit di benak pria muda itu? 
Akhirnya mereka berpisah dengan kikuk. Di perempatan dekat kantor camat,
 Rien berbelok ke kiri, ke tempat kostnya. Sambil berusaha tersenyum 
menenangkan diri, ia melambaikan tangan dari atas sepedanya. Kino tampak
 ragu-ragu, apakah hendak ikut belok kiri atau terus, langsung ke 
rumahnya. Tetapi dilihatnya Mba Rien hanya melambai, tidak menawarkan 
mampir. Maka ia pun hanya membalas lambaian dan melanjutkan perjalanan 
ke rumah. 
Di tempat kost, Rien memutuskan untuk segera mandi, terburu-buru melepas
 jaket parasut dan celana pendeknya. Dengan bersaput handuk, ia berlari 
kecil ke kamar mandi di sebelah kamar tidurnya. Teman satu kostnya, 
seorang guru SMP bernama Laras yang sebaya dengannya, tak tampak. 
Mungkin sedang bermain ke tetangga sebelah. Cepat-cepat Rien mengunci 
pintu kamar mandi dan membuka pakaian-pakaian dalamnya. Lalu ia membasuk
 kaki-kakinya yang terpercik lumpur, dan mencuci tangan. Sewaktu mencuci
 tangan itulah, terbayang kembali "peristiwa kenari" yang barusan 
dialaminya. Sambil tersenyum, dalam hati ia memarahi dirinya sendiri. 
Rien, kamu telah membuka gerbang ke arah dunia yang tak terduga! Kini, 
apa yang akan terjadi berikutnya, kamu harus simak dengan seksama. Dan 
dengan hati-hati. Siapa yang tahu, apa yang kini bergejolak di hati 
Kino, dan apakah keremajaannya mampu menampung gejolak itu. Rien 
mengambil sabun dan membasuh kedua tangannya dengan seksama. Tangan itu 
yang tadi meremas-membelai, menguak sebuah tabir dari babak cerita di 
panggung kehidupan! 
Lalu Rien menumpahkan bergayung-gayung air dingin ke tubuhnya. Segera 
kesegaran menyerbu badannya, membuatnya ingin bernyanyi. Maka tak lama 
kemudian ia menggumamkan lagu -entah apa- sambil mulai menyabuni 
tubuhnya. Lehernya yang jenjang ia sabuni. Sepasang bukit indah di 
dadanya, ia sabuni, sampai dipenuhi busa-busa harum. Pada saat menyabuni
 bagian bawah tubuhnya, ia terkejut sendiri. Hampir saja sabun lepas 
dari genggaman. Ternyata kewanitaannya basah oleh cairan bening yang 
telah lama tak pernah ada di sana. 
Kekagetannya juga berlanjut, ketika Rien sadar bahwa di bagian itu ada 
rasa hangat yang berlebihan. Ada sensitifitas yang lebih dari biasanya. 
Tanpa sabun, tangannya bergerak lebih ke bawah, mengusap-usap seperti 
sedang menduga apa gerangan yang terjadi. Sebenarnya, Rien tak perlu 
menduga, karena setiap usapan mendatangkan rasa yang telah lama tak 
dirasakannya: sebentuk geli yang bercampur nikmat, yang dengan mudah 
membuat jantungnya berdegup sekian kali lebih kencang. Tanpa bisa 
dicegah, Rien tiba-tiba mendesah, dan kedua kakinya bagai sedang 
berseteru, saling memisahkan diri satu sama lainnya. 
Suara kucuran air cukup keras menyembunyikan desah Rien yang kini 
memperkuat usapan tangannya. Bahkan itu bukan lagi mengusap namanya. Itu
 meremas namanya. Menekan-nekan dengan telapak, dan menggaruk-mengurat 
dengan jari tengah. Lalu pangkal ibu jarinya bertumbu pada bagian atas, 
bergerak-gerak seperti sedang menarik picu senjata. Rien menggelinjang, 
dan hampir saja terpeleset di lantai kamar mandi yang licin. Tangan 
kirinya yang bebas buru-buru berpegangan ke tembok, sementara tangan 
lainnya tak hendak berhenti. Malah bergerak makin cepat seperti ada 
sesuatu yang mendesak yang harus dilakukan di bawah sana. Mata Rien 
sedikit terpejam, dan mulutnya yang berpagar bibir basah itu sedikit 
terbuka. Nafasnya sedikit memburu. Serbuan-serbuan kenikmatan datang 
entah dari mana, dan Rien agak terhuyung, sehingga ia akhirnya bersandar
 di tembok marmer yang dingin dan basah. 
Suara orang membuka pintu ruang depan membuat Rien tersentak sadar. 
Buru-buru ia kembali ke dekat bak mandi. Terdengar suara Lara nyaring,
"Rieeeen ........ kau kah itu di kamar mandi?" Rien membersihkan 
tenggorokannya yang tiba-tiba tersekat, sebelum menjawab keras-keras,
"Ya, ini aku La ... sedang mandi...", entah apa pula perlunya menambahkan kata "sedang mandi" di ujung kalimat!
"Dari mana saja, anak manis?" teriak Lara lagi, terdengar melangkah menuju kamarnya di seberang kamar Rien.
"Dari hutan mencari kenari .... ", jawab Rien sambil mulai mengguyur.
Duh, segera saja api yang berkobar di tubuhnya padam. Dalam hati Rien 
bersyukur, Lara datang sebelum dirinya betul-betul terlena oleh 
tangannya sendiri! Tetapi sesungguhnya ia juga kesal, kenapa Lara datang
 pada saat seperti itu. Sambil tertawa kecil, Rien menghentikan 
perdebatan di kalbunya. "Peristiwa Kenari" ternyata tidak hanya mengubah
 hidup Kino!! 
****** 
Sementara Kino telah pula sampai di rumahnya. Ia telah pula di kamar 
mandi, dan telah pula menyabuni tubuhnya. Sama dengan Mba Rien, ia telah
 pula kembali membayangkan apa yang terjadi di hutan tadi. Bedanya, Kino
 tak berhenti karena terganggu oleh teriakan ayah, atau panggilan ibu, 
atau ajakan Susi untuk bermain petak umpet. Kino melanjutkan 
gerakan-gerakan tangannya, mengerang pelan ketika akhirnya 
ledakan-ledakan orgasme tercapai. 
****** 
Seminggu setelah "peristiwa kenari", Kino disibukkan oleh 
ulangan-ulangan di sekolahnya. Dalam kesibukannya itu, Kino tak bertemu 
Mba Rien. Ia tak mungkin bisa menemui Mba Rien, karena diam-diam Mba 
Rien pergi ke rumah salah seorang kakaknya di kota B, 6 kilometer di 
sebelah selatan. Sebuah pesan pendek disampaikan Niken kepada Kino, 
ketika pria remaja ini lewat di depan sanggar (tentu saja, ia sengaja 
lewat!). Kata Niken, Mba Rien menyuruh Kino rajin belajar supaya semua 
ulangannya bernilai bagus. Kata Niken lagi, Mba Rien baru akan pulang 
bulan depan, karena sanggar akan tutup sementara murid-murid menjalani 
ulangan. 
Untuk beberapa saat, Kino merasa ada sesuatu yang tak beres. Kenapa dia 
tiba-tiba menghindar? sergahnya dalam hati, disertai gundah karena 
kepergian Mba Rien hanya berjarak seminggu dari peristiwa di gua itu. 
Apakah ia marah? Tetapi apa yang membuatnya marah? Mba Rien tak tampak 
marah ketika ia melakukan itu di gua; ia bahkan tampak ceria, dan 
matanya penuh senyum menggoda. Apakah ia malu menemuiku lagi? Tapi, 
bukankah aku yang seharusnya malu menemuinya? 
Pikiran-pikiran itu berkecamuk sepanjang hari, berlanjut sepanjang 
malam, sehingga Kino baru tertidur pukul 2 pagi. Untung keesokan harinya
 ulangan belum lagi dimulai karena masih dalam rentang "minggu tenang". 
Tentu saja Kino tak punya seorang pun yang bisa diajak mendiskusikan 
pikiran-pikirannya. Tidak Dodi dan Iwan yang baginya cuma akan menambah 
persoalan. Tidak juga ibu, dan apalagi tentu bukan ayah. Keduanya pasti 
cuma akan marah dan menuduh yang bukan-bukan. 
Maka Kino terpaksa mengambil kesimpulan sendiri. Ia pergi ke pantai 
sendiri, berenang sampai letih, lalu tidur-tiduran di bawah semak-semak 
tempat ia dulu pertama kali menyentuh dada Mba Rien. Sambil tertidur itu
 lah ia memutuskan, bahwa tak mungkin Mba Rien bermaksud buruk. Tak 
mungkin tiba-tiba Mba Rien meninggalkan dirinya penuh dengan tanya yang 
belum terjawab. Ia adalah seorang wanita bijaksana, pikir Kino dalam 
hati, dan ia pergi karena aku harus ulangan umum. Karena aku harus 
berkonsentrasi dengan buku-bukuku. Karena dengan Mba Rien di dekatnya, 
buku-buku akan dia lempar jauh-jauh! 
Pikiran itu meneduhkan gejolak hati Kino, walau tak pernah menjadi 
jawaban sempurna bagi pertanyaan-pertanyaan yang terus berdatangan di 
kepalanya. Pikiran itu pula yang membantu Kino berkonsentrasi ke 
pelajaran sekolahnya, sehingga ulangan umum tak terasa begitu menyiksa. 
Dua minggu ia hanya belajar dan belajar, sehingga ketika ulangan tiba, 
kepalanya seperti penuh dengan huruf dan angka. Satu demi satu ia 
menyelesaikan mata ulangan dengan sedikit kesulitan saja. Di akhir masa 
ulangan, kepalanya terasa kosong sekali. Ringan dan sejuk. 
"Kamu kelihatan riang dan optimis...," tiba-tiba Alma sudah berdiri di 
dekatnya, memeluk tas dan menuaskan senyum di mukanya yang tampak letih 
setelah seharian berkutat dengan kertas ulangan. 
Kino membalas senyum Alma, dan tiba-tiba sadar bahwa cuma gadis ini yang
 tampaknya peduli akan perasaannya. Kino teringat, Alma pula yang dua 
minggu lalu -sebelum ulangan dimulai- bertanya kenapa wajahnya keruh. 
Alma pula yang pernah menawarkan sebotol minuman dingin ketika ia sedang
 duduk sendirian di pinggir lapangan basket menunggu bel masuk setelah 
istirahat. Alma yang penuh perhatian! 
"Lega rasanya setelah semua ulangan selesai," ucap Kino sambil memandang
 Alma, dan menyadari betapa indah kedua bola mata gadis yang oleh Dodi 
dan Iwan selalu dipuji-puji setinggi langit. Alma tersenyum lagi, 
menembakkan seberkas perasaan yang belum jelas tertangkap oleh Kino.
"Pulang sama-sama?" kata Alma lembut, seperti mengajak, seperti menebak.
 Ah, Kino tak tega mengatakan "tidak", maka ia cuma mengangguk dan 
mereka berjalan beriringan pulang. Kino menuntut sepedanya, Alma 
berjalan sambil tetap mendekap tas sekolahnya. Sayup-sayup Kino 
mendengar Dodi berteriak
"cihuiii.." dan Iwan memperdengarkan suitan nakalnya. Kino mengutuk 
dalam hati, dua monyet itu sungguh tak punya sopan. Tetapi ia tersenyum 
juga. 
Mereka berjalan pelan-pelan, menyusuri jalan yang dipagari pohon-pohon 
asam rindang, berbincang-bincang ringan tentang sekolah. Alma bertanya 
tentang rencana liburan, Kino mengatakan ia belum punya rencana. Alma 
berbicara tentang rencana berkemah anak-anak kelas dua dan kelas tiga, 
Kino mengatakan dukungannya kepada rencana itu. Alma bertanya apakah 
Kino akan ikut berkemah, dan Kino menjawab "mungkin". Alma lalu terdiam.
 Kino juga diam. Pohon-pohon asam juga diam. Angin juga diam. 
Dalam diam Kino membandingkan Alma dengan Mba Rien. Betapa berbedanya! 
Alma tampak lembut, mungil, terkadang seperti sedang bersedih. Mba Rien 
selalu menggairahkan, tegas, dan penuh ide kegiatan. Tetapi Alma sangat 
cantik, terutama jika mereka sedang berdua, dan jika ia sedang bertanya,
 
"Ada apa?" dengan suaranya yang pelan dan matanya yang menatap bening. 
Di depan Mba Rien, Kino seperti murid di hadapan maha-guru dunia 
persilatan, mengikuti segala gerak-geriknya dengan seksama, mematuhi 
anjuran dan permintaannya. Di depan Alma, sebaliknya, ia merasa perlu 
melingkarkan tangan di bahu yang tampak ringkih itu. Merasa perlu selalu
 jalan di sebelah kanan kalau beriringan. Merasa perlu menawarkan 
membawa alat-alat laboratorium setiap kali mereka selesai praktikum. 
Mereka tiba di depan bioskop satu-satunya di kota itu. Mereka harus 
berpisah di sini, kecuali jika Kino ingin mengantar Alma sampai ke 
rumahnya. Alma memecah kesunyian di antara mereka,
"Sampai jumpa lagi sehabis liburan," katanya pelan, lalu mulai berbelok.
"Alma..," tiba-tiba saja Kino sudah berucap, tapi ia sendiri lupa hendak
 bicara apa. Alma menghentikan langkah, berputar menghadap Kino yang 
juga sedang berdiri terpaku. Alma menunggu, wajahnya penuh harap. Ah, 
mengertikah Kino apa artinya "harap"?
"Aku ingin ikut berkemah..., tapi...," Kino berucap penuh keraguan. 
Cepat sekali wajah Alma berubah mendengar ucapan Kino, dan bibirnya yang
 mungil susah-payah menyembunyikan senyum yang tiba-tiba menyeruak. 
Segumpal harapan tersekat di kerongkongnya.
"..... tapi aku tidak tahu harus mendaftar kepada siapa." lanjut Kino setelah menelan ludah yang terasa pahit. 
"Aku bendahara panitia," sergah Alma cepat sekali, seperti memang sudah dipersiapkan sejak tadi tetapi ditahan-tahan,
"Kamu bisa mendaftar kepadaku. Hari ini juga namamu sudah bisa kutulis 
sebagai peserta. Aku bisa menalangi uang pendaftarannya. Aku....," Alma 
menghentikan ucapannya, sadar melihat Kino berdiri melongo memandang 
gadis di depannya bicara penuh semangat, seperti berbicara di depan 
pertemuan partai politik! 
Alma merasa mukanya tersiram air hangat, dan ia segera menunduk 
menyembunyikan rasa malu yang menyerbu. Kino tiba-tiba ingin tertawa 
keras, tetapi ia bertahan sekuat tenaga, sehingga yang keluar cuma 
senyuman yang lebar. 
"Kalau begitu," ucap Kino sambil tetap menahan senyum,
"Sampai jumpa di alun-alun sekolah Sabtu depan!"
Alma mengangkat muka, memperlihatkan wajahnya yang memerah tetapi juga 
bersinar riang sempurna. Matanya berbinar seperti bintang timur di pagi 
hari. Mulutnya mengguratkan senyum amat manis, bahkan bagi Kino, bahkan 
di terik siang yang kering itu.
"Sampai jumpa," bisiknya, tetapi tentu Kino tak mendengar karena ia 
telah mulai melangkah lagi sambil melambaikan tangan. Alma mengangkat 
tangan kananya, melambai pelan, dan akhirnya berbalik untuk berjalan ke 
arah rumahnya. Bumi terasa empuk, seperti kasur terbuat dari busa. Alma 
senang sekali hari itu. Senang-senang-senang sekali! 
****** 
Bumi perkemahan adalah arena penuh suka-duka remaja. Pak Guru dan Bu 
Guru adalah sipir-sipir penjara, dan anak-anak kelas dua dan kelas tiga 
adalah para pesakitan. Tetapi siapa yang peduli! Setelah letih didera 
ulangan dan ujian, bumi perkemahan adalah penjara yang dirindukan. Di 
sini mereka bisa berteriak mengalahkan guntur di langit, bernyanyi tanpa
 not balok dan tanpa dirijen (yaitu Pak Sulih, guru seni yang terlalu 
tua itu!), serta tidur melewati batas waktu yang selalu ditetapkan 
secara sepihak oleh orangtua. Di sini pula menyebar cinta remaja, cinta 
monyet, puppy love, atau apa lah namanya! 
Di perkemahan itu pula, Kino "menemukan" Alma, setelah sekian lama 
mereka berteman. Kino kini menyadari, Alma bukan gadis biasa, bukan 
semata-mata teman sekelas yang duduk di bangku kayu berwarna coklat tua 
itu. Bukan seperti Tres, atau Sriani, atau Gina, atau Lisa. Karena Alma 
punya kelebihan dari semua mereka itu: Alma peduli padanya, peduli pada 
apa yang dirasakannya, dan peduli dengan ketulusan. Karena Alma tidak 
meminta, tetapi memberi. Alma tidak mengajak, tetapi mendampingi. 
Pagi itu, dengan alasan menemani Alma mengambil air di sungai, Kino 
menarik gadis itu ke balik sebuah batu besar. Di situ, di antara 
gemersik air dingin dan kicauan burung yang terlambat bangun, Kino 
menciumnya. Lembut dan penuh perasaan, ia mengulum bibir gadis yang kini
 memeluknya erat sekali. Alma memejamkan mata, merasakan angin seperti 
sutra menyelimuti tubuh mereka berdua, mendengar nyanyian merdu dari 
daun-daun yang berjatuhan. Kino merengkuh tubuh yang terasa jauh lebih 
mungil itu (Alma cuma setinggi hidungnya), melumat bibirnya yang basah 
dan terasa manis. Ember terguling berkelontangan. 
Sejak itu, Dodi dan Iwan mengubah sebuah lagu pop dengan teks gubahan 
mereka sendiri yang sangat gombal. Kino pusing sekali mendengar gubahan 
yang tidak karuan itu. Bahasanya buruk, tidak puitis, dan jelas-jelas 
memproklamirkan percintaan Alma dengannya. Pusing sekali Kino dibuatnya,
 tetapi apa lah dayanya, cuma Dodi dan Iwan yang bisa menghiburnya 
dengan ketololan-ketololan seperti itu! 
****** 
Enam hari menjelang masa sekolah, Alma menemani kedua orangtuanya ke 
ibukota, katanya hendak menjenguk kakek-neneknya. Inilah pertama kalinya
 Alma merasa perlu melaporkan kepergiaannya kepada Kino, karena sejak 
perkemahan dan ciuman pertama itu, Kino resmi menjadi kekasihnya. 
Seorang kekasih harus tahu kemana pasangannya pergi, bukan? Maka Alma 
menulis surat pendek, di atas kertas merah jambu, dan dikirim lewat 
kurir istimewa bernama Dodi dengan pesan wanti-wanti, 
"Jangan dibuka sebelum tiba di tangan Kino!"
Kino tersenyum membaca surat itu, sementara Dodi memanjang-manjangkan 
leher ingin mengintip isinya. Dengan seksama, dilipatnya kertas merah 
muda itu, dan disimpannya di dompet. Kepada Dodi, ia bilang bahwa Alma 
pergi ke ibukota untuk menikah dengan pria pilihan orangtua mereka. Dodi
 mencibir tak percaya, tapi Kino tak peduli apakah temannya percaya atau
 tidak. Mereka lalu bersiap-siap berenang ke sungai, dan mengajak Iwan 
ikut serta. Sepanjang sore, mereka berlomba-lomba menyebrangi sungai, 
dan Kino selalu menang. Kedua temannya terlalu ceking dan terlalu banyak
 bergadang. 
Sepulangnya dari berenang, ketika Dodi dan Iwan telah terpisah darinya, Kino bertemu Niken.
"Hai..., apa kabar!" sergah wanita teman Mba Rien itu.
"Kabar baik," ucap Kino pendek. Sebetulnya ia ingin melanjutkan dengan 
pertanyaan tentang Mba Rien, tetapi Kino ragu apakah hal itu patut 
ditanyakan kepada Mba Niken.
"Tidak pernah ke sanggar lagi?" tanya Niken, entah kenapa Kino merasa wanita ini sedang menggodanya.
"Mmmm .... bukankah latihan tari belum dimulai lagi, dan Susi belum perlu datang lagi?" jawab Kino. Niken tertawa kecil,
"Maksudku, .... koq tidak pernah ngobrol dengan Mba Rien lagi, dia kan sudah datang!" 
Kino menelan ludah. Oh, Mba Rien telah pulang. Cepat sekali rasanya 
waktu berlalu, pikirnya dalam hati. Lalu, entah kenapa ia akhirnya 
berjalan beriringan dengan Niken ke arah sanggar. Niken berceloteh entah
 tentang apa, Kino tak begitu memperhatikan, karena kepalanya sibuk 
menjawab berbagai persoalan yang tiba-tiba muncul. 
Sesampai di sanggar, Niken berkata bahwa ia hendak ke belakang dulu, dan
 bahwa Mba Rien ada di ruang latihan. Kino menggumamkan terimakasih, 
menjawab sekenannya, lalu berjalan ke arah ruang latihan. Langkahnya 
terasa berat, tetapi kaki-kakinya seperti digerakkan oleh mesin yang tak
 bisa dikendalikannya sendiri. 
"Hei!!! Kino!...apa kabar?" suara Mba Rien yang lepas-nyaring terdengar 
begitu Kino muncul di pintu ruang latihan. Kino terpaku sejenak, matanya
 menyesuaikan diri dengan keremangan ruang latihan. Akhirnya ia melihat 
Mba Rien, sedang menggelar tikar-tikar bersama seorang wanita lain yang 
tak dikenal Kino. 
Rien mendekat dengan cepat. Duh, kenapa ia jadi rindu kepada remaja ini?
 sergahnya dalam hati, tetapi ia tak mempedulikan perasaannya. 
Dipeluknya Kino sebelum pemuda ini sepenuhnya sadar apa yang terjadi, 
lalu dikecupnya cepat pipinya. Kemudian dilepasnya pelukan secepat ia 
mencium pipinya, dan diberondongnya Kino dengan serentetan pertanyaan. 
Kino tergagap-gagap menjawab pertanyaan tentang ulangan, tentang 
liburan, tentang orangtuanya, tentang Susi, tentang .... entah tentang 
apa lagi. Banyak sekali yang tak bisa dijawabnya. Mba Rien tampak 
bersemangat sekali, dan Kino baru belakangan menyadari bahwa rambut 
wanita ini telah berubah pendek. Tetapi perubahan itu justru menambahkan
 kecantikan baru, karena lehernya yang jenjang dan mulus itu semakin 
terpampang indah, dan matanya yang bersinar itu semakin tampil. Kino 
tiba-tiba merasa ingin melingkarkan tangannya di leher yang 
menggairahkan itu! 
Setelah mencencar dengan pertanyaan dan menyeret Kino untuk membantunya 
menggelar tikar-tikar, akhirnya Mba Rien mengajak Kino ke tempat 
kostnya. Kino hendak membantah, karena hari sudah mulai gelap. Tetapi, 
sebagaimana biasanya, ia tak pernah bisa menolak inisiatif Mba Rien. 
Lagipula ini malam Minggu dan sekolah belum lagi mulai. Kino tadi sore 
telah mengatakan akan bermalam minggu bersama teman-teman, dan ayah-ibu 
telah mengijinkannya pulang paling lambat pukul 11. Maka akhirnya Kino 
bertandang ke tempat kost Mba Rien. 
Di tempat kost Mba Rien, tampak Mba Laras sedang berbincang dengan 
seorang pria berwajah tampan dan berpakaian rapi, mungkin pacarnya. Kino
 mengangguk sopan, dan Mba Laras mencubit pahanya sambil mengomel, 
mengatakan bahwa Kino tidak adil karena hanya datang kalau ada Mba Rien.
 Pria yang sedang bersama Mba Laras bertanya, siapa si Kino itu (usil 
juga dia!) dan segera dijawab bahwa Kino adalah adik bungsu Rien. Pria 
itu menggumamkan,
"Oooo.." yang entah mengandung curiga atau percaya. Kino tiba-tiba sebal
 kepada pria yang -harus diakuinya berwajah tampan dan berbaju cukup 
bagus untuk ukuran kota kecil. 
Mba Rien mengajak Kino masuk ke kamarnya, dan Kino tentu menurut saja 
karena Mba Laras juga mengusirnya dari ruang tamu ("mengganggu 
pembicaraaan," katanya). Di kamar, Mba Rien mengeluarkan sebungkus kue 
bolu oleh-oleh dari kakaknya, dan Kino bersuka-cita melahap pengganan 
lezat kegemarannya itu. Mba Rien terus bercerita tentang kakaknya, 
tentang anak kakaknya, tentang kota yang terkenal dengan bolunya, dan 
sebagainya, dan seterusnya. Kino, seperti biasa, cuma mendengar dengan 
seksama. Tetapi mata Kino tak lekang dari Mba Rien yang bergerak lincah 
mengimbangi keramaian ceritanya. Ia seperti burung gelatik di pagi hari,
 pikir Kino. Menggairahkan pula, dengan dada yang terlonjak-lonjak 
seperti itu, dengan mulut yang basah seperti itu, dengan pinggul yang 
bergoyang seperti itu. 
Lalu terdengar Laras berteriak dari kamar tamu, mengatakan bahwa ia dan 
teman prianya akan keluar untuk menonton. Mba Rien keluar sebentar dan 
berbicara dengan pria teman Laras itu, lalu terdengar pintu depan 
ditutup, dan Mba Rien kembali ke kamar. Kino sedang berdiri membuka-buka
 album foto di meja kerja Mba Rien yang dipenuhi majalah-majalah dan 
buku tentang tari-menari. Cantik sekali Mba Rien dalam foto-foto 
penampilannya. Ia memang penari yang kata orang penuh bakat, dan sudah 
pernah diajak tur keliling Indonesia oleh seorang sutradara tari dari 
ibukota. Kino juga pernah mendengar bahwa Mba Rien diajak tur ke luar 
negeri, tetapi entah kapan realisasinya. 
Kino tersentak ketika merasakan nafas Mba Rien di tengkuknya. Tanpa 
terdengar, Mba Rien telah berdiri di belakang Kino, dekat sekali. Dengan
 ringan ia menjelaskan foto-foto di album itu, tetapi Kino tak bisa 
sepenuhnya mengerti. Betapa tidak! Tubuh Mba Rien menempel di tubuhnya. 
Nafasnya harum memenuhi udara. Dadanya yang kenyal menekan punggung 
Kino, membuat pemuda ini tiba-tiba bersyukur bahwa Mba Laras dan teman 
prianya pergi ke luar rumah! 
Lalu, entah kekuatan apa yang datang ke Kino, tiba-tiba ia sudah 
berbalik dan memeluk Mba Rien. Bukan itu saja, Kino bahkan tiba-tiba 
sudah mengulum bibir basah yang bernafas harum menggairahkan itu. Rien 
tergagap, kedua tangannya siap mendorong dada Kino. Tetapi dengan 
tiba-tiba pula tangan itu kehilangan daya, dan berhenti di dada Kino, 
bukan mendorong melainkan menempel saja. Lalu, ketika Kino terus melumat
 bibirnya, Rien tak kuasa mencegah kedua tangannya merengkuh tubuh 
pemuda itu. Kedua payudaranya terhenyak di dada Kino, membuat Kino 
semakin bergairah menciumi wanita yang selalu menggairahkan birahinya 
ini. 
Rien mengerang mendapat perlakuan Kino yang penuh nafsu itu. Matanya 
terpejam penuh penyerahan, juga ketika pelan-pelan mereka bergeser ke 
arah dipan. Tangan Rien meremas punggung Kino, dan bahkan lalu menekan 
tengkuk pemuda itu, mendorong Kino untuk berbuat lebih bergairah lagi. 
Dan Kino pun menyambut ajakan seperti itu dengan sepenuh hati. Entah 
bagaimana awalnya, kedua tangannya kini meremas-remas payudara Rien, 
menyebabkan wanita itu terengah-engah. Puting-puting susunya terasa 
menegang mendapat perlakuan Kino yang sebetulnya agak kasar itu. Terasa 
gatal pula, karena Rien tergesek-gesek beha nilonnya. Kehangatan 
tiba-tiba menjalari tubuhnya, ke arah bawah, ke antara dua pahanya yang 
kini menempel erat di paha Kino. 
Keduanya lalu terjerembab di dipan yang berderit menahan beban yang 
lebih berat dari biasanya. Kino menindih Rien dan masih menghujaninya 
dengan ciuman. Rok Rien yang pendek telah tersingkap, memperlihatkan 
seluruh pahanya, dan celana dalam krem tipis yang berenda-renda. Sejenak
 Kino melihat pemandangan itu, menyebabkan ia semakin bergairah menciumi
 Mba Rien-nya. Tetapi cuma itulah yang bisa dikerjakan Kino selama ini, 
meremas payudara (sebagaimana Mba Rien mengajarinya di pantai) dan 
menciumi bibirnya (seperti "peristiwa kenari" sore itu). Tidak lebih 
dari itu yang bisa dikerjakan pemuda tak berpengalaman ini! 
Adalah Rien yang kemudian tak merasa cukup diciumi dan diremas-remas 
seperti itu. Tubuhnya minta lebih dari itu, dan Rien ingin 
mendapatkannya dari Kino, pemuda yang semakin lama semakin disukainya 
ini. Ia tahu, ini adalah sebuah permintaan yang berbahaya dan harus 
diperlakukan hati-hati. Tetapi pancaran birahi dari pemuda yang sekarang
 mendekapnya ini begitu kuat, mengundang Rien untuk hanyut lebih jauh 
lagi, berenang lebih dalam lagi. Sanggupkah ia menolaknya? 
Dengan tangan kanannya yang bebas, Rien tiba-tiba sudah menuntun tangan 
kanan Kino, membawanya ke bawah. Tangan pemuda itu tampak lemas tak 
berdaya, mengikuti saja. Sambil mengerangkan sesuatu yang tak jelas, 
Rien menelusupkan tangan Kino dan tangannya ke balik celana dalamnya. 
Kino merasakan telapak tangannya mengusap rambut-rambut halus dan bukit 
kecil yang hangat di balik nilon tipis itu. Ah, apa yang harus 
kulakukan? pikirnya risau. Tetapi Kino diam saja, karena tangan Mba Rien
 kini mengajak tangannya berputar-putar mengusap. Hangat sekali di bawah
 sana, jauh lebih hangat daripada kedua payudaranya, ucap Kino dalam 
hati. Apalagi kemudian tangannya didorong lebih ke bawah. Tidak hanya 
ada hangat di sana, tetapi juga agak basah. Gerakannya masih 
mengusap-usap, menuruti saja gerakan tangan Mba Rien yang kini tampak 
semakin terengah-engah. 
Tiba-tiba Mba Rien melepaskan bibirnya dari pagutan Kino, membuat pemuda
 ini agak terperanjat. Apalagi kemudian Mba Rien bangkit, membuat Kino 
khawatir telah melakukan suatu kesalahan fatal. Tetapi ternyata tidak. 
Ternyata Mba Rien bangkit untuk melepas celana dalamnya, dengan sebuah 
gerakan cepat yang menakjubkan. Kino terkesima melihat Mba Rien kini 
menggeletak di sampingnya, dengan rok tersingkap sepenuhnya, dan dengan 
kewanitaan yang terpampang jelas, menampakkan segitiga hitam 
rambut-rambut halus yang sedikit membukit, dan sepasang bibir yang 
membasah. Kino menelan ludah berkali-kali. Pemandangan itu sungguh 
berada di luar batas khayalnya selama ini. Jauh di luar batas! 
Wajah Mba Rien tampak serius dengan sinar yang menggairahkan, pikir Kino
 sambil mencari jawab di mata wanita itu. Ia sungguh bingung, tak tahu 
harus berbuat apa. Mba Rien tersenyum, lalu berbisik,
"Kino.. Mba ingin kamu melakukan sesuatu malam ini. Mau?"
Kino mengangguk bisu. Apa lagi yang bisa dilakukannya selain itu? Ia 
melihat Mba Rien tersenyum seperti biasanya, penuh dengan bujukan agar 
ia percaya saja kepadanya. Ia diam saja, ketika tangan Mba Rien menuntun
 tangannya kembali ke bawah, ke segitiga yang tampak menggoda dan 
mengundang itu. Ia diam saja ketika dengan sabar Mba Rien memintanya 
menjulurkan jari tengahnya. Ia diam saja ketika Mba Rien, dengan tangan 
kirinya, menguak bibir-bibir di bawah sana, memperlihatkan dinding halus
 yang tampak licin-basah dan agak berdenyut berwarna merah muda itu. 
"Oh, Kino... tolong gosok-gosokkan jari tengahmu di sana....," tiba-tiba
 Mba Rien mendesah penuh dengan permohonan. Kino terenyuh mendengar baru
 kali ini Mba Rien memohon. Cepat-cepat ia memenuhi permintaannya, dan 
dengan rasa kagum mulai menelusuri celah bibir dan dinding halus yang 
basah itu dengan jari tengahnya. Perlahan ia menelusur ke bawah, ujung 
jarinya terasa menyentuh sebuah liang liat yang agak sempit. Perlahan ia
 naik kembali, terus ke atas karena tangan Mba Rien menariknya sampai 
hampir keluar dari lepitan bibir-bibir yang tampaknya menebal itu. Ujung
 jari Kino kini merasakan sebuah tonjolan kecil di balik selaput kulit 
yang agak tebal. Mba Rien tampak memejamkan mata erat-erat ketika Kino 
mengurut-urut tonjolan itu seperti yang diminta Mba Rien. 
"Terus, Kino... teruskan, ohhhhhh..," Mba Rien seperti merengek-rengek 
dengan wajah yang semakin memerah dan mulut membuka menghembuskan nafas 
memburu. Kino memenuhi permintaannya, menggosok dan mengurut dengan jari
 tengahnya lebih cepat lagi. Mudah sekali melakukannya, karena jarinya 
licin dipenuhi cairan kental bening yang ia tak tahu apa namanya. Mudah 
sekali jari tangannya melesak ke liang kenyal kecil di bawah sana, 
karena liang itu seperti membuka dengan sendirinya, dan seperti hendak 
menyedot masuk jarinya. Gerakan-gerakan tangan Kino semakin teratur; 
naik..., turun.... berputar,... naik ... turun .... melesak sedikit. 
Demikan seterusnya, sementara Mba Rien kini menggelinjang, 
mengerang-erang seperti orang mengejan, dan melentingkan badannya seakan
 punggungnya tertusuk duri. 
"Oooooh, Kino... lebih cepat lagi .... Kino, ahhhh...," Mba Rien kini 
seperti orang mau menangis dan memohon-dengan-sangat kepada Kino. 
Sungguh membuat iba Kino, tetapi sungguh menggairahkan pula permintaan 
itu. Maka Kino bergerak secepat mungkin, sekeras mungkin, sekuat 
mungkin. Tangannya terasa pegal, tetapi ia tak peduli, ia harus lebih 
cepat lagi dan lebih kuat lagi menggosok. Harus lebih kuat lagi memutar 
sambil menekan kalau perlu, karena setiap putaran dan tekanan tampaknya 
membuat Mba Rien semakin keenakan. Rasanya seperti sedang menimba sumur 
dengan satu tangan, peluh telah membasahi dahi Kino, tetapi untuk wanita
 ini rasanya masuk sumur pun rela! 
Tiba-tiba Mba Rien mengejang, dan untuk beberapa detik Kino menyangka 
perempuan ini sedang menghadapi maut. Kaget, ia tarik tangannya, tetapi 
Mba Rien memprotes...
"Ah, jangan Kino....jangan berhenti!" sambil menarik tangan Kino untuk 
kembali ke bawah sana. Cepat-cepat Kino memenuhi permintaan itu, dan 
menggosok-mengurut kembali sekuat tenaga. Satu kali, dua kali, tiga kali
 .... lima kali... akhirnya Mba Rien seperti berteriak tertahan. 
Tubuhnya menggeliat lalu melenting seperti busur panah, lalu terjerembab
 kembali ke kasur dan berguncang-guncang seperti sedang diserang batuk 
hebat. Tetapi bukan batuk yang keluar dari mulutnya, melainkan 
erangan-erangan dan rintihan-rintihan. Kino takut sekali melihatnya!
"Ohhhhhh..., Kino!" ucap Mba Rien seperti orang menahan tangis, memeluk 
leher pemuda itu, meraihnya ke pelukan tubuhnya yang masih turun-naik 
dengan nafas memburu. Kino terdiam menempelkan kepalanya di dada Mba 
Rien, mendengar jantungnya bagai berdentum-dentum, keras sekali.
"Kino .... maafkan Mba Rien !" tiba-tiba terdengar wanita itu berucap. 
Kino hendak mengangkat kepalanya, tetapi tertahan oleh tangan yang 
memeluk erat lehernya. 
Lalu ia merasakan air hangat mengalir di dahinya. Mba Rien menangis! Ada
 apa gerangan? Apa yang salah? Cepat-cepat Kino melepaskan diri dari 
pelukan, dan memandang heran. Mba Rien memang menangis, matanya penuh 
air mata, tetapi mulutnya tersenyum manis.
"Kenapa?" tanya Kino dengan sejuta keheranan. Mba Rien menggelengkan 
kepalanya pelan-pelan, tangannya lembut mengusap wajah Kino, lalu juga 
mengusap rambutnya yang agak menutupi dahi. Dia berbisik, 
"Aku telah menguak sebuah rahasia penting untukmu .... ."
Kino diam dan masih mengernyitkan dahi. Mba Rien berkata lagi, masih dengan berbisik,
"Itu tadi orgasme pertamaku di tangan kamu, Kino..."
Orgasme. Rahasia penting. Kino menghela nafas panjang. Ia menguakkan 
kepadaku rahasia terpenting seorang wanita. Mba Rien membawakan kepadaku
 dunia yang kini justru penuh misteri untuk dikuakkan, pikir Kino dengan
 dada dipenuhi aneka perasaan: bangga bahwa ia dipilih oleh wanita 
menggairahkan ini, takjub karena ternyata orgasme itu begitu indah 
sekaligus menakutkan, terharu karena melihat wanita ini harus berjuang 
melawan dirinya sendiri sampai menangis!
Dengan cepat dipeluknya Mba Rien, diciuminya leher wanita yang harum itu. Oh, terimakasih untuk kunci rahasia itu Mba Rien.
      
     
     
No comments:
Post a Comment