Pernikahan itu dirayakan dengan sederhana. Hanya beberapa keluarga 
dekat, dan kerabat. Pak Mamat sendiri masih setengah tidak percaya, 
akhirnya dia menikahi Nadia, sebagai istri kedua. Beda usianya keduanya 
sangat jauh. Pak Mamat sudah 50an tahun, sedang Nadia masih sekolah di 
SMA. Nadia masih perawan ting ting sementara Pak Mamat sudah punya tiga 
anak, yang bahkan salah satu anaknya adalah teman sekolah Nadia. Pak 
Mamat juga masih beristri.
Kejadian itu tidak diduga sebelumnya. Nadia adalah putri dari Pak Bima 
salah satu kawan Pak Mamat dalam kelompok pengajiannya. Pak Mamat 
tinggal di kota kecamatan, sementara Pak Bima di desa sekitar 15 km dari
 kota. Pernikahan itu merupakan usulan Pak Kamit, sesepuh di daerahnya. 
Awalnya, Nadia mengalami kejadian memalukan yang menghebohkan seluruh 
kampung. Gadis cantik itu digrebek oleh warga saat sedang berduaan 
dengan pacarnya, seorang mahasiswa dari kampung sebelah. Mereka berdua 
kedapatan berduaan di kamar dalam keadaan hampir telanjang. Kejadian itu
 sekitar dua bulan yang lalu. Tentu saja, peristiwa yang terjadi di 
rumah Pak Bima itu memalukan seluruh keluarga besarnya, apalagi Pak Bima
 adalah seorang yang terkenal alim dan aktif dalam kegiatan sosial.
Walaupun dengan tersedu, Nadia bersikeras bahwa mereka tidak melakukan 
perbuatan yang lebih dari sekedar bercumbu, tapi tetap saja memalukan 
bagi Pak Bima sekeluarga. Apalagi pemuda yang memacarinya belum bekerja 
dan tidak direstui oleh Pak Bima. Pemuda itu termasuk terkenal sebagai 
‘trouble maker’.
Akhirnya setelah berembug dengan Pak Kamit dan tokoh-tokoh desa 
setempat, tercetuslah usulan untuk menikahkan ‘sementara’ Nadia dengan 
salah satu dari pria yang bisa membimbingnya. Para bapak-bapak dalam 
kelompok itu memang lagi keranjingan isu poligami. Pak Kamit sendiri 
sudah memiliki empat istri. Beberapa masih belum, termasuk Pak Mamat dan
 Pak Bima. Ide itu juga untuk memberikan kehidupan baru bagi Nadia, 
dengan memindahkannya ke sekolah di kota Pak Mamat.
“Gimana, pak Mamat? Ini cuma untuk menyelamatkan nama baik Nadia, dan 
sekaligus membimbingnya. Kita khan gak bisa juga mengabaikan hormon 
remaja seperti Nadia. Ya kalau memungkinkan, tetap dijaga kesuciannya 
hingga besok menikah lagi dengan pasangannya. Pak Mamat cuma sebagai 
jembatan selama Nadia nanti selesai sekolah dan kuliah. Buat menjaga dan
 mengantisipasi fitnah, Pak”, begitu usulan Pak Kamit waktu itu yang 
nampak masuk akal.
Pak Bima sendiri menyetujuinya dan bahkan mendukung. Baginya nama baik 
keluarga lebih penting ketimbang perasaan Nadia. Apalagi, Pak Bima 
sangat patuh pada Pak Kamit, tetua mereka.
“Tapi ya gak usah, kalau Pak Mamat gak suka sama Nadia” kata Pak Kamit 
sambil mengedipkan mata. Para bapak-bapak itu lalu tertawa. Ya gak 
mungkinlah Pak Mamat menolak usulan itu. Nadia itu sangat cantik, 
kulitnya putih, matanya agak sipit, dan nampak imut dengan rambut 
poninya. Tubuhnya langsing dan imut.
“Ya, saya maulah pak”, kata Pak Mamat disambut riuh tawa para bapak-bapak.
Pak Mamat orangnya agak gemuk dan kekar. Dia seorang pemborong yang 
sukses di desanya. Di rumahnya dia juga menjadi pedagang material bahan 
bangunan.
Herannya Bu Mamat juga menyetujui ide itu. Barangkali karena bagi 
keluarga itu, Nadia sudah dikenal dengan baik sejak dia kecil. Pak Mamat
 dengan Pak Bima memang sudah saling mengenal sejak lama.
Nadia Melodina, sejak saat itu, Pak Mamat selalu memikirkan gadis imut 
itu. Sebelumnya, jangankan membayangkannya sebagai istri, teman anak 
gadisnya itu waktu kecil sudah dianggapnya saudara. Dulu, waktu SD, anak
 itu sering berkunjung ke rumah, dan bahkan kedua keluarga itu kadang 
berwisata bersama. Walau sejak SMP, anaknya tidak lagi satu sekolah 
dengan Nadia, tapi mereka kadang masih saling berkunjung, terutama saat 
lebaran.
Tapi sudah lama Pak Mamat tidak memperhatikan Nadia secara cermat. 
Semenjak Pak Mamat pindah ke kota, Nadia sudah tidak pernah lagi main ke
 rumah. Hanya pada saat lamaran, Pak Mamat kembali memperhatikan gadis 
itu. Sore itu, gadis mungil itu kebanyakan hanya menunduk. Sepanjang 
acara, Pak Mamat mencuri-curi pandang ke arah gadis itu. Kata ayahnya, 
Nadia menyetujui lamaran Pak Mamat. Mungkin juga karena terlanjur 
menjadi aib keluarga. Hati Pak Mamat berbunga-bunga. Anggukan tanpa 
suara Nadia malam lamaran itu seperti hadiah lotre milyaran rupiah bagi 
Pak Mamat. Akhirnya aku punya istri muda, pikirnya.
Masih lekat dalam ingatan Pak Mamat, gadis itu mengenakan kerudung merah
 muda. Tubuh mungilnya dibalut baju gamis putih bermotif sederhana. 
Gundukan dada mungilnya sekilas nampak dalam amatan Pak Mamat. Wajahnya 
polos, dengan pipi kemerahan dan bibir mungil merekah.
Sekarang pada saat upacara pernikahan, Pak Mamat kembali bertemu dengan 
gadis itu. Hanya keluarga dekat yang berkumpul. Pernikahan ini juga 
dilakukan tanpa publikasi besar-besaran. Hanya mengundang penghulu yang 
juga kawan akrab mereka, dan beberapa kerabat, terutama anggota 
pengajian Pak Kamit. Pak Kamit menjadi saksi pernikahan, dan memberikan 
wejangan pengantin. Malam itu, keluarga besar Pak Bima langsung 
menyerahkan Nadia pada Pak Mamat. Pak Bima berpesan untuk menjaga 
anaknya dan membimbingnya.
Setelah upacara serah terima, Pak Mamat langsung memboyong Nadia ke rumahnya di kota.
Awalnya Nadia nampak kikuk di rumah Pak Mamat. Tapi istri Pak Mamat 
justru dengan antusias mengatur semua kebutuhan dan kamar Nadia. Nadia 
sudah menganggap Bu Mamat sebagaimana budenya sendiri. Untungnya ada 
satu kamar bekas milik anaknya. Kamar itu kosong semenjak Prima, anak 
perempuan tertua Pak Mamat menikah dan pindah ke Jakarta.
Nadia jengah, melihat kamar itu dihias layaknya kamar pengantin. Sprei 
merah jambu yang baru, dengan taburan bunga-bunga di atas. Setelah 
meletakkan tasnya di lantai, dia bergegas mau keluar.
“Nadia kalau capek istirahat langsung aja” kata Bu Mamat.
“Nggak kok bude, masih mau ketemu Dini. Dini ada Bude?” kata Nadia, dia 
sebenarnya masih canggung berada lama-lama di kamar pengantin itu.
“Ada di kamarnya. Paling nanti juga ke ruang tengah. Bude ke kamar dulu ya”
“Iya Bude, makasih banget…” Nadia merasa tenang dengan sambutan dan keramahan Bu Mamat.
“Haiii!!!” sapaan keras Dini ketika Nadia turun ke ruang tengah.
“Astaga Dini!!” mereka lalu berpelukan. Sudah lama Nadia tidak bertemu 
dengan bekas teman SDnya itu. Antara malu, canggung, dan haru campur 
aduk dalam pikiran Nadia saat bertemu Dini dalam situasi ini.
“Duuh kamu cantik banget” puji Dini. Nadia memang masih menyisakan make up dandanan waktu menikah tadi.
“Kamu juga Din. Kangen aku..” Nadia tersipu.
“Ayoo, ke kamarku yuuk..” Dini lalu menyeretnya ke kamarnya.
Sudah lama sekali Nadia tidak masuk ke kamar temannya itu. Segalanya 
sudah berubah. Dulu posternya banyak Spongebob, sekarang artist-artist 
korea. Nuansanya sudah remaja banget. Dini mengajaknya duduk karpet 
empuk di sisi ranjang.
Mereka lalu mengobrol seru soal teman-teman Sdnya. Nadia merasa 
terhibur, dan melupakan sejenak pernikahannya yang sampai saat ini masih
 membingungkannya. Untungnya, Dini sama sekali tidak menyinggung soal 
kasus penggebrekan Nadia dan pacarnya. Dini adalah sahabat yang baik 
hati bagi Nadia. Dulu mereka sangat akrab, karena kebetulan kedua 
ayahnya juga kenalan baik.
Reuni itu berjalan seru. Mereka juga berbagi kisah semenjak berpisah di 
SMP hingga SMA. Keluarga Dini pindah ke kota saat Dini masuk ke SMP. 
Dini, anak ketiga Pak Mamat yang dulu teman sekelas Nadia di SD juga 
menyambut dengan baik. Anak gadis pak Mamat itu sudah tahu permasalahan 
Nadia, dan menyetujui pernikahan bapaknya. Baginya, keputusan itu demi 
kebaikan keluarga Pak Bima dan Nadia.
Pak Mamat masih mengobrol dengan beberapa kawannya di teras rumah. Dia 
mendengar kegaduhan Dini dan Nadia di ruang tengah. Nadia yang tadinya 
diam selama perjalanan, menjadi terlihat riang ketika bertemu Dini. 
Mereka langsung saling bercakap dengan akrab. Pak Mamat lega karena 
semuanya berjalan dengan baik. Justru yang paling kikuk adalah antara 
Pak Mamat dan Nadia. Keduanya belum pernah bercakap sejak pernikahan 
itu. Tapi Pak Mamat membiarkannya. Masih banyak waktu, pikirnya.
Setelah para tamu pamit, Pak Mamat masih menyedot rokoknya di teras 
rumah. Beberapa menit yang lalu, istrinya sudah berpamitan untuk tidur 
duluan. Pak Mamat masih bingung, dia harus tidur di mana malam itu. 
Hatinya berdesir menyadari bahwa malam ini dia sudah resmi memiliki dua 
istri. Tanpa sadar dia membetulkan batangnya yang tiba-tiba mengeras di 
balik sarungnya.
Orang-orang di dalam rumah sudah sepi. Mungkin Nadia sudah ke kamarnya, 
dan Dini juga sudah tidur. Pak Mamat lalu beranjak masuk ke rumah, 
setelah mengunci gerbang halaman.
Di kamarnya, Bu Mamat nampak sudah terlelap di balik selimutnya. Lalu 
Pak Mamat mengganti sarung dengan kolor tidurnya. Pelan-pelan 
dibaringkannya tubuh di sisi sang istri. Dipeluknya tubuh montok itu 
dari belakang. Bu Mamat menggeliat.
“Pah..” katanya.
“Yaa..”
“Sana tengok Nadia. Kasihan dia, bisa tidur gak di kamar barunya?”
Pak Mamat diam sejenak. Dia sangat menyayangi istri yang sudah dinikahinya selama 24 tahun itu.
“Kok aku Mah?” tanyanya kemudian.
“Aku capek banget, pah. Sana gih”
Pak Mamat lalu bangkit dan mengambil sarungnya. Dengan berlagak malas, 
diseretnya langkah ke kamar Nadia. Padahal hatinya deg-degan menuju 
kamar istri mudanya. Sampai saat ini, dia belum pernah sama sekali 
mengobrol langsung dengan Nadia.
Di depan pintu kamar Nadia, Pak Mamat terdiam. Kamar itu sudah sepi. Apa dia sudah tidur.
Lalu pelan diketuknya pintu.
“Yaaa…” suara Nadia dari dalam. Lalu terdengar langkah buru-buru menuju 
pintu. Glek. Pintu dibuka. Seraut wajah tersipu muncul dari balik pintu.
 Pak Mamat melongo melihat wajah putih yang mendongak menatapnya itu. 
Tubuh putih gadis itu terbungkus kaos tipis berlengan pendek. Celana 
pendeknya ketat di atas lutut.
Nadia hanya sejenak menatap wajah suaminya. Segera dia kembali menunduk 
sambil melebarkan pintu. Tanpa suara, dia mempersilakan Pak Mamat dengan
 gerakan tubuh menyamping memberi jalan masuk.
Lalu gadis itu melangkah ke atas ranjang. Pak Mamat masih berdiri di 
depan pintu. Dilihatnya Nadia merebahkan tubuh di kasur sambil 
memindahkan gulingnya ke pinggir ranjang, seolah memberi tempat pada Pak
 Mamat untuk tidur di sampingnya. Lalu dengan perlahan, Pak Mamat masuk 
dan menutup pintu.
Mereka lalu berbaring bersisian. Pak Mamat berusaha bergerak pelan untuk
 tidak mengganggu gadis mungil di sebelahnya yang sudah memeluk guling 
memunggunginya. Tentu malam ini dia lelah, pikirnya. Tubuh wangi gadis 
itu mengganggu kesadarannya. Tapi Pak Mamat memutuskan untuk 
beristirahat tanpa pikiran aneh-aneh dengan anak temannya itu.
      
     
     
No comments:
Post a Comment