Pada bagian pertama cerita ini aku menguraikan berkunjung ke desa yang 
penduduknya terbuka menerima tamu dari lain daerah untuk menginap 
dirumah bersama wanita, yang itu bisa saja janda, istri, ataupun anak, 
dari yang menempati rumah itu. Cerita bagian pertama diakhiri dengan 
sesi foto-foto telanjang terhadap 5 anak remaja yang terhitung masih di 
bawah umur dan 2 wanita dewasa.Foto -foto berlangsung di rumah Titin 
yang malam sebelumnya menemaniku tidur bersama adiknya Neneng yang masih
 remaja.
                John berbisik bahwa masih ada peluang bermalam dengan 
anak belia seperti yang ditunukkan pemilik warung tempat kami istirahat 
ketika tiba di kampung ini kemari. Menurut John anak yang diperkenalkan 
itu lumayan manis.
                Gara-gara ingin mencoba yang lain akhirnya kami pamitan 
dan berpisah dengan anak-anak yang tadi aku jadikan model dadakan.
                Aku dan John diantar Dedeh kembali ke warung tempat kami
 pertama kali bertemu. Si penjaga warung masih ingat kami. Kami baru 
tahu kalau pemilik warung itu namanya Pak Rawi. Aku tanpa basa basi 
menanyakan mengenai cewek-cewk abg kemarin yang ditawarkan kepada kami. 
Dengan gaya kalem, Pak Rawi mengatakan, gampang bos, nanti saya 
kerumahnya dulu.
                Berhubung matahari mulai tinggi dan perut sudah mulai 
menuntut, aku tanya ke Dedeh apakah ada warung makan di sekitar sini. 
Dia menyebutkan nama warung yang katanya bisa jalan kaki saja ke sana. 
Aku pamit ke Pak Rawi mau makan siang dulu. Kami bertiga jalan 
beriringan di jalan desa yang agak berdebu.
                Warung makan yang tidak besar, hanya ada dua baris meja 
dengan bangku-bangku panjang. Yang dijual hanya ayam goreng, lele goreng
 dan sambal serta lalapan. Aku memesan lele John dan Dedeh lebih memilih
 ayam goreng. Untuk ukran di desa begini ya lumayan juga lah. Perut 
kenyang, otak mulai cemerlang lagi.
                Lebih kurang sejam kami sudah kembali lagi di warung pak
 Rawi. Aku dipersilakan masuk ke dalam rumahnya. Di dalam ternyata sudah
 ada 4 anak yang masih sangat belia. Waktu itu Pak Rawi menyebut 
nama-nama mereka, tetapi otakku tak mampu merekamnya, sebab aku fokus 
dengan sajian di depanku dan mengherankan ku mereka masih hijau sekali.
                Pak Rawi menyebut dua anak yang kutaksir berusia 17 dan 
15 tahun, kata dia mereka berdua adalah kakak beradik kandung. Aku 
bertanya ke pak Rawi, apa bisa aku menginap dirumah mereka dan mniduri 
mereka berdua. Kata Pak rawi, yang dibenarkan Dedeh, bahwa gak masalah. 
Padahal menurut ceritanya, mereka masih mempunyai orang tua lengkap, ada
 bapaknya, dan masih ada adik seorang.
                Tantangan yang sangat menggoda. Pak Rawi kelihatan 
keluar sebentar dan kembali masuk menggandeng seorang pria yang kutaksir
 berusia sekitar 40 tahun.  Ini bapaknya, kata Pak Rawi.
Aku makin bingung, apa yang harus kukatakan kalau aku berminat kepada 
kedua anaknya itu. Kalau kukatakan langsung rasanya terlalu vulgar, 
tetapi kalau dengan kata tersamar, apa yang harus diucapkan, bingung 
sekali, sehingga aku hanya terdiam.
                Mangga bos kalau memang berminat sama anak saya, gak 
masalah. Di sini mah udah biasa, jangan sungkan-sungkan. kata si Bapak 
kedua anak itu.
                Biar masih abg tapi anak-anak ini sudah janda bos, jadi jangan kuatir, sambung Si Pak Rawi.
                Tambahan informasi ini malah makin membuat bingung, anak
 umur 14 tahun sudah janda, kapan kawinnya. Ini pertanyaan penasaran 
yang tidak bisa aku redam sehingga terlontar begitu saja. Ah si Yati 
mah baru kawin 3 bulan, suaminya penangguran gak bisa kasi nafkah, 
akhirnya cerai lagi kakaknya juga gitu, belum ada setahun kawin lakinya 
ngabur kerja ke Jakarta, gak pulang-pulang, kata si Ayah.
                Situasi makin seru dan aku tidak bisa membayangkan 
bagaimana seandainya aku menginap di rumah kakak beradik ini. Tamu yang 
bakal ngentotin anaknya yang masih berusia  remaja. Benar-benar sulit 
membayangkannya. Aku penasaran dengan tantangan seperti itu akhirnya aku
 setuju akan bermukim malam ini di rumah kakak beradik ini.
                Sementara itu John rupanya dia kurang selera dengan ABG,
 dia berbisik ke Dedeh, jika ada temennya yang bisa menampungnya malam 
ini. Bu Dedeh hanya bilang Sip, lalu dia berlalu keluar.
Sementara itu Si bapak menginstruksikan kedua anaknya mendahului pulang 
ke rumah. Aku mengobrol macam-macam dengan si Bapak yang kemudian 
kuingat bernama Akhmad.
                Semua anak-anak peremuan tadi bubar dan kami meneruskan ngobrol sambil menyeruput kopi tubruk yang hangat.
                Mungkin ada satu jam kami berbual, sampai muncul si 
Dedeh bersama wanita lumayan manis, bahenol, usianya sekitar 25 tahun, 
matanya centil, dia menyalami kami semua disitu. Dedeh lalu mengatur 
cewek itu duduk di sebelah John.
                Setelah basa-basi dan ngobrol mengenai macam-macam. 
Akhirnya kami beranjak. John digiring ke rumah pasangannya, aku diajak 
kerumah  si Akhmad. Rumahnya tidak terlalu jauh, hanya beda arah dengan 
rumah yang kuinapi semalam. Jalan masuk gang, berkali-kali Akhmad 
bertegur sapa dengan orang di sepanjang perjalanan.
                Rumah Akhmad di dalam gang  yang berliku liku. Aku harus
 ditunjukkan jalan besok jika keluar dari kediaman Akhmad, karena tidak 
semua yang kami lalui adalah jalan gang, ada melalui belakang rumah 
orang, melintas sumur, kadang-kadang menerobos kawat jemuran. Mungkin 
aku dibawanya melalui jalan pintas.
                Setibanya di rumah aku disambut oleh istri si Akhmad. 
Mungkin dia kawin muda dulu, anaknya sudah sebesar, ini kok istrinya 
masih kelihatan muda juga. Atau istrinya memang berpenampilan lebih muda
 dari usianya. Lumayan juga istri si Ahmad.
                Jangan langsung menuduh aku berminat pula pada istri si 
Akhmad. Sebab aku masih belum bisa menghilangkan rasa kikuk bertamu ke 
rumah Akhmad yang akan menyerahkan kedua anaknya ditiduri di rumah ini 
juga.
                Rumahnya lumayan bersih dan lebih bagus dari rumah-rumah
 yang kusinggahi semalam. Namun desain rumahnya yang tidak terlalu 
modern, hampir sama dengan rumah-rumah lain di desa. Ruang tamu 
memanjang lalu di sebelahnya pintu-pintu ruang tidur.
                Aku dipersilakan duduk lalu tidak lama kemudian duduk 
dan diberi hidangan kopi mix. Aku ngobrol , istrinya juga ikut nimbrung.
 Dari kesanku selintas istri Akhmad kelihatan centil, ini terlihat dari 
matanya yang liar. Aku lalu membatin di dalam hati, ah mana mungkin 3 
perempuan di rumah ini aku embat semua, emak dan dua anak kandungnya, ah
 sulit membayangkan adegannya, itulah pikiran yang bermain diotakku.
                Pak kalau berminat sama istri saya, sok aja, kata 
Akhmad yang mengagetkan lamunanku. Mungkin gestur tubuhku tidak bisa 
menyimpan apa yang berada di pikiranku, sehingga Akhmad membaca apa yang
 kuhayalkan.
                Aku jadi bingung menjawabnya, kalau aku katakan tidak, 
padahal sebenarnya ingin juga. Paling tidak ingin mengalami dikerubuti 3
 perempuan yang terdiri dari ibu dan dua anaknya yang masih remaja. 
Sebaliknya kalau bilang iya, masa polos begitu ngomongnya.
                Situasi sulit untuk menentukan sikap.
                Sudah bos nanti saya pijetin, gak usah mikirin bayaran, pokoknya asal bos kerasan aja, kata si nyonya Akhmad.
                Sok lah jangan segan-segan di kampung mah udah biasa, 
kebetulan ntar malam saya dapat giliran ronda, kata si Akhmad.
                Aku Cuma mampu tersenyum, ngomong apa pun tak bisa 
karena bingung apa yang harus diomongkan.  Tawarannya gak masuk akal 
banget sih.
                Hari sudah mulai sore, aku menyerahkan uang jasa 
untukmeniduri dua anak dan ibunya sekaligus ke si emak. Uang begitu saja
 diterima, tanpa dihitung. Aku sudah bisa mengira-ngira berapa biaya 
yang harus aku keluarkan untuk  urusan menginap di desa ini. Kalau 
dibandingkan sih hampir sama dengan tarif hotel bintang 5 di Jakarta 
menginap satu malam, bedanya disini diselimuti 3 wanita yang menarik, 
Kalau di Jakarta ya hanya kamar mewah, dingin karena AC dan kamar 
mandinya bisa untuk berendam air panas.
                Aku meneruskan mengobrol gak tentu arah dengan si 
Akhmad, kedua anaknya tidak kelihatan, si nyonya sudah beranjak. Sekitar
 jam setengah enam sore mereka datang bertiga lalu menawari aku mandi di
 sumur di belakang rumah. Badanku memang sudah agak berkuah karena udara
 panas di desa.
                Seperti di rumah sebelumnya aku diberi pinjaman kain 
sarung dan ditunjukkan kamar tidur tempat aku meletakkan ransel. Di 
dalam kamar yang tidak terlalu luas, terhampar kasur di lantai dilapisi 
tikar yang ukurannya lebih lebar. Di tikar dan di kasur ada beberapa 
bantal. Mungkin kalau udara panas mereka tidur di tikar.
                Aku melepas blue jeans dan mengganti kaus dengan kaus 
oblong hitam katun. Semua kaus oblong ku memang dari katun, karena 
nyaman untuk berkelana. Dengan hanya bercelana dalam dan ditutupi sarung
 serta kaus oblong dan handuk, serta sikat gigi dan sabun cair botol 
kecil aku keluar kamar.
                Ketiga perempuan itu sudah berada di ruang tengah, si 
Akhmad tidak kelihatan. Para wanita mengenakan kemben sarung yang 
menutupi buah dada sampai ke lutut dengan kain sarung. Umumnya wanita 
desa kalau mandi memang seperti itu busananya.
                Aku digandeng si nyonya yang kemudian aku kenali dengan 
nama Teh Indun. Dia menggiringku ke belakang rumah. Dibelakang rumah ada
 kebun singkong, kami keluar dari pintu dapur berjalan sekitar 10 m dan 
berbelok ke kiri. Ada bagian yang terbuka tidak ditumbuh tanaman kebun, 
ditengahnya ada berdiri pompa tangan dan ada 2 ember yang sudah berisi 
air. Kalau ini kamar mandinya, kenapa tidak ada dinding. Yang ada hanya 
tonggak kayu untuk menyangkutkan baju. Lantainya sebagian dari semen 
sebagian lagi batu bata yang disusun.
                Aku masih terbingung-bingung, karena serasa mandi 
ditengah kebun. Meski tidak terlihat dari mana-mana, tetapi aku masih 
merasa rikuh juga jika harus bertelanjang di kamar mandi yang terbuka 
gini. Aku mengangkat sarung dan mengambil segayung air untuk sikat gigi.
 Paling tidak aku menunggu apa yang mereka lakukan dan bagaimana cara 
mereka mandi. Ternyata eh ternyata, tanpa sungkan-sungkan mereka bertiga
 membuka kemben dan menyangkutkan ke tiang-tiang. Lalu bugil dan 
langsung jongkok di dekat ember penuh berisi air. Mereka tidak 
mengenakan apa-apa lagi dibalik kain sarung.
                Ketiga perempuan itu lalu menyiduk air dan mandi. Mereka
 menyabuni tubuh sambil tetap jongkok. Memang kalau posisi jongkok gitu,
 tidak banyak yang bisa terlihat, karena kemaluan tertutup ember dan 
kedua payudara agak terhalang oleh tangan yang sibuk menyiduk air. Tapi 
ya tetap saja sesekali terlihat payudaranya.
                Aku jadi merasa tertantang untuk bugil juga. Aku buka 
seja semua atributku sampai telanjang bulat. Ada baiknya si otong tidak 
unjuk tegangan, tetapi agak berisi juga, sehingga tidak kuyu-kuyu amat. 
Aku mengambil inisiatif memompa air untuk menambah air yang berada di 
dalam ember.
                Mereka bertiga cekikikan melihat tingkah lakuku yang 
pasti mereka menangkap aku bersikap rada janggal. Ya iyalah, budayaku 
rada beda, dan seumur-umur baru kali ini mandi telanjang di kamar mandi 
tanpa dinding, dan telanjang pula.
                Aku lalu menggabung mandi, hanya bedanya aku tidak mandi
 sambil berjongkok. Dengan gaya masa bodoh aku berdiri sambil menyiram 
seluruh tubuhku dengan air sejuk. Terasa segar sekali. Aku mengambil 
sabun cair dan mengusapkan ke seluruh tubuhku. Mereka agak aneh melihat 
sabunku dan terasa berbau wangi segar. Mereka penasaran ingin mencoba 
sabunku.
                Mungkin karena aku berdiri cuek, mereka akhirnya juga 
ikut berdiri dan mengusap-usap sabun cair wangi itu ke seluruh tubuhnya.
 Si Emak jembutnya tebel, teteknya lumayan penuh dan pentilnya besar 
berwarna agak kehitam-hitaman. Si anak yang besar yang tadinya kutaksir 
umur 17 tahun ternyata  16  tahun teteknya kenceng dan lumayan menonjol,
 pentilnya belum terlalu berkembang, jembutnya sedikit Cuma ada diujung 
atas lipatan memeknya. Yang kecil memang umurnya baru genap 14 tahun, 
teteknya masih mancung kecil, pentilnya kecil, seperti pentil tetek 
laki-laki, jembutnya masih gundul, sehingga gundukannya jelas terlihat 
menggelembung.
                Si emak tanpa kuminta mengambil inisiatif menyabuni 
punggungku. Dia mengambil semacam sabut dari buah seperti oyong atau 
gambas yang tadi dibawanya dalam ember kecil, lalumenggosokkan di bagian
 belakang tubuhku. Enak sih rasanya, gatal-gatal di punggung jadi 
seperti digaruk pula. Tetapi cilakanya tangannya merambah kemana-mana 
sampai menggapai bagian vital diselangkangan. Dengan nakalnya dia 
membelai batangku yang tertidur karena siraman air dingin. Namun karena 
dibelai dan bahkan kadang ada gerakan mengocok, membuat si Ucok jadi 
marah dan bangun seperti menantang lawan. Kedua anaknya tertawa seperti 
ditahan-tahan, Tetapi ibunya tidak peduli dan juga tidak malu memainkan 
penis yang bukan suaminya di ddepan kedua anak perempuannya.
                Untung adegan tidak berlanjut, karena dia lalu menyirami
 aku dengan air. Aku dimintanya jongkok, sehingga dia menyiramiku dari 
atas. Ritual mandi yang dingin jadi menegangkan, karena aku memang jadi 
tegang, berakhir juga. Aku menghanduki diriku sendiri lalu mengenakan 
celana dalam, sarung dan berkaus oblong.
                Hari mulai gelap, aku duduk di ruang tamu ditemani 
Akhmad. Tidak lama kemudian tuan rumah mengajakku makan. Lauknya ada 3 
macam, ada tumis kangkung, ada tempe goreng, ada ikan pindang( di sini 
nyebutnya ikan cuek) goreng dan tidak ketinggalan sambal. Nikmat sekali 
meski pun menunya sederhana. Perutku jadi kenyang, apalagi didorong 
dengan air putih segelas. Rasanya makin kenyang.
                Aku duduk ngobrol lagi sama Akhmad sambil dia merokok. 
Tidak ada kesan sedikitpun dia cemburu atau khawatir, bahwa aku bakal 
memporak-porandakan istri dan anak-anaknya. Kesanku dia malah seperti 
orang lain dirumah ini yang bagai tidak ada hubungan saudara dengan 
perempuan-perempuan di rumah ini. Aku jadi merenung, segila-gilanya aku,
 kayaknya aku tidak bisa bersikap seperti Akhmad jika menghadapi situasi
 serupa.
                Istri Akmad muncul dari dalam dengan segelas minuman. 
Akhmad menyambutnya, Bos mesti minum jamu kampung ini, saya sering 
minum jamu ramuan kampung, mantap bos, kata Akhmad.
Tidak ingin mengecewakan mereka begitu gelas ditaruh di meja langsung 
aku ambil dan aku habiskan. Rasanya sedikit pahit, dan pedas. Aku memang
 sering minum jamu, tetapi belum pernah meminum ramuan yang seperti ini 
rasanya.
                Akhmad bercerita bahwa obat ini ramuan dari kampung ini,
 dan merupakan jamu rebusan dari tumbuh-tumbuhan yang hanya ada di 
kampung. Khasiatnya dipromosikan terlalu berlebihan menurutku, karena 
dia berkali-kali mengangkat jempol.
                Baru sekitar setengah jam, badanku merasa gerah, dan 
mulai agak berkeringat sedikit.  Obatnya mulai bereaksi bos, rasanya 
panas kan, kata si Akhmad.  Aku membenarkan memang terasa agak gerah 
jadinya. Sejujurnya aku tidak tahu, itu jamu untuk apa, aku baru sadar, 
jangan-jangan ini obat tidur. Ah biarain saja lah, kalau obat tidur pun 
gak masalah, karena aku memang agak lelah.
                Jam di didinding sudah menunjuk angka 8, Akhmad lalu 
bersiap-siap akan ronda membawa kain sarung, senter dan penutup kepala. 
Dia tidak lama kemudian pamit untuk meronda bersama koleganya. Kebetulan
 pos rondanya tidak terlalu jauh dari rumah.
                Selanjutnya hanya aku laki-laki dirumah ini, selebihnya 
ya perempuan. Si emak menggelandang aku masuk kamar. Kedua anaknya ikut 
mengiring dari belakang. Tanpa izin dariku, sarungku dibukanya dan kaus 
oblongku diloloskan keatas. Aku disuruh tidur telungkup.
                Si Teteh rupanya ingin memijatku. Pijatannya lumayan 
nikmat juga, mulai dari kaki sampai semua badan bagian belakang 
dipijatnya. Anaknya diajari memijatku. Aku jadinya dipijat oleh tiga 
wanita. Kedua anak masing masing memijat kakiku sedang biangnya memijat 
badanku. Suasana penerangan di dalam kamar boleh dibilang gelap. Hanya 
ada cahaya dari luar yang masuk, sehingga tidak gelap total. Aku tidur 
telungkup menikmati pijatan mereka bertiga. Si Teteh duduk diatas 
badanku.
                Aku merasa ada yang aneh, sepertinya si Teteh tidak 
mengenakan pakaian, atau sarung. Aku merasa bulu jembutnya berkali-kali 
menggerus punggung dan pantatku. Membayangkan situasi itu, pelan-pelan 
senjataku terkokang.
                Ketika aku diminta berbalik sehingga tidur telentang, 
jelas semualah yang terjadi pada mereka. Meski gelap, tetapi aku dapat 
menangkap bayangan remang-remang bahwa mereka bertiga sudah bugil tanpa 
sehelai benangpun menutupi tubuhnya.
                Badanku kembali dipijat, entah sengaja atau tidak tangan
 si Teteh meraba masuk ke celana dalamku sehingga menangkap ular piton 
di dalamnya. Ularnya memang telah membengkak. Tanpa basa-basi ditariknya
 celanaku sehingga aku pun akhirnya bugil.
                Nyionya rumah mulai mempermainkan senjata kebanggaan ku 
yang sebenarnya semalam sudah bekerja keras menembaki musuh. Normalnya 
malam ini aku agak kurang bergairah. Tetapi ternyata gairahku lumayan 
juga, karena senjataku sudah terisi penuh dan keras.
                Tanpa sungkan terhadap kedua ananknya si Teteh melahap 
penisku menhisapnya dan menjilati kantong menyan di bawahnya. Jago 
banget si emak ini. Aku memilih bersikap pasif saja, menunggu bagaimana 
mereka akan memperlakukan aku.
                Mungkin karena sudah kenyang bertempur semalam, atau 
mungkin juga karena jamu yang tadi membuatku berkeringat. Aku mampu 
bertahan mesik dioral hampir setengah jam. Kelihatannya si Teteh lelah 
melomoti senjataku. Dia lalu bangkit dan mengangkangiku dan memegang 
penisku diarahkan ke lubang kenikmatannya. Setelah lolos masuk semua dia
 mulai melakukan gerakan-gerakan ganas sambil merintih-rintih sendiri.
                Kedua anaknya hanya menonton saja di kiri-kanan. Ibunya 
tidak ambil pusing ditonton anaknya dia berusaha menikmati garapannya 
sendiri sambil terus merintih. Mungkin dia sudah orgasme karena 
tiba-tiba ambruk di dadaku lalu nafasnya mendengus-dengus. Mungkin juga 
karena pengaruh grafitasi, sehingga aku masih bisa menahan spermaku 
tetap di tempatnya. Ibunya memerintahkan anaknya yang besar menggantikan
 posisinya menduduki. Anaknya segera mengerti, meski perintah itu, tanpa
 mengeluarkan sepatah kata pun. Anaknya berjongkok dan memeegani 
senjataku lalu dimasukkan ke dalam celah vaginanya. Pelan-pelan 
diturunkan badannya sampai senjataku ambles di dalam lubangnya jang 
terasa agak sempit. Dia mulai bergerak pelan-pelan naik turun. Namun 
lama-lama makin cepat dan gerakannya mulai tidak teratur, karena 
kadang-kadang bergerak maju mundur pula.
                Tiba-tiba dia menjerit tertahan dan rubuh ke dadaku, aku
 merasa memeknya berkedut-kedut. Aku kagum juga melihat kenyataan. Dari 
pengalamanku, anak seusia 16 -17 tahun agak susah berorgasme, karena 
mereka sesungguhnya belum memahami sex sepenuhnya. Kulirik ke kiri si 
emak sudah mendengkur halus.
                Adiknya yang biasa dipanggil Yati diminta mengganti 
posisi kakaknya. Aku diam saja, sambil ingin tahu seberapa jauh dia 
mengetahui permainan sex. Badannya kecil cenderung belum berlemak banyak
 kecuali di dadanya yang menggembung sedikit dan di bongkahan pantatnya 
yang agak mengembang. Yati kemudian mendudukiku dan mengarahkan penisku 
ke lubangnya yang masih gundul.
                Terasa agak sulit masuk mungkin karena kurang pelumasan,
 atau karena diameter lubangnya masih kecil. Perlahan-lahan sambil 
tampangnya nyegir menahan kati dia paksakan juga menelan batangku yang 
masih menegang perkasa. Dia melakukan gerakan perlahan-lahan. Kentara 
sekali kalau anak ini masih hijau dalam pengalaman berhubungan kelamin. 
Namun dia tahu melakukan ritual itu dengan melakukan gerakan maju 
mundur, sehingga clitorisnya menggesek-gesek bagian tubuhku. Semakin 
lama semakin semangat dia bergerak. Dia sudah menermukan ritmenya 
sendiri. Aku tidak berharap bisa bertahan tidak ejakulasi sampai si Yati
 mencapai orgasmenya dulu. Sebab wanita umur 14 tahun sangat sulit 
mencapai orgasme melalui hubungan badan. Itu pengalamanku. Tapi rasanya 
pertahananku cukup kuat kali ini,  mungkin nafsuku tidak terlalu tinggi 
ditambah ramuan jamu tadi juga.
                Cukup lama juga dia mengendaraiku sampai akhirnya dia 
mengatakan, capai. Kasihan juga memaksa terus bermain diatasku. Kami 
kemudian berganti posisi dari WOT menjadi missionaris. Agak lebih 
gampang menjeloskan senjataku masuk ke dalam vagina kecilnya karena 
peumasnya telah cukup  banyak, Aku mulai mengayuh sambil membayangkan 
anak dibawah umur yang kutindih. Dia memang diam saja, tetapi lubang 
vaginanya terasa nikmat sekali karena masih sempit. Aku berusaha 
berkosentrasi untuk mencapai orgasmeku, Aku sudah lelah juga menggenjot,
 sampai akhirnya spermaku melesat menandakan permainan berakhir dan 
kepuasan berada di pihak ku. Aku tidak tahu anak kecil ini sudah orgasme
 apa belum. Ah apa peduliku, selain dia belum cukup umur, toh dia memang
 yang melayaniku.
                Yati tampak berjongkok di pojok ruangan, rupanya dia 
membersihkan vaginanya  dengan handuk kecil dan seember air disitu. 
Selesai dia membersihkan selangkangannya akupun mengambil handuk kecil 
lain dan membasuhkannya ke seluruh permukaan senjataku. Diatas kasur 
sudah seperti ikan pindang, tiga orang tidur berjajar telanjang. Yatipun
 ternyata sudah tertidur. Aku melihat sekiliing kamar, ternyata ada 
disiapkan kasur single di pojok kamar. Aku langsung mengambil sarung dan
 merebahkan tubuhku yang sudah lelah kembali meski tadi sudah dipijat.
                Meski lelah aku agak sulit tidur. Anehnya senjataku 
menegang lagi. Ah ini luar biasa dan diluar kebiasaanku bisa bangkit 
lagi dalam waktu kurang dari 10 menit. Aku harus mengakui ramuan tadi 
yang kuminum memang bekerja baik sekali.
                Aku tidak tahu harus bagaimana memperlakukan anggota 
tubuhku yang tidak tunduk perintah dan sering melawan bosnya. Aku 
berusaha tidur sebisa mungkin. RAsanya sudah mulai diawang-awang, tetapi
 aku menangkap sebersit bayangan berkelebat. Aku kaget. Kukira hantu 
kamar ini, Mata kupicingkan ternyata si Teteh bangun lalu terlihat 
seperti jongkok di ember lain yang tersedia di kamar itu dan kosong. 
Dari suaranya yang berdesir, ternyata dia sedang kencing. Aku mengikuti 
apa yang dia lakukan, ternyata sehabis kecncing dia bersihkan memeknya 
dengan sedikit air lalu diusap dengan handuk.
                Aku masih berpura-pura tidur, sampai akahirnya si Teteh 
menghampiriku dan duduk disampingku. Tangannya langsung membekap penisku
 yang sedang menegang. Eh orangnya tidur, tapi adiknya bangun, 
katanya.
                Ditariknya sarungku ke atas, sehingga penisku mengacung 
bebas. Teteh lalu bertiarap diantara kedua kakiku dia mengoralku lagi 
dengan penuh semangat. Aku masih tetap berpura-pura tidur. Aku 
memperkirakan sudah jam 12 malam, karena kudengar petugas ronda memukul 
tiang listrik 12 kali.
                Ah si akang barangnya enak banget dan keras,kata Si 
teteh seperti bicara sendiri. Rupanya dia tidak ingin menyia-nyiakan 
potensi yang ada, Segera penisku didudukinya dan dia mulai bermain 
diatasku dengan gerakan cepat. Rasanya kayak bernafsu banget si Tetep 
istri Akhmad ini. Tidak lama kemudian dia berhenti karena terasa 
memeknya berdenyut-denyut. Tidak lama kemudian dia mulai bergoyang lagi 
dan makin lama makin cepat dan sebentar kemudian dia orgasme lagi. Ih 
si akang hebat banget  ya, gak keluar keluar, katanya.
                Mungkin dia merasa lelah dan tahu lah bahwa aku sudah 
tidak tidur lagi makanya dia minta aku yang menindihnya. Akupun tidak 
menunggu lama segera kugenjot habis-habisan sampai dia mencapai orgasme 
lagi dan aku tidak berhenti menggenjot sampai si Teteh minta ampun ingin
 menyudahi, Tapi aku merasa tanggung karena rasanya sebentar lagi 
mencapai puncak, jadi aku sikat saja terus ,meski si Teteh udah 
kewalahan, Dia kemudian seperti mengerang atau menjerit lirih panjang 
yang meningkatkan nafsuku sehingga karenanya aku pun mencapai orgasme 
dan berejakulasi.
                Badanku penuh berkeringat, dan terasa suasana di kamar 
ini begitu gerah. Kusambar sarungku dan kaus, aku berjalan ke luar kamar
 danaku keluar ke halaman depan. Rasanya sejuk sekali namun gelap dan 
sepi. Aku melepaskan hajat kecilki di semak di depan rumah lalu aku 
kembali masuk rumah dan masuk kamar setelah keringatku kering.
                Kulihat si Teteh mendengkur pula dikasurku dengan posisi
 ngangkang dan bugil. Ruang untuk tidurku hanya ada di sebelah kedua 
anak-anak. Aku pun merebahkan badan yang terasa penat. Hanya sebentar 
saja rasanya aku sudah tidak ingat apa-apa.
                Aku terbangun karena terasa senjataku dibasuh oleh 
handuk dingin. Ternyata si Teteh sudah bangun. Dan kedua anak-anak-anak 
sudah tidak ada ditempatnya. Cuaca mulai terang. Mungkin sekitar jam 
setengah tujuh pagi. Suasana masih agak sejuk.
Teteh dan anak-anak sudah bersiap untuk mandi.  Aku tergerak ikutan 
mandi juga. Seperti kemarin sore kami berempat berbugil ria. Bedanya 
kali ini anak-anak tidak malu-malu, tetapi sudah blak-blakan telanjang 
sambil berdiri. Anehnya batangku sudah mengeras lagi, padahal biasanya 
jika malamnya sudah habis-habisan bertempur, paginya akan susah 
menegang. Ini kali memang aneh. Dampak jamu godogan itu ternyata luar 
biasa juga.
Aku membawa kamera saku, mulanya mereka malu-malu aku jepret sambil 
berbugil, tapi karena bujukanku yang mugkin masuk akal bagi mereka, 
akhirnya mereka mau juga. Setingnya adalah kewajaran kebiasaan mereka 
mandi. Jadi gambar-gambar yang kurekam terlihat natural dan sangat desa 
suasananya.
Celakanya meski disiram air dingin dan habis mandi, barangku sulit 
ditundukkan. Si teteh tersenyum-senyum penuh arti. Kayaknya dia punya 
rencana sendiri. Selesai mandi kami beriringan masuk rumah dan aku 
disuruh masuk bersama kedua anak remajanya. Kedua anak itu disuruh 
melayaniku sampai aku puas.
Karena hari semakin siang aku cepat cepat saja berinisiatif mencumbui 
kedua mereka. Sementara itu si Teteh tidak ikut masuk kamar. Kali ini 
baru aku makin jelas menyaksikan potensi kedua anak ini. Si adik 
teteknya masih kecil jembutnya masih bulu kalong, dan celah memeknya 
kelihatannya masih rapat. Aku sempat meraba celahnya dan diam-diam aku 
cium tanganku yang sempat mencolok celah berlendirnya. Tidak terasa ada 
bau amis dan aneh.
Kakaknya bentuk memeknya juga cembung dan ada sedikit bulu di ujung 
lipatan aku colok-colok mereka pasrah juga dan ciran vaginanya juga 
tidak berbau. Keduanya mereka masih sehat-sehat saja. Aku jadi tertarik 
mengoral kedua bocah ini. Mulanya aku mengoral kakaknya, yang malu-malu 
ngangkang di depan wajahku yang sangat dekat dengan memeknya. Namun 
lama-lama mulai bisa menikmati dan menggelinjang-gelinjang. Si kakak 
relatif cepat juga mendapat orgasme. Setelah itu aku berpindah ke memek 
yang lebih kecil dan lebih rapat. Adik pasrah saja aku kangkangkan. Dia 
agak berjingkat ketika ujung clitorisnya tersentuh ijung lidahku. 
Mulanya dia mengeluh geli, tetapi lama-lama berjingkat-jingkat karena 
itilnya disosor. Si adik relatif agak lama mendapat orgasme, sampai 
leherku pegal.
Selepas keduanya mendapat orgasme aku langsung menggarap 
keduanya,Mulanya adiknya aku colok, setelah puas aku bepindah ke kakanya
 yang sudah standby ngangkang di sebelah adiknya. Aku berpindah-pindah 
sesukaku. Cara main seperti ini malah tidak nikmat, karena jadi tidak 
konsentrasi. Padahal badanku sudah mulai lelah dan berkeringat lagi. 
Akhirnya aku kosentrasi ngembar si kecil sampai akhirnya sisa sperma 
yang tidak seberapa muncrat juga.
Seusai pertempuran kami bergegas mengenakan baju dan aku menyambar 
handuk lalu menuju sumur. Sekali lagi mandi pagi itu, sendirian. Dari 
sumur aku langsung berpakaian lengkap, celana jeans dan kaus oblong.
Di dalam sudah terhidang nasi goreng lengkap dengan telor ceplok. 
Sebelumnya khusus untukku si Teteh sudah menyiapkan 2 telur ayam kampung
 yang dimasak setengah matang. Untuk memulihkan stamina, kata si Teteh.
Jam di tangan sudah menunjukkan angka 10 dan HP berbunyi yang tak lain 
si John sudah nunggu di warung Pak Rawi. Aku segera pamitan diantar 
Akhmad aku menuju warung Pak Rawi. Disana John cengar-cengir dengan 
giginya yang putih.
Basa basi Pak Rawi menanyakan kabarku, aku jawab luar biasa. Kapan-kapan saya pengen lebih lama tinggal dikampung ini.
Itu belum seberapa bos, masih banyak lagi kampung-kampung lain yang 
banyak jandanya, kata Pak Rawi. Dia kemudian menawarkan aku jalan-jalan
 keliling kampung pakai ojek. Berhubung aku masih menunggu jadwal kereta
 yang ke semarang  masihlama sekitar jam 4 sore. Aku terima tawaran  pak
 Rawi untuk keliling kampung-kampung.
Dua ojek andalan Pak Rawi sudah muncul, menurut Pak Rawi tukang ojek itu
 sudah hafal dimana saja rumah para janda. Istilah janda itu hanya untuk
 mempermudah sebutan bagi wanita desa yang bisa diinapi. Tidak semuanya 
janda, karena ada sebagian masih punya suami atau masih tinggal di rumah
 orang tuanya.
Kami berkeliling-keliling kampung dan makan siang sate kambing sejenak 
di tengah perjalanan. Aku batasi agar kami tidak perlu mampi tapi 
sekedar melihat wajah-wajah mereka saja. Ternyata banyak sekali yang 
kami temui dan umumnya lumayan jugalah, meski wajah desanya masih 
kental. Menjelang jam 3 kami sudah sampai di stasiun kereta api Pegaden 
Baru.
Tukang ojek yang dulu mengantar kami menghampiri, kok buru-buru aja nih
 bos pulangnya, kami lalu mengobrol, topik nya ya sekitar wanita-wanita
 desa yang bisa ditiduri di rumahnya. Ternyata tidak hanya di desa 
Saradan Pegaden, tetapi masih ada beberap desa yang memelihara sex 
bebas.***
No comments:
Post a Comment