Aku sedang membanting pantatku di jok belakang taxi, ketika dering HP-ku
 memanggil. Kuperhatikan jelas sekali bahwa ini nomor yang sama dari dua
 kali panggilan tadi. Tapi karena aku merasa tidak mengenalnya, aku sama
 sekali tidak menanggapinya.
"Kenapa tidak diangkat, Bang..?" tanya sopir taxi yang sekilas melihatku lewat spionnya.
"Buat apa. Paling-paling wartawan 'bodrek'. Menawarkan berita 
kemenanganku ini di koran kelas 'teri'-nya. Bosen aku berurusan dengan 
mereka..!" sahutku sambil kuperhatikan sekali lagi secara kilas dua 
medali emas dan piala juara favorit kejuaraan binaraga kelas junior ini.
Taxi meluncur kencang membawaku pulang ke rumah kontrakanku di daerah 
Radio Dalam. Taxi masih melenggang di atas aspalan Sudirman ketika nomor
 HP itu muncul lagi di layar HP-ku. Berdering dan berdering minta 
diangkat. Terpaksa kali ini aku menerimanya dengan malas.
"Hai Andre, sombong bener sih, nggak mau terima telponku. Kenapa..?"
"Sori Mbak. Ini siapa, dan ada apa..? Aku merasa nggak kenal anda."
"Benar. Kita belum pernah saling kenal kok. Tapi aku selalu memantau 
kemajuanmu dalam bertanding binaraga. Pokoknya aku selalu mengikutimu 
kemana kamu berlaga memamerkan tubuhmu yang berotot kekar tapi indah dan
 seksi sekali itu. Aku senang sekali. Banyak teman-temanku yang 
mengidolakan dirimu lho Mas. Kupikir masa depanmu pasti cerah sekali di 
dunia binaraga. Gimana nih, kami mau kenalan lebih dekat lagi, juga 
foto-foto bersama atlet idola kami. Bagaimana Mas..?"
Aku sejenak berpikir. Siapa sih mereka? Apa maksudnya? Kalau aku tolak, 
aku merasa merendahkan atau menyepelekan apa yang namanya fans atau 
penggemar. Fans atau penggemar, apalagi wartawan itu adalah jalur yang 
tidak boleh kulawan. Mereka harus kurangkul dan akrabi. Begitu nasehat 
teman-teman seniorku di dunia olahraga yang banyak penggemarnya.
"Baiklah. Dimana ini kalian semua..?" tanyaku setelah menghelakan nafasku.
Sebuah daerah pemukiman elite disebutkan suara cewek itu. Permata Hijau.
 Aku segera minta sama sopir taxi segera meluncur ke alamat yang dituju.
 Kuperhatikan jam tanganku sudah menunjukkan pukul 23.45 tepat. Waktuku 
untuk istirahat. Tapi demi fans, aku rela membagi waktuku dengan mereka.
Rumah mewah itu memang terlihat sepi, gelap, dengan halamanya yang 
terlihat teduh. Berlantai tiga dengan gaya arsitektur spanyol yang unik.
 Bergegas aku segera turun dan kuperhatikan sejenak taxi telah 
menghilang di tikungan jalan. Kembali aku perhatikan alamat rumah yang 
kutuju itu. Aku segera menyelinap masuk ke dalam halamannya setelah 
membuka sedikit pintu gerbangnya yang dari besi dicat hitam. Hujan 
mendadak turun dengan rintik-rintik. Berburu aku lari kecil menuju teras
 yang tinggi, karena aku mesti menaiki anak tangganya.
Aku dengan tidak sabaran menekan-nekan bel pintunya yang yang tampak 
sekali aneh bagiku, sebab tombol bel itu berupa puting susu dari patung 
dada wanita. Tidak berapa lama, pintu model tarung kuku itu terbuka. Aku
 seketika berdecak kagum dan 'ngiler' berat melihat figur penggemarku 
ternyata anak baru tumbuh yang bertubuh seksi.
"Mas Andre, ya? Ayo Mas, dua temanku sudah tak sabar nungguin Mas. Biar 
kubawakan pialanya.. yuk..!" ujar gadis berusia sekitar 17 tahun itu 
ramah sekali menyambar piala dan tas olahragaku.
Aku menyibakkan sebentar rambut gondrongku yang basah sedikit ini, 
sambil sejenak kuperhatikan gadis itu menutup dan mengunci kembali 
pintunya.
"Ng.., maaf, belum kenalan..," gumamku perlahan membuat gadis berambut 
pendek cepak ala tentara cowok itu menghentikan langkahnya lalu memutar 
tubuhnya ke arahku sambil mengumbar senyun manisnya.
"Oh ya, aku Tami..," sahutnya menjabat tanganku erat-erat.
Hm, halus dan empuk sekali jemari ini, seperti tangan bayi.
Tami yang berkulit kuning langsat itu melirik ke sebelah, di mana dari balik korden muncul dua temannya. Semua seusia dirinya.
"Ayo pada kenalan..!" sambung Tami.
Malam ini Tami memakai kaos singlet hitam ketat dan celana pendek 
kembang-kembang ketat pula, sehingga aku dapat dengan jelas melihat 
sepasang pahanya yang mulus halus. Bahkan aku dapat melihat, bahwa Tami 
tidak memakai BH. Jelas sekali itu terlihat pada dua bulatan kecil yang 
menonjol di kedua ujung dadanya yang kira-kira berukuran 32.
"Lina..," ujar gadis kecil lencir berambut panjang sepinggangnya itu menjabat tanganku dengan lembut sekali.
Gadis ini berkulit kuning bersih dengan dadanya yang kecil tipis. Dia 
memakai kaos singlet putih ketat dan celana jeans yang dipotong pendek 
berumbai-rumbai. Lagi-lagi Lina, gadis cantik beralis tebal itu sama 
seperti Tami. Tidak memakai BH. Begitupun Dian, gadis ketiga yang 
bertubuh kekar seperti laki-laki itu dan berambut pendek sebatas bahunya
 yang kokoh. Kulitnya kuning langsat dengan kaos ketat kuning dan celana
 pendek hitam ketat pula. Hanya saja, dada Dian tampak paling besar dan 
kencang sekali. Lebih besar daripada Tami. Cetakan kedua putingnya 
tampak menonjol ketat.
Aku dapat melihat pandangan mata mereka sangat tajam ke arah tubuhku. 
Aku pikir iru maklum, sebab idola mereka kini sudah hadir di depan mata 
mereka.
"Dimana mau foto-foto bersamanya..?" tanyaku yang digelandang masuk ke ruang tengah.
"Sabar dulu dong Mas, kita kan perlu ngobrol-ngobrol. Kenalan lebih 
dalam, duduk bareng.. gitu. Santai saja dulu lah.. ya..?" sahut Dian 
menggaet lengan kananku dan mengusap-usap dadaku setelah ritsluting 
jaket trainingku diturunkan sebatas perutku.
"Ouh, kekar sekali. Berotot, dan penuh daging yang hebat. Hm..," 
sambungnya sedikit bergumam sembari menggerayangi putingku dan seluruh 
dadaku.
Aku jadi geli dan hendak menampik perlakuannya. Tapi kubatalkan dan 
membiarkan tangan-tangan ketiga gadis ABG itu menggerayangi dadaku 
setelah mereka berhasil melepas jaketku.
Kuakui, aku sendiri juga menikmati perlakakuan istimewa mereka ini. Kini
 aku dibawa ke sebuah kamar yang luas dengan dinding yang penuh 
foto-foto hasil klipingan mereka tentang aku. Aku kagum. Sejenak mereka 
membiarkanku terkagum dan menikmati karya mereka di tembok itu.
"Bagaimana..?" tanya Lina mendekati dan merangkul lengan kiriku.
Lagi-lagi jemari tangan kirinya menggerayangi puting dan dadaku. 
Kudengar nafas Lina sudah megap-megap. Lalu Dian menyusul dan memelukku 
dari belakang, menggerayangi dadaku dan menciumi punggungku. Kini aku 
benar-benar geli dibuatnya.
"Sudahlah, lebih baik jangan seperti ini caranya. Katanya mau 
foto-foto..?" kataku mencoba melepaskan diri dari serbuan bibir dan 
jemari mereka.
"Iya, betul sekali. Lihat kemari Mas Andre..!" sahut Tami yang berdiri di belakangku.
Aku segera membalikkan tubuhku dan seketika aku terkejut. Mataku melotot
 tidak percaya dengan penuh ketidaktahuan dan ngerti semua ini.
"Ada apa ini, apa-apa ini ini..? Kalian mau merampokku..?" tanyaku 
protes melihat Tami sudah menodongkan pistol otomatis yang dilengkapi 
dengan peredam suara itu ke arah kepalaku.
"Ya. Merampok dirimu. Jiwa dan ragamu. Semuanya. Ini pistol beneran. Dan
 kami tidak main-main..!" sahut Tami dengan wajah yang kini jadi 
beringas dan ganas.
Begitupun Lina dan Dian. Sebuah letupan menyalak lembut dan 
menghancurkan vas bunga di pojok sana. Aku terhenyak kaget. Mereka 
berdua memegangi lengananku dengan kuat sekali. Aku hampir tidak percaya
 dengan tenaga mereka.
"Tidak ada foto. Tapi, di ruangan ini, kami memasang beberapa kamera 
video yang kami setel secara otomatis. Setiap ruangan ada kamera dan 
kamera. Semua berjalan otomatis sesuai programnya. Copot celananya, 
Lin..!" ujar Tami membentak.
Aku hendak berontak, tapi dengan kuat Dian memelintir lenganku.
"Ahkk..!"
"Jangan macem-macem. Menurut adalah kunci selamatmu. Ngerti..!" bentak Dian tersenyum sinis.
Celana trainingku kini lepas, berikut sepatuku dan kaos kakinya. Lina 
sangat cepat melakukannya. Kini aku hanya memakai cawat hitam kesukaanku
 yang sangat ketat sekali dan mengkilap. Bahkan cawat ini tidak lebih 
seperti secarik kain lentur yang membungkus zakar dan pelirku saja. 
Sebab karetnya sangat tipis dan seperti tali.
"Kamu memang seksi dan kekar..," ucap Tami mendekati dan menggerayangi zakarku.
"Iya Tam. Sekarang aja ya, aku udah nggak sabar nih..!" sahut Dian mengelus-elus pantatku.
"Sama dong. Tapi siapa duluan..?" sahut Lina mengambil sebotol minyak tubuh untuk atlet binaraga.
Kulihat mereknya yang diambil Lina yang paling mahal. Tampaknya mereka tahu barang yang berkualitas.
"Diam dan diam, oke..?" kata Lina menuangi minyak itu ke tangannya.
Begitupun Dian dan Tami. Segera saja jemari-jemari tangan mereka 
mengolesi seluruh tubuhku dengan minyak. Bergantian mereka meremas-remas
 batang zakarku dan buah pelirku yang masih memakai cawat ini dengan 
penuh nafsu. Aku kini sadar, mereka fans yang maniak seks berat. Walau 
masih ABG. Dengan buas, Tami merengut cawatku dengan pisau lipatnya, 
yang segera disambut tawa ngakak temannya. Zakarku memang sudah setengah
 berdiri karena dorongan dan rangsangan dari stimulasi perbuatan mereka.
 Bagaimanapun juga, walau dalam situasi yang tertekan, aku tetap normal.
 Aku tetap terangsang atas perlakuan mereka.
"Ouh, sangat besar dan panjang. Gede sekali Lin..," ucap Dian kagum dan senang sembari menimang-nimnag zakarku.
Sedangkan Tami meremas-remas buah pelirku dengan gemas sekali, sehingga aku langsung melengking sakit.
"Duh, rambut kemaluannya dicukur indah. Apik ya..!" sahut Dian mengusap 
potongan bentuk rambut kemaluanku yang memang kurawat dengan mencukur 
rapi.
"Auuhk.., jangan. Jangan.., sakit..!" ucapku yang malah bikin mereka tertawa senang.
Lina sendiri menciumi daging zakarku dan menjilat-jilat buas pelirku. Aku tetap berdiri dengan kedua kakiku agak terbuka.
Mereka dengan buasnya menjilati dan menciumi zakar dan buah pelirku serta pantatku.
"Ouh.. jangan.. aauhk.. ouhhk.. aahkk..!" teriak-teriak mulutku terangsang hebat.
Hal itu membuat Tami jadi ganas dalam mengocok-ngocok batang zakarku. 
Sedangkan Lina gantian meremas-remas buah pelirku. Sementara Dian 
menghisap putingku dan memelintirnya, sehingga putingku jadi keras dan 
kencang. Kedua tanganku kini berpegangan pada tubuh mereka, karena 
dorongan birahiku yang mendadak itu. Aku kian menjerit-jerit kecil dan 
nikmat. Teriakan mereka yang diselingi tawa senang kian menambah garang 
perlakuan mereka atas tubuh telanjangku.
Bergantian mereka mngocok-ngocok zakarku hingga kian mengeras dan 
memanjang hebat. Bahkan mereka dengan buasnya bergantian menyedot-nyedot
 zakarku dengan memasukan ke dalam mulut mereka, sampai-sampai mereka 
terbatuk-batuk karena zakarku menusuk kerongkongan mereka.
"Nikmat sekali zakarnya, hmm.., coba diukur Dian. Berapa panjang dan 
besarnya, aku kok yakin, ini sangat panjang..!" ujar Tami sambil terus 
mengulum-ngulum dan menjilati zakarku.
Dian segera mengukur panjang dan besarnya zakarku.
"Gila, panjangnya 23 sentimeter, dan garis lingkarnya.. hmm.., 18 senti.
 Apa-apaan ini. Kita pasti terpuaskan. Dia pasti hebat dan kuat..!" ujar
 Dian kagum sambil mengikat pangkal batang zakarku dengan tali sepatu 
secara kuat.
Begitupun pangkal buah pelirku diikat tali sepatu sendiri. Sementara 
Lina gantian kini yang mengocok-ngocok zakarku sambil 
mengulum-ngulumnya. Karuan saja, zakarku jadi tambah keras dan merah 
panas membengkak hebat. Otot-ototnya mengencang ganas. Aku kian 
menjerit-jerit tidak kuat dan tidak kuasa lagi menahan spermaku yang 
hendak muncrat ini.
Mendengar itu, Lina mencopot lagi tali sepatuku di batang zakarku dan 
pelirku. Cepat-cepat mereka membuka mulutnya lebar-lebar di depan 
moncong zakarku sambil terus mengocok-ngocok paling ganas dan kuat.
"Creet.. croot.. creet.. srreet.. srroott.. creet..!" menyembur spermaku yang mereka bagi rata ke mulutnya masing-masing.
Bergantian mereka menjilati sisa-sisa spermaku sambil mengurut-ngurut 
batang zakarku agar sisa yang masih di dalam batang zakarku keluar 
semua.
"Hmm.. nikmat sekali. Enak..!" ucap Diam senang.
"Iya, spermanya ternyata banyak sekali.. kental..!" sahut Lina.
"Ayo, ikat dia di ruang penyiksaan. Cepat..!" perintah Tami berdiri, diikuti Lina dan Dian.
Sedangkan aku masih lemas. Rasa-rasanya mau hancur badanku. Aku nurut saja perintah mereka. Memasuki ruang penyiksaan.
Apa pula itu? Mereka dengan cepat memasang gelang besi di kedua tangan 
dan kakiku. Rantai besi ditarik ke atas. Kini tubuhku merentang keras 
membentuk huruf X. Posisi badanku dibikin sejajar dengan lantai yang 
kira-kira setinggi satu meteran itu. Lampu menyorot kuat ke arahku. 
Keringatku menetes-netes deras.
"Siapa kalian ini sebenarnya..?" tanyaku memberanikan diri.
"Diam..! Tak ada pertanyaan. Dan tak boleh bertanya. Pokoknya menurut. 
Kamu kini budak kami. Ngerti..!" bentak Tami mencambuk dadaku dan 
punggungku dengan cambuk yang berupa lima utas kulit yang ujungnya 
terdapat bola berduri. Sakitnya luar biasa.
Mendadak Dian membuka lantai di bawahku. Aku kaget, rupanya di bawah 
sana ada liang seukuran kira-kira lebar 50 senti dan panjang dua 
meteran. Dan di lubang sedalam kira-kira satu meteran itu terdapat 
tumpukan batu bara yang membara panas sekali! Pantas saja, tadi kakiku 
sempat merasakan panasnya lantai ubin ini. Walau kini tubuhku setinggi 
kurang dari dua meter dari bara, tapi aku masih kuat merasakan betapa 
panasnya batu bara itu uapnya membakar kulit tubuhku bagian belakang.
"Cambuk terus..! Sirami dengan minyak dan jus tomat..!" perinta Tami mencambuki kakiku.
Sedangkan Lina mencambuki dadaku. Dian mencambuki punggungku. Panas dan 
pedih, semua bercampur jadi satu. Bersamaan mereka juga mencambuki zakar
 dan pelirku yang masih setengah tegang ereksinya. Batu bara yang 
tertimpa minyak dan jus tomat itu mengeluarkan asap panas yang segera 
membakar kulitku. Entah, di menit keberapa aku bertahan. Yang jelas 
tidak lama kemudian aku pingsan.
Saat terbangun, ternyata aku sudah terbaring di atas ranjang luas dan 
empuk bersprei putih kain satin. Tapi kondisiku tidak jauh beda dengan 
disiksa tadi. Kedua tanganku dirantai di kedua ujung ranjang bawah, 
sedangkan badanku melipat ke atas karena kedua kakiku ditarik dan 
rantainya diikatkan di kedua ujung ranjang atas kepalaku, sehingga dalam
 posisi seperti udang ini, aku dapat melihat anusku sendiri.
Sebuah bantal mengganjal punggungku. Lampu menyorotku. Tiba-tiba Lina 
sudah mengakangi wajahku. Dan dia telanjang bulat. Kulihat vaginanya 
yang mengarah ke wajahku itu bersih dari rambut kemaluan. Rupanya telah 
dipangkas bersih.
"Jilati, nikmati lezatnya kelentitku dan vaginaku ini. Cepat..!" teriak 
Lina menampar wajahku dua kali sambil kemudian membuka bibir vaginanya 
dan menjejalkannya ke mulutku. Terpaksa, aku mulai menjilati vagina dan 
seluruh bagian di dalamnya sambil menghisap-hisapnya.
Lina mulai menggerinjal-gerinjal geli dan nikmat sambil meremas-remas 
sendiri duah dadanya dan puting-puting susunya yang kecil itu. Kulihat 
selintas datang Dian dan Tami yang juga telanjang bulat. Sejenak mereka 
berdua saling berpelukan dan berciuman. Mereka ternyata lesbian..! Lina 
segera beranjak berdiri.
"Lakukan dulu Lin, kami sedang mood nih..!" ujar Tami mencimui vagina 
Dian yang berbaring di sebelahku sambil menggerinjal-gerinjal geli.
Kedua tangan Dian meremas-remas sendiri buah dadanya. Lina segera saja 
mengambil boneka zakar yang besar dan lentur. Segera saja Lina menuangi 
anusku dengan madu, serta merta gadis itu menjilati duburku. Aku jadi 
geli.
Kini jemari Lina mulai mengocok-ngocok zakarku, setelah sebelumnya mengikat pangkal buah pelirku secara kuat.
"Ouh.. aduh.., aahhk..," teriakku mengerang sakit dan nikmat.
Lina dengan cepat segera menusukkan boneka zakar plastik itu ke dalam 
lobang anusku. Karuan saja aku menjerit sakit. Tapi Lina tidak perduli. 
Zakar plastik itu sudah masuk dalam dan dengan gila, Lina 
menikam-nikamkan ke anusku. Aku menjerit-jerit sejadinya. Sementara 
tangan satunya Lina tetap mengocok-ngocok zakarku sampai ereksi kembali 
dengan kerasnya.
Tiba-tiba Tami mengakangi wajahku dan mengencingi wajahku.
"Diminum. Minum pipisku.. cepat..!" perintah Tami menanpar-nampar pantatku.
Terpaksa, kutelan pipis Tami yang pesing itu. Rasanya aku mau muntah. 
Lebih baik menjilati vaginanya, ketimbang meminum pipisnya. Tami tertawa
 ngakak sambil mengambil alih mengocok zakarku dengan buas.
"Gantian..!"ujar Dian menggantikan posisi Tami.
Pipis lagi. Aku kini kenyang dengan pipis mereka. Tubuhku basah oleh 
pipis mereka. Lina masih menusuk-nusuk duburku dengan zakar plastiknya. 
Pelan-pelan rantai dilepas, tapi Lina malah membenamkan zakar plastik 
itu dalam-dalam di anusku. Kakiku dibuat mengangkang. Dengan buas, satu 
persatu memperkosaku.
"Auhk.. aahk.. ouhkk.. yeaah.. ouh..!" teriak-teriak mulut mereka 
menggenjot di atas tubuhnya setelah memasukkan zakarku ke dalam 
vaginanya.
"Ouh.. ouhk, tidak.. ahhk.. ahhk..!" menjeritku kesakitan karena sperma yang mestinya muncrat tertahan oleh tali ikatan itu.
Cambuk kembali melecuti dadaku. Pokoknya tidak ada yang diam nganggur. 
Saat Tami menggagahiku, Lina mencambuk. Dian menetesi puting susuku 
dengan cairan lilin merah besar. Atau menyirami lilin panas itu ke 
anusku. Saking tidak kuatnya aku, kini aku jatuh pingsan lagi.
Entah berapa lama aku pingsan. Saat terbangun, banyak spermaku yang 
tercecer di perutku. Tidak ada rantai. Tidak ada lilin. Bahkan mereka 
juga tidak ada di sekitarku. Kemana mereka? Perlahan aku beranjak 
berdiri, tertatih-tatih mencari pakaianku. Tubuhku penuh barut bekas 
cambuk dan lilin mengering. Luar biasa sakit dan pedihnya tersisa 
kurasakan.
Secarik kertas ditinggalkan mereka bertiga untukku. Kubaca dengan muak dan geram.
Trim atas waktumu. Tapi kami belum puas menikmatimu. Kami pasti datang 
lagi untuk kepuasan kami. Kami pergi karena ada mangsa baru yang lebih 
lemah tapi kuat seksnya. Kalau kamu tolak, kami edarkan videonya. Awas, 
kamu kini adalah 'anjing' seks kami. Trim. Sampai jumpa.
TAMAT
No comments:
Post a Comment