Thursday 18 January 2018

Me & U - PRIVATE SECRET 41

ALFRIZZY YUDHA PRATAMA

[​IMG]


REVALIAN DWINSYIRAH

[​IMG]



BAB 40 – SORRY, I CAN’T WAIT ANYMORE (END)



“Para penumpang yang terhormat, selamat datang di penerbangan Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA – 0146 dengan tujuan Medan. Penerbangan ke Medan akan kita tempuh dalam waktu kurang lebih 2 jam dan 15 menit, dengan ketinggian jelajah 32.000 kaki di atas permukaan air laut. Perlu kami sampaikan bahwa penerbangan Garuda Indonesia ini adalah tanpa asap rokok, sebelum lepas landas kami persilahkan kepada anda untuk menegakan sandaran kursi, menutup dan mengunci meja-meja kecil yang masih terbuka dihadapan anda, mengencangkan sabuk pengaman, dan membuka penutup jendela. Atas nama Garuda Indonesia kapten Alan Smith dan seluruh awak pesawat yang bertugas mengucapkan selamat menikmati penerbangan ini, dan terima kasih atas pilihan anda untuk terbang bersama Garuda Indonesia.” Terdengar suara awak kabin baru saja menginformasikan bahwa pesawat akan segera take off. Kemudian salah satu pria yang duduk di Business Class segera mengencangkan sabuk pengamannya bersamaan dengan para penumpang lainnya.

Detik-detik saat lepas landas adalah sesuatu yang paling mendebarkan bagi para penumpang yang berada di dalam pesawat. Sejak pilot mengatakan “Cabin crew, take off position”, hampir semua penumpang baik yang berada di business class maupun di kelas ekonomi tak henti-hentinya berdoa sesuai keyakinan masing-masing. Begitu juga Al, ia baru saja membacakan Bacaan Basmalah, Subhanallah dan Laa Haula Walaa Quwwata Illa Billah lalu menutup kedua matanya. Kemudian, ia kembali menatap keluar melalui jendela dengan pandangan kosong.

Akhirnya pesawat berhasil lepas landas dan mengangkasa di ketinggian 32.000 kaki atau sekitar 10.000 meter.

Siang ini, Al bertolak ke Medan untuk keperluan bisnis. Selain itu, dia memanfaatkan momen ini untuk mengalihkan sejenak pikirannya.

Sebuah Kursi yang dapat diluruskan hingga 180 derajat dan dilengkapi dengan pijat diarea pinggang sebetulnya bisa dimanfaatkan oleh semua para penumpang yang berada di kelas bisnis. Namun saat ini Al lebih memilih tak menggunakannya fasilitas tersebut.

Tak begitu lama, dua orang pramugari sedang mengantarkan beberapa menu makanan terdiri dari roti dan butter sebagai makanan pembuka. Untuk menu utama ada dua pilihan saat ini, yaitu Spaghetti atau opor ayam. Namun sepertinya, Al sedang tak berselera untuk mencicipin menu-menu tersebut.

“Orange jus-nya aja Mba.” Ujar Al.

“Baik Pak.” Jawab salah satu pramugari lalu menuangkan sebuah orange jus ke dalam gelas yang telah di persiapkan sebelumnya. Dan meletakkan di samping pria itu. “Selamat menikmati Pak.”

Saat pramugari tersebut telah selesai membagikan beberapa makanan ke para penumpang di kelas bisnis, Al kembali menatap jendela dengan pikiran yang tak menentu.

Al mengingat kembali kejadian dua hari yang lalu, kejadian saat bertemu kembali dengan seorang gadis yang begitu di cintainya.



“Para penumpang yang terhormat, selamat datang di Medan, kita telah mendarat di Bandar Udara internasional KUALANAMU, kami persilahkan kepada anda untuk tetap duduk sampai pesawat ini benar-benar berhenti dengan sempurna pada tempatnya dan lampu tanda kenakan sabuk pengaman dipadamkan. Berakhirlah sudah penerbangan kita pada hari ini. Atas nama Garuda Indonesia, kapten Alan Smith dan seluruh awak pesawat yang bertugas mengucapkan selamat berpisah dan semoga dapat berjumpa lagi di dalam penerbangan Garuda Indonesia lain waktu. Sebelum meninggalkan pesawat, kami ingatkan kembali kepada anda untuk memeriksa kembali bagasi kabin anda agar tidak ada barang yang tertinggal. Para penumpang dengan lanjutan penerbangan silahkan melapor pada bagian layanan pindah pesawat di ruang penerbangan. Terima kasih.” Terdengar suara awak kabin saat pesawat baru saja mendarat di bandara Kualanamu Medan.

Al tersadar dari lamunannya yang cukup lama. Lalu, setelah pintu pesawat terbuka. Maka Al beserta penumpang kelas bisnis lainnya dipersilahkan untuk keluar lebih dulu.


~•○●○•~​


Jakarta…

Reva merasa sangat kesal dengan kejadian yang baru-baru ini dialaminya. Reva terus saja melamun selama dua hari ini. Kondisinya yang masih saja uring-uringan membuat Ibu dan adiknya merasa heran melihat kondisi Reva yang tidak biasanya.

Saat Reva melangkah keluar dari kamar, dan kebetulan adiknya pagi tadi sudah berangkat ke kampus. Terlihat sedih dengan sebuah tatapan kosong.

“Dwi… kamu kenapa nak?” Tanya Ibunya yang melihat Reva di ruang tamu.

Reva hanya menatap dinding dengan tatapan kosong, sedang duduk di sofa tanpa menghiraukan teguran ibunya barusan.

“Cerita sama ibu gih… kamu kenapa.” Ibunya mendekatinya dan duduk di samping gadis itu.

“Eh ibu… gak apa-apa kok Bu.” Kata Reva beralasan membuat Ibunya menggelengkan kepalanya.

“Ibu yakin kamu sedang ada masalah.”

“Gak kok Bu… Reva gak kenapa-kenapa.” Jawab Reva menoleh ke Ibunya.

“Oh iya, hemm… kamu kenal dengan Mamah dan Papahnya Non Eci?” Tanya Ibunya membuat Reva sedikit terkejut.

“Iya Bu, kenapa emangnya?” Tanya Reva mengernyitkan alisnya.

“Mereka nyariin kamu tuh diluar.” Ujar Ibunya menambah keterkejutan Reva mendengar bahwa kedua orang tua Eci berada di rumah.

“Ha?” Kata Reva. “Ibu gak bohong-kan?” lanjutnya memastikan ke Ibunya.

“Assalamualaikum wr wb.” Tiba-tiba Eci masuk kedalam rumah dan mengucapkan salam membuat Reva dan ibunya menoleh ke pintu.

“Wa’alaikumsalam. Eh non Eci… masuk Non.”

“Wa’alaikumsalam… kata ibu..” Ujar Reva terputus.

“Nek…dicari mamah dan papah tuh diluar.”


DEGH!

Betul sekali apa yang dikatakan ibunya barusan, Reva sepertinya merasa sedikit gugup ingin bertemu dengan kedua orang tua Eci.

“Woi… kenapa loe melamun?” Tanya Eci yang masih berdiri di depan pintu membuyarkan lamunan Reva.

“Eh… kok gak bilang-bilang sih Ci kalau mamah dan papah mau ke Jakarta?” Tanya Reva gugup.

“Gue juga kaget kok, kenapa tiba-tiba mereka udah ada di rumah.” Jawab Eci cuek. “Udah buruan, dicariin tuh ama mamah dan papah diluar.”

“Eh..bentar Ci… ganti baju dulu.” Jawab Reva.

“Buruan, gak pake lama.”

“Iya nek…bawel amat sih.” Jawab Reva lalu beranjak masuk kedalam kamarnya.

“Bu, Eci keluar dulu yah… oh iya, ibu juga dicariin tuh ma mamah diluar.” Ujar Eci saat Reva sudah berada didalam kamar.

“Baik Non, Ibu keluar sekarang.” Jawab Ibu Ningsih lalu keduanya akhirnya melangkah keluar.


Beberapa saat kemudian…

Reva melangkah keluar dari rumahnya, lalu masuk ke dalam rumah induk di depan melalui pintu samping setelah selesai berganti pakaian. Pelan tapi pasti dengan sedikit gugup, sepanjang itu Reva berfikir bahwa sepertinya sesuatu akan terjadi.


Dug... Dug... Dug!

Jatung Reva berdegup kencang, saat melihat sosok wanita setengah baya dan juga seorang pria setengah baya sedang duduk bedampingan di sofa ruang tengah yang berada tak jauh dari kolam renang dalam rumah.

Sejenak Reva berdiam diri menguatkan hatinya dan masih berdiri kaku memperhatikan orang-orang yang berada di ruangan tersebut. Bersiap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi kedepannya. berulang kali Reva menarik nafasnya yang terasa begitu berat dan memantapkan hatinya untuk bertemu dengan kedua orang tua Eci.

Begitu ia merasa dapat menguasai diri walaupun suasana hati masih sedikit gelisah, perlahan tapi pasti Reva berjalan menuju ke meja yang terlihat telah berkumpul beberapa orang yang Reva kenal.

Di meja keluarga saat ini, berjarak sekitar tiga meter dari tempat Reva berdiri. Semua orang yang berada disitu tersenyum melihat Reva.


Dugh!

Lagi-lagi, jantung Reva berdetak makin kencang saat melihat sosok seorang gadis yang berada di sebelah seorang gadis dengan berpakaian elegan menatapnya sambil tersenyum.

”Ada apa ini?” Batinnya dan pikirannya berkecamuk. Emosi, dan juga penasaran dengan yang ia lihat di depan matanya.

“Hei, kok loe masih bengong aje disitu cin.” Ujar Eci membuat Reva hanya tersenyum kecut menahan kegugupannya saat ini.

“Ayo duduk nak.” Ujar Mamah Eci menimpali.

“Hufhhh,” Reva menarik nafas, memantapkan hatinya untuk bergabung dengan mereka.

Raut kegelisahan saat Reva melangkah dan akan duduk di sebelah ibunya.

“Duduk sini aja sayang.” Ujar Mamahnya Eci mempersilahkan Reva duduk di posisi tengah antara wanita itu dengan Ibunya.

“Hai Reva…” Citra, baru saja menegur Reva yang masih saja terdiam dan bingung atas semua ini.

“Eh..i-iya Ibu Citra.” Reva pun akhirnya menyalim tangan kedua orang tua Eci. Lalu menjabat tangan Citra.


Tiba-tiba…

“Kenalin Va…” Ujar Citra. Reva gemetar saat menjulurkan tangannya untuk bersalaman dengan seorang gadis yang sedari tadi membuatnya emosi.

“Diah.” Ujar gadis itu tersenyum. Namun, Reva hanya bisa menatap wajah Diah tanpa membalas senyuman gadis itu. Reva pun menyebutkan namanya saat bersalaman dengan Diah lalu kembali duduk di samping ibunya.

“Tarik nafas sayang… jangan gugup gitu.” Ujar Mamahnya Eci yang duduk di sebelahnya lalu memeluk tubuh gadis itu yang sedikit gemetar.

“Mah…i..ini ada apa yah?” Tanya Reva gugup menoleh ke wanita disebelahnya.

“Minum dulu deh… takutnya nanti kamu jantungan lagi… hehehe,” Ujar Mamahnya Eci mengambil segelas air putih yang berada di atas meja lalu memberikan kepada gadis itu.

Gluk…gluk!

Seakan tenggorokannya terasa kering, Reva meneguk air minum tersebut. Lalu setelahnya meletakkan kembali gelas itu di atas meja.

Seperti waktu berjalan begitu lambat, Reva melihat satu persatu wajah yang berada di tempat itu. Citra sedang tersenyum, Eci pun tersenyum jahil. Dan Diah, mencoba tetap tersenyum menatap Reva. Lalu Reva melihat pria setengah baya yang sedang duduk di sebelah Mamahnya Eci. Reva pun menatap wajah Mamahnya Eci, kemudian menoleh ke arah kanan, melihat wajah Ibunya yang sepertinya juga masih bingung dengan semuanya.

“Jadi gini sayang, mungkin sudah saatnya kami berterus terang akan semuanya.” Mamahnya Eci mencoba berbicara.

“I-iya Mah, ma…maksud Mamah?” Tanya Reva pelan.

“Hmm, apakah perlu berbicara formal atau biasa aja nih?” Tanya Mamah Eci membuat semua orang yang berada di tempat itu hanya tersenyum.

“Mungkin mamah mau ngomong dulu ama Ibu Ningsih.” Lanjut wanita itu, kemudian menoleh ke Ibu Reva.

“Iya ibu, ada apa yah?” Tanya Ibu Ningsih yang ikut cemas.

“Jadi gini, maksud kedatangan kami kesini itu… ingin melamar Reva untuk menjadi menantu kami.”


DUGH!

Semua orang terdiam, begitu juga Ibu Ningsih yang terkejut dengan ucapan wanita itu. Begitu juga Reva yang sudah curiga dengan semua ini. Namun, ia masih penasaran dengan seorang gadis yang masih saja tersenyum menatapnya.

“Ma..maksud ibu? i..ini…” Ujar Ibu Ningsih gugup.

“Iya Ibu, kami melamar anak Ibu, Reva untuk menjadi istri putra pertama kami… gimana?” Tanya Mamahnya Eci.

“Astaghfirullah. Ibu...ibu gak lagi bercanda kan bu? Ba...bagaimana mungkin bu? Reva kan, cuma anak seorang pembantu rumah tangga seperti saya bu. Ba...bagaimana mungkin Reva bisa menjadi istri aden? Apa kata aden nanti bu?” Seru ibu Ningsih dengan wajah bingung dan kalut mendengar lamaran yang begitu mendadak dan mengejutkan ini.

“Ya insya Allah kami serius bu Ningsih. Saya justru sudah sangat berterima kasih ama bu Ningsih, yang udah membantu merawat anak saya selama anak saya di Jakarta. Dan bagi kami, ibu Ningsih dan anak-anak ibu itu udah bagaikan keluarga sendiri bu. Tidak ada sedikitpun dari kami yang tidak setuju menjadikan bu Ningsih sebagai bagian dari keluarga kami. Sebagai ibu mertua putra kami. Sebagai besan kami.” Jawab mamahnya Eci dengan lembut. Tidak terlihat sedikitpun kebohongan di mata mamahnya Eci saat mengucapkan kalimat itu. Dan membuat bu Ningsih tidak kuasa menahan rasa haru dan bahagia, hingga air matanya pun langsung berderai membasahi kedua pipinya.

“Mengenai putra kami, nanti bu Ningsih bisa melihat sendiri bagaimana reaksinya dengan lamaran ini.” Lanjut mamah Eci dengan sebuah senyuman jahil tersungging di bibirnya.

“Va…” Bisik Ibu Ningsih menoleh ke putrinya dengan mata sudah basah oleh air mata.

“Hik…hik…ta-tapi, Dwi udah…” Reva tak melanjutkan kalimatnya karena sudah tak tahan akan kesedihannya saat ini.

Semua orang kecuali Ibu Ningsih dan Reva hanya terdiam, sementara Reva dan Ibunya sudah menangis tak kuasa menahan gejolak di dalam dada mereka.

“Gimana sayang? Apakah kamu menerima Mamah dan Papah sebagai mertua kamu?” Tanya Mamahnya tersenyum hangat.

“Mah..hik..hik.. Reva masih menunggunya Mah… masih menunggu kepastian darinya.hik..hik…” Jawab Reva tak kuasa menahan tangisannya. Walau berat, namun dia harus mengeluarkan semua yang ia rasakan saat ini. “Dan kamu… aku minta kamu jelaskan semuanya… apa yang sudah terjadi dan kenapa kamu ada disini?” Lanjut Reva menunjuk ke arah Diah.

“Eh… emm...maaf, tapi sebaiknya biar Kak Citra aja yang jelasin semuanya ya Va.” Jawab Diah bingung dan menoleh ke Citra.

“Ada apa dengan semua ini? Tolong jelasin…hik…hik… kenapa Reva jadi bego seperti ini… Ibu Citra tolong jelasin ke Reva bu…hik…hik…” Ujar Reva yang masih bingung dengan semua ini.

“Kamu tenangkan dulu emosi kamu sayang” Ujar Mamahnya Eci yang sudah memeluk tubuh gadis itu.

“I..iya Mah… tapi tapi… ada apa ini? Tolong katakan sejujurnya.”

“Hmm, ok mamah mau nanya… kamu menunggu kepastian dari siapa?” Tanya Mamahnya tersenyum sambil mengusap lembut kepala gadis itu.

“Dari cowok Reva mah…Hik…hik…hik… karena…karena…dia.” Jawab Reva lalu menunjuk kembali ke arah Diah. “Dia yang sudah menghancurkan semuanya.”

“Loh kok aku sih.” Celetuk Diah membuat Reva makin emosi.

“Apa yang kamu tunggu darinya sayang?” Tanya Mamahnya.

“Menunggu kepastian darinya Mah…hik…hik…karena Reva mencintainya…dan..Reva gak bisa hidup tanpa dia Mah,” Jawab Reva dengan sebuah kejujuran. Kedua orang tua Eci tersenyum bahagia mendengar pengakuan gadis itu.

“Kalau Mamah bilang, kamu itu bodoh… kenapa menunggu orang kayak dia… apa yang kamu harapkan darinya?”

“Hik..hik..gak tau Mah, tapi buat Reva… cuma dia yang bisa bikin Reva bahagia Mah…” Jawab Reva menunduk tak kuasa menahan kesedihannya.

“Hufhhh… kamu tau, mamah bangga mendapatkan calon menantu kayak kamu.” Kata Mamahnya membuat Reva mengangkat wajahnya dan kembali menatap wajah wanita itu.

“Ma-maksud mamah?”

“Kamu belum bisa menebak sayang? Ada Diah tuh… dan kamu tau, kamu itu sedang dikerjain selama ini sama mereka.” Jawab wanita itu sambil tersenyum.

“Ma-maksud Mamah? Reva belum ngerti mah.”

“Arghhhhh, loe tu yeh… gemesin banget sih Va. Loe ama kak Al itu sama-sama idiot tau.” Ujar Eci menimpali karena geram melihat sahabatnya. Dan sebuah nama yang Eci sebutkan tadi membuat Reva terkejut.

“Ka…Kak Al?” Reva mengulang sesuatu yang Eci sebutkan dan menunggu penjelasan dari semua orang dengan perasaan gugup.

“Iya sayang… anak Mamah itu...” Ujar Mamahnya menggantung ucapannya sambil menatap wajah Reva dengan tersenyum. “Dialah yang kamu tunggu saat ini.”

“Ma-maksud Mamah?” Reva bertanya memastikan apa yang barusan ia dengar.

“Hehehe, masih belum mengerti juga?” Tanya Mamahnya dan dijawab dengan gelengan kepala oleh gadis itu.

“Namanya Alfrizzy kan? Alfrizzy Yudha Pratama.” Jawab Mamahnya membuat sekujur tubuh Reva terasa kaku. “Dialah putra sulung mamah dan papah… dan juga pemilik perusahaan tempat kamu bekerja.”



DUARRRR!


Tubuh Reva terasa kaku mendengar semua kenyataan yang selama ini tak ia ketahui. Bibirnya gemetar seakan tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Matanya menatap wajah wanita itu untuk mencari kebenaran yang ia katakan barusan. Kedua telapak tangannya basah karena keringat dinginnya yang sudah membasahi tubuhnya.

“Iya sayang… dia anak mamah.” Mamahnya menekankan jawabannya membuat Reva menangis dan memeluk tubuh wanita itu.



"Ini gak mungkinnnn... ini gak mungkiiiiinnnnn." suara tangisan dari Reva setelah mengingat semua penggalan-penggalan kenangannya tentang pria itu. Mulutnya tertutup dengan kedua tangannya. Air matanya berlinang membasahi kedua pipinya masih tak percaya dengan semua kenyataan ini.

“Kamu marah sayang?” Tanya Mamahnya memeluk tubuh Reva. Dan Ibu Ningsih hanya diam sambil menangis bahagia setelah mengetahui semua yang telah terjadi antara putrinya dan juga Al.

“Gak tau mah…hik…hik… entah Reva harus bahagia atau marah mengetahui yang sebenarnya.” Jawab Reva tak berhenti menangis.

“Tetapi itulah kenyatannya sayang… dan mamah percaya kalau putra mamah juga mencintai kamu.”

Beberapa saat Reva menatap wajah-wajah semua orang yang berada di tempat itu, di benaknya masih tak percaya dengan kenyataan ini. Citra dan juga Diah tersenyum menatap wajah gadis itu.

“Maafkan Citra yah say,”

“Maafkan aku juga yah.” Ujar Diah yang hampir bersamaan dengan Citra.

Entah Reva harus merasa senang, atau marah. Namun yang pasti bahwa semuanya sudah jelas. Biar bagaimana pun ia harus menerima semua kenyataan didepan matanya. Al, yang ternyata selama ini adalah seorang pria sukses dan Berkharisma, mencintainya apa adanya.

Banyak hal yang telah mereka lewati. Dan tentu saja semuanya sangat indah menari-nari dimemory Reva.

Tak ada sama sekali suatu memory yang menyakitkannya. Cuma kejadian sore itu saja, saat ia melihat Al berjalan dengan Diah di salah satu mall di Jakarta. Tapi semua sudah jelas bahwa kejadian itu hanyalah permainan seorang Citra.

“Bu Cit…” Ujar Reva, Citra tersenyum mengetahui raut wajah Reva saat ini seperti memohon sesuatu.

“Hmm, jadi gini ceritanya…”

Citra mulai menceritakan semua kejadian-kejadian yang selama ini ia lakukan. Di awal, saat Eci menelponnya menceritakan rencana Mamahnya untuk mengerjain Al dan Reva maka Citra tergelitik hatinya untuk ikut andil dalam rencana tersebut.

Beberapa hari, Citra tak melihat perkembangan yang signifikan dari rencana Mamahnya. Ditambah lagi suatu informasi dari Eci bahwa ternyata Reva masih kukuh dengan cintanya terhadap kekasihnya yang juga kakak Citra. Maka Citra meminta izin ke Mamahnya untuk mengambil alih rencana mereka.

Mulailah Citra menyusun rencananya, saat mendengar informasi bahwa Reva akan ke Jakarta. Maka Citra mengawali rencananya dengan menghubungi Diah. Awalnya Diah menolak permintaan Citra, namun bukan Citra namanya kalau berhenti sampai disitu. Maka ia pun mempertemukan Diah dengan Rizal. Berlanjutlah kisah mereka berdua, dan karena memang Diah pun menganggap Citra sebagai kakak, maka ia pun menyetujui ikut membantu rencana tersebut.

Akhirnya Citra mengatur pertemuan antara Diah dan Al saat pria itu baru saja tiba di Jakarta. Namun, Al dua hari masih sibuk dengan kerjaannya yang menumpuk. Maka sore itu, akhirnya Al menyetujui permintaan Diah untuk bertemu dengannya di salah satu café.

Dengan manja, Diah meminta Al untuk menemaninya sekedar berjalan-jalan ke salah satu Mall terbesar di ibu kota. Lalu saat diperjalanan menuju Mall, Diah mengirim pesan BBM ke Citra bahwa mereka sudah menuju Mall yang dimaksud.

Citra tak melepaskan kesempatan tersebut, maka gadis itupun menyusun rencana dan menghubungi Ibu Ningsih. Dan hasilnya sesuai yang direncanakan.

Reva cemburu melihat Al dan Diah sedang bermesraan di Mall tersebut. Namun Citra tak berhenti sampai disitu saja. Ia menghubungi Eci dan juga Mamahnya untuk segera ke Jakarta. Eci berangkat duluan sehari sebelumnya, disusul oleh kedua orang tuanya hari ini.


“Jadi gitu ceritanya say.” Ujar Citra menutup ceritanya.

“Ta-tapi kenapa harus seperti ini?” Tanya Reva.

“Hehehe, asal kamu tau aja Va… kak Al itu memang bodoh dalam hal cinta… aku kenal betul karakternya. Jadi, yah akhirnya kami yang harus turun tangan sebelum semuanya berantakan.”

“Tapi…Kenapa ia membohongiku selama ini?” Tanya Reva lagi.

“Ya elah nek… kayak gak tau aja sifat si doi. Hehehehe, udah!. Pokoknya udah jalannya kek gini kisah cinta kalian. Sesama pasangan idiot...hahahahahaha.” Tawa Eci membuat Reva mengernyitkan alisnya. “Loe bakalan makin sakit hati kalau menunggu doi untuk berterus terang yang sebenarnya… mungkin nunggu sampai lebaran monyet kali. Hahahaha.”

“Ci…hustttt.” Tegur Mamahnya. Eci hanya nyengir.

“Kok diam sayang?” Tanya mamahnya. Saat melihat Reva terdiam dan seperti memikirkan sesuatu.

“Mah…ini nyata kan?” Tanya Reva membuat semua orang tertawa mendengar kepolosan gadis itu.

“Ini nyata nak… Tau gak, papah tadi itu udah pengen ngomong duluan bilang cowok kamu itu adalah anak Papah. Tapi, ah sudahlah. Papah sedih melihat kisah cinta kalian.” Akhirnya Papah Eci mengangkat suara membuat semua orang tersenyum.

“So? Apakah loe menerima kakak gue jadi suami loe gak?” Tanya Eci.

“Iya gimana kakak ipar? Apakah Citra diterima jadi adik ipar kak Reva. Hehehehehe.”

“Hahahahahaha, terus Diah juga diterima sebagai adik ipar kak Reva?” Ujar Diah menimpali.

“Hah?” Tanya Reva menatap wajah Diah.

“Iya Va, Diah ini adalah adik angkat Kak Al… jadi yah saudara angkat kami juga.” Citra menjelaskan status Diah.

“Jadi gimana? Diterima gak?” Tanya semua orang kecuali ibu ningsih yang hampir bersamaan.

“Bu…” Reva menoleh ke Ibunya meminta jawaban dari wanita itu.

“Kamu toh yang jawab…kok malah nanya Ibu sih.” Ibunya tersenyum bahagia membuat Reva kikuk.

“Hmm, tapi…tapi.. dimana Al nya mah? kok gak ikut datang sih Mah?” Tanya Reva gugup.

“Tau tuh Va, kak Al lagi keluar kota.” Citra menjawab pertanyaan Reva.

“Hah?”

“Lah Cit, emangnya kamu gak ngasih tau kalau Mamah dan Papah mau ke Jakarta?” Tanya Mamahnya ikut terkejut.

“Buat apa Mah… udah, tenang aja… Citra udah atur semuanya kok. Hihihihihi.” Jawab Citra.

“Ya udah, kalau gitu… yuk mending kita makan aja dulu… jadi, Mamah anggap kamu menerima anak Mamah jadi suami kamu kan?” Tanya mamahnya membuat Reva hanya mengangguk kecil dengan wajah yang memerah menahan rasa malu, tapi sekaligus membahagiakan.

Suasana menjadi ceria kembali, Reva merasa sebuah kebahagiaan yang tak bisa terlukiskan saat ini. Begitu juga Ibu Ningsih yang masih seakan tak percaya dengan semua ini. Namun yang pasti, ia pun ikut bahagia mengetahui bahwa ternyata seorang pemuda yang selama ini menopang hidupnya adalah calon suami anaknya. Dan jelas saja ia sangat menyetujuinya karena sudah mengenal Al selama ini. Seorang pria bertanggung jawab dan juga baik hati.


~•○●○•~​


Sudah dua hari ini, setelah kejadian di rumah Al dan mengetahui bahwa siapa Al sebenarnya. Pagi ini, Reva sedang berada di dalam mobil sedan milik Citra menuju kantor pusat 3MP.

Semuanya telah di atur oleh Citra, bahkan memasukkan Reva di kantor pusatnya sebagai sekertaris pribadi sang Direktur Utama.

Dan hari inilah hari pertamanya untuk bekerja di kantor pusat 3MP.

“Pagi Va, pagi Kak Cit.” Sapa Diah tersenyum saat keduanya baru saja masuk ke lobby karyawan. “Wah, cantik banget say pagi ini…hihihihi,”

“Hai Diah… pagi juga.” Jawab Reva tersenyum. “Makasih yah.”

“Doi belum datang Di?” Tanya Citra.

“Belum Kak, mungkin nanti siang kak Al-nya ke kantor.” Jawab Diah.

“Hai beib…ini yah orangnya?” Sapa L yang baru saja tiba dan melihat sosok Reva.

“Eh iya, kenalan dulu gih.”

“Lara Abdullah… panggil L aja yah.” Ujar L.

“Reva Pak.” Balas Reva bersalaman dengan pria itu.

Citra melihat kesekeliling ruangan lobby karyawan, seperti mencari seseorang. “Kang Nos belum datang yah L?” Tanya Citra.

“Tuh dia… baru nongol.” Ujar L menoleh ke belakang dan seorang pria dengan gaya khas tengilnya baru saja tiba.

“Eh bapak…” Reva yang langsung tersenyum geli sendiri saat melihat pria itu.

“Loh..kok loe natap gue kek gitu sih neng.” Celetuk Nos melihat tatapan aneh dari Reva.

“Hehe, gak kok Pak.” Jawab Reva menahan tawanya.

“Hmm, gue kan dah bilang… jangan rebut cowok gue… tapi kok loe ngekhianatin kepercayaan gue?huh!” Ujar Nos meledek si Reva.

“Hehehe, maaf deh pak…habisnya cowok bapak yang duluan godain Reva.”

“Hahahahaha, dasar kang Nos…sukanya bercanda melulu… oh iya Va, kamu udah kenal Kang Nos kan?”

“Udah Bu,” Jawab Reva.

“Neng… apa kabar nih?” Tanya Nos sambil mengajak Reva bersalaman.

“Alhamdulillah baik pak, hehehe” Jawab Reva setelah bersalaman dengan pria itu. “Makasih yah atas semuanya.”

“Elah, tenang aja neng… untuk calon nyonya besar mah, kami akan melakukan apapun yang membuatnya bahagia. Bener gak Cit” Celetuk Nos.

“Iya-kan aja Va, dari pada panjang.hehehehehe,” Jawab Citra.

“Beib, yuk naik.” Ujar L mengajak mereka untuk naik.

“Ya udah.. yuk.”

“Ya udah…neng Diah, kami naik dulu yah.” Celetuk Nos dan akhirnya ke tiga direktur itu beserta Reva meninggalkan Diah sendiri. Karena sudah seminggu Elsya tak lagi bekerja di kantor 3MP karena sudah dipingit oleh calon suaminya.


Beberapa saat kemudian…

"Ini ruangan kamu yah Va", Ujar Citra menunjukkan sebuah ruangan kecil di sudut yang terletak di lantai paling atas gedung 3MP.

“Iya Ibu Citra.” Jawab Reva tersenyum.

“Bingung aku Va, kamu masih aja manggil Ibu ke aku.”

“Hehehe, kan emang seharunya gitu Bu.” Jawab reva tersenyum.

“Kamu kan bentar lagi jadi kakak ipar aku, Va. Udah sih panggil aku Citra aja deh ah. Gak usah pake bu lagi.” Seru Citra.

“Baik bu.” Jawab Reva sambil tersenyum geli.

“Heh. Serah kamu deh Va.” Kata Citra. "Seluruh staff direksi di sini berjumlah empat orang, Tapi tugas kamu adalah membantu si bos aja. Paham kan?”

“Siap Bu.” Jawab Reva.

“Dasar.” Ujar Citra sambil tersenyum melihat Reva terus memanggilnya ibu.

“Ya udah kalau gitu, aku tinggal dulu yah… mungkin gak lama lagi kak Al datang.” Ujar Citra lalu meninggalkan Reva sendiri di dalam ruangan kecil berdampingan dengan ruangan Direktur Utama.

Reva terdiam di dalam ruangannya, pikirannya berkecamuk menanti saat-saat yang menegangkan untuknya.

Apa yang akan ia katakan nanti saat bertemu dengan pemilik perusahaan?

Reva tersenyum saat mengingat semua kenangan mereka selama ini. Seakan tak sabar menanti kehadirannya.

Beberapa kali ia menatap cermin kecil yang dikeluarkannya dari dalam tas untuk melihat wajahnya. Gugup dan harap-harap cemas yang saat ini ia rasakan.



Beberapa jam kemudian…


Di parkiran bawah 3MP, Al baru saja memarkir mobilnya di tempat biasa. Kemudian melangkah masuk ke dalam lobby karyawan.

“Siang kak.” Sapa Diah melihat Al baru saja masuk.

“Siang Di.” Balas Al dan sepertinya tak ingin basa-basi. “Aku naik dulu yah.”

“Baik Kak.” Jawab Diah.

Tanpa Al sadari, gadis itu tersenyum saat Al sudah meninggalkannya sendiri. Lalu gadis itu mengirimkan sebuah pesan BBM ke seseorang.


Ting… Tong!

Pintu lift terbuka di lantai paling atas gedung. Dan Al melangkah menuju ruangannya tanpa menoleh sedikitpun.

“Hmm, udah ada yah.” Gumamnya saat mendengar adanya aktivitas di dalam ruangan kecil yang terletak di samping ruangannya.

Sepertinya, tiga hari ini Al belum bisa melupakan kejadian saat bertemu dengan Reva. Pikirannya terus menerus memikirkan gadis itu. Bahkan saat berada di dalam ruangannya, ia hanya duduk sejenak di singgasananya lalu berdiri kembali dan melangkah ke dispenser untuk sekedar membuat secangkir kopi.

Al melangkah membawa secangkir kopi menuju ke jendela dalam ruanganya.

Pria itu menatap jalan raya yang siang ini terlihat macet. Tak sedikitpun kecurigaan tentang siapa yang berada di sebelah ruangannya. Untuk memastikan, maka ia menelfon Citra.

“Halo, Cit… udah ada sekertaris baru buat aku yah?” Tanya Al menelpon adiknya.

“Oh ya udah kalau gitu… nanti aku lihat,”

Kemudian Al menutup telponnya dan kembali melamun memikirkan gadis itu. Sebuah senyum manja begitu terngiang-ngiang dipikirannya. Entah mengapa ia tak mampu melupakannya.

“Kamu dimana sekarang Va?” Gumam Al pelan, raut wajahnya terlihat sedih merindukan sosok Reva saat ini sambil menatap jalan raya dari jendela.

Sesaat Al melihat arloji di tangan kanannya, kemudian ia pun menelpon seseorang memakai telpon kantornya. “Halo, segera ke ruanganku sekarang.” Lanjutnya lalu menutup telponnya tanpa memberikan kesempatan orang diseberang untuk menjawab.



Beberapa saat kemudian…


Tok…tok…tok!

Pintu ruangan diketuk dari luar. “Masuk,” Suara berat dari pria itu untuk mempersilahkan orang yang mengetuk ruangannya segera masuk.


Krieekk!


Pintu ruangan terbuka, namun Al masih berdiri diam menatap jalan raya dengan secangkir kopi di tangan kanannya untuk menemani lamunannya saat ini.

Pria itu sepertinya enggan untuk menoleh ke arah seseorang yang sudah berdiri di depan meja kerjanya.


“Selamat datang di 3MP, semoga kamu betah bekerja di perusahaan ini.” Ujar Al. dengan Suara beratnya tanpa menoleh sedikitpun ke arah orang itu yang hanya tersenyum menatap punggungnya.

“Silahkan kembali bekerja… aku masih sibuk saat ini, dan tidak ingin diganggu untuk sementara waktu.” Lanjut Al. “Mengerti?”



Hening…


Al mengernyitkan alisnya karena tak mendapatkan jawaban dari orang itu.

Sedangkan orang yang masih berdiri menahan senyumannya, menarik nafas panjang sebelum mengucapkan sesuatu.


Dug…Dug…Dug…! Terasa sekali jantung orang itu berdetak lebih kencang. Setelah memantapkan hatinya, maka ia-pun mengeluarkan suaranya.



“Apakah aku harus menunggu satu purnama lewat, agar aku bisa berada disini?”



Dugh!



Al terdiam mendengar suara orang itu, suara seseorang yang begitu dikenalnya. Tubunya bergetar dan terasa kaku.

Pikirannya berkecamuk, apakah ia tak salah dengar suara tersebut?



“Sampai kapan aku harus menunggu penjelasan dari kamu tentang semuanya?” Suara orang itu kembali terdengar begitu indah ditelinga Al.





“Sepengecut itukah pria yang aku cintai, sampai gak mau mempertahankan cintanya selama ini?”



Al membalikkan tubuhnya perlahan-lahan. Kedua matanya menatap sosok seorang gadis yang sedang berdiri di depan mejanya.

Al melangkah perlahan-lahan mendekatinya.




“Diah… apakah karena dia aku harus membencimu?”



“Kenapa? Kenapa kamu tidak menjawabnya?”

Al tak menjawab pertanyaan gadis itu, dan masih melangkah mendekatinya.

Kedua mata mereka saling bertatapan, sebuah senyuman hangat terlihat diwajah cantik gadis itu.



“Va…” Bibir Al gemetar memanggil nama seorang gadis yang berdiri menatap wajahnya. Sangat dekat dengan tubuhnya, bahkan aroma tubuh gadis itu begitu hangat ia rasakan.


“Aku benci kamu…” Kata gadis itu.


“Va…” Al tak mampu berkata apapun. Dan untuk pertama kalinya, gadis itu menyaksikan bahwa pria itu meneteskan air mata di hadapannya. “Maaf…hik..hik”

Al tak kuasa menahan kesedihannya saat ini, ia mencoba mengusap wajahnya yang sudah basah oleh air matanya. “Gak usah, Al.” Ujar gadis itu menahan lengan Al. "Biarkan saja,"


“Apa?” Ujar Reva dengan wajah menantang menatap wajah pria itu yang sudah mengeluarkan air matanya.


“Bodoh!” Reva kembali mengejek pria itu.


“Jelek banget ih… pria tampanku gak cocok kalau nangis kek gini.”


“Maaf atas semuanya.” Ujar Al dan dijawab dengan anggukan kepala gadis itu. "Maaf, karena sudah membohongimu selama ini."


“Kamu… kamu jahaaaattt bangettt Hik…hik…hik…hik.” Reva tak bisa menahan lagi perasaannya saat ini. Lalu segera memeluk tubuh kaku pria dihadapannya.

Keduanya berpelukan begitu erat, berciuman hangat untuk mengeluarkan semua kerinduannya selama ini.

“Va, I Love you…” Bisik Al saat bibir mereka terlepas dan kening mereka saling merapat.

“I love you to Al…hik…hik…” Jawab Reva. “Al… akhirnya kamu nangis juga. Hik…hik…”


Dibiarkannya pria itu memelukknya dengan sayang dan mengecupinya. Pria itu, walaupun seorang pengecut namun ia mencintainya. Sebuah harapan baru yang kembali tertanam di hati gadis itu terhadapnya. berharap mereka akan hidup bahagia selamanya, seperti kisah Cinderella dan seorang pangeran dari negeri khayalan.



Buat aku jadi bahagiamu..
Meski kian dalam rasa ku padamu..
Meski kian berat perasaan yang kupendam pada dirimu..

Dan pada akhirnya,
Bibirku hanya diam tak mampu berucap dihadapanmu..

Buat aku jadi satu-satunya yang kamu cintai..

Walau galau hatiku..
Walau perih hati ini..
Ketika kau tak ada disampingku..

Buat aku jadi satu-satunya yang ada dihatimu..

Meski aku bukan satu-satunya orang yang mencintaimu..

Meski aku bukan satu-satunya orang yang berdiri disampingmu..

Dan pada akhirnya,
Aku tak bisa berpaling darimu meski hanya untuk beberapa detik..

Aku menghitung waktuku..
Waktu yang kuhabiskan bersamamu..

Waktu dimana kita tertawa..

Bercanda..

Menangis..

Bertengkar..

Marah..

Dan melakukan segalanya berdua..

Hanya aku dan kamu..
Kamu dan aku..
Aku tak sempurna tanpa dirimu..

Karena sesungguhnya yang kurasa adalah bahagia bersamamu..

Me And You,
Karena hanya aku…

Aku yang telah mengetahuimu…
Your PRIVATE SECRET







___THE END___

No comments:

Post a Comment