“siapa?” tanyaku
“pah, ini aku latri…” jawab suara dari luar
Pintupun ku buka.
“lho, gak menunggu rombongan yang dari mbak yun gedhe lat?”
“enggak pah, masih tiga hari lagi, latri bosen di kampung”
“ooo…yaudah masuk, bawaanmu mana?”
“cuman ini aja kok pah, kemaren juga latri gak bawa baju banyak waktu
balik ke kampung, cuman ini ada oleh oleh dari emak” katanya sambil
melangkah masuk
“weh, kok repot repot to lat…”
“ennggak kok pah, cuman sedikit…mmm…papah gak sendiri yah?” tanyanya dengan menyelidik
“enggak, ada bu Umy tuh di kamar”
“eh? Bu Umy? Di kamar? Kok di kamar pah?” tanyanya terkejut sedikit menyelidik
“eh…dia numpang ke kamar mandi, tadi dateng bawain berkas buat rapat nanti siang”
“oooo…” katanya masih (kelihatan) menyelidik sambil melihat badanku yang masih penuh keringat
“ya udah pah, latri permisi ke kamar dulu pah” lanjutnya
“ok” jawabku pendek “lat, ntar malem gak usah masak aja, kita makan di
luar, papah paling pulang sebelum jam 6, mandi bentar trus kita keluar
yah?”
“ya pah…” katanya sambil berjalan masuk ke kamarnya, di depan kamarku
dia sempat berhenti dan melirik ke dalam, untung saja Umy sudah tidak
tergolek telanjang di atas ranjangku dengan berlumuran lendir, kalau
tidak…ya ga papa sih, sbenernya…
---
“lat…” panggilku sambil membuka pintu kamarnya
“ya pah…” sambil reflek menutupkan handuk ke badannya. Rupanya dia habis mandi dan sedang mau berganti baju.
“eh, maaf…” kataku sambil mencoba menutup pintu kamarnya lagi
“ah…gak apa kali pah…” jawabnya polos sambil tersenyum aneh
“eeh...gini, papah berangkat dulu, kamu istirahat aja dulu gak usah
kerjain apa apa kan masi capek habis perjalanan, tadi pagi papah sudah
bersihin rumah kok, cuman nanti akan ada orang anterin laundry, uangnya
di meja telfon…eeemm, apa lagi ya? Eh, dan untuk makan siang, papa dari
kemaren cuman beli roti, semua ada di kulkas, kamu makan aja...”
“ya pah…”
“kamu mau nitip apa kalau papah pulang nanti?” tanyaku lagi
“enggak pah, makasih…kan katanya mau keluar lagi”
“eh, iya ding…ya udah, baik baik ya di rumah”
Latri cuman tersenyum dan mengangguk. Sumpah man, gimana gitu. Sekilas
terbayang adegan ciuman kita beberapa minggu yang lalu. Akupun
mengerjap, memaksakan kesadaranku untuk segera kembali ke akal sehat,
lalu berbalik. Beberapa langkah kemudian aku menegok dia. Dia masih
mematung di posisinya semula masih dengan hanya selembar handuk yang
menutupi badannya sambil masih (juga) tersenyum, kali ini sedikit ada
pancaran geli di matanya. Sialan memang anak 17 tahun ini. Dan sejak
ciuman itu, aku selalu salting di depan dia. Brengsek, macem ABG aja aku
nih!
---
Aku bergegas membuka pintu depan, jam tanganku sudah menunjukkan pukul
18.45, memang pertemuan itu memakan waktu sedikit lebih lama dari yang
ku perkirakan. Tapi sebenernya SO WHAT? Kenapa hanya karena terlambat
sedikit dari janji pulang sebelum jam 6 dengan pembantu kecilku, latri,
aku jadi grasa grusuh gini? Macem abg janjian ama gebetan barunya aja.
Memasuki ruang tamu, kucoba untuk meraih kembali kendali diriku.
Kupelankan langkahku, ku atur nafasku dan ku buat pembawaanku sekalem
mungkin. Dan aku kembali melangkah.
Diruang tengah kulihat latri sudah rapih, duduk dengan manis dengan
menonton tayangan sore. Aku berdehem, dengan ringan ku lihat dia
menoleh.
“eh? Papah? maaf pah, latri gak mendengar mobil papah masuk ke
halaman…jadi tidak bukain pintu…” katanya sambil bergegas bengkit dan
mengulurkan tangannya untuk mengambil koper kerjaku.
“eh, ga papa lat, papa emang ga masuk halaman, mobil papa parkir di jalan…emm, maaf papah agak telat, soalnya tadi rapat…ee…”
“ya gak papa to pah, kan kerjaan papah lebih penting…” katanya sambil tersenyum
Aku hanya bisa membalas senyumannya sambil garuk garuk kepala… kemaren
kakak iparku yang sok berperan sebagai istri yang manis, sekarang ada
anak umur 17an yang sok mengerti aku, sok jadi seperti pacar yang
pengertian. Panggilnya papah, tapi sikapnya GFE. Buset, what a life I
had.
Geleng geleng kepala aku menggeloyor ke kamar, sekilas ku lirik latri
yang berjalan kearah ruangan kerjaku untuk menaruh koperku di sana. Dia
kulihat memakai kaos ketat lengan panjang berwarna pink muda dengan
potongan leher sampai bahu, daleman you can see kuning tampak melintang
di pundaknya, di padu dengan semcam balero jala jala putih yang agak
gombrong sepaha. Sedangkan di bawahnya dia memakai hotpants dari jeans
hitam sebatas paha yang mempertontonkan kakinya yang jenjang dan putih
khas remaja.
Rambutnya di sisir ke belakang dengan memakai japitan di tengah kepala
dan sisanya di biarkan tergerai. Di telinganya dua anting berbentuk
Winnie the pooh berwarna senada dengan kaosnya menempel dengan lucu, dan
beberapa gelang warna warni menghiasi tangan tangan rampingnya, tidak
lupa beberapa aksesoris kalung juga menjuntai dengan indah melewati dada
kecilnya. Sepatu flat standar yang dia pakai aku ingat betul, itu
hadiah ulang tahun dari kami sekeluarga, sepatu keluaran zara ini memang
sedikit agak mahal untuk hadiah kepada pembantu, tetapi sekali lagi
latri sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri. Tidak ada istilah
pembantu di keluarga kami, semuanya bekerja sama dalam hal mengurusi
rumah.
Tak lama kemudian aku bergegas keluar dari kamar mandi, kulihat sebuah
celana jeans dan T-Shirt hitam faforitku, dengan seperangkat pakaian
dalam sudah ada di ranjangku yang sudah diganti spreinya. Sprei yang
seingatku tadi pagi penuh dengan lelehan lendirku dan Umy yang aku
genjot di sana. Aku tersenyum simpul memikirkan betapa beruntungnya
nasib bajingan seperti diriku. Sambil garuk garuk keapala aku pun
memungut pakaian yang sudah di siapkan gadis kecilku itu. Ah, bahkan
sampai berpakaianpun dengan halus latri berhasil mengaturku. Aku semakin
geleng geleng kepala. What a life!
“sudah siap?” tanyaku saat kulihat latri dengan telaten duduk di ruang tangah, sedang TV sudah dia matiin.
“sudah pah” jawabnya. Aku semakin geleng geleng kepala. Prasaan jadi kaya mo ngedate…padahal cuman mau makan aja.
“latri mau makan apa?” tanyaku ketika mobil kita sudah mulai jalan
“apa aja deh pah” jawabnya yang duduk di sampingku
“papah ajak ke tempat yang special, namanya laluna, tempatnya asik dari sana bisa liat pemandangan simpang lima”
“wah, kedengarannya asik banget tuh pah” jawabnya, entah beneran ato
tidak tetapi matanya kulihat berbinar semangat seiring dengan senyum
lepasnya waktu mengatakan hal itu, sesuatu yang akan bikin cowo manapun
akan berbesar hati karena merasa amat sangat di hargai pilihannya. Bisa
aja nih anak!
Aku segera berbelok ke arah ruang parkir yang kosong, kamipun segera
keluar dari mobil. Waktu menunjukkan pukul 19.15 saat aku lirik jam
tanganku.
“latri sudah lapar banget atau mau jalan jalan dulu di mall?” tawarku
pada gadis kecil yang sekarang berjalan sedikit menghimpit di sebelah
kiriku.
“mmm…kalau papah ngasih pilihan jalan dulu, ya…jalan dulu lah pah…” jawabnya sambil tertawa renyah.
“so it is…” desahku
Kamipun memasuki jembatan yang menghubungkan tempat parkir dengan mall.
Sepanjang jalan latri kelihatan riang. Seperti layaknya ABG aktif, dia
‘meloncat’ dari stand ke stand lain sambil memegang apapun yang berbau
fashion dan pernak perniknya. Dan aku seperti om genit yang tolol
mengikuti kemanapun arah langkahnya. Sesekali dia mengapit mesra
tanganku sambil menunjukkan barang barang yang membuat dia tertarik.
Setiap kali pula aku menawarkan apakah dia mau membelinya, dan hampir
setiap kali dia menolaknya, dia cuman mau windows shopping, katanya. Dan
lucunya setiap kali ada orang memandang aneh kepada kami, karena
(sumpah) ane emang nampak seperti om om genit yang baru nurutin
keinginan ABG simpenannya, dia selalu (mungkin) dengan sengaja panggil
aku ‘papa’ dengan keras. Mungkin latri mengira panggilan itu bisa
mengaburkan pandangan negative mereka. Bisa aja ni anak. Seperti di
salah satu boutique yang kita masukin.
“pah ini bagus ga?” kata latri dengan keras setelah dia memilih dan
mencoba sebuah dress terusan dengan atasan model gombrong dan bawahan
berupa rok mini yang ketat berwarna hijau gelap yang kontras dengan
kulitnya yang putih
Aku tidak menjawab hanya tersenyum kalem sambil mengacungkan jempol
“putrinya pak?” tanya salah satu dari mereka, aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaan itu
“udah besar ya? Padahal papanya masih muda gini” kata mbak itu semakin genit
“yah…aku bersyukur sekarang, do’a ku dijawab oleh Tuhan; kenakalan masa
remajaku ternyata di ampuni oleh tuhan dengan mengirimkan malaikat
cantik itu kepadaku” jawabku sedikit berteka teki
“ooo…terus mamanya? Eh, maaf lho pak, malah jadi nanya nanya, abis penasaran cii…hihihi…”
“pernah liat pernikahan usia dini bermasalah?” jawabku sambil meliriknya
“buuuuannyyaaaakk banget kalee pak, malah hampir semua…” jawabnya
“nah itulah yang terjadi” aku tersenyum lagi sambil mengangguk angguk ke
arah latri ketika memberikan persetujuan atas baju lain yang sedang dia
coba
“ooo…ic…mau dunk jadi mama nya…hihihi…” temennya ikut menimpali
Aku hanya tersenyum geli mendapati ‘sandiwara’ spontan kami di respon
dengan sangat meyakinkan oleh orang orang itu. 20.30 kami duduk di
restoran di meja yang memang sudah saya pesan sebelumnya. Beberapa tas
belanjaan terpapar di samping kursi latri. Akhirnya belanja juga…
“makasih ya pah, malah jadi beli beliin latri yang macem macem…” katanya ketika pelayan yang mencatat pesanan kami berlalu
Aku hanya tersenyum memandang wajah dia. Entah apa yang ada di otakku
“iya, pemandangannya indah banget dari sini pah…kalau gak di ajak papah mana mungkin latri sampai ke tempat ini”
“iya, kadang papah kalau merenung suka ke sini sendirian, tempatnya adem dan inspiratif…”
“dan romantis…” timpalnya
“eh? Oya? Mnurut kamu gitu?” aku sedikit geli dengan kata itu
Latri hanya tersenyum.
---
Kami memasuki rumah pada jam 22.30. latri sedikit limbung di dukunganku
karena mungkin sedikit mabok. Mabok? Yup, seperti kebiasaanku saat makan
di laluna, aku pasti membuka wine untuk menemani tenderloin black
pepper sauce yang ku pesan. Dan dia bersikeras untuk ngerasain wine.
Sudah ku bilang itu mengandung alkohol, tapi dia maksa. Setelah seteguk
melewati tenggorokannya, dia bilang enak juga, ujung ujungnya kita open
sampai dua botol. Buat anak yang (mungkin) seumur umur belum pernah
minum alcohol, hasilnya ya teler. Fuih… emang badung ni anak!
Memasuki ruang tamu, aku tidak sabar menuntun langkahnya yang terhuyung,
segera tubuh mungil itu aku gendong. Matanya yang setengah sadar,
menatap manja kepadaku sambil tersenyum. Pikiranku mulai kacau. Entah
kenapa dada kecil yang melengkung di boponganku dan sentuhan paha pada
lenganku membuat libidoku terbakar. Kegilaanku tersulut, niatku untuk
tidak sampai menidurinya karena sudah aku anggap anak sendiri aku
khawatir akan segera pupus....
No comments:
Post a Comment