Perkenalkan dahulu, namaku Darminto. Aku adalah salah satu dari sekian
banyak orang yang menyebut dirinya dengan istilah keren "paranormal"
atau yang dilingkungan masyarakat kebanyakan dikenal dengan istilah
dukun. Ya, aku adalah orang yang bergelar mbah dukun, meskipun
sebenarnya aku sama sekali tidak percaya dengan segala hal begituan.
Aneh? nggak juga. Semenjak aku kena PHK dari perusahaan sepatu tiga
tahun lalu, aku berusaha keras mencari pekerjaan pengganti. Beberapa
waktu aku sempat ikut bisnis jual beli mobil bekas, tetapi bangkrut
karena ditipu orang. Lalu bisnis tanam cabe, baru sekali panen harga
cabe anjlok sehingga aku rugi tidak ketulungan banyaknya. Untung orang
tuaku termasuk orang kaya di kampung, jadi semuanya masih bisa
ditanggulangi. Cuma aku semakin pusing dan bingung saja. Untung aku
belum berkeluarga, kalau tidak pasti tambah repot karena harus
menghadapi omelan dan gerutuan istri.
Dalam keadaan sebal itulah aku bertemu dengan mbah Narto, kakek tua yang
dengan gagahnya memproklamasikan diri sebagai paranormal paling top.
Karena masih berhubungan keluarga, ia sering juga datang dan menginap di
rumahku ketika dia lagi "buka praktek" di kotaku. O ya, aku tinggal di
sebuah kota kecamatan kecil di Jawa tengah, dekat perbatasan jawa Timur
(nggak perlulah aku sebut namanya). Meskipun kecil, kotaku termasuk
ramai karena dilewati jalan negara yang lebar dan selalu dilewati truk
dan bus antar propinsi, siang dan malam.
Eh, kembali ke mbah Narto, tampaknya si mbah punya perhatian khusus
kepadaku (atau malah karena aku memang kelihatan sekali tidak menyukai
dan sinis terhadap gaya perdukunannya?). Suatu hari ia berbicara serius
denganku, mengajakku untuk menjadi "murid"nya. Walah, aku hampir ketawa
mendengarnya. Murid? wong aku sama sekali tidak percaya segala hal
takhayul macam itu, kok mau diangkat menjadi murid? tetapi segala
keraguanku tiba-tiba hilang ketika mbah Narto menjelaskan: "punya ilmu
ini bisa buat cari uang, Dar." Katanya: "apa kamu tahu berapa
penghasilan dukun-dukun itu? Mereka kaya-kaya lho. Meskipun ilmunya,
dibandingkan dengan ilmu mbahmu ini, masih cetek banget." Katanya dengan
meyakinkan dan mata melotot.
Aku menggaruk kepalaku. Apa benar? Akhirnya aku tertarik juga. Meskipun
tetap dengan ogah-ogahan dan tidak percaya, aku ikut juga menjadi
muridnya. Naik turun gunung, masuk ke goa dan bertapa (ih, dinginnya
minta ampun) dan dipaksa berpuasa mutih (cuman minum air dan nasi putih
doang), empat puluh hari penuh. Terus terang, aku tidak merasa
mendapatkan pengalaman aneh apapun selama mengikuti segala kegiatan itu.
Tetapi setiap mbah Narto menanyakan "apa kamu sudah ketemu jin ini atau
jin itu" atau "apa kamu melihat cahaya cemlorot (bahasa Indonesia:
berkelebat)" waktu aku bersemadi, yah aku iyakan saja. Kok susah susah
amat.
Akhirnya, setelah enam bulan berkelana, mbah Narto menyatakan aku sudah
lulus ujian (wong sebenarnya aku tidak tahu apa-apa). Dan dia
memperkenalkan aku sebagai assistennya untuk menyembuhkan pasien dari
berbagai penyakit yang "aeng-aeng" alias aneh-aneh. Bahkan setelah
beberapa lama aku dipercaya untuk buka praktek sendiri, di rumahku,
dengan mempergunakan kamar samping rumah sebagai tempat praktek
(meskipun aku harus membuat Yu Mini kakakku marah-marah karena meminta
dia pindah kamar tidur).
Setelah beberapa bulan praktek, nasehat mbah Narto ternyata benar (ini
satu-satunya nasehatnya yang benar, aku kira): bahwa jadi dukun itu
banyak duit! aku baru sadar bahwa salah satu syarat untuk menjadi dukun
yang sukses bukanlah terletak pada ilmunya (yang aku nggak percaya sama
sekali), tetapi pada kemampuannya untuk meyakinkan pasien. Dukun adalah
aktor yang harus bisa membuat pasien setengah mati percaya dan
tergantung padanya, dengan segala cara dan tipu daya.
Pada mulanya beberapa orang datang minta tolong padaku, katanya
menderita sakit aneh, pusing-pusing yang tidak tersembuhkan. Aku dengan
lagak meyakinkan memberikan mantra, menyuruh mereka menghirup asap dupa,
dan minum air kembang (di dalamnya sudah kucampur gerusan obat
Paramex). Eh.. mereka sembuh. Dan sejak itulah pasien datang membanjir
padaku. Ada yang minta disembuhkan sakitnya (kebanyakan aku suruh mereka
ke dokter dulu, kalau nggak sembuh baru kembali. Sebagian besar memang
tidak kembali), ada yang minta rejeki (itu mah gampang, tinggal didoain
macem-macem) ada pula yang mengeluhkan soal jodoh, pertengkaran keluarga
dan lain-lain (kalau itu tinggal dinasehatin saja).
Jadi inilah aku, mbah Dar, dukun ampuh dari lereng Merapi (lucu ya, aku
dipanggil mbah wong umurku baru 25 tahun). Setiap hari paling sedikit
sepuluh orang antre di rumahku, dari siang sampai malam. Begitu ramainya
sampai akhirnya halaman depan rumahku dijadikan pangkalan ojek. Tidak
kuperdulikan lagi omelan mbakyuku dan pandangan sinis orang tuaku
(mereka selalu menasehati: hati-hati lho Dar, jangan mbohongi orang).
Yang penting duit masuk terus, jauh lebih besar daripada gajiku saat
masih bekerja di pabrik sepatu. Dengan ilmu yang asal hantam, tampang
yang meyakinkan (aku sekarang pelihara jenggot panjang, pakai jubah
putih kalau praktek) maka orang-orang sangat percaya kepadaku.
Semuanya berjalan lancar-lancar saja, sampai terjadi suatu kejadian yang meruntuhkan segala-galanya.
Malam itu, jam sudah menunjukkan pukul 20.00 malam. Pasien sudah sepi,
dan aku sudah merasa sangat mengantuk. Sambil menguap aku berdiri dari
"meja kerja"ku, menuju pintu dan bermaksud menutupnya. Tetapi kulihat si
Warno sekretarisku menghampiri: "ada pasien satu lagi mbah" bisiknya:
"cah wadon (anak perempuan) huayuu banget". Dia nyengir dan menunjuk
pelan ke ruang tunggu di depan. Di sana aku melihat seorang gadis dengan
memakai T shirt putih dan rok warna coklat duduk di bangku. Aku tidak
melihat wajahnya karena dia sedang memperhatikan TV yang memang
kusediakan di situ.
"Masuk, nduk" kataku dengan suara berwibawa. Si gadis itu pelan-pelan
berdiri, dan dengan takzim berjalan kearahku. Aku sekarang dapat melihat
wajahnya dengan jelas. Aduh mak, dia memang betul-betul cantik.
Rambutnya yang sebahu bewarna hitam lurus, matanya seperti mata kijang
dan bibirnya seperti delima merekah (walah, puitis banget..). Tubuhnya
bongsor dengan buah dada yang seperti akan memberontak keluar dari baju
T-shirtnya. Aku kira umurnya paling banter baru 17 atau 18 tahun.
"Sugeng dalu (selamat malam) mbah.." katanya agak bergetar. Wuih,
suaranya juga seksi banget. Kecil dan halus, seperti berbisik. Dengan
lagak kebapakan aku menyilahkannya masuk, diiringi sorot mata nakal si
Warno yang seperti akan menelan bulat-bulat si gadis itu. Kupelototi dia
sehingga dia cepat-cepat lari ngibrit sambil terkikik-kikik. Aku segera
menutup pintu.
Kulihat si gadis duduk dengan sangat hormat di kursi pasien yang
kusediakan. Tangannya ngapurancang di pangkuannya, wajahnya menunduk.
Cantik sekali. Dengan pura-pura tidak acuh aku menyiapkan alat-alat
perdukunanku, menyalakan lampu minyak (sebagai media pemanggil arwah,
pura-puranya), menyiapkan baskom kecil berisi air kembang, dan
menyalakan dupa. Asap dupa segera memenuhi ruangan kecil itu.
"Siapa namamu, nduk?"tanyaku tanpa memandangnya, tetap sibuk melakukan persiapan.
"Suminem, mbah" katanya. Wah, nama lokal betul.
Aku berdeham: "berapa umurmu? "
Si cantik itu menjawab pelan, tetap menunduk: "empat belas tahun, mbah".
Wah, aku hampir terlonjak kaget. Empat belas tahun? masih kecil banget,
tetapi bagaimana kok tubuhnya sudah demikian bongsor, dadanya sudah
demikian besar..
Aku menelan ludah: "bocah cilik begini kok beraninya malam-malam datang
ke sini. Ada masalah apa nduk?" aku sekarang duduk di kursi di depannya,
dibatasi meja yang penuh segala pernik perdukunan. Si Suminem sekarang
mengangkat kepalanya, raut wajahnya tampak sangat gelisah. Matanya
jelalatan ke kiri kanan. Suaranya yang kecil bergetar: "nyuwun sewu
mbah, sebetulnya saya sangat gelisah dan takut. Nyuwun tulung mbah.."
suaranya semakin rendah dan bergetar, seperti sedu sedan.
Kemudian dengan cepat dan dengan suara tetap bergetar, dia bercerita
bahwa ada seorang laki-laki, bernama Kasno, yang sangat ditakutinya.
Kasno adalah tetangganya yang sudah punya istri dua dan anak
segerendeng, tetapi masih hijau matanya kalau melihat cewek cantik.
Karena rumahnya sederetan dengan rumah Suminem, tiap hari dia bisa
melihat Pak Kasno memandangnya seperti tidak berkedip. Lebih celaka
lagi, karena kamar mandi rumahnya menjadi satu dengan kamar mandi rumah
Pak kasno, maka semakin besar kesempatan lelaki hidung belang itu
mencuri pandang pada tubuhnya yang bahenol itu. Bahkan pernah suatu hari
Suminem berteriak teriak dan lari keluar dari kamar mandi, karena
ketika ia sedang mandi melihat kepala Pak kasno mengintip dari bagian
atas kamar mandi yang memang tidak tertutup. Itu saja belum cukup.
Hingga suatu hari..
"Pak Kasno tiba-tiba mendatangi saya, mbah" katanya. Si hidung belang
itu katanya bicara baik-baik, bahkan sangat kebapakan. Tetapi yang
membuat Suminem kaget, dia tiba-tiba mengeluarkan sebotol kecil air,
entah apa itu. Dengan sangat cepat si hidung belang memercikkan air di
botol itu ke wajah dan tubuh Suminem. Tentu saja si gadis kecil nan
bahenol itu berteriak, tetapi Pak kasno cepat-cepat minta maaf dan
dengan lembut memberi penjelasan: "Enggak apa-apa, Nem, itu tadi cuma
air kembang kok. Bapak ini lagi belajar ilmu kebatinan, jadi bapak
mengerti cara-cara untuk membahagiakan orang. Bener lho Nem, nanti
setelah kena air tadi kamu akan merasa bahagiaa sekali". katanya
tersenyum.
Suminem tentu saja semakin kesal: "bahagia bagaimana to Pak?" tanyanya:
"Wong sudah mbasahin baju nggak bilang-bilang, masih juga mbujuk-mbujuk
segala."pak Kasno katanya hanya tersenyum senyum saja dan menjawab:
"wong bocah cilik, durung ngerti (belum mengerti) roso kepenake wong
lanang (rasa enaknya laki-laki) Nduk, nduk, nanti saja kamu kan tahu"
dan dengan bicara begitu si hidung belang ngeloyor pergi.
Setelah kejadian itu "Pikiran saya jadi bingung, mbah" cerita Suminem:
"setiap malam saya menjadi terbayang wajahnya Pak Kasno, sepertinya dia
itu mau menerkam saya saja" dia bergidik ngeri: "malah saya sampai
mimpi.." Dia tidak melanjutkan. Aku pura-pura menghela napas penuh
simpati. Sebenarnya, kalau saja yang bicara ini bukan gadis sebahenol
Suminem pasti aku sudah menyuruhnya angkat kaki. Bosen. Tapi melihat
anak secantik ini, waduh, kok tiba-tiba.. rasanya ada yang
berteriak-teriak di balik celanaku..
Jangkrik tenan, pikirku. Rasanya aku mulai terangsang pada gadis ini.
"Teruskan Nduk" kataku penuh wibawa: "kamu mimpi apa?"
Suminem menggigil. Suaranya tersendat-sendat: "aduh mbah, nyuwun sewu,
mbah, saya lingsem (malu) banget.." Wah, ini dia. Dengan gaya kebapakan
(kok sama dengan ceritanya soal si hidung belang Kasno itu?), aku
berdiri dan mendatangi dia, duduk di sebelahnya dan memeluk pundaknya.
Lembut dan hangat. Nafsuku tambah naik: "wis, wis" kataku menenangkan:
"ora susah bingung. Ceritakan saja. Si mbah ini siap mendengarkan kok".
Akhirnya setelah mengatur napas, Suminem melanjutkan: "anu.., saya
sering mimpi, lagi di anu sama Pak Kasno. Bolak balik mbah, bahkan
hari-hari terakhir ini rasanya semakin sering". Aku berusaha menahan
tawa: "dianu kuwi opo karepe (apa maksudnya) to Nduk?" dia tampak
semakin malu: "ya itu lho mbah..seperti katanya kalau suami istri lagi
dolanan (bermain) di kamar itu lho.. katanya mbak-mbak saya seperti
itu". Waa..nafsuku semakin meningkat tajam. Tambah kugoda lagi (meskipun
tetap dengan mimik muka serius, bahkan penuh belas kasihan): "coba to
ceritakan yang jelas, seperti apa yang dilakukan si Kasno dalam mimpimu
itu?"
Akhirnya si Suminem ini tampaknya berhasil menguatkan hatinya. Suaranya
lebih mantap ketika menjelaskan: "pertamanya. Saya ngimpi Pak Kasno
berdiri di depan saya, wuda blejet (telanjang bulat). Terus, saya
tiba-tiba juga wuda blejet, terus.. Pak Kasno memeluk saya, menciumi
saya, di bibir dan di badan juga.." dadanya naik turun, seakan sesak
membayangkan impiannya yang luar biasa itu.
Aku semakin panas mendengar ceritanya itu: "apanya saja yang dia cium,
Nduk?" tanyaku. Suminem tampak malu "di sini, Mbah" katanya sambil
menunjuk buah dadanya: "di cium dan disedot kanan kiri, bolak balik.
Terus ke bawah juga.." Ke bawah mana, tanyaku: "ke..ini Mbah, aduh,
lingsem aku. Ke ini, tempat pipis saya. Di ciumi dan dijilati juga.."
dia semakin menunduk malu. Suaranya terhenti. Nah, tiba-tiba ada pikiran
licik di otakku. Segera aku bertindak.
"KASNO KEPARAT!" teriakku tiba-tiba. Aku meloncat berdiri, diikuti si
Suminem yang juga terlonjak kaget mendengar bentakanku: "Mbah.. Mbah..
kenapa Mbah?" tanyanya bingung.
Bersambung...
No comments:
Post a Comment