Aku sekarang berdiri di depannya, tanganku memegang pundaknya. Suaraku
penuh ketegasan tetapi juga bernada kuatir: "Nduk, Nduk, kamu dalam
bahaya besar. Si kasno itu pasti sudah nggendam (menyihir) kamu. Mimpimu
itu baru permulaan dari ilmu gendamnya. Setelah ini kamu akan semakin
terbayang pada wajahnya, sampai lama-lama kamu tidak akan bisa berpikir
lain selain mikirin dia. Lalu, dia tinggal menguasaimu saja.."mataku
mendelik: "mesakake banget (kasihan sekali) kowe Nduk.." si Suminem
tampak sekok (shock) berat mendengar ucapanku yang meluncur seperti
senapan mesin itu: "terus bagaimana Mbah, tolong saya Mbah.." katanya
seperti orang setengah sadar.
Aku menghela napas panjang, menggeleng-gelengkan kepala: "berat, Nduk.
Aku bisa menolongmu, tetapi itu sangat berbahaya. Bisa-bisa ilmu
gendamnya berbalik kepadaku. Bisa mati aku." Kulihat matanya membelalak
penuh kengerian: "jadi.. lalu bagaimana Mbah? Apa yang harus saya
lakukan?" tanyanya dengan suara bergetar. Aku sekarang memeluknya (aduh,
badannya betul betul bahenol. Kenyal dan hangat): "ya sudah Nduk, aku
kasihan kepadamu" kataku kebapakan: "aku akan mencoba menolongmu, dengan
sepenuh ilmuku. Pokoknya, kamu harus mau nglakoni (melaksanakan) semua
perintahku, ya Nduk. Kamu bersedia ya Nduk?" kurasakan tubuh dalam
pelukanku itu bergetar. Kudengar ia terisak pelan: "matur nuwun sanget
Mbah.. saya sudah ndak bisa mikir lagi.."
Kulepaskan pelukanku. Sekarang suaraku berubah penuh wibawa: "sekarang,
untuk menghilangkan ilmu hitam itu, kamu harus nglakoni persis sama
dengan mimpimu itu" kataku: "buka bajumu, Nduk". Ku lihat matanya
terbeliak heran, tetapi segera meredup dan dia menghela napas: "inggih
Mbah, sakkerso (terserah) kulo nderek kemawon (saya ikut saja)". Dan
dengan cepat ia membuka kaos T-shirtnya, meletakkan di kursi. Aku
menelan ludah. Branya putih, berkembang-kembang. Buah dadanya putih
sekali, menggelembung di belakang bra yang tampak agak kekecilan
itu.(baru 14 tahun kok sudah besar banget ya? Pikirku. Jangan jangan
anak ini kebanyakan hormon pertumbuhan).
Sekarang ia membuka roknya, merosot di lantai. Ia berdiri di depanku,
tetap dengan sangat hormat. Tangannya ngapurancang di depan celana
dalamnya. Dia memandang padaku dengan polos: "Sudah, Mbah" katanya. Aku
mendeham: "belum Nduk" kataku: "Aku bilang semuanya. Buka juga pakaian
dalammu. Ilmuku nggak bisa masuk kalau bagian tubuhmu yang diciumi si
bangsat itu masih terhalang kain". Suminem tampak sangat bingung, hampir
semenit dia berdiri terpaku dengan berkata apapun. Tetapi akhirnya dia
menghela napas, dan mengulangi perkataannya tadi: "inggih Mbah, kulo
nderek" dan dengan cepat ia membuka kaitan branya, dan sebelum kain itu
jatuh ke lantai dia melanjutkan membuka celana dalamnya. Sekarang dia
benar-benar wudo blejet (telanjang bulat) di depanku.
Nah pembaca, karena cerita ini adalah untuk konsumsi xxx, maka saya
wajib menceritakan detail mengenai sosok indah di depanku ini. Si
Suminem ini sangat cantik (kok agak mirip aktris Dian Nitami ya?) kalau
tinggal di Jakarta dia pasti sudah jadi rebutan cowok atau masuk jadi
bintang sinetron. Tubuhnya tidak terlalu tinggi (mungkin 158 cm),
kulitnya sungguh halus, kuning agak keputih-putihan. Buah dadanya segar
mengkal dengan puting berwarna coklat kemerahan, terlihat agak menonjol
ke luar. Pinggangnya bagus, meskipun agak sedikit gemuk di perut.
Pahanya juga sangat mulus meskipun agak sedikit buntek (nggak
apa-apalah..nobodies perfect kata orang Inggris). Nah, di bawah
perutnya, di selangkangannya terlihat segundukan kecil sekali bulu-bulu
kemaluan, pas dan cocok dengan usianya yang baru 14 tahun. Bulu-bulu itu
belum mampu menutupi belahan kemaluannya yang berwarna kemerahan,
tampak agak nyempluk (menonjol) ke depan.
Haduuh biyuung.. aku terangsang berat. Kukedip-kedipkan mataku, dan
berkali kali aku menarik napas dalam-dalam untuk mengontrol nafsuku.
Dengan gerakan ditenang-tenangkan aku mengambil gelas dan mengisinya
dengan air kembang dari baskom di mejaku. Aku mendekati dia: "bagian
mana yang diciumi si Kasno dalam mimpimu itu, Nduk?" tanyaku. Ia tampak
berpikir sebentar, dan kemudian meunjuk bibirnya: "ini Mbah, saya di sun
di bibir", katanya. Tanpa ragu-ragu aku mencipratkan air dalam gelas
itu ke bibirnya. Aku kemudian menunduk ke bawah, mulutku berkomat-kamit
(sebenarnya aku tidak membaca mantera, cuma mengitung satu tambah satu
dua, dua taMbah dua empat dan seterusnya dengan cepat). Kemudian aku
menghela napas dan berkata: "aku juga harus melakukan yang sama Nduk.
Supaya ngelmu hitamnya bisa kesedot keluar". Dan tanpa minta ijin lagi,
kuseruduk mulutnya dan kucium dengan nafsu berat.
Kurasakan si Suminem berdiri kaku seperti kayu, tampak sangat kaget
dengan seranganku itu. Mulutnya terkunci rapat sehingga bibirku tidak
menyentuh bibirnya sama sekali. Aku jadi kesal: "buka mulutmu Nduk,
terima saja. Jangan takut, memang supaya melawan ilmu hitam ini lakunya
harus begitu", ia tersengal sengal: "Ing..inggih Mbah.." Katanya. Dan
dengan canggung dia membuka mulutnya. Sekarang aku menciumnya lagi, kini
dengan lembut. Tidak ada perlawanan. Kulumat bibirnya, dan kusedot ke
luar. Lidahku masuk ke dalam rongga mulutnya, bergerak ke kiri kanan
tetapi tidak mendapat respons dari lidahnya. Tampaknya ia masih sangat
kaget dan bingung dengan tindakanku ini.
Akhirnya, setengah kecewa, kulepaskan ciumanku. Harus ada cara supaya
dia terangsang, pikirku. Aku bertanya: "mana lagi Nduk, yang dicium si
Kasno?", Suminem sekarang menunjuk belakang telinganya, dan jarinya
turun menyelusur leher: "di sini Mbah.." katanya. Sekali lagi aku
memercikkan air bunga dari gelas ke bagian yang ditunjuknya, dan
mendekatkan mulutku ke belakang telinganya. Kucium pelan-pelan, dan
kupermainkan dengan lidahku. Tenang, jangan terburu nafsu, pikirku.
Kalihkan ciuman dan gesekan lidahku ke lehernya yang mulus. Kukecup
kecup halus. Aku merasakan napasnya mulai naik. Nah, ini dia. Dia mulai
terangsang.
"Bagaimana rasanya, Nduk?" bisikku. Dia tidak menjawab, tetapi napasnya
semakin menaik: "hegh..eemmh.." erangnya. Dan tiba-tiba dia menjauh
dariku. Wajahnya menunduk ke bawah: "kenapa?" tanyaku: "kamu rasa sakit
ya Nduk? pusing?" tanyaku penuh kebapakan. Dia menggeleng: "a..anu
Mbah.. rasanya keri (geli) sekali..". Aku pura pura tertawa lega: "naah,
kalau kamu nggak rasa sakit, cuma geli saja, artinya ilmunya memang
belum masuk terlalu dalam. Syukurlah. Sekarang Mbah teruskan ya. Mana
lagi yang di cium si kasno?" sekarang dia menunjuk buah dadanya: "di
susuku ini Mbah, dicium bergantian, kiri kanan.." Nah, ini dia.
Kupicratkan air kembang ke buah dadanya, dan dengan lagak sok yakin
kupegang kedua bukit indah itu. Sekali lagi aku menunduk ke bawah, mulai
komat-kamit membaca mantera matematikaku. Aku tampak sangat serius,
meskipun sebenarnya aku sekuat tenaga berusaha mengendalikan nafsuku
yang sudah tidak ketulungan berkobarnya.
Akhirnya aku menundukkan kepalaku: "harus kusedot, Nduk. Di sini
manteranya kuat sekali. Si Kasno bangsat itu sudah masuk dalam sekali ke
tubuhmu." Kulihat ia mengangguk, mekipun tampak masih sangat ragu.
Pertama kukecup buah dada kirinya, merasakan kelembutan kulitnya yang
sangat halus. Kecupanku berputar melingkar, hingga bagian bawah susu
yang mengkal itupun tak luput dari kecupanku. Akhirnya aku berhenti di
putingnya, kupermainkan sedikit dengan lidahku dan akhirnya kukulum
dengan lembut. Mulutku menyedot-nyedot barang indah itu dengan bernafsu,
dan lidahku menari-nari di putingnya. Kurasakan puting itu semakin
membesar dan mengeras. Sedangkan jari tangan kananku terus meremas remas
dada kanannya, mempermainkan putingnya secara berirama sama dengan
irama gerakan lidahku di puting kirinya.
Nah, akhirnya pertahanan si genduk Suminem bobol juga. Tubuhnya yang
tadinya kaku seperti kayu, sekarang terasa melemah. Tangannya memegang
kepalaku, tanpa sadar mengelus elus rambutku yang gondorong. Mulutnya
mendesis-desis dan menceracau pelan: "Mbah..aduuh Mbah.. jangan.. gelii
sekali.. aduuhh.." tetapi aku tidak perduli lagi. Tubuh Suminem terasa
bergoyang- goyang, semakin lama semakin keras. Kupindahkan kulumanku ke
puting kanannya. Aku melihat ke atas, kulihat kepala Suminem menunduk
dalam-dalam sementara tangannya tetap memegang kepalaku. Matanya
tertutup rapat dan mulutnya juga terkatup rapat. Ekspresinya seperti dia
sedang mengejan atau menahan sesuatu yang sangat nikmat.
Horee, aku berhasil! teriakku dalam hati. Jelas dia kini juga terangsang
berat. Semakin asyik saja nih, pikirku. Kini kulepaskan hisapanku di
susunya dan bertanya (pasti suaranya sudah tidak tampak berwibawa lagi,
tapi penuh nafsu): "terus, habis cium susumu, dia cium lagi di sini ya?"
tanyaku, sambil menunjuk pada kemaluannya: "i.. iya Mbah.." katanya
bergetar: "di pipis saya.. dicium terus dijilatin".
Aku mengangguk pura pura maklum, dan menghela napas seperti sedih dan
terpaksa: "ya sudah Nduk, karena begitu ya supaya pengaruh setannya
hilang, Mbah juga terpaksa harus melakukan yang sama. Coba kamu duduk di
meja ini". Kataku sambil membimbingnya duduk di meja praktekku. Dengan
canggung dia menurut: "buka lebar-lebar kakimu Nduk" kataku. Dia tampak
bingung sehingga harus kubantu. Kubentangkan paha kiri dan kanannya
sehingga dia duduk mengangkang di mejaku. Kini tampaklah kemaluannya
dengan jelas, kemaluan anak ABG yang baru ditumbuhi sedikit rambut.
Warnanya kemerahan dan sangat merangsang. Jelas ini tempik (istilah khas
daerahku) yang belum pernah dijamah laki-laki. Mataku berkunang-kunang
karena nafsu.
Sekarang aku mengambil kursi, meletakkan tepat di depannya. Aku duduk di
kursi itu dan mencondongkan tubuhku ke depan, sehingga wajahku sekarang
berhadapan langsung dengan kemaluannya, hanya berjarak sekitar sepuluh
sentimeter. Bau khas kemaluan perempuan menyebar dan tercium hidungku.
Aku menelan ludah: "agak naikkan bokong (pantat)mu Nduk, supaya Mbah
gampang nyiumnya" perintahku. Kini dia menuruti dengan patuh, mengangkat
pantatnya sehingga kemaluannya semakin lebar terbuka di depan wajahku.
Dengan lembut kugosok-gosok mahkota wanita itu dengan tanganku, ke atas
ke bawah dan sebaliknya. Kuremas-remas halus bulu-bulunya yang jarang,
dan akhirnya kukecup kelentitnya dengan bibirku.
"Aaggh.." Suminem mengerang (mana ada sih cewek yang kuat kalau
dibegituin?). aku semakin menggila. Kukecup-kecup kemaluannya dengan
gemas, dari bagian atas hingga bawah, lidahku menyelusuri belahan
kemaluannya dan menerobos bagian dalamnya yang berwarna merah muda dan
basah. Tubuhnya semakin menggelinjang. Napasnya terdengar semakin
memburu. Akhirnya kecupan dan jilatan lidahku berhenti di kelentitnya.
Kukecup-kecup terus kelentit yang tampak semakin membesar itu, dan
akhirnya kuhisap dengan kuat. Sambil menghisap, lidahku tetap dengan
aktif menjilati kelentit itu sementara tanganku terus mengelus elus
daerah bawah kemaluannya, kadang-kadang jariku menyelusup ke lobang
kemaluannya yang terasa semakin lama semakin basah.
Suminem sama sekali sudah lepas kontrol. Erangannya semakin keras
(untung saja suara TV di luar sangat keras dengan lagu dangdut,
moga-moga erangannya tidak ada yang mendengar). tubuhnya berkelojotan ke
kiri ke kanan, tangan kanannya menumpu ke meja sedangkan tangan kirinya
memegang kepalaku. Di remas-remasnya rambutku dan setiap kali kepalaku
agak merenggang, ditekannya lagi ke kemaluannya.
Jangkrik, pikirku. Aku hampir tidak bisa bernapas. Tetapi bagaimanapun
suasananya sangat asyik. Aku semakin tenggelam dalam permainan yang
penuh nafsu ini. Kusungkupkan kepalaku semakin dalam di selangkangannya.
Tidak kupedulikan lagi bahwa kursi dan meja reyot yang kami gunakan
semakin kuat bergoyang dan berderak-derak. Sampai akhirnya: "aakhh..
ad..uuh.. mbaah.. aku..aa.." jeritan yang entah apa artinya itu meluncur
keluar dari mulut si bahenol, diikuti dengan semprotan cairan dari
lobang kemaluannya. Basah dan hangat, sebagian menempel di dagu dan
jenggotku.
Akhirnya kuangkat kepalaku dari kemaluannya, dan kucium dahinya yang
menunduk dengan napas tersengal-sengal. Aku berbisik: "piye, Nduk? Kamu
sudah merasa enakan sekarang?" dia mengangguk: "i..iya Mbah.. enakan
sekarang.." aku hampir ketawa. Goblok juga anak ini, sudah sekian jauh
belum juga sadar kalau aku kerjain. Sekarang sampailah pada tahap
selanjutnya, pikirku.
Tanpa basa basi aku melepaskan jubahku dan celana dalamku. Kulihat
wajahnya yang tadinya menunduk sayu sekarang terangkat, matanya
membeliak melihat aku sudah telanjang bulat di depannya. Aku harus akui
kalau badanku cukup atletis (wajahku juga nggak jelek-jelek amat lho,
terutama kalau janggut professionalku ini dicukur). Batang kemaluanku
(istilah di daerahku: kontol) lumayan besar, dan selalu jadi kekaguman
cewek-cewek yang pernah main seks denganku.
Bersambung...
No comments:
Post a Comment