Mbah melihat dari pipismu tadi, ternyata ilmu gendamnya si Kasno sudah
masuk dalam sekali ke dalamnya. Mbah sudah coba sedot sedot tadi, tidak
mau keluar juga. Berbahaya sekali Nduk, nanti kalau dibiarkan jadi
ngabar (menguap) masuk ke pembuluh darahmu, bisa mati kowe. Mbah harus
mencoba cara yang lebih kuat. Agak sakit mungkin Nduk, nggak apa-apa
ya?" kataku penuh rasa sayang dan kasihan. Kuelus rambutnya yang
sekarang tampak awut-awutan. Dia mengangguk, mengulang lagi kata-katanya
yang bego tadi: "inggih Mbah, kulo nderek kemawon..". Aku
mengangguk-angguk: "anak baik. Kasihan sekali kowe Nduk".
Sekarang aku mengangkat tubuhnya yang sudah lemas dari atas meja, dan
dengan lembut membimbingnya ke dipan yang ada di sudut. Kubaringkan
tubuh bugil yang sudah lemas itu, dan dengan hati-hati kulebarkan
kakinya. Kini dia terbaring mengangkang, kemaluannya terbuka lebar
seakan siap menerima segala kenikmatan duniawi. Aku duduk berlutut,
kemaluanku sudah tegang betul dan kini terarah ke lobang kemaluannya.
Kugesek-gesek kepala jagoanku ke kelentitnya. Dia mengerang pelan,
matanya tertutup rapat. Kurendahkan tubuhku, kini aku telungkup di atas
badannya. Kukecup bibirnya dengan lembut: "sudah siap, ya Nduk. Agak
sakit, ditahan saja. Pokoknya Mbah usahakan kamu jadi sembuh betul". Dia
mengangguk, tidak membuka matanya: "inggih Mbah" desisnya lirih.
Kini aku memegang batang kemaluanku, dengan sangat hati-hati
menusukkannya ke kemaluan si Suminem yang masih basah kuyup bekas
hisapanku tadi. Satu senti..dua senti.. tiga senti.. sempit sekali.
Suminem mengerang: "ss.. sakit Mbah.." tampak wajahnya mengernyit
kesakitan. Tangannya memegang dan meremas lenganku. "Tenang
Nduk..tenang.. tahan sedikit.. nanti lama-lama sakitnya hilang, berganti
rasa enak".
Aku harus mengakui, inilah lobang kemaluan ternikmat yang pernah
kurasakan. Sebelumnya aku hanya bisa bermain dengan pelacur-pelacur,
atau paling banter dengan si Jaetun janda muda yang gatel di desa
sebelah. Semuanya sudah melongo lubangnya, sama sekali tidak enak.
Tetapi yang ini, sungguh lezat, legit dan super sempit. Dasar perawan..
kutekan agak keras kemaluanku, diikuti dengan teriakan Suminem:
"aauuwww.. saakiit Mbah.." aku cepat-cepat melumat bibirnya, agar
teriakannya tidak berkembang menjadi raungan..
Sekarang dengan cepat dan akhli aku menekan kemaluanku, sekalian saja
sakitnya pikirku. Dan..bless..masuklah seluruh kemaluanku ke dalam
lobang memeknya. Tubuh Suminem terlonjak di bawahku, tangannya meremas
lenganku sangat keras. Matanya terbeliak, tetapi mulutnya tidak bisa
memekik karena tersumpal bibirku. Aku diam sejenak, menunggu lonjakannya
hilang.
Akhirnya dia diam, hanya napasnya masih tersengal-sengal. Sekarang,
setelah semua tenang, kulepaskan ciumanku: "masih sakit, Nduk?" dia
mengangguk: "tapi lama-lama nggak perih kan?" dia mengangguk lagi. Lugu
betul anak ini: "Mbah terusin ya? tidak lama lagi kok". Sekali lagi dia
mengangguk. Kugoyangkan pantatku lagi pelan-pelan, tidak ada respon
penolakan darinya. Kogoyangkan lagi semakin kuat, dan tanganku mulai
menggerayang memainkan puting susunya. Dia mengeluh. Dia merengek. Jelas
si Suminem ini mulai menikmati permainan ini. Pinggulnya mulai ikut
bergoyang, meskipun agak kaku.
Aku tidak berani merubah posisiku ini, takut kalau dia kesakitan lagi.
Goyanganku juga kuusahakan seteratur mungkin, tidak terlalu cepat juga
tidak terlalu lambat. Malah goyongannya yang semakin lama semakin tidak
teratur. Kepalanya bergoyang ke kiri dan ke kanan, mulutnya
mendesis-desis dan tangannya mencengkeram erat lenganku. Matanya
terpejam dan raut wajahnya menampakkan campuran kesakitan dan kenikmatan
yang sangat.
Dipan bobrok ini mulai terdengar berkeriet-keriet. Akhirnya terdengar
proklamasi si Suminem, persis seperti tadi: "aakhh.. ad..uuh.. mbaah..
aku.. aa.." dan kurasakan cairan menyemprot di lobang kemaluannya.
Akhirnya kepalanya terkulai lemas ke kiri (sejak kami mulai main tadi,
matanya terus terpejam). Aku mengutuk dalam hati. Jangkrik, aku sendiri
belum keluar nih. Kuperkuat genjotanku, kufokuskan pikiranku pada
kenikmatan yang kualami sekarang ini. Kuremas-remas susunya semakin
kencang. Dan akhirnya kurasakan desakan dalam kemaluanku, desakan yang
sudah sangat kukenal. Aku sudah mau orgasme.
Tetapi aku tidak ingin mengakhiri permainan ini begitu saja. Kukeluarkan
tembakan terkhirku: "Nduk, Nduk, Mbah rasa ajiannya si Kasno sudah
berhasil Mbah hilangkan. Tetapi kau harus meminum ajian dari tubuh Mbah
ya? supaya kamu kebal terhadap segala ngelmu hitam macam ini". kataku
tersengal-sengal. Suminem hanya mengangguk saja, matanya tetap terpejam.
Melihat tanda persetujuan itu, aku segera mencopot kemaluanku dari
memeknya, begitu cepat sehingga terdengar suara, "plop". Aku segera
mengangkang di atas tubuhnya, batang kemaluanku kuarahkan ke mulutnya:
"ini Nduk" kataku. Tangan kananku mengangkat kepalanya yang terkulai,
sedangkan tangan kiriku terus mengocok batanganku.
Mata si Suminem membuka malas, melihat senjataku bergelantung di depan
wajahnya. Aneh, Dia tidak tampak kaget lagi (mungkin lama-lama dia sudah
biasa?) dia menggumam malas: "mana obatnya Mbah? sini biar aku minum."
Aku mendesah penuh nafsu: "ini Nduk, obatnya ada dalam burung Mbah ini.
Minumlah" kataku. Suminem menjawab dengan malas, seperti orang setengah
sadar: "dihisep dulu Mbah? Sini gih. Biar cepet selesai". Dan tanpa
bertanya lagi, dia memegang kontolku dan memasukkan ke mulutnya. Waduh,
hebat banget si geNduk ini.
Meskipun tetap dengan gaya malas, seperti setengah sadar, dia mulai
menyedot nyedot kemaluanku dan lidahnya secara reflek juga
bergerak-gerak menyelusuri batang kontolku. Aku bergetar hebat.
Kutelungkupkan tubuhku di atas tubuhnya, dan kugoyangkan pinggulku
sehingga kemaluanku bergerak keluar masuk mulutnya. Rasanya bahkan lebih
nikmat daripada bersetubuh biasa. Beberapa kali tanpa sengaja gigi
Suminem bergesekan dengan kemaluanku, membuat kenikmatan yang kurasakan
semakin melambung.
Kupercepat goyanganku, tetapi tetap menjaga agar dia tidak sampai
tersedak. Akhirnya tekanan dalam kemaluanku tidak dapat kutahan lagi:
"Nduk, ini Nduk.." erangku: "telan semua ya" dan croot.. muncratlah air
maniku ke dalam mulutnya. Kurasakan hisapan dan jilatannya berhenti. Dua
kali lagi aku menyemprotkan maniku di mulutnya, semuanya tampak
tertelan (karena posisinya terlentang, jadi tidak ada yang terbuang
keluar).
Kudiamkan posisi ini agak lama, sampai kurasakan kemaluanku mulai
mengecil dan akhirnya lepas sendiri dari mulutnya. Aku berguling ke
samping, kulihat Suminem tetap telentang dengan mata tertutup. Bibirnya
yang seksi kini tampak berlepotan air mani, tampaknya masih ada maniku
yang tertahan di mulutnya dan belum tertelan. Aku bangun dan mengambil
gelas berisi air kembang tadi, dan menyodorkan kemulutnya dengan lembut:
"minum Nduk, minum. Biar semua obat Mbah masuk ke badanmu. Ini air
kembang juga berkhasiat kok." Dia menurut dan meneguk habis air itu.
Akhirnya kubimbing dia berdiri, dan kubantu dia memakai bajunya. Aku
juga memakai bajuku. Kami sama sekali tidak bicara saat itu.
"Bagaimana Nduk? Apakah kamu sudah merasa enakan?" dia diam saja.
Tangannya menyisir rambutnya, dan membetulkan bajunya yang awut-awutan.
Kuelus rambutnya.
"Mbah, apakah pasti saya sudah sembuh?" tanyanya dengan suara bergetar.
Aku mengangguk: "pokoknya, semua sudah beres. Tadi Mbah itu
mempertaruhkan nyawa Mbah lho. Kalau gagal tadi pasti ilmu hitamnya si
Kasno berbalik menghantam Mbah. Untunglah semua sudah berakhir."
Dia mengangguk, wajahnya tetap menunduk: "matur nuwun, Mbah." Katanya:
"Berapa saya harus bayar Mbah?" aku tergelak: "wis, wis, bocah ayu, Mbah
nggak minta bayaran kok. Bisa menyembuhkan kamu saja Mbah sudah
bersyukur banget." Kulihat bibir si Suminem tersenyum halus, mengangguk
dan meminta ijin pulang. Kubuka pintu kamarku dan aku memanggil salah
satu tukang ojek yang mangkal untuk mengantarkannya pulang. Dalam
beberapa detik, tubuh bahenol Suminem hilang tertelan kegelapan malam.
Aku menghela napas dan masuk kembali ke kamar. Tiba-tiba aku tertegun.
Lha, kok aku sampai tidak menanyakan si Suminem itu tadi siapa ya?
karena sudah terbelit nafsu aku sampai tidak menanyakan pertanyaan
pertanyaan standar seorang dukun: rumahmu dimana, bapakmu siapa..
Ah, aku menggeleng. Rasanya aku tidak pernah lihat dia sebagai warga
sekitar sini. Mungkin dia dari Wonolayu, desa sebelah sana. Biarin saja.
Aku masuk kamar praktekku, dan segera menggelosor di dipan yang tadi
kugunakan untuk bercinta dengan Suminem. Dalam beberapa menit aku
terlelap. Entah berapa jam aku tertidur, ketika sayup-sayup kudengar..
TOK..TOK..TOK..
"Bangun, Darmanto bangsat! bangun!" suara yang sayup-sayup tadi kini
menjadi semakin jelas seiring dengan meningkatnya kesadaranku. Dengan
terseok-seok aku berdiri dan menuju pintu, membukanya dengan malas. Baru
pintu kubuka sedikit, tiba-tiba.. bruuk..seorang laki-laki tinggi besar
menyerbu masuk, dan tanpa basa-basi tangannya menampar pipiku. Aku
mengaduh dan terbanting ke lantai. Waktu aku melihat siapa si pembuat
onar itu, kulihat Mas Darmin, blantik (pedagang sapi) tetanggaku, sedang
berdiri dengan mata merah dan berapi-api. Tubuhnya yang tinggi besar
dan berkumis melintang (dia memang keturunan warok Ponorogo) tampak
sangat menyeramkan.
Aku berteriak keheranan: "mas.. Mas Darmin.. ada apa ini? kok tiba-tiba kesetanan kayak gini?"
Mas Darmin balas berteriak, matanya semakin mendelik: "kesetanan
gundulmu.. kamu yang kemasukan setan! apa yang kamu lakukan kemarin
malam, Dar? ayo ngaku!!". aku semakin bingung: "yang apa to mas? aku ora
ngerti." Si warok itu tampak semakin marah: "kemarin malam! si Suminem!
Sumineemm! kamu apakan dia?"
Wah, aku jadi kaget. Suminem itu apanya dia? kalau anak tidak mungkin,
aku tahu Mas Darmin cuma punya dua anak laki-laki: "si Suminem itu
apanya mas?" tanyaku. Mas darmin berteriak marah: "kuwi ponakanku, bedes
(monyet)! semalam dia datang ke rumah, katanya baru ke kamu terus
karena kemalaman dia takut pulang ke rumahnya di Wonolayu. Di rumah dia
nangis-nangis, katanya pipisnya sakit sekali. Waktu dilihat mbakyumu,
celana dalamnya ternyata basah oleh darah. Walaah..dia akhirnya ngaku
semua apa yang kamu lakukan. Iyo tho? ayo ngaku, bedes!" dan dengan
berkata begitu ia menubruk lagi tubuhku. Satu bogem mentah kembali
melayang ke pipiku. Aku berteriak kesakitan.
Aku hanya bisa meratap: "mas.. mas.. ampun mas, aku tidak mau kok
sebetulnya..si Suminem yang memaksa.." aku coba membela diri sebisanya.
Mendengar itu, Mas darmin jadi semakin marah: "opo jaremu (apa katamu)?
Si Suminem yang minta? kamu kira keluargaku kuwi keluarga perek opo?
pikirmu si Suminem kuwi bocah nakal tukang goda wong lanang? weehh..
kurang ajar kowe Dar. Bangsat! asu! kucing! wedus! bedes!" dan sambil
mengeluarkan perbendaharaan nama segala jenis binatang yang ada dalam
kepalanya, Mas Darmin kembali menendang tubuhku yang sedang menggelosor
pasrah di lantai. Dan dengan ngeri kulihat tangannya mulai menarik pecut
(cemeti) yang melingkar di pinggangnya, pecut yang biasa dia gunakan
kalau lagi akan jualan sapi. Aku semakin meringkuk: "ampuun maas.."
rengekku.
Dalam suasana yang sangat genting itu, tiba-tiba beberapa orang
menerobos masuk. Aku melihat Pak Sitepu, ketua RW kami yang langsung
memeluk Mas Darmin yang lagi kesetanan: "sudah..sudah mas.. mati pula
dia nanti.. tenang sajalah kau.." katanya dengan logat batak yang
kental. Seorang lagi yang menerobos masuk adalah seorang polisi. Dia
membantuku berdiri dan dengan formal berkata: "Bapak Darmanto, saya
menahan bapak atas tuduhan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur. Saya
minta bapak ikut saya ke polsek sekarang juga." Aku hanya mengangguk
mengiyakan. Kulihat di belakangnya bapak dan ibuku, yu Mini dan
keluargaku yang lain melihat semua adegan dahsyat itu dengan melongo
tanpa bisa berkata apa-apa.
Mas Darmin terus berteriak-teriak: "Ya, Pak polisi.. cepet saja
ditangkap si bedes ini. Daripada nanti kalau lepas bisa kalap aku. Tak
cacah dagingmu, tak jadikan rawon! tak jadikan sop! tak jadikan
rendang..!" sekarang dia mengancam dengan segala jenis masakan yang dia
ingat. Aku menghela napas. Dengan gontai aku mengikuti Pak polisi itu,
keluar rumahku. Di depan rumah ternyata ada puluhan orang lain yang
sudah berkumpul, para tukang ojek yang mangkal, tetangga, dan
orang-orang lain. Semuanya melongo melihatku.
Dari dalam masih kudengar teriakan Mas Darmin, menyebut segala jenis
makanan yang rencananya akan mempergunakan dagingku sebagai bahan
lauknya: "tak jadikan sate! tak jadikan opor!". seorang tetanggaku
berteriak mengejek: "entek nasibmu (habis nasibmu) Dar! makanya kalau
hidup jangan hanya ngurusi kontol thok!".
TAMAT
No comments:
Post a Comment