Cerita ini bermula ketika aku berumur 32 tahun, aku waktu itu sudah
bekerja sebagai kepala bagian di sebuah perusahaan BUMN, penghasilanku
lebih dari cukup. Apapun bisa kupenuhi, hanya satu yang belum dapat
kuraih, yaitu kebahagiaan keluarga, atau dengan kata lain punya istri
dan punya anak. Aku hidup sebagai bujangan, kadang untuk memenuhi hasrat
biologisku, aku mencarter wanita malam yang kesepian.
Ketika itu aku masih kost di kota A, kota yang indah dan tidak terlalu
ramai, sebab di kota A itulah aku bekerja. Aku kost di rumah seorang ibu
muda dengan satu anak gadisnya. Sebut saja ibu muda itu adalah Tante
Linda, dan anak gadisnya yang masih 12 tahun usianya dan duduk di bangku
SMP kelas 1, namanya Lia. Suami Tante Linda, sebut saja Oom Joko
bekerja di ibukota, di suatu instansi pemerintah, dan mempunyai jabatan
strategis. Setiap 2 minggu sekali, Oom Joko pulang ke kota A, aku
sendiri cukup akrab dengan Oom Joko, umurku dengannya tidak terlalu
terpaut jauh. Oom Joko aku taksir baru berumur sekitar 35 tahun,
sedangkan Tante Linda justru lebih tua sedikit, 37 tahun. Aku menyebut
mereka Oom dan Tante, sebab walaupun beda umur antara aku dan mereka
sedikit, tetapi mereka sudah berkeluaga dan sudah punya seorang anak
gadis.
Tante Linda merupakan seorang sekretaris di sebuah perusahaan otomotif
di kota B yang jaraknya tidak begitu jauh dari kota A. Tante Linda
berangkat pagi dan pulang malam, begitu seterusnya setiap harinya,
sehingga aku kurang begitu dekat dengan Tante Linda. Justru kepada anak
gadisnya yang masih SMP yang bernama Lia, aku merasa dekat. Sebab pada
hari-hari kosongku, Lia lah yang menemaniku.
Selama tinggal serumah dengan Tante Linda dan anak gadisnya, yaitu Lia,
aku tidak pernah berpikiran buruk, misalnya ingin menyetubuhi Tante
Linda atau yang lainnya. Aku menganggapnya sudah seperti kakak sendiri.
Dan kepada Lia, aku juga sudah menganggapnya sebagai keponakanku sendiri
pula. Sampai akhirnya ketika suatu hari, hujan gerimis rintik-rintik,
pekerjaan kantor telah selesai aku kerjakan, dan saat itu hari masih
agak siang. Aku malas sekali ingin pulang, lalu aku berpikir berbuat apa
di hari seperti ini sendirian. Akhirnya aku putuskan meminjam kaset VCD
Blue Film yang berjudul Tarzan X ke rekan kerjaku. Kebetulan dia selalu
membawanya, aku pinjam ke dia, lalu aku cepat-cepat pulang. Keadaan
rumah masih sangat sepi, sebab Lia masih sekolah, dan Tante Linda
bekerja. Karena aku kost sudah cukup lama, maka aku dipercaya oleh Oom
Joko dan Tante Linda untuk membuat kunci duplikat. Jika sewaktu-waktu
ada perlu di rumah, jadi tidak harus repot menunggu Lia pulang ataupun
Tante Linda pulang.
Aku sebetulnya ingin menyaksikan film tersebut di kamar, entah karena
masih sepi, maka aku menyaksikannya di ruang keluarga yang kebetulan
tempatnya di lantai atas. Ah.. lama juga aku tidak menyaksikan film
seperti ini, dan memang lama juga aku tidak ML (making love) dengan
wanita malam yang biasa kupakai akibat stres karena kerjaan yang tidak
ada habis-habisnya.
Aku mulai memutar film tersebut, dengan ukuran TV Sony Kirara Baso,
seakan aku menyaksikan film bioskop, adegan demi adegan syur membuatku
mulai bernafsu dan membuat batang kemaluanku berontak dari dalam
celanaku. Aku kasihan pada adik kecilku itu, maka kulepaskan saja
celanaku, kulepaskan juga bajuku, sehingga aku hanya menggunakan kaos
singlet ketat saja. Celana panjang dan celana dalamku sudah kulepaskan,
maka mulai berdiri dengan kencang dan kokohnya batang kemaluanku yang
hitam, panjang, besar dan berdenyut-denyut. Aku menikmatinya sesaat,
sampai akhirnya kupegangi sendiri batang kemaluanku itu dengan tangan
kananku. Mataku tetap konsentrasi kepada layar TV, melihat adegan-adegan
yang sudah sedemikian panasnya. Tarzan yang bodoh itu sedang diajari
oleh wanitanya untuk memasukkan batang kemaluannya itu ke lubang
kemaluan si wanita.
Batang kemaluan yang dari tadi kupegangi, kini telah kukocok-kocok,
lambat dan cepat silih berganti gerakanku dalam mengocok. Setelah sekian
lama, aku merasa sudah tidak kuat lagi menahan cairan mani yang ingin
keluar.
Lalu, "Ahh... crrrottt.. cccroottt...," aku sudah menyiapkan handuk
kecil untuk menampung cairan mani yang keluar dari lubang kencing
kemaluanku. Sehingga cairan itu tidak muncrat kemana-mana.
Ternyata tanpa sepengetahuanku, ada sepasang mata melihat ke arahku
dengan tidak berkedip, sepasang mata itu rupanya melihat semua yang
kulakukan tadi. Aku baru saja membersihkan batang kemaluanku dengan
handuk, lalu sepasang mata itu keluar dari persembunyiannya, sambil
berkata kecil.
"Oom Agus, lagi ngapain sih, kok main-main titit begitu, emang kenapa sih?" kata suara kecil mungil yang biasa kudengar.
Bagaikan disambar geledek di siang hari, aku kaget, ternyata Lia sudah
ada di belakangku. Aku gugup akan bilang apa, kupikir anak ini pasti
sudah melihat apa yang kulakukan dari tadi.
"Eh, Llliiiiaaa.. baru pulang?" sahutku sekenanya.
"Iya nih Oom, ngga ada pelajaran." tukas Lia, lalu Lia melanjutkan
perkataannya, "Oom Agus, Lia tadi kan nanya, Oom lagi ngapain sih, kok
mainin titit gitu?"
"Oohh ini..," aku sudah sedikit bisa mengontrol diri, "Ini.. Oom habis melakukan olahraga , Lia."
"Ooohh.. habis olahraga yaaa..?" Lia sedikit heran.
"Iya kok.. olahraga Oom, ya begini, sama juga dengan olahraga papanya Lia." jawabku ingin meyakinkan Lia.
"Kalo olahraga Lia di sekolah pasti sama pak guru Lia disuruh lari." Lia menimpali.
"Itu karena Lia kan masih sekolah, jadi olahraganya harus sesuai dengan petunjuk pak guru." jawabku lagi.
"Oom, Lia pernah lihat papa juga mainin titit persis seperti yang Oom
Agus lakukan tadi, cuma bedanya papa mainin tititnya sama mama." Lia
dengan polosnya mengatakan hal itu.
"Eh, Lia pernah lihat papa dan mama olahraga begituan?" aku balik bertanya karena penasaran.
"Sering lihat Oom, kalo papa pulang, kalo malem pasti melakukannya sama
mama." ujar Lia masih dengan polosnya menerangkan apa yang sering
dilihatnya.
"Seperti ini yaa..?" sambil aku menunjuk ke cover gambar film Tarzan X,
gambar Tarzan dengan memasukkan batang kemaluannya ke lubang kelamin
wanitanya.
"Iya Oom, seperti apa yang di film itu lho!" jawab Lia, "Eh.. Oom, bagus
lho filmnya, boleh ngga nih Lia nonton, mumpung ngga ada mama?"
"Boleh kok, cuma dengan syarat, Lia tidak boleh mengatakan hal ini sama
papa dan mama, oke?" aku memberi syarat dengan perasaan kuatir jika
sampai Lia cerita pada mama dan papanya.
"Ntar Oom beliin coklat yang banyak deh." janjiku.
"Beres Oom, Lia ngga bakalan cerita ke mama dan papa." dengan santai Lia
menjawab perkataanku, rupanya Lia langsung duduk di sofa menghadap ke
TV.
Kuputar ulang lagi film Tarzan X tersebut, dan Lia menontonnya dengan
sepenuh hati, adegan demi adegan dilihatnya dengan penuh perhatian. Aku
sendiri termenung menyaksikan bahwa di depanku ada seorang gadis kecil
yang periang dan pintar sedang menonton blue film dengan tenangnya.
Sedangkan aku sendiri masih belum memakai celanaku, ikut melihat lagi
adegan-adegan film Tarzan X itu, membuat batang kemaluanku tegang dan
berdiri kembali, kubiarkan saja. Lama kelamaan, aku tidak melihat ke
arah film Tarzan X itu, pandanganku beralih ke sosok hidup yang sedang
menontonnya, yaitu Lia.
Lia adalah yang tergolong imut dan manis untuk gadis seusianya. Entah
kenapa, aku ingin sekali bersetubuh dengan Lia, aku ingin menikmati
rasanya lubang kelamin Lia, yang kubayangkan pastilah masih sangat
sempit. Ahhh.. nafsuku kian membara karena memikirkan hal itu. Aku
mencoba mencari akal, bagaimana caranya agar keperawanan Lia bisa
kudapatkan dan kurasakan. Kutunggu saja waktu tepatnya dengan sabar.
Tidak terasa, selesailah film tersebut. Suara Lia akhirnya memecahkan
keheningan.
"Oom, tuh tititnya berdiri lagi." kata Lia sambil menunjuk ke arah batang kemaluanku yang memang sedang tegang.
"Iya nih Lia, tapi biarin saja deh, gimana dengan filmnya?" jawabku santai.
"Bagus kok Oom, persis seperti apa yang papa dan mama lakukan, dan Lia
ada beberapa pertanyaan buat Oom nih." Lia sepertinya ingin menanyakan
sesuatu.
"Pertanyaannya apa?" tanyaku.
"Kenapa sih, kalo olahraga gituan harus masukin titit ke... apa tuh, Lia ngga ngerti?" tanya Lia.
"Oh itu.., itu namanya titit dimasukkan ke lubang kencing atau disebut
juga lubang memek, pasti papa Lia juga melakukan hal itu ke mama kan?"
jawabku menerangkan.
"Iya benar Oom, papa pasti masukin tititnya ke lubang yang ada pada memek mama." Lia membenarkan jawabanku.
"Itulah seninya olahraga beginian Lia, bisa dilakukan sendiri, bisa juga
dilakukan berdua, olahraga ini khusus untuk dewasa." kataku memberi
penjelasan ke Lia.
"Lia sudah boleh ngga Oom.. melakukan olahraga seperti itu?" tanya Lia lagi.
Ouw.. inilah yang aku tunggu.. dasar rejeki.. selalu saja datang sendiri.
"Boleh sih, dengan satu syarat jangan bilang sama mama dan papa." jelasku.
Terang saja aku membolehkan, sebab itulah yang kuharapkan.
"Lia harus tahu, jika Lia melakukan olahraga beginian akan merasa lelah sekali tetapi juga akan merasakan enak." tambahku.
"Masa sih Oom? Tapi kayaknya ada benarnya juga sih, Lia lihat sendiri
mama juga sepertinya merasa lelah tapi juga merasa keenakan, sampai
menjerit-jerit lho Oom, malahan kadang seperti mau nangis." Lia yang
polos rupanya sudah mulai tertarik dan sepertinya ingin tahu bagaimana
rasanya.
"Emang gitu kok. Ee..., mumpung masih siang nich, mama Lia juga masih
lama pulangnya, kalo Lia memang ingin olahraga beginian, sekarang saja
gimana?" aku sudah tidak sabar ingin melihat pesona kemaluannya Lia,
pastilah luar biasa.
"Ayolah!" Lia mengiyakan.
Memang rasa ingin tahu anak gadis seusia Lia sangatlah besar. Ini adalah
hal baru bagi Lia. Segera saja kusiapkan segala sesuatunya di otakku.
Aku ingin Lia merasakan apa yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Kaos
singlet yang menempel di tubuhku telah kulepas. Aku sudah telanjang
bulat dengan batang kejantananku mengacung-ngacung keras dan tegang.
Baru pernah seumur hidupku, aku telanjang di hadapan seorang gadis belia
berumur 12 tahun. Lia hanya tersenyum-senyum memandangi batang
kemaluanku yang berdiri dengan megahnya. Mungkin karena kebiasaan
melihat papa dan mamanya telanjang bulat, sehingga melihatku telanjang
bulat merupakan hal yang tidak aneh lagi bagi Lia.
Kusuruh Lia untuk membuka seluruh pakaiannya. Awalnya Lia protes, tetapi
setelah kuberitahu dan kucontohkan kenapa mama Lia telanjang bulat, dan
kenapa ceweknya Tarzan juga telanjang bulat, sebab memang sudah begitu
seharusnya. Akhirnya Lia mau melepas pakaiannya satu persatu. Aku
melihat Lia melepaskan pakaiannya dengan mata tidak berkedip. Pertama
sekali, lepaslah pakaian sekolah yang dikenakannya, lalu rok biru
dilepaskan juga. Sekarang Lia tinggal mengenakan kaos dalam dan celana
dalam saja.
Di balik kaos dalamnya yang cukup tebal itu, aku sudah melihat dua
benjolan kecil yang mencuat, pastilah puting susunya Lia yang baru
tumbuh. Baru saja aku berpikiran seperti itu, Lia sudah membuka kaos
dalamnya itu dan seperti apa yang kubayangkan, puting susu Lia yang
masih kuncup, membenjol terlihat dengan jelas di kedua mataku. Puting
susu itu begitu indahnya. Lain sekali dengan yang biasa kulihat dan
kurasakan dari wanita malam langgananku, rata-rata puting susu mereka
sudah merekah dan matang, sedangkan ini, aku hanya bisa menelan ludah.
Payudara Lia memang belum nampak, sebab karena faktor usia. Akan tetapi
puting susunya sudah mulai menampakkan hasilnya. Membenjol cukup besar
dan mencuat menantang untuk dinikmati. Warna puting susu Lia coklat
kemerahan, aku melihat puting susu itu menegang tanpa Lia menyadarinya.
Lalu Lia melepaskan juga celana dalamnya. Kembali aku dibuatnya sangat
bernafsu, kemaluan Lia masih berupa garis lurus, seperti kebanyakan
milik anak-anak gadis yang sering kulihat mandi di sungai. Vagina yang
belum ditumbuhi bulu rambut satu pun, masih gundul. Aku sungguh-sungguh
melihat pemandangan yang menakjubkan ini. Terbengong-bengong aku
dibuatnya.
"Oom, udah semua nih, udah siap nih Oom."
Aku tersentak dari lamunan begitu mendengar Lia berbicara.
"Oke, sekarang dimulai yaaa...?"
Kuberi tanda ke Lia supaya tiduran di sofa. Pertama sekali aku meminta
ijin ke Lia untuk menciuminya, Lia mengijinkan, rupanya karena sangat
ingin atau karena Lia memang sudah mulai menuruti nafsunya sendiri, aku
kurang tahu. Yang penting bagiku, aku merasakan liang perawannya dan
menyetubuhinya siang ini.
Aku ciumi kening, pipi, hidung, bibir dan lehernya. Kupagut dengan mesra
sekali. Kubuat seromantis mungkin. Lia hanya diam seribu bahasa,
menikmati sekali apa yang kulakukan kepadanya.
Setelah puas aku menciuminya, "Lia, boleh ngga Oom netek ke Lia?" tanyaku meminta.
"Tapi Oom, tetek Lia kan belon sebesar seperti punya mama." kata Lia sedikit protes.
"Ngga apa-apa kok Lia, tetek segini malahan lebih enak." kilahku meyakinkan Lia.
"Ya deh, terserah Oom saja, asalkan ngga sakit aja." jawab Lia akhirnya memperbolehkan.
"Dijamin deh ngga sakit, malahan Lia akan merasakan enak dan nikmat yang tiada tara." jawabku lagi.
Bersambung...
No comments:
Post a Comment