Friday 1 June 2018

Perawan Terbang 2

Sesaat setelah Ina menghilang dibalik pintu toilet kuhitung dalam hati sambil mengamati keadaan sekitar. Ketika hitunganku sampai 30 dan kuamati keadaan sekitar aman aku mulai bergerak menuju toilet. Kubuka pintu toilet tempat Ina masuk. Tidak terkunci. Aku segera masuk dan mengunci pintu dari dalam.

"Mas...aku takut." Ina berbisik gemetar. Ia berdiri tepojok agak kedalam bersandar kepada meja wastafel. Toilet pesawat begitu sempit untuk menampung dua orang dewasa didalamnya.

"Sstt...gak apa-apa Ina. Yang penting tidak berisik. Kalau berisik nanti ketahuan bahaya. Bisa-bisa kita dipulangkan ke Indonesia, tidak boleh bekerja di Arab." Aku berbisik berusaha sedikit menakut-takutinya, sambil menempelkan mulutku ketelinga nya yang kemudian dilanjutkan dengan ciuman serta jilatan pada pipi dan bibirnya.

"Hhhh.....masss...!"

Bibir dan lidahku terus menciumi dan menjilati bibir, dagu, dan leher Ina. Tanganku bekerja membuka kancing kemejanya.
Seiring terbukanya semua kancing kemeja Ina ciumanku pun terus turun kebawah. Kuciumi dan jilati buah dada Ina. Sementara tanganku langsung trampil menggarap bagian bawahnya mencoba membuka celananya. Ketika kancingnya sudah terbuka langsung kupelorotkan kebawah. Dibarengi ciuman dan jilatan mulutku yang menyusuri kulit Ina.
Tak sedikitpun kukurangi serangan mulut ataupun rabaan tanganku pada tubuhnya. Aku sadar aku tak mempunyai banyak waktu. Tak penting menyenangkan Ina, yang terpenting hanya menaikkan gairahnya terus dan tidak memberi kesempatan padanya untuk berpikir sedikitpun.

"Masss....jangan...please...Ina takut....Ina gak mau." Ina sempat tersadar saat celananya sudah sampai bawah dengkul, tersangkut dimata kakinya.

Tapi semua sudah terlambat untuk dia.

"Gak apa-apa yah Ina. Ina cantik bener. Mas sayang sama Ina." Rayuku sambil kemudian kuciumi dan jilati kemaluan Ina.

"Aggghhh....masss....mass....aduhh....!" Ina menggeliat dan mendesah-desah.

Aku sempat terkaget dan khawatir dengan desahan Ina yang sudah hampir seperti menjerit.
Kubangkit dan memeluknya. Berusaha menenangkan dia sedikit.

"Sstt...Ina. Kamu jangan terlalu berisik. Nanti ada yang dengar repot. Kita semua bisa dipulangkan lho ke Indonesia. Gak bisa kerja." Rayuku dengan kembali menakut-nakuti.

Tanganku tetap tak kulepaskan dari tubuhnya, terus membelai dada dan menggelitik lubang kemaluan Ina mempertahankan agar gairahnya tak turun.

"Ahh...mass...aduhh...enak mass...!" Ina terus mendesah-desah. Perlahan kakinya membuka mengangkang dengan sendirinya seakan menyuruh agar jari-jariku bekerja lebih jauh lagi.

"Bener kan apa kata mas. Disini lebih bebas dan lebih enak kan. Asal Ina jangan berisik aja, nanti kita ketauan." Rayuku lagi sambil menjilati kuping Ina yang tersembunyi dibalik jilbabnya. Sementara perlahan tanganku yang bebas membuka dan menurunkan celanaku sendiri. Membebaskan penisku yang sudah sangat tegang dan tersiksa menuntut penyelesaian.

"Tapi...tapi...Ina malu....Ina....takut mass...Ina belum pernah...kayak...gini...aduhh..!"

"Sstt...gak apa-apa Ina....... Kalau Ina malu Ina balik badan saja gak perlu lihat." Nafasku semakin berat.

Dengan sedikit memaksa kubimbing badan Ina agar membelakangiku. Kutundukkan sedikit bagian atas tubuhnya sehingga ia seperti berdiri setengah membungkuk dengan kedua tangan bertumpu pada meja wastafel.
Kurendahkan sedikit tubuhku, kuambil posisi. Kucoba mengarahkan penisku kelubang vagina Ina yang sudah sangat basah. Tapi keadaan toilet pesawat yang sempit ditambah Ina yang menggeliat-geliat membuatku sangat kesulitan.

"Ahh...ahh...Ina...mau diapain mass..?" Ina terus mengerang dan mendesah.

"Gak apa-apa Ina. Mas mau bikin Ina enak aja." Kataku lagi dengan nafas memburu karena nafsu.

"Shit...susah sekali!" Aku sempat menggerutu dalam hati.

Aku kembali berjongkok dibelakang Ina dan kembali menjilati dan merangsang kemaluannya agar lubangnya semakin membuka dan basah sehingga memudahkanku untuk memasukinya. Sementara tanganku bekerja kembali melepaskan celana Ina dari salah satu kakinya. Ketika celana Ina sudah terlepas, kuangkat kaki kanan Ina dan kuposisikan diatas toilet sehingga keadaannya lebih mengangkang dan menungging lagi seperti anjing hendak kencing.

Kuposisikan lagi penisku pada lubang vagina Ina dan mulai kutekan-tekan. Walau susah perlahan tetapi pasti penisku mulai membuka dan memasuki vaginanya.
Perlahan-lahan keluar masuk keluar masuk sedikit demi sedikit sampai kemudian kurasakan sudah setengah yang masuk. Sempit sekali, penisku seperti diremas-remas.

"Mas...aduhh mass...udah yahh...udah segitu aja yah..." Ina mendesah-desah merayuku untuk menghentikan perbuatanku. Tubuhnya menggeliat-geliat berusaha melepaskan diri dari pelukanku.

Aku tidak perduli lagi, kupeluk Ina semakin kuat agar ia tak bisa berontak dan kutekan kuat-kuat pantat mendesakkan penisku.

"Aagghgh....mmm...!"

Dalam panik kubekap mulut Ina agar ia tidak berteriak.
Ina menggeliat-geliat dalam keputus asaan saat penisku masuk sempurna merobek-robek keperawanannya.

"Ahhh...enak sekali rasanya." Kudiamkan sejenak penisku yang sudah masuk sempurna dalam vagina Ina meresapi kenikmatannya. Kemudian kugoyang perlahan penisku keluar masuk, agar lubang vaginanya terbiasa dulu dengan benda asing yang menjarah masuk dengan paksa. Sekilas kulihat saat penisku keluar batang penisku basah dengan cairan vagina Ina. Cairannya berwarna kemerahan. Mungkin bercampur dengan darah perawannya. Perlahan mulai kunaikkan tempo dan kupercepat goyangan dan sodokanku.

Ina hanya bisa menangis sesegukan sambil sesekali mendesah. Mungkin ia masih merasa kesakitan. Aku tak perduli, aku hanya terus keluar masukkan panisku mengejar kenikmatan.

"Ahh...Ina...enak sekali Ina..." Aku mendesah-desah tak sadar. Tanganku sibuk meremas kedua dadanya sementara penisku menyodok-nyodok vagina Ina semakin cepat.

Seiring dengan sodokan penisku yang semakin cepat tangisan Ina perlahan pun mulai menghilang berganti desahan dan erangan yang keluar dari mulutnya tanpa bisa ditahan.

"Iya Ina...iya...ayo...mas dah mau keluar...kita keluar sama-sama." Bisikku terengah-engah bersemangat didekat telinganya.

"Hhh...mass...hhhh..."

Rasa puncak datang tanpa dapat kucegah lagi. Kutekan penisku sedalam-dalamnya dan kuremas dada Ina sekuat-kuatnya.

"Ahh...mas keluar Na...mas keluar." Aku menggeram berusaha menahan teriakanku sendiri.

Kurasakan penisku menembakkan isinya berkali-kali jauh didalam vagina Ina.

Kulihat wajah Ina dari cermin didepan kami, iapun seperti sedang menikmati sensasi tembakan penisku dibawah sana. Wajahnya melenting keatas dengan mata terpejam dan mulut terbuka. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Hanya desahan nafas yang panjang seperti merasa lega telah melepaskan suatu beban yang berat. Dan tubuhnya bergetar kecil.
Aku tertegun sesaat. Indah sekali melihat pemandangan gadis berjilbab melenting mendesah menikmati orgasmenya

Setelah gejolak orgasmeku mereda dengan lemas kucabut penisku dan kubersihkan. Kulihat cairanku meluber keluar dari vagina Ina. Cairan yang sudah berubah menjadi warna pink karena tercampur dengan darah perawannya.
Aku tersenyum merasakan kebanggaan semu, bertambah satu lagi daftar perempuan yang telah kutaklukan.

Setelah merapikan diri kukecup kepala Ina dan kutinggalkan dirinya yang masih bertumpu lemas pada meja wastafel.

"Kamu bersih-bersih dulu. Aku tunggu dibangku."

Lama sekali. Ada mungkin 10 menit kemudian Ina baru keluar dan menyusul duduk kembali dibangku sebelahku. Tampak mata dan wajahnya bengkak dan sembab karena habis menangis. Ia hanya duduk tertunduk terdiam tak berkata apa-apa. Kurengkuh dan kutarik tubuhnya kembali dalam pelukanku sambil kurayu.

Kukatakan padanya kalau Ina tidak perlu khawatir, aku tulus mencintai dan menyayanginya. Dan sekembalinya ia dari bekerja di Arab aku akan segera mengunjungi rumahnya untuk melamar.
Kuminta alamat dan no telp Ina, dan kuberikan juga alamat dan no hp ku.
Segala gombalan dan rayuan kukeluarkan untuk menenangkan Ina bagai penjual kecap yang memasarkan produknya.

Perlahan ina mulai bisa tersenyum kembali. Ia bahkan sempat mengakui kalau ia tadi juga sempat merasakan kenikmatan.
Kenikmatan yang baru pernah ia rasakan. Bahkan kukembali menghantarkan Ina memperoleh kenikmatan itu sekali lagi dibangku kami dengan jariku.
Sudah tidak ada lagi penolakan dari dirinya sedikitpun. Bahkan sisi liar kewanitaannya mulai keluar, membuatku sedikit kewalahan membujuk agar ia tidak terlalu berisik saat mengerang ataupun mendesah.


Setibanya di bandara Abu Dabi aku berpamitan dengan Ina sambil berpeluk cium dan mengucap janji dihadapan kawan-kawan Ina yang memandang kami dengan terheran-heran.

Didalam taksi aku terduduk kelelahan sambil membayangkan semua yang telah terjadi.
Semalaman aku tak tidur sedikitpun. Dan sekarang aku sudah harus mulai bekerja. Tapi aku tak berniat mengutuk kembali penerbangan malamku.
Perlahan aku mengambil secarik kertas dari kantong baju. Kertas yang berisi alamat rumah dan nomor telephon Ina. Senyum tipis tersungging dibibirku. Perlahan kurobek kertas itu dan membuangnya ketempat sampah kecil yang disediakan didepanku.

"Thanks Ina. Semoga kamu tidak hamil."




The End.

No comments:

Post a Comment