Sesaat setelah Ina menghilang dibalik pintu toilet kuhitung dalam hati
sambil mengamati keadaan sekitar. Ketika hitunganku sampai 30 dan
kuamati keadaan sekitar aman aku mulai bergerak menuju toilet. Kubuka
pintu toilet tempat Ina masuk. Tidak terkunci. Aku segera masuk dan
mengunci pintu dari dalam.
"Mas...aku takut." Ina berbisik gemetar. Ia berdiri tepojok agak kedalam
bersandar kepada meja wastafel. Toilet pesawat begitu sempit untuk
menampung dua orang dewasa didalamnya.
"Sstt...gak apa-apa Ina. Yang penting tidak berisik. Kalau berisik nanti
ketahuan bahaya. Bisa-bisa kita dipulangkan ke Indonesia, tidak boleh
bekerja di Arab." Aku berbisik berusaha sedikit menakut-takutinya,
sambil menempelkan mulutku ketelinga nya yang kemudian dilanjutkan
dengan ciuman serta jilatan pada pipi dan bibirnya.
"Hhhh.....masss...!"
Bibir dan lidahku terus menciumi dan menjilati bibir, dagu, dan leher Ina. Tanganku bekerja membuka kancing kemejanya.
Seiring terbukanya semua kancing kemeja Ina ciumanku pun terus turun
kebawah. Kuciumi dan jilati buah dada Ina. Sementara tanganku langsung
trampil menggarap bagian bawahnya mencoba membuka celananya. Ketika
kancingnya sudah terbuka langsung kupelorotkan kebawah. Dibarengi ciuman
dan jilatan mulutku yang menyusuri kulit Ina.
Tak sedikitpun kukurangi serangan mulut ataupun rabaan tanganku pada
tubuhnya. Aku sadar aku tak mempunyai banyak waktu. Tak penting
menyenangkan Ina, yang terpenting hanya menaikkan gairahnya terus dan
tidak memberi kesempatan padanya untuk berpikir sedikitpun.
"Masss....jangan...please...Ina takut....Ina gak mau." Ina sempat
tersadar saat celananya sudah sampai bawah dengkul, tersangkut dimata
kakinya.
Tapi semua sudah terlambat untuk dia.
"Gak apa-apa yah Ina. Ina cantik bener. Mas sayang sama Ina." Rayuku sambil kemudian kuciumi dan jilati kemaluan Ina.
"Aggghhh....masss....mass....aduhh....!" Ina menggeliat dan mendesah-desah.
Aku sempat terkaget dan khawatir dengan desahan Ina yang sudah hampir seperti menjerit.
Kubangkit dan memeluknya. Berusaha menenangkan dia sedikit.
"Sstt...Ina. Kamu jangan terlalu berisik. Nanti ada yang dengar repot.
Kita semua bisa dipulangkan lho ke Indonesia. Gak bisa kerja." Rayuku
dengan kembali menakut-nakuti.
Tanganku tetap tak kulepaskan dari tubuhnya, terus membelai dada dan
menggelitik lubang kemaluan Ina mempertahankan agar gairahnya tak turun.
"Ahh...mass...aduhh...enak mass...!" Ina terus mendesah-desah. Perlahan
kakinya membuka mengangkang dengan sendirinya seakan menyuruh agar
jari-jariku bekerja lebih jauh lagi.
"Bener kan apa kata mas. Disini lebih bebas dan lebih enak kan. Asal Ina
jangan berisik aja, nanti kita ketauan." Rayuku lagi sambil menjilati
kuping Ina yang tersembunyi dibalik jilbabnya. Sementara perlahan
tanganku yang bebas membuka dan menurunkan celanaku sendiri. Membebaskan
penisku yang sudah sangat tegang dan tersiksa menuntut penyelesaian.
"Tapi...tapi...Ina malu....Ina....takut mass...Ina belum pernah...kayak...gini...aduhh..!"
"Sstt...gak apa-apa Ina....... Kalau Ina malu Ina balik badan saja gak perlu lihat." Nafasku semakin berat.
Dengan sedikit memaksa kubimbing badan Ina agar membelakangiku.
Kutundukkan sedikit bagian atas tubuhnya sehingga ia seperti berdiri
setengah membungkuk dengan kedua tangan bertumpu pada meja wastafel.
Kurendahkan sedikit tubuhku, kuambil posisi. Kucoba mengarahkan penisku
kelubang vagina Ina yang sudah sangat basah. Tapi keadaan toilet pesawat
yang sempit ditambah Ina yang menggeliat-geliat membuatku sangat
kesulitan.
"Ahh...ahh...Ina...mau diapain mass..?" Ina terus mengerang dan mendesah.
"Gak apa-apa Ina. Mas mau bikin Ina enak aja." Kataku lagi dengan nafas memburu karena nafsu.
"Shit...susah sekali!" Aku sempat menggerutu dalam hati.
Aku kembali berjongkok dibelakang Ina dan kembali menjilati dan
merangsang kemaluannya agar lubangnya semakin membuka dan basah sehingga
memudahkanku untuk memasukinya. Sementara tanganku bekerja kembali
melepaskan celana Ina dari salah satu kakinya. Ketika celana Ina sudah
terlepas, kuangkat kaki kanan Ina dan kuposisikan diatas toilet sehingga
keadaannya lebih mengangkang dan menungging lagi seperti anjing hendak
kencing.
Kuposisikan lagi penisku pada lubang vagina Ina dan mulai kutekan-tekan.
Walau susah perlahan tetapi pasti penisku mulai membuka dan memasuki
vaginanya.
Perlahan-lahan keluar masuk keluar masuk sedikit demi sedikit sampai
kemudian kurasakan sudah setengah yang masuk. Sempit sekali, penisku
seperti diremas-remas.
"Mas...aduhh mass...udah yahh...udah segitu aja yah..." Ina
mendesah-desah merayuku untuk menghentikan perbuatanku. Tubuhnya
menggeliat-geliat berusaha melepaskan diri dari pelukanku.
Aku tidak perduli lagi, kupeluk Ina semakin kuat agar ia tak bisa berontak dan kutekan kuat-kuat pantat mendesakkan penisku.
"Aagghgh....mmm...!"
Dalam panik kubekap mulut Ina agar ia tidak berteriak.
Ina menggeliat-geliat dalam keputus asaan saat penisku masuk sempurna merobek-robek keperawanannya.
"Ahhh...enak sekali rasanya." Kudiamkan sejenak penisku yang sudah masuk
sempurna dalam vagina Ina meresapi kenikmatannya. Kemudian kugoyang
perlahan penisku keluar masuk, agar lubang vaginanya terbiasa dulu
dengan benda asing yang menjarah masuk dengan paksa. Sekilas kulihat
saat penisku keluar batang penisku basah dengan cairan vagina Ina.
Cairannya berwarna kemerahan. Mungkin bercampur dengan darah perawannya.
Perlahan mulai kunaikkan tempo dan kupercepat goyangan dan sodokanku.
Ina hanya bisa menangis sesegukan sambil sesekali mendesah. Mungkin ia
masih merasa kesakitan. Aku tak perduli, aku hanya terus keluar masukkan
panisku mengejar kenikmatan.
"Ahh...Ina...enak sekali Ina..." Aku mendesah-desah tak sadar. Tanganku
sibuk meremas kedua dadanya sementara penisku menyodok-nyodok vagina Ina
semakin cepat.
Seiring dengan sodokan penisku yang semakin cepat tangisan Ina perlahan
pun mulai menghilang berganti desahan dan erangan yang keluar dari
mulutnya tanpa bisa ditahan.
"Iya Ina...iya...ayo...mas dah mau keluar...kita keluar sama-sama." Bisikku terengah-engah bersemangat didekat telinganya.
"Hhh...mass...hhhh..."
Rasa puncak datang tanpa dapat kucegah lagi. Kutekan penisku sedalam-dalamnya dan kuremas dada Ina sekuat-kuatnya.
"Ahh...mas keluar Na...mas keluar." Aku menggeram berusaha menahan teriakanku sendiri.
Kurasakan penisku menembakkan isinya berkali-kali jauh didalam vagina Ina.
Kulihat wajah Ina dari cermin didepan kami, iapun seperti sedang
menikmati sensasi tembakan penisku dibawah sana. Wajahnya melenting
keatas dengan mata terpejam dan mulut terbuka. Tak ada suara yang keluar
dari mulutnya. Hanya desahan nafas yang panjang seperti merasa lega
telah melepaskan suatu beban yang berat. Dan tubuhnya bergetar kecil.
Aku tertegun sesaat. Indah sekali melihat pemandangan gadis berjilbab melenting mendesah menikmati orgasmenya
Setelah gejolak orgasmeku mereda dengan lemas kucabut penisku dan
kubersihkan. Kulihat cairanku meluber keluar dari vagina Ina. Cairan
yang sudah berubah menjadi warna pink karena tercampur dengan darah
perawannya.
Aku tersenyum merasakan kebanggaan semu, bertambah satu lagi daftar perempuan yang telah kutaklukan.
Setelah merapikan diri kukecup kepala Ina dan kutinggalkan dirinya yang masih bertumpu lemas pada meja wastafel.
"Kamu bersih-bersih dulu. Aku tunggu dibangku."
Lama sekali. Ada mungkin 10 menit kemudian Ina baru keluar dan menyusul
duduk kembali dibangku sebelahku. Tampak mata dan wajahnya bengkak dan
sembab karena habis menangis. Ia hanya duduk tertunduk terdiam tak
berkata apa-apa. Kurengkuh dan kutarik tubuhnya kembali dalam pelukanku
sambil kurayu.
Kukatakan padanya kalau Ina tidak perlu khawatir, aku tulus mencintai
dan menyayanginya. Dan sekembalinya ia dari bekerja di Arab aku akan
segera mengunjungi rumahnya untuk melamar.
Kuminta alamat dan no telp Ina, dan kuberikan juga alamat dan no hp ku.
Segala gombalan dan rayuan kukeluarkan untuk menenangkan Ina bagai penjual kecap yang memasarkan produknya.
Perlahan ina mulai bisa tersenyum kembali. Ia bahkan sempat mengakui kalau ia tadi juga sempat merasakan kenikmatan.
Kenikmatan yang baru pernah ia rasakan. Bahkan kukembali menghantarkan
Ina memperoleh kenikmatan itu sekali lagi dibangku kami dengan jariku.
Sudah tidak ada lagi penolakan dari dirinya sedikitpun. Bahkan sisi liar
kewanitaannya mulai keluar, membuatku sedikit kewalahan membujuk agar
ia tidak terlalu berisik saat mengerang ataupun mendesah.
Setibanya di bandara Abu Dabi aku berpamitan dengan Ina sambil berpeluk
cium dan mengucap janji dihadapan kawan-kawan Ina yang memandang kami
dengan terheran-heran.
Didalam taksi aku terduduk kelelahan sambil membayangkan semua yang telah terjadi.
Semalaman aku tak tidur sedikitpun. Dan sekarang aku sudah harus mulai
bekerja. Tapi aku tak berniat mengutuk kembali penerbangan malamku.
Perlahan aku mengambil secarik kertas dari kantong baju. Kertas yang
berisi alamat rumah dan nomor telephon Ina. Senyum tipis tersungging
dibibirku. Perlahan kurobek kertas itu dan membuangnya ketempat sampah
kecil yang disediakan didepanku.
"Thanks Ina. Semoga kamu tidak hamil."
The End.
No comments:
Post a Comment