#1. Awal Perjumpaan
Nama panjangnya adalah Rinduwati Suliandara. Mba Rien, begitu ia biasa
dipanggil, adalah seorang guru tari di Sanggar Tari Pelangi. Kino tak
pernah tahu usia wanita itu yang sesungguhnya, tetapi pokoknya ia tak
tampak terlalu tua, walau jelas bukan pula remaja. Wajahnya -jika
memakai ukuran normal- tidaklah terlalu cantik. Tidak pula terlalu
jelek. Biasa-biasa saja Tetapi Mba Rien memiliki mata yang sangat indah,
bening dihiasi bulu mata lentik. Juga memiliki bibir yang -menurut
Kino- sangat menarik, karena selalu kelihatan basah.
Waktu itu Kino duduk di bangku SMA, kelas dua A. Untuk usianya, waktu
itu Kino tergolong terlambat dalam soal pacaran. Ia tidak punya teman
wanita istimewa, karena baginya semua teman wanitanya sama saja. Konon
ada yang naksir, namanya Alma, gadis dari kelas dua B. Tetapi Kino tidak
tertarik, walau kata teman-temannya gadis itu tergolong ratu. Bagi
Kino, ia memang ratu, tetapi entah kenapa ia tidak tertarik. Berenang di
sungai lebih menarik bagi Kino, katimbang jalan-jalan dengan Alma.
Tetapi Mba Rien menarik hatinya sejak awal mereka berjumpa. Waktu itu,
Kino mengantar adik perempuannya, Susi, ke sanggar untuk latihan menari.
Kino sangat sayang kepada adik satu-satunya yang baru berusia 7 tahun
itu (jarak dua kakak-beradik ini memang terlalu jauh). Dengan sepeda,
diboncengnya Susi ke sanggar, dan diantarnya sampai ke ruang latihan di
tengah kompleks sanggar. Saat itulah ia melihat Mba Rien, sedang
mengikatkan setagen ke sekeliling pinggangnya.
Selamat sore Susi
, ucap Mba Rien menyapa Susi, lalu sekejap melirik
Kino. Suara wanita itu lembut tetapi bernada wibawa, pikir Kino sambil
melepas gandengan tangan adiknya. Mba Rien, ini kakak saya
, Susi
menunjuk ke Kino yang masih berdiri di pintu ruang latihan. Mba Rien
mengangkat muka, dan tersenyum kepada Kino. Agak canggung, Kino membalas
tersenyum dan berucap serak, Selamat sore, mbak
.
Mba Rien hanya mengangguk tanpa berhenti tersenyum, lalu menerima salam
Susi, dan berbalik menuju tempat segerombolan anak-anak yang sedang
bersiap belajar menari. Kino masih berdiri, memandang tubuh Mba Rien
dari belakang, dan entah kenapa ia merasa jantungnya berdegup lebih
keras. Tubuh Mba Rien menyita perhatiannya, terbungkus kain dan baju
ketat, menampakkan lika-liku yang menawan. Astaga, pikir Kino, wanita
ternyata bisa menarik juga!
Untuk beberapa jenak, Kino masih berdiri di depan pintu, menelan ludah
berkali-kali dan merasa wajahnya merah karena malu. Kepada siapa?
Entahlah. Tetapi perjumpaan pertama dengan Mba Rien berbekas keras di
kalbunya. Sambil mengayuh sepedanya pulang, Kino tiba-tiba memiliki
pikiran-pikiran seronok. Gila kamu! tukasnya dalam hati, menyalahkan
diri sendiri. Mana mungkin kamu bisa meremas-remas tubuh itu! ucap suara
lain di kepalanya. Meremas
.? Dari mana datangnya ide gila itu? pikir
Kino gelisah. Berkali-kali Kino merasa sadel sepedanya terasa lebih
kecil dari biasanya, dan selakangannya sering terasa geli. Sial!
sergahnya dalam hati.
Ketika ayah memintanya menjemput Susi, dengan bersemangat Kino
mengatakan ya. Lalu, ia pun tiba di sanggar 15 menit sebelum waktu
latihan selesai. Ia duduk di bawah pohon kamboja, tidak jauh dari ruang
latihan. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat Mba Rien
melenggak-lenggok mengajarkan gerakan yang diikuti oleh belasan
anak-anak kecil. Pandangan Kino tak lekang dari gerakan-gerakan Mba
Rien, dan entah kenapa ia kini mengerti apa artinya sebuah tari yang
indah! Selama ini, bagi Kino menari adalah kegiatan perempuan yang tak
menarik. Menjemukan, bahkan. Tetapi ketika melihat Mba Rien mengangkat
tangan, melenggok ke kiri, menggerakkan pinggulnya
., Kino menelan
ludah lagi. Bajingan kamu! ucap sebuah suara di dalam kepalanya. Kino
membuang muka, mengalihkan pandangannya ke hamparan rumput. Tetapi,
seperti ditarik magnit, muka Kino sesekali kembali lagi memandang ke
ruang latihan.
Dari ruang tari, Rien juga bisa melihat keluar, walau perbedaan terang
menyebabkan matanya agak silau jika harus memandang ke arah tempat Kino
duduk. Sambil terus menggerakkan tubuhnya, Rien melirik dan mengernyit
heran melihat remaja itu betah duduk sendirian. Biasanya, para penjemput
murid-muridnya datang terlambat, dan tidak pernah berlama-lama di
sanggar tari. Apalagi yang laki-laki, entah itu kakak atau ayah atau
paman. Pada umumnya, di kota kecil ini, menari bukanlah sesuatu yang
menarik untuk pria. Makanya, tingkah Kino bagi Rien agak tidak biasa.
Ketika akhirnya latihan selesai, Kino bangkit dan mendekat ke arah ruang
latihan, tetapi tetap dalam keteduhan pohon kamboja. Entah kenapa, ia
tak berani lebih dekat. Sebetulnya ia ingin mendekat, tetapi dadanya
berdegup kencang setiap kali ia melangkah. Semakin dekat ke ruang
latihan, semakin kencang degupnya. Sebab itu, ia berhenti setelah dua
langkah saja. Ia akan menunggu saja sampai Susi keluar dan
menghampirinya.
Rien, dengan sedikit peluh di lehernya, mengucap salam perpisahan kepada
murid-muridnya. Lalu, sambil melepas stagen, ia berjalan ke pintu.
Dilihatnya Susi berlari ke arah penjemputnya, remaja yang betah
berlama-lama di bawah pohon kamboja menonton latihannya itu. Sambil
melepas ikat rambutnya, sehingga rambutnya yang sebahu kini tergerai,
Rien berdiri di pintu dan berucap lembut, tetapi juga cukup keras untuk
didengar Kino.
Kenapa tadi tidak tunggu di dalam saja, Dik
, ujarnya. Kino cuma bisa menyeringai seperti kera sedang makan kacang.
Rien tersenyum melihat seringai remaja yang tampak kikuk itu. Kino
menelan ludah melihat senyum itu. Entah kenapa, senyum itu tampak
menarik sekali. Rasanya, Kino seperti disiram air sejuk. Gila kamu! ucap
suara di dalam kepalanya lagi. Dan Kino pun cepat-cepat membungkuk
berpamitan, lalu menggandeng tangan Susi menuju sepeda. Rien kembali
tersenyum memandang kedua kakak-beradik yang akur itu meninggalkan
sanggarnya.
*****
Sejak pertemuan itu, Kino sering melamunkan Mba Rien. Lebih gila lagi,
saat mandi dan menyabuni tubuhnya, Kino merasakan darahnya berdesir
membayangkan Mba Rien. Percuma ia mengguyurkan bergayung-gayung air
dingin ke tubuhnya, tetap saja kelaki-lakiannya perlahan menegang. Aduh
celaka! jeritnya dalam hati, ketika melihat ke bawah. Cepat-cepat ia
menyabuni dirinya, lalu membilasnya, membungkus tubuhnya dengan handuk
dan lari ke luar kamar mandi menuju kamarnya. Mudah-mudahan tidak ada
yang melihat tonjolan di bawah pinggangnya yang terbungkus handuk itu!
Malam hari, ketika ia gelisah bergulang-guling di ranjangnya, Kino
kembali membayangkan Mba Rien. Lagi-lagi terbayang pinggulnya yang padat
berisi, pinggangnya yang ramping, dan dadanya yang membusung walau
tidak terlalu besar. Kino juga terkenang lehernya yang agak basah oleh
keringat. Juga bibirnya. Ya, bibirnya itu yang paling menawan. Selalu
basah, dan tampaknya lembut sekali. Apalagi kalau ia tersenyum,
menampakkan sedikit gigi-giginya yang putih. Bagaimana rasanya menggigit
bibir itu?
Kino makin gelisah, sebab kini kelaki-lakiannya menengang lagi seperti
ketika ia sedang mandi. Malam sudah agak larut, dan rumah sudah sepi.
Tak ada suara-suara, selain jangkerik. Kino menelungkupkan tubuhnya.
Celaka, justru gerakan itu menyebabkan kelaki-lakiannya terjepit di
antara tubuhnya dan kasur yang empuk. Tanpa sadar, Kino
menggerak-gerakkan badannya, menggesekkan kelaki-lakiannya ke kasur.
Matanya terpejam, dan terbayang ia berada di atas tubuh Mba Rien.
Terbayang ia mengulum bibir Mba Rien yang basah. Terbayang dadanya yang
ceking menempel di dada Mba Rien yang kenyal. Gila! Kino terlonjak
ketika merasakan cairan hangat mengalir cepat membasahi celana dalamnya.
Untung ia sigap, sehingga seprai tidak ikut basah. Hanya saja, di pagi
hari ia harus mencari alasan untuk bisa mencuci sendiri celana dalamnya,
tanpa harus mencuci pakaian anggota keluarga yang lain!
*****
Beberapa hari setelah perjumpaan pertamanya dengan Kino, kembali Rien
terheran melihat remaja itu sudah ada setengah jam sebelum latihan usai.
Setengah jam! Betapa lamanya ia akan menanti di situ sendirian, ucap
Rien dalam hati sambil terus menggerakkan badannya di depan para penari
cilik. Berkali-kali Rien melirik ke arah pohon kamboja, dan
bertanya-tanya dalam hati, mengapa gerangan remaja itu begitu betah
menunggu adiknya. Terlebih-lebih lagi, remaja itu selalu memandang ke
dalam dengan seksama. Sialan, mungkin ia tertarik melihat tubuhku, umpat
Rien dalam hati. Tetapi, mungkin juga ia tertarik pada tarianku. Siapa
tahu? Atau mungkin tertarik pada dua-duanya, ucap Rien dalam hati. Ia
tersenyum sendiri ketika mengambil kesimpulan terakhir ini.
Satu
dua
tiga
. empat, putar
, Rien memutar tubuh memberi contoh,
diikuti oleh bidadari-bidadari kecil yang tertatih-tatih mencoba meniru
sesempurna mungkin. Satu .. dua
tiga
empat, putar
., suaranya
lembut, tetapi tegas dan cukup nyaring.
Kino menyenderkan tubuhnya di batang pohon kamboja. Sayup-sayup suara
Mba Rien sampai di telinganya. Terdengar merdu. Gila! semua yang
berhubungan dengan wanita itu selalu bagus. Apa-apaan ini? sebuah suara
menghardik di kepala Kino, membuatnya tertunduk sendiri. Dicabutnya
sebatang rumput, dimain-mainkannya di antara jari-jarinya. Kino
merenung, bertanya-tanya, apa gerangan yang terjadi dalam dirinya.
Mengapa Mba Rien jadi begitu menarik, padahal ia jauh lebih tua dariku?
Mengapa Alma yang seusia dengannya itu tidak semenarik Mba Rien, padahal
Alma juga cantik. Kino menarik nafas dalam-dalam, lalu kepalanya
terangkat lagi, memandang lagi ke dalam ruang latihan. Cuma kali ini ia
tidak melihat Mba Rien di sana. Dipanjang-panjangkannya lehernya,
mencari-cari, kemana gerangan wanita itu. Kino bahkan memiringkan
tubuhnya, sampai hampir rebah ke kiri, untuk melihat sudut terjauh yang
masih terjangkau pandangan. Mba Rien tidak ada, sementara murid-muridnya
masih bergerak sesuai irama musik dari tape-recorder. Kemana dia?
Hampir copot rasanya jantung Kino, ketika tiba-tiba Mba Rien muncul dari
balik tembok rumah di sebelah ruang latihan. Rupanya, ada gang yang
menghubungkan rumah itu dengan ruang latihan, yang tidak terlihat dari
tempat Kino duduk. Rupanya Mba Rien meninggalkan murid-muridnya untuk
masuk ke rumah itu. Dan kini ia berjalan kembali ke ruang latihan,
tetapi tidak melalui gang, melainkan lewat pintu depan. Lewat di depan
Kino, melenggang santai dengan kainnya yang ketat membungkus tubuhnya
yang indah.
Hayo.., tunggu di dalam, Dik! ucap Mba Rien menghentikan langkah
sebelum masuk. Senyum yang memikat Kino terhias di bibirnya. Kino
menelan ludah, tak bisa menyahut, dan cuma bisa meringis lagi.
Betul-betul seperti kera yang sedang kepedasan. Hayo
, ajak Mba Rien
lagi, lembut tetapi tegas.
Kino bangkit, dan dengan ragu-ragu melangkah mendekat. Mba Rien tertawa
kecil, lalu melanjutkan langkah mendahului masuk. Pelan-pelan Kino
menyusulnya. Ketika ia tiba di ruang latihan, Mba Rien sudah
berputar-putar lagi memberi contoh gerakan tarinya. Kino mencari-cari
bangku untuk duduk, tetapi tak ada satu pun di sana. Ia lalu berdiri
saja, menyender di sebuah tiang yang cukup besar. Rien melirik, melihat
remaja itu berdiri kikuk. Kasihan, pikirnya. Tetapi biarlah begitu,
kalau ia memang tertarik pada tarianku -atau tubuhku!- biar saja ia
berdiri sampai pegal. Tersenyum Rien mendengar kata hatinya yang
terakhir ini. Ya, biar dia berdiri sampai pegal! Selama 20 menit, Kino
berdiri saja melihat adiknya latihan menari. Susi terlihat senang
melihat kakaknya sudah hadir. Berkali-kali Susi kelihatan ketinggalan
langkah, karena ia tersenyum-senyum kepada kakaknya. Kino mengernyitkan
dahinya, meletakkan telunjuk di bibirnya, memperingatkan Susi agar tetap
serius. Rien tersenyum melihat tingkah keduanya.
Ketika akhirnya latihan selesai, Kino bernafas lega. Bukan saja karena
ia sudah pegal berdiri, tetapi juga karena sebenarnya ia agak tersiksa.
Betapa tidak? Sejak tadi ia terpesona oleh gerak Mba Rien, tetapi ia
harus menyembunyikan perasaan itu. Betapa sulit! Rien berjalan mendekati
Kino sambil melepas stagen. Kino berdiri kikuk ketika akhirnya Rien
berdiri di hadapannya, cukup dekat untuk mencium bau keringatnya yang
ternyata tidak mengganggu Kino.
Suka menari? tanya Rien. Matanya memandang lekat remaja di hadapannya.
Senyumnya mengembang halus. Kino menelan ludah lagi. Kino menggeleng
kuat. Rien tertawa kecil, Saya pikir kamu suka. Sebab, kamu betah
menunggu adikmu latihan. Saya
., sebetulnya saya suka .., ucap Kino
tergagap. Oh, ya??? Rien membelalakan matanya yang indah, senyumnya
mengembang lagi. Kino menelan ludah lagi. Seberapa suka, sebetulnya
,
tanya Rien lagi, ringan. Mmmm
saya suka menonton saja. jawab Kino
sekenanya. Menonton anak-anak kecil menari? tanya Rien. Wah! Kino
tertunduk, mukanya tiba-tiba terasa panas. Sial! Rien tergelak melihat
Kino tertunduk malu. Kini ia tahu apa yang sesungguhnya ditonton
laki-laki belia ini! Ia ke sini untuk menontonku, melihat tubuhku! Dan
kesimpulan ini membuat dirinya senang. Bagi Rien, menyenangkan penonton
adalah tujuan utamanya menari, bukan?
Siapa nama kamu? tanya Rien lembut sambil melepas ikat rambutnya. Kino
mengangkat muka, melihat kedua tangan Rien terangkat, dan samar-sama
kedua ketiaknya yang mulus terlihat dari lengan bajunya yang agak
tersingsing. Kino.., terdengar jawaban pelan. Rien tersenyum lagi,
sengaja berlama-lama membuka ikat rambutnya, membiarkan remaja itu
melihat apa yang ingin dilihatnya. Nakal sekali kamu, Rien! sebuah suara
terdengar di kalbunya. Siksaan bagi Kino baru berhenti ketika Susi
menarik tangannya pulang. Sambil menggumamkan selamat sore, ia berbalik
dan menggandeng adiknya ke tempat sepeda.
Datang lagi, yaaa! seru Rien ketika Kino sedang bersiap mengayuh. Duh!
Kino jadi serba salah. Apakah ia harus menjawab seruan itu? Ah,
sudahlah! sergahnya dalam hati dan cepat-cepat mendayung. Dari kejauhan
Rien memandang kakak-beradik itu menghilang di balik tikungan. Senyum
manis masih di bibirnya.
*****
Demikianlah seterusnya, Kino semakin terpikat oleh wanita yang pandai
menari dan pandai menggoda itu. Sekali waktu ia mencoba menghindar,
meminta kepada ayah untuk tidak usah menjemput Susi dengan alasan harus
latihan bola kaki. Selama empat kali latihan, ia tidak mampir ke
sanggar, dan tidak berjumpa Mba Rien. Dan itu artinya, sudah sebulan ia
tidak melihat tubuh molek itu melenggak-lenggok. Lama juga, ya?
Sampai suatu hari, ada pertunjukkan dari di balai kota, diselingi
permainan band sebuah kelompok amatir yang cukup populer di kota kecil
ini. Kino datang bersama teman-temannya, tentu hanya untuk menonton
band. Acara tari-tarian di sore hari dilewatkan saja. Rombongan Kino
baru tiba di atas pukul 8, saat band mulai naik panggung. Di situlah
Kino berjumpa lagi dengan Mba Rien. Saat band memainkan lagu ketiga,
Kino pergi ke belakang panggung untuk buang air kecil, karena di sana
lah terdapat toilet untuk umum. Saat kembali ke tempat duduknya, sewaktu
meliwati pintu yang menuju tempat pemain berganti pakaian, Kino melihat
Mba Rien duduk di sebuah bangku. Langkahnya terhenti, lalu ia
menyelinap ke balik tembok yang agak gelap. Dari situ, ia bisa melihat
Mba Rien, tetapi wanita itu tidak bisa melihatnya.
Rien memakai jeans ketat dan sebuah kaos agak longgar berwarna putih.
Rambutnya digelung ke atas, memperlihatkan lehernya yang jenjang dan
agak basah oleh keringat. Ia tampak letih, dan sedang menikmati sebotol
minuman dingin. Bibirnya menjepit sebuah sedotan, dan matanya tampak
melamun. Bagi Kino, Mba Rien tampak menawan malam itu. Ia kemudian
melihat wanita itu bangkit menuju ke sebuah kamar di belakang panggung.
Kino mengikuti gerak-geriknya dengan seksama, aman dalam lindungan
bayang-bayang yang gelap. Tak lama kemudian, tampak Mba Rien membuka
sebuah pintu, dan di dalam terlihat terang berderang tetapi sepi.
Berjingkat, Kino berpindah tempat sehingga bisa memandang lebih bebas ke
dalam ruangan itu.
Rien menutup pintu ruang, tetapi rupanya kurang begitu kuat mendorong,
sehingga masih tersisa celah untuk melihat ke dalam. Dengan jantung
berdegup kencang, Kino melihat ke kiri dan kanan. Tidak ada siapa-siapa.
Semua orang berada di depan panggung asyik menonton band. Pelan-pelan
ia melangkah mendekati ruang yang ternyata adalah ruang ganti pakaian
bagi para artis. Ia tiba di depan pintu ruang itu, dan dari celah yang
tersisa, ia bisa melihat ke dalam. Kino menelan ludah, dan menahan
kagetnya. Di dalam, Mba Rien tampak sedang membuka kaosnya, membelakangi
Kino. Tubuhnya yang putih dan padat terlihat jelas, apalagi kemudian ia
berputar menghadap sebuah cermin yang pantulannya terlihat dari tempat
Kino berdiri. Ia bisa melihat dua payudara yang indah, terbungkus beha
yang tampak terlalu kecil. Lutut Kino terasa bergetar.
Kemudian tampak Mba Rien melepas celana jeansnya. Kino merasa kakinya
terpaku di tanah. Dengan kuatir ia melihat ke sekeliling, takut
kepergok. Tetapi suasana di sekitar ruang ganti itu tetap sepi. Maka ia
tetap mengintip ke dalam. Jeans sudah dibuka dan tergeletak di lantai.
Mba Rien hanya bercelana dalam dan berbeha, dan tubuhnya indah bukan
main. Putih mulus, padat berisi. Kino berkali-kali menelan ludah.
Pemandangan indah itu berlangsung tak lebih dari 10 menit, karena kini
Mba Rien sudah berganti rok panjang dan baju hem coklat. Tetapi bagi
Kino, rasanya lama sekali. Cepat-cepat ia berbalik dan tergopoh kembali
ke depan panggung.
Rien mendengar suara langkah orang. Terkejut, ia segera lari ke pintu
dan melihat pintu belum tertutup sepenuhnya. Celaka, pikirnya, seseorang
tadi mengintipku berganti pakaian. Cepat-cepat dikuaknya pintu,
dilongokkannya kepala, bersiap berteriak jika memergoki si pengintip.
Tetapi di luar sepi, tidak ada siapa-siapa. Ah, mungkin cuma perasaanku
saja, pikir Rien.
Sementara itu, di depan panggung Kino gelisah mengenang pengalamannya.
Lagu-lagu yang dibawakan band di depannya terasa hambar. Teman-temannya
terlihat girang, tetapi ia sendiri kurang bergairah. Dengan alasan
mengantuk, ia pulang lebih dulu dari teman-temannya yang keheranan. Ada
apa denganmu, Kino? tanya sobatnya, Dodi. Ia tidak menjawab, dan hanya
menggumam sambil melangkah meninggalkan arena pertunjukkan. Dasar kutu
buku
, gerutu Iwan, temannya yang lain. Kino tak peduli, dan terus
melangkah menembus malam.
Dan malam itu, Kino menikmati hayalnya di atas ranjang, meremas-remas
kelaki-lakiannya yang menegang sambil membayangkan tubuh mulus Mba Rien.
Tak berapa lama, ia mengerang tertahan, merasakan cairan hangat
memenuhi telapak tangannya. Dengan tissue yang sudah disiapkannya, ia
melap tangannya, lalu tidur nyenyak sambil berharap bertemu Mba Rien di
alam mimpi. Namun mimpinya ternyata kosong belaka, tentu karena ia
sebetulnya sudah sangat mengantuk malam itu.
No comments:
Post a Comment