Tintin memandang wajah kekasihnya yang terlelap di ranjang. Hatinya
hancur. Bukankah lelaki ini telah menjadi penopang dalam setiap
pergumulan hidupnya? Betapa dulu Agus yang menyelamatkannya dari
kekacauan semasa SMA, yang mendorongnya untuk terus kuliah, yang memberi
semangat hidup dan harapan serta impian?
Kini, Tintin sudah tingkat III, sudah menjadi leader besar di sebuah MLM
ternama, sudah berubah dari seorang gadis yang nampak udik menjadi
cantik jelita — keluar semua pesona keindahannya, melebihi foto model
yang di majalah. Tetapi Agus, dia terbaring. Terdiagnosa leukimia akut.
Dia yang telah mengubah itik menjadi angsa cantik, nampak pucat. Dadanya
turun naik, seperti masih menyimpan sisa-sisa tenaga. Kata dokter,
waktunya tidak lebih dari 3 bulan lagi.
Harusnya, Tintin pergi saja. Agus bahkan sudah memintanya untuk putus,
walaupun ia mau terus membawa cinta sampai mati. Agus tidak mau Tintin
bercinta dengan orang yang mau mati! Hati Tintin terluka. Ia sudah
terlalu dalam mencintai Agus, dan kini ia mengalirkan air mata, karena
orang yang dicintainya…akan mati. Hilang, lenyap dalam masa muda. Baru
22 tahun. Tintin baru 20 tahun. Tetapi harus terpisah selamanya. Hidup
ini kejam!
“Entin?” Agus berbisik. Ia membuka matanya, agak menyipit karena hari sudah siang, sudah menunjukkan jam 11 lewat.
“Gus… baru bangun?”
“He eh… wah, gue tidur kayak bayi ya?”
“Rasanya sakit, Gus?”
“Nggak sih… cuman ngga bisa tidur. Gue…”
Tintin tidak bisa menahan dirinya lagi. Dari duduk di tepi ranjang, ia terus memeluk Agus. Ia menangis.
“Gus… aku kangen sama kamu. Aku cinta kamu Gus…”
“Entin…”
Titin tidak membiarkan Agus berbicara. Ia melingkarkan tangannya di
leher Agus. Mencium bibirnya. Tintin memberikan bibirnya, lidahnya yang
merah dan lancip membasahi bibir Agus. Menghangatkannya. Lidah mereka
saling berpautan, melingkar, mengusap. Merasakan bagian yang paling
intim.
Saat itu, Tintin tidak menahan dirinya lagi. Selama ini, ia yang paling
keras menjaga hubungan pacaran mereka, karena ingat pesan mendiang
ibunya untuk menjaga kesucian sampai hari pernikahan. Lima tahun lalu,
ayah dan ibu Tintin meninggal dalam kecelakaan mobil, meninggalkannya
dengan seorang adik laki-laki yang sekarang naik kelas 3 SMU. Tintin
hancur, tetapi Agus menguatkannya…sampai sekarang. Selama itu, Agus
sangat sopan dan tidak pernah memaksakan kehendak. Padahal Tintin tahu
betapa Agus berhasrat, sama seperti laki-laki lainnya.
Tintin dikaruniai wajah yang cantik, putih, mata yang lebar dan bibir
yang indah. Rambutnya hitam tergerai sebahu. Tubuhnya langsing, 165 cm,
juga atletis karena sejak kecil Tintin senang berlari-lari, menjadi tim
lari SMA, dan juga masuk tim atletik kampus. Dadanya membulat, tidak
terlalu besar, tetapi bentuknya indah sekali. Semua laki-laki
memandangnya dengan hasrat, tetapi Agus begitu baik menjaganya. Tidak
pernah satu kalipun Agus melakukan hal yang menyimpang, tidak pernah
meremas, walau kadang-kadang ia menyentuh buah dada yang ranum ini.
Namun sekarang, Tintin mendadak ingin, sangat ingin untuk disentuh.
Selama pacaran, sebenarnya Tintin juga mendambakan saat romantis dimana
ia bisa merasakan sentuhan lebih dari sekedar rabaan halus, tetapi semua
itu ditahannya. Buat nanti, pikirnya. Hanya, sekarang tidak ada lagi
‘nanti’. Agus tidak akan hidup lebih lama lagi, bukan? Tidak ada lagi
larangan. Tidak ada lagi batasan.
Tintin meraih tangan Agus, membawanya ke dada. Ia meremas dadanya
melalui tangan Agus, yang kini mulai aktif dengan sendirinya. Ahhh…
Tintin mendesah. Betapa nikmatnya! Ia merasakan, cinta yang tadinya
hanya di angan-angan menjadi kenyataan, dalam remasan, dalam kehangatan.
Dalam pelukan…
Mendadak, Agus berhenti.
“Entin, jangan… sudah, sudah… ini nggak benar…”
“Kenapa? Aku cinta sama kamu Gus.”
“Justru itu… gue sangat cinta sama kamu, Tin. Jangan berikan diri kamu sama orang yang mau mati.”
“Aku tidak peduli. Aku menginginkannya… Aku mau!”
Agus menggelengkan kepala. Seperti seorang yang lemas dan kehilangan
semuanya. Padahal, tadi Agus begitu bergairah. Terangsang. Tintin masih
bisa membaui aroma kelamin di udara. Masih merasakan kemaluan lelaki ini
mengeras di balik celana.
“Gus, lihat…” kata Tintin, “aku bisa memilih, aku ini buat siapa… aku milih kamu, Gus.”
Agus terdiam. Mendadak, ia melihat kemarahan dalam suara Tintin.
Ketegasan, sesuatu yang jarang didengarnya dari gadis yang lembut dan
cantik ini.
Tintin berdiri di samping ranjang, tepat di bawah sorotan sinar matahari
yang masuk dari langit-langit. Dengan tenang tapi pasti, Tintin
melepaskan kancing blusnya satu demi satu. Lepas semua, Tintin
meloloskan blus itu, jatuh ke lantai. Berikutnya ia melepaskan kaus
singlet putih, memamerkan dadanya yang ditutup oleh BH krem muda, yang
kelihatan sedikit kekecilan untuk dadanya yang membusung.
Kemudian, Tintin melepaskan kait celana jeansnya, melorotkan
resletingnya, dan celana panjang biru itu terjatuh di bawah kakinya yang
jenjang. Tintin maju dua langkah, mendekatkan dadanya ke arah wajah
Agus. Ia melepaskan BH nya, tahu-tahu jatuh juga. Agus ternganga. Seumur
hidup, 6 tahun pacaran dengan Tintin, inilah pertama kalinya ia
memandang buah dada gadisnya. Keindahannya, melebihi gambar-gambar
erotis yang ada di internet. Tetapi itu belum selesai.
Tintin membungkuk, melepaskan juga celana dalamnya dengan satu kali
gerakan, menjatuhkan cd krem itu di bawah ranjang. Gadis itu kini
bertelanjang bulat, nampak seperti berpendar karena seluruh tubuh itu
begitu halus, begitu lembut, tanpa setitik noda. Nampak kencang, halus…
sampai Agus tidak bisa menahan tangannya mengelus leher Tintin yang
jenjang.
“Gus…aku memberikan ini kepada siapa aku mau berikan… aku memilih kamu,
bukan orang lain. Aku terlalu cinta sama kamu… aku mau kamu mendapatkan
aku, membawa aku sampai mati.
Dengan begini, aku tidak akan pernah lepas dari kamu Gus… aku memberi
kamu kesempatan untuk membuat aku jadi wanita. Aku ingin kamu
mengambilnya… boleh ya Gus?”
Kata-kata terakhir Tintin terdengar memelas. Agus tidak bisa menjawab,
ia hanya mengangguk. Tangan Agus terjulur, ia memeluk gadis telanjang
bertubuh indah itu, mendekapnya, menciumnya. Tintin merasakan getaran
cinta mengguncangkan seluruh syarafnya.
“Ohhh… Agus… aku cinta sama kamu…”
Tangan Tintin seperti kesetanan membuka t-shirt Agus, melemparkan
selimut yang menutupi kakinya, dan langsung menarik lepas celana pendek
itu. Gadis ini memandang ke bawah, ke batang kemaluan yang merah
mengeras. Tintin tersenyum memandang tongkat lelaki yang berurat itu.
Tongkat yang akan menyatukannya, menghujam dalamnya. Tintin terpesona
mengamati penis Agus.
“Oohh… panjang ya… 11 centi kira-kira… dan lebarnya….” Tintin
melingkarkan telunjuk dan ibu jarinya. Ia kemudian menggenggam penis
itu, terasa lembut dan hangat di tangannya. Di ujung kemaluan, keluar
cairan lendir bening dan licin. Inilah pertama kalinya Tintin menjamah
kemaluan laki-laki, dan ia sudah merasa kehangatan merayap memasuki
vaginanya sendiri yang menjadi basah.
Tintin merangkak naik ke atas Agus, ia mengangkang di atas kekasihnya.
Mereka berciuman, hangat, cepat. Tintin meremas-remas rambut Agus,
sementara tangan Agus meraba, mengelus, seluruh bagian belakang Tintin
mulai dari bahu sampai ke pantat. Meremas kedua pantat yang putih
membulat itu. Tintin menggelinjang, karena pantatnya terdorong ke bawah
maka ujung penis itu mengenai bibir vaginanya.
Pertemuan penis dan vagina membuat nafas Tintin memburu. Ia seperti bisa
merasakan kemaluannya merekah terbuka, seperti berseru-seru ingin
diserang, ingin dimasuki, ingin digagahi. Berkedut-kedut, Tintin
merasakan belahannya menjadi basah sekali, membuat gerakan di bawah itu
menjadi semakin licin. Maka, gadis itu menggerakkan pinggulnya, sehingga
kepala penis Agus mengosok-gosok bibir kemaluannya.
Setiap kali kepala kemaluan Agus mengenai kelentitnya, Tintin seperti
kena strum, mengejang, mendesah-desah di telinga Agus. “ooohhh ohhh
ohhh” Suara itu seperti memberi semangat, karena sepertinya batang
kemaluan itu sedikit lebih panjang, sedikit lebih keras, sedikit lebih
merah.
Tintin tidak tahan lagi. Ia mengangkang selebar-lebarnya, sambil
menurunkan tubuh ke bawah. Tangan Tintin meraih kemaluan Agus untuk
diarahkan ke kemaluannya sendiri, lantas tubuhnya turun sehingga
memasukkan kepala yang lebar itu ke antara bibir bawahnya. Tersingkap.
Teregang. Penuh.
“uuhhh….”
Agus memejamkan matanya, merasakan ujung penisnya memasuki sebuah
jepitan yang lembut, hangat, licin, sekaligus seperti menyedot masuk.
Tintin mendorongkan tubuhnya lagi ke bawah.
Greg!
Penis itu tertahan oleh sesuatu di dalam liang vagina Tintin. Otomatis gerakan Tintin terhenti. Ia tahu apa yang akan terjadi.
“Tintin…”
“Agus… sekarang ya… ambil yah…”
Tintin menekan ke bawah, memaksakan penis itu masuk menerobos ke dalam.
Ia merasakan sengatan nyeri, tetapi tidak seberapa dibandingkan perasaan
aneh yang hebat menjalari tubuhnya. Seluruh indranya terfokus di liang
kemaluannya, yang diregangkan oleh kemaluan laki-laki, menyatukan diri
dengan melesak masuk ke bagian paling intim dalam wanita.
Ya, Tintin kini mejadi seorang wanita. Sampai seluruh penis yang panjang
itu memasuki tubuhnya, sampai bulu bertemu bulu, tulang bertemu tulang.
“Agus… aku cinta sama kamu.”
“Tintin… aku juga cinta kamu.”
Mereka berpelukan erat sekali, hampir lima menit, tidak bergerak, tidak
berkata-kata, karena sekarang tubuh mereka sedang berbicara panjang dan
lebar dan cepat. Merasakan seluruh kulit bertemu, dari atas sampai
bawah, dan merasakan menjadi satu tubuh di selangkangan, yang terasa
berkedut-kedut, menjepit kuat-kuat.
Akhirnya, Tintin menggerakkan pinggulnya. Ia mulai bergerak maju mundur,
penis itu masuk dan keluar. Mula-mula sedikit. Lama-lama seiring dengan
memburunya nafas, penis Agus bergerak cepat keluar masuk vagina Tintin
yang licin, sempit… tidak ada lagi nyeri yang dirasa. Sebagai gantinya,
ada perasaan melayang yang nikmat, dan bagian tubuh yang semakin
menegang, mengejang.
Minta pelepasan.
“AGUUUSS!!!” Tintin menyerukan nama kekasihnya, ketika tubuhnya bergetar
dalam orgasme hebat, yang pertama kali, yang luar biasa keras sampai
menyesakkan nafas. Agus juga tidak bisa bertahan. Ia menyemburkan
seluruh mani di dalam vagina Tintin. Mengedut-ngedut, mengejan
berkali-kali, tubuh mereka mengguncangkan seluruh ranjang.
Lima menit kemudian, ombak besar itu mereda. Agus tersenyum memandang
kekasihnya, pasangannya, belahan tubuhnya, dengan senyum sedih. Tintin
lantas menangis terisak-isak sejadi-jadinya di dada bidang Agus. Dalam
pelukan cinta. Terasa indah, sekaligus menakutkan…karena tahu ini tidak
bisa dinikmati lama-lama.
Tintin merasakan penis Agus mengecil, merosot keluar. Ia bangkit,
melihat betapa darahnya membasahi sprei ranjang Agus, bercampur dengan
lendir mani.
“oh… lihat apa yang kita lakukan.” kata Tintin, sambil mengambil tissue
di atas meja. Ia mengelap ranjang dengan hati-hati, membersihkan noda
merah itu sebisanya. Ia lantas menyeka vaginanya sendiri yang licin,
menghilangkan bercak merah di antara pahanya yang putih mulus.
Pemandangan ini membuat Agus bangkit kembali. Pengalaman ini begitu luar
biasa baginya. Ia lantas bangun dari ranjang, berdiri memeluk Tintin
yang telanjang itu, mencium bahunya, lehernya, buah dadanya. Tintin
kembali bergairah, sambil berdiri ia mengelus seluruh tubuh Agus yang
tegap kekar. Sampai akhirnya, tangannya kembali sampai ke batang
kemaluan yang kembali telah mengeras dan sampai ukuran penuhnya.
Kali ini, Tintin yang berbaring di ranjang. Ia menarik kakinya ke atas,
kedua tungkai indah itu terlipat, mengangkang, memperlihatkan bibir
kemaluan yang masih basah, merekah terbuka akibat percintaan sebelumnya.
“Gus… masukin sini cepetan…”
Agus menindih Tintin dari atas, kepala penisnya disorongkan masuk, lantas ditekan amblas.
“Ohhh… pelan-pelan Gus…”
Agus berhenti ketika penisnya masuk sampai ke pangkalnya, terasa jepitan
yang luar biasa enak itu kembali melingkupi diri. Kedua kaki Tintin
menjepit Agus kuat-kuat, tangan Tintin melingkari tubuh Agus, dan mereka
mulai bergerak. Dalam dekapan, Agus sebisanya maju mundur, keluar
masuk, dan keluar masuk semakin cepat. Tidak ada lagi rasa sakit. Tidak
ada lagi hambatan. Tintin menginginkannya. Agus menginginkannya.
Mereka seperti berlomba, kesetanan saling meremas, saling memijat,
saling menjepit. Sampai 10 menit kemudian, kembali keduanya mencapai
puncak, kali ini Tintin tidak menahan diri untuk menjerit, dengan suara
seorang wanita yang mencapai puncak birahinya, melengking memenuhi
seluruh penjuru ruang tidur apartemen itu.
Selama seminggu berikutnya, Tintin selalu berusaha menyediakan waktu
untuk bercinta dengan Agus, setiap hari, pagi dan sore. Sepertinya, Agus
sepenuhnya sehat dan kuat, mereka mencoba berbagai gaya, mulai dari
ranjang, sofa, sampai di dapur juga.
Tetapi, kesehatan Agus memburuk dengan cepat. Dua minggu kemudian, ia
hampir-hampir tidak bisa ereksi. Mereka hanya tidur bertelanjang saja,
merasakan kulit bersentuhan dengan kulit, Tintin menghangatkan tubuh
Agus yang mulai merasa kedinginan.
Sebulan kemudian, kondisi Agus menjadi parah sehingga ia tidak bisa
bangkit dari tempat tidur. Tintin menyuapi kekasihnya, suaminya dalam
tubuh dan jiwa, merawati dengan setia dari pagi sampai malam. Ia tidak
lagi pulang ke rumah, karena jiwanya terpaut di sini, di ranjang ini,
bersama lelaki ini.
Dua bulan kemudian, Agus harus dibawa ke rumah sakit karena kondisinya
terlalu parah. Tintin juga terus menemaninya, memberi hiburan,
menceritakan hal-hal lucu sambil menitikkan air mata… menceritakan
impian.
Malam itu, mendadak Agus seperti mendapatkan kesehatannya kembali. Segar
lagi. Satu hal yang diinginkannya, ia kangen untuk bersetubuh dengan
Tintin, seperti waktu pertama. Maka Tintin mengunci pintu, melepaskan
seluruh pakaiannya, dan sekali lagi mengangkang di atas Agus, di ranjang
rumah sakit, dengan kerinduan yang sangat besar merasakan penis lelaki
itu memasukinya, sampai menyemburkan seluruh maninya. Tetapi, segera
setelah itu Agus menjadi sangat lelah, sehingga setelah memakai baju ia
langsung terlelap.
Seminggu kemudian, Agus meninggal dalam pelukan dan isak tangis Tintin.
Ia tidak mau dihibur, tidak mau apapun juga. Tintin sudah mau mati,
berharap untuk segera meninggalkan dunia ini.
Sampai waktunya, Tintin sadar bahwa ia tidak lagi mendapatkan mensnya.
Tintin lantas pergi ke apotek membeli test-kit, dan mendapatkan dirinya
telah hamil. Seharusnya hal ini mengejutkan, atau menakutkan, tetapi
justru Tintin mendapatkan kembali semangatnya. Ia mau makan lagi, mau
mandi lagi, dan meneruskan lagi kehidupannya. Ia tidak malu orang tahu
bahwa dirinya hamil, perutnya membunting membesar. Waktu orang tanya, ia
hanya menjawab,
“Aku cinta kepada Agus.”
No comments:
Post a Comment