Suara gemuruh air hujan terdengar dari luar, awan mendung yang sedari
pagi bergelantungan di langit akhirnya berjatuhan juga. Masalahnya,
kenapa hujan begitu tega padaku? Turun di saat aku baru saja melepas
celana dalamku di WC. Derasnya air hujan jelas membuatku tidak tenang,
aku bergegas mengenakan kembali celana dalamku begitu urusanku beres.
Aku merapikan seragam sekolahku dan membuka pintu WC.
Aku bengong begitu melihat keluar, derasnya air hujan seolah menutupi
pandanganku. Bangunan dengan deretan WC khusus siswa/siswi ini memang
terpisah dari bangunan kelas-kelas, kendati tidak begitu jauh, hanya
berjarak sepuluh atau delapan langkah, namun siapa pun yang mencoba
menerobosnya bisa dipastikan akan basah kuyup. Aku tetap melangkah
bagiamana pun juga, berniat berlari menembusnya.
"Andin, jangan!" Teriak sebuah sumber suara.
"A Rangga?" Tanyaku, menengok ke arah laki-laki berbadan tegap yang
berseragam itu dengan perasaan senang. Jujur saja, tadi aku sempat
khawatir seandainya aku terjebak hujan di sini lalu harus menunggu hujan
reda sendirian.
Kak Rangga ini pacarnya Ami, teman sebangku aku. Lucunya, Kak Rangga
adalah sahabat dekat Kak Dhani, pacar aku. Keduanya satu tingkat di atas
aku dan Ami, mereka kelas XII sementara aku dan Ami kelas XI. Ami dan
Kak Rangga memang sudah lebih dulu berpacaran, nyaris sudah satu tahun
setengah, sementara aku dan Kak Dhani baru saja pacaran beberapa bulan
yang lalu, itu pun tak lain gara-gara Kak Rangga dan Ami yang
mengenalkan kami berdua.
"Kok Aa ada di sini?" Tanyaku dengan panggilan lokal untuk kakak
laki-laki. Aku bertanya seperti itu mengingat kelas XII sebetulnya
memiliki WC yang satu lantai dengan kelasnya di lantai atas sana.
"Habis dari ruang guru, Din, terus kebelet kencing tadi. Kelasku lagi
dikasi tugas, sih. Andin pasti lagi belajar Kimia, ya?" Katanya sedikit
mengencangkan suaranya, melawan gemuruh air hujan yang cukup ribut. Kak
Rangga ini, selain pintar dan aktif berorganisasi, dia cowok yang
dikenal baik namun yang paling penting buat cewek-cewek di sekolah ini
adalah wajahnya yang terbilang tampan untuk ukuran rata-rata cowok di
sekolah ini, plus dia juaranya bermain futsal. Aku suka? Oh iya dong,
aku juga suka, tapi itu dulu, dulu sebelum Kak Rangga jadian sama Ami.
Masalahnya, Ami juga bukan cewek sembarangan, Ami termasuk cewek yang
paling cantik di sekolah ini, jadi tidak ada orang yang menyesalinya
ketika Kak Rangga dan Ami jadian, termasuk aku.
"Iya nih, tapi hujannya gede banget." Jawabku setengah berteriak juga.
Kak Rangga mendekatiku, mungkin agar aku dan dia tak perlu
berteriak-teriak.
"Gak apa-apalah, nanti bilang aja ke Bu Tina kalo Andin telat gara-gara
takut kehujanan." Hiburnya. Aku dan Kak Rangga memang tidak begitu asing
antara satu dan yang lainnya karena cukup sering bertemu dan jalan
bareng bersama Ami dan Kak Dhani pacarku.
"Parah banget hujannya, iya nggak sih?" Aku sedikit mengeluh sambil
mengibaskan bagian depan rok pendek abu-abuku, menjatuhkan
butiran-butiran air yang menempel.
Belum sempat Kak Rangga menanggapi keluhanku, tiba-tiba hujan bertambah
deras disertai angin yang cukup kencang. Aku melangkahkan kakiku mundur,
menyelamatkan kaos kaki dan sepatuku dari serbuan air hujan.
"Eh, maaf." Kataku, begitu bagian belakang badanku menabrak tubuh Kak Rangga yang ternyata sudah berdiri di belakangku.
"Hahaha, nggak apa-apa." Kak Rangga tertawa. "Sebelah sini." Dia menarik
lenganku. Mengajakku ke WC yang paling ujung. Di akhir deretan WC ini
memang ada satu ruang sempit yang cukup melindungi dari tiupan angin
yang membawa serta hujan itu. Ruangan yang tak berpintu ini adalah
tempat petugas kebersihan menyimpan alat-alatnya. Lumayan jika
dibandingkan harus berlindung di WC.
Kak Rangga menarikku mundur sedikit lagi, angin yang disertai air hujan
itu ternyata masih bisa menjangkau ujung sepatu ketsku. Aku berdiri
membelakangi Kak Rangga, punggungku berdesakkan dengan dadanya.
"Nah, ini lebih baik." Katanya dari belakangku. Aku membalasnya dengan
anggukan sambil menatap air hujan yang deras di depan mataku. Entah
kenapa, aku merasakan hal yang tidak enak, merasa tidak terbiasa
berduaan di tempat yang cukup tersembunyi dengan pacarnya teman yang
sekaligus temannya pacar ini.
Aku merasakan turun-naik nafas Kak Rangga dari dadanya yang menyentuh
punggungku, hawa dari badannya terasa menempel dengan hangat di
punggungku. Perasaanku mulai menjadi tidak karuan, belum lagi wangi
parfum khas Kak Rangga yang tiba-tiba saja menyusup ke dalam hidungku.
Ada perasaan yang cukup intim yang aku rasakan, tapi entahlah, mungkin
saja hanya aku yang merasakannya.
15 menit berlalu sudah tapi hujan masih saja deras. Sementara itu, Aku
dan Kak Rangga belum membuka mulut lagi sejak percakapan terakhir tadi.
Aku tidak tahu kenapa kami menjadi diam, aku sendiri diam karena merasa
canggung. Entah bagaimana ceritanya, punggungku ternyata sudah cukup
menempel di bagian depan badan Kak Rangga. Aku bisa merasakan persis
kancing-kancing, emblem OSIS, dan label namanya di punggungku, tak luput
dengan bidangnya dada Kak Rangga yang cukup empuk aku sandari. Satu-dua
kali aku mendengar ada siswa yang keluar-masuk WC tapi tak satu pun
yang mengetahui keberadaan kami berdua di sini. Seharusnya mereka yang
datang dan pergi itu membawa payung dan aku bisa saja ikut menumpang
tapi entahlah, seolah ada yang menahanku di sini. Ketenangan dan
kenyamanan, selain ada perasaan dekat yang cukup aneh antara aku dan Kak
Rangga membuatku enggan beranjak.
Kedekatan tanpa sebab itu tiba-tiba terasa lebih mesra, badan Kak Rangga
yang terlanjur menempel dengan punggungku itu terasa dibuat sedemikian
rupa sehingga lebih maju. Wajahnya saat ini berada persis di samping
kiri telingaku, dan untuk pertamakalinya, nafas panas Kak Rangga terasa
menyapu telingaku. Rasa panas yang menerpa telinga, menurutku bisa
membuat cewek mana pun menjadi lunak, ada sesuatu hal yang tidak aku
mengerti pada telinga cewek dalam keadaan seperti ini. Hembusan nafas
yang hangat itu tak berhenti tertiup, menyisir daun telingaku yang
sekarang terasa sensitif. Perlahan namun pasti, gejolak dalam tubuhku
mulai bermunculan. Pikiran-pikiran negatif mulai berdatangan.
"Apa A Rangga sengaja membuatku horny?" Tanyaku dalam hati, merasakan kegundahan gara-gara posisi ini.
Aku hanya bisa memejamkan mata saat setelah itu salah satu bibirnya
menempel di daun telingaku, terasa hangat. Entah apakah dia melakukan
itu dengan sengaja atau tidak, aku tanpa sadar malah menjadi terbuai.
"Sengaja, atau memang gak sengaja?" Pertanyaan itu mendera benakku.
Aku membiarkannya, toh aku juga sepertinya malah menyukai itu.
Setidaknya menjadi hiburan di saat hujan dan angin membuatku mulai
kedinginan. Namun, di saat aku sedang menikmati itu, tiba-tiba sebuah
kecupan kecil yang sepertinya memang disengaja mendarat di telingaku,
menyadarkan aku situasi yang sebetulnya. Kecupan yang cukup menjawab
pertanyaanku yang tadi.
Awalnya aku bimbang dan tidak tahu apa yang harus aku lakukan, namun
kecupan kedua seolah kode konfirmasi darinya. Hasrat dalam tubuhku yang
mulai terpancing ini tidak mampu memberikan penolakan. Dari mesra
kecupannya, rasa hangat bersandar di dadanya, dan wangi parfumnya yang
menguap dari tubuhnya menimbulkan gairah secara tiba-tiba dalam diriku.
Aku yang mulai merasa lemah diperdayai oleh nafsuku sendiri ini menengok
ke arahnya, melihat wajahnya dari sudut mataku yang sepertinya meredup
ini. Rupanya Kak Rangga menyadari keadaanku, seolah bisa membaca
pikiranku dari tatapanku itu, dikecupnya sudut bibirku dengan penuh
kehati-hatian. Aku membiarkan itu karena ternyata aku menyukainya. Dan
ketika dia melakukan itu lagi, tanpa sadar aku memalingkan paksa wajahku
ke arahnya, menatapnya seolah memberitahu dia bahwa aku bersedia
menerima hal yang lebih dari itu, dan membiarkan bibirku diam begitu
saja. Melihat reaksiku yang seperti itu, Kak Rangga dengan tanpa ragu
menyambar kedua mulutku dengan bibirnya. Aku membalasnya, menghisap
kembali cumbuannya.
Seolah diiringi oleh denting-denting piano yang romantis, bunyi hujan
yang riuh berjatuhan itu seakan melambatkan nikmatnya cumbuan demi
cumbuan. Dari belakang punggungku, tangan kanannya menelusuri ikat
pinggang yang melilit perutku, perlahan menyusuri seragamku ke depan
hingga berakhir di bagian depan tubuhku yang menonjol terperdayai nafsu.
Dadaku, bagian yang selalu ingin dijamah saat aku sedang fly seperti
ini, membusung secara otomatis saat tangannya tiba di dua gundukan jelly
yang sudah horny milikku itu. Aku membiarkannya, mempersilahkan jemari
tangannya untuk melakukan apa pun yang dia mau.
Diremasnya kedua buah dadaku itu perlahan. Begitu jemarinya menekan
seisi payudaraku, pikiranku bertolak terbang entah kemana. Tanpa sadar,
badanku melengkung tak terkontrol, tangan kiriku menjambak rambutnya,
menarik kepalanya, menuntut ciuman yang lebih dalam. Buat dia, semuanya
seperti sudah jelas: Aku memang menginginkannya. Dirapatkannya tubuhnya,
direngkuhkannya kedua pundaknya menghimpit punggungku, satu per satu
kancing bagian atasku dilepasnya hingga cukup ruang baginya untuk
merogoh payudaraku. Angin dingin yang berhembus ke dalam sebagian
permukaan dadaku yang terbuka serasa membangkitkan rambut-rambut halus
yang tumbuh di sana. Aku mendesah seirama dengan deru air hujan manakala
tangannya menyusup masuk ke dalam kemeja putihku, menyelinap ke dalam
kaos dalam dan braku. Dia genggam penuh buah dadaku itu dengan
kelembutan. Ciuman demi ciuman mengiringi rabaannya. Sesekali, aku
membalasnya dengan meremas-remas benda tegak di dalam celananya.
Hasrat menggali kenikmatan sudah begitu menguasai pikiranku. Sejenak
terpikirkan olehku kalau bibir yang aku cumbu ini adalah bibir yang
biasa dicumbui oleh bibir sahabatku sendiri, teman sebangkuku! Namun apa
daya, pikiran itu sirna seiring jemarinya yang menari-nari nakal di
atas permukaan kulit buah dadaku itu mendekati bagian yang menegang.
Disentuhnya perlahan, dipijit, dan dipilinnya puting susuku yang sudah
sedemikian tegak itu. Aku melenguh kencang, otot-otot di tubuhku serasa
lemas, terhisap oleh kenikmatan yang luar biasa.
Aku melepaskan ciumannya, menikmati setiap sentuhan, remasan, dan
cubitannya di payudaraku. Seolah tak mau berhenti beraktivitas dengan
mulutnya, hisapan dan sapuan lidahnya menyerang bagian belakang dan
samping leherku yang tertutupi rambut. Rasa panas yang mendarat di
leherku begitu kontras dengan udara di sekelilingku. Rasanya seperti
menikmati sup ayam yang panas di kala kedinginan - nikmat tanpa ampun.
Tangan kanannya kemudian bergerak turun dari payudaraku, menyisir
perutku, lalu lebih bawah lagi. Aku tahu ke mana arah tangan itu menuju,
ke sebuah tempat milikku yang sedari tadi begitu merindukan sentuhan,
sebuah tempat di mana semua kenikmatan-kenikmatan ini berujung. Tangan
kirinya yang masih menggenggam payudaraku di dalam pakaianku itu
terus-menerus membelai, meraba, dan meremas-remas. Gejolak birahi ini
sepertinya tak bisa terbendung lagi. Rasanya, bagian bawah celana
dalamku mulai berair, rasa lincir di bagian bawah itu cukup terasa
olehku. Aku hanya diam saat tangannya perlahan menyusuri bagian bawah
perutku yang melereng ke bawah, sekali pun masih terlindungi oleh rok
dan celana dalamku namun aku merasakan rambut-rambut jarang di bawah
sana ikut tersentuh, dari lereng itu dia berlalu menuju tebing
kemaluanku yang lunak dan menggembung, lalu dia menggenggamnya erat. Di
bawah sana, rasanya seperti terselimuti kenikmatan yang mesra. Lalu
digoyangkannya genggamannya itu, turut menggoyangkan lapisan pakaian
yang menutupi kemaluanku. Basahnya daerah itu, membuat genggamannya di
tengah selangakanganku itu menjadi sebuah kenikmatan yang tak
terlukiskan.
Kriiiiingg! Kriiiing!!
Tiba-tiba saja bunyi bel dua kali yang cukup nyaring itu terdengar
menembus tebalnya hujan, bel pertanda jam pelajaran telah berganti. Di
titik yang tengah aku alami ini, tak akan ada seorang perempuan pun yang
bisa melawan kenikmatan yang luar biasa seperti ini, namun bunyi bel
itu menyadarkanku akan sekeliling. Dinding-dinding ruangan petugas
kebersihan ini menjadi cukup jelas. Lalu aku teringat dengan siapa aku
bercumbu mesra. Kak Rangga adalah sahabat pacarku, dia adalah kekasih
dari sahabatku! Bahkan, air liur yang tertukar dari mulut Kak Rangga
sejatinya adalah air liur yang sejak sekian lama bercampur dengan air
liur teman sebangku aku! "Terkutuklah aku!" Gerutuku dengan penyesalan.
Kak Rangga meredakan pelukannya demi melihat nafsuku yang tiba-tiba
menurun. Sepertinya dia menyadari rasa berdosa yang tiba-tiba
menyerangku. Aku memajukan badanku, membetulkan rok pendekku itu dan
mengancingkan kembali tiga kancing atas kemeja sekolahku yang sudah
terlepas.
"Maafkan aku, Ndin." Katanya sambil berbisik. Aku diam seribu bahasa dan
hanya berani menundukkan kepala. Aku beranjak dari pelukannya dengan
rasa berdosa dan berjalan menjauhinya. Namun sebelum langkahku cukup
jauh, di antara hujan yang mulai melambat, terdengar dia berkata
sesuatu,
"Tapi, aku gak nyesel."
Aku menghentikan langkahku, dan berbalik ke arahnya.
"Kenapa?" Tanyaku.
"Karena aku gak ngelakuin cuma karena nafsu doang." Jawabnya. "Aku dulu
pernah suka sama kamu, Ndin. Setidaknya sekarang aku pernah nyium kamu."
Lanjutnya sambil tersenyum.
Aku tidak berani merespon apa-apa. Aku takut salah.
Baru saja aku mengangkat kakiku untuk melangkah, tiba-tiba tangannya yang kekar itu menarikku kebelakang.
"A?" Tanyaku kenapa. Aku menghadapkan badanku di depannya, seolah
melihat raut wajah yang membutuhkan pelampiasan. Jujur saja, aku pun
merasakan hal yang sama, kebutuhan untuk melepaskan kenikmatan yang tadi
sesaat menderaku.
Sekonyong-konyong dia malah menarikku. Membawaku melewati pintu WC.
Setibanya di dalam, ditariknya kepalaku ke arahnya dan secepat kilat
mulutku dihisap habis olehnya. Dan entah kenapa, seolah terlepas dari
belenggu, aku tidak kalah buas darinya. Aku balas menghisap mulut
rakusnya itu. Tanpa sadar, tanganku memegang dengan gemas kemaluannya
tanpa rasa malu, begitu pun dia, dengan liar kembali meremas-remas
payudaraku.
Dengan susah payah, tanpa melepas ciuman, Kak Rangga mengunci pintu WC.
Aku, Andin Pratiwi Putri, perempuan yang dikenal baik, sopan, dan sangat
menghargai persahabatan ini tiba-tiba menjadi buas dan nakal. Lihat
saja, tanpa basa-basi, aku berusaha melepas ikat pinggang Kak Rangga.
Tak mau kalah, Kak Rangga melepas kancing kemeja sekolahku satu demi
satu. Kami berdua seolah tahu sejauh apa semua ini akan dilampiaskan.
Aku mengurut kemaluannya yang sudah membengkak itu begitu ikat pinggang
dan resluiting celana panjang sekolahnya berhasil aku buka. Aku
tersenyum melihat sebagian kemaluannya berontak melewati batas celana
dalamnya, sebagian dari kepala penis mengintipku dari sana. Rupanya adik
kecil Kak Rangga ini sudah sedemikian terangsang sampai-sampai celana
dalamnya sudah tidak bisa menampung ukuran panjang penisnya. Namun masih
dengan pertempuran yang sama, Kak Rangga tak kalah berusaha. Disibaknya
ujung kemeja putihku yang menghalangi bagian depan tubuhku itu, sebelum
akhirnya dia menarik paksa kaos dalam dan braku ke atas. Kedua payudara
yang selama ini hanya sempat dijamah oleh sahabatnya itu tergantung
bebas di hadapan matanya. Kedua putingnya terlepas ke udara terbuka,
menunjuk, menantang Kak Rangga. Seolah terpesona, dia melihat dengan
seksama kedua bongkahan benda kenyal yang cantik itu, lalu
meraba-rabanya dengan penuh perhatian. Aku refleks terdiam merasakan
kenikmatan ini.
Aku makin tak kuasa merasakan semua itu ketika mulutnya terasa panas dan
basah melahap dan menghisap kedua benda kesayanganku, apalagi ketika
dalam hisapannya itu, lidahnya menekan-nekan liar buah dadaku. Nafas
yang terasa sesak ini menyisakan desahan yang tiada henti. Udara sekitar
yang tadinya terasa dingin sekarang tak lagi begitu terasa terasa,
suara hujan pun tak lagi terdengar tergantikan oleh suara hisapan mulut
Kak Rangga dan desahan nafasku. Aku memeluk kepalanya, menekannya,
memohon padanya agar tidak berhenti menggauli kedua payudaraku.
Detik demi detik dilalui dengan kenikmatan yang tiada tara sampai lupa
di mana aku berada. WC ini berlabel 'Putri', WC yang memang lebih bersih
dan lebih terawat dibanding WC Putra. Ruangannya sedikit lebih luas
dari WC Putra, dilengkapi satu bak mandi dan toilet jongkok di
sampingnya, sementara ventilasi hanya merupakan sebuah jendela kecil
yang bisa dibuka dan ditutup di atas sana. Aku merasa di tempat ini
cukup aman, tidak ada kekhawatiran sedikit pun dariku.
Fokusku menjadi kabur ketika Kak Rangga tidak hanya menghisap buah
dadaku, namun tangannya yang nakal itu mulai meraba-raba pahaku.
Jemarinya menelusuri pahaku yang masih terbalut rok abu-abu sekolahku.
Jemari nakal itu merayap perlahan melintasi ujung kain rokku, lalu
menyelinap masuk ke dalamnya. Rabaannya serasa aliran listrik yang
mengalir dari rambut-rambut kecil di pahaku. Kedua tangannya menyebar
hingga ke belakang pahaku, lalu naik hingga dia berhasil menggenggam
kedua bongkah pantatku yang masih terbungkus celana dalamku. Dia
melepaskan hisapan mulutnya dari dadaku, menegakkan badannya dan
kemudian melumat bibirku, namun tanpa ampun, di bawah sana tangannya
meremas dan menarik-narik kedua pantatku. Rasa nikmat itu tidak hanya
dari remasan dan pijitannya di pantatku, namun tarikannya membuat kedua
bibir kemaluanku di bawah sana ikut tertarik kesana-kemari. Bibir
kemaluan yang awalnya rapat dan basah itu sesekali terbuka menganga,
membuat gesekan-gesekan kecil di sana satu sama lain.
Jemarinya terus berpetualang hingga berakhir di atas karet pinggang
celana dalamku, lalu serta-merta dia menariknya turun hingga ke ujung
pahaku tanpa sempat aku cegah sama sekali. Dia menatap mataku, seolah
bertanya apakah aku mengizinkan dia untuk melanjutkan ke tahap
selanjutnya. Aku menjawabnya dengan sebuah senyuman, mengangkat sebelah
kakiku dan mengambil celana dalamku yang terlanjur lepas dari
selangkanganku.
Aku berhenti sejenak, mengamankan celana dalamku dengan
menggantungkannya di gantungan baju di pintu WC. Wangi lembab dan
lengket dari celana dalamku membuatku agak malu, sekali pun aku pikir
cukup wangi bercampur dengan body-lotionku. Kak Rangga kembali
mencumbuku dan tangannya kembali bergerilya. Dia menyibak rok sekolahku
itu dan mengusap-ngusap paha bagian dalamku. Ujung-ujung syaraf di
bagian dalam pahaku itu memang teramat sensitif, apalagi setelah alat
vitalku di bawah sana bersentuhan dengan udara terbuka, membuat daerah
sekitarnya kian resposif terhadap sentuhan. Satu per-satu syaraf-syaraf
penerima rangsangan itu mengalirkan kejut-kejut listrik yang melintasi
organ intimku.
Ruangan ini terasa lembab dengan hawa panas birahi yang menguap dari
masing-masing tubuh kami. Sekali pun di luar masih hujan, namun badanku
terasa berkeringat sekali. Aku memeluknya erat ketika salah satu
jemarinya menyentuh selangkanganku, perbatasan yang polos antara paha
dan organ intimku. Aku menggigit bibirku, menahan kenikmatan tatkala
jemarinya mengelus kedua bibir kenikmatanku yang dipenuhi lemak itu.
Ditekan dan digoyangkannya kesana-kemari, membuat cairan kenikmatan yang
merembes dari dalam liang senggamaku itu luber kemana-mana. Aku
berkali-kali harus menahan pantatku dari refleks rasa nikmat yang
menyerangku tapi aku justru melebarkan kedua pahaku. Kemudian tangannya
mengusap-ngusap rambut-rambut pubisku yang masih jarang, lalu turun
melintasi batas rambut-rambut kecil itu, menuruni sebuah lembah seukuran
kelingkingku dan,
"Aaaaaaaaaaaah!!" Aku berteriak kencang dan menjambak rambutnya ketika
jari tengahnya menyentuh sebuah permukaan yang menonjol dari lembah
kemaluanku itu, klitorisku, benda tegang yang berukuran tidak lebih
besar dari puting susuku namun dengan ribuan ujung syaraf kenikmatan
yang sedari tadi menanti-nanti sentuhan. Ditekannya biji yang terlapisi
kulit yang tipis itu, digerakkannya kesana-kemari, membuat
ledakan-ledakan nikmat yang memancar ke seluruh tubuhku.
Aku benar-benar terlena, tak kuasa menahan kenikmatan yang aku rasakan,
sampai-sampai aku menjatuhkan badanku memeluk Kak Rangga. Kepalaku,
tanganku, kakiku, semuanya mengejang tak terkendali.
Kenikmatan yang bertubi-tubi di antara selangkanganku itu kian lama kian
memuncak. Sentuhan dan pijatannya pada biji klitorisku itu begitu
lembut dan konstan, seperti jemari yang sudah sangat terlatih untuk
memuaskan nafsu seorang perempuan. Lalu pada suatu titik, otot-otot di
paha dan pantatku serasa tegang, seolah memberikan jalur tanpa hambatan
pada kenikmatan yang kian meninggi. Aku peluk erat Kak Rangga dengan
sekuat tenaga, dan hanya dalam hitungan detik, sebuah tekanan dan
gesekan yang tepat dari KakRangga melemparkanku ke angkasa seiring
dengan berhamburnya jutaan kenikmatan itu dari klitorisku ke setiap
penjuru tubuhku.
"Aaaaaaaaaaaahh!!" Aku tak bisa menahan erangan kenikmatanku.
Aku memeluk Kak Rangga dengan nafas yang terengah-engah. Dia membiarkan
tangannya diam di selangkanganku karena tidak sengaja terkunci olehku
saat orgasme tadi tiba. Aku mengecup mesra bibirnya sebagai ucapan
terimakasih.
Tanpa sadar, aku sudah mengelus kepala kemaluannya yang menyembul dari
balik celana dalamnya. Tanganku mencoba menelusuri leher batang
kelaminnya yang masih terlindungi celana dalam, sekali pun celana dalam
cowok memang lebih tebal dari celana dalam cewek, tapi bagian-bagian
dari penisnya cukup terasa olehku ujung-ujung jariku. Urat-urat yang
menegang di bagian tengah batang kemaluannya terasa berdenyut-denyut
seksi. Sebelah tanganku menarik bagian atas celana dalamnya ke arahku,
lalu tanganku yang lainnya merogoh burung yang tegang itu agar keluar
dari sangkarnya.
Melihat posisiku yang tidak terlihat enak, Kak Rangga mundur dan
menyandarkan pantatnya di ujung bak kamar mandi. Aku menarik celana
panjang abu-abunya turun. Paha polos yang berotot itu terlihat sangat
gagah di mataku, dia lalu berusaha membantuku dengan menurunkan celana
dalamnya.
Penis yang sepertinya sudah tidak bisa menahan nafsu birahi yang sedari
tadi bergejolak itu berdiri tegak begitu saja, berdiri di atas dua
kantung biji kemaluan yang menggelantung, berlatar rambut-rambut pendek
kemaluan yang keriting namun rimbun. Sangat gagah dan seksi, sebuah
pemandangan yang tidak pernah aku lihat dari seorang kekasih sahabatku.
Kugenggam benda yang kekar itu, panasnya begitu terasa oleh telapak
tanganku. Tak berani kubayangkan seandainya rasa panas ini menempel pada
dinding-dinding lubang vaginaku dan mengaduk-ngaduk permukaan-permukaan
licin dan sensitif di dalam sana. Ah, aku malah jadi horny kembali
membayangkannya.
Aku membungkukkan badanku, mendekatkan wajahku ke arah kepala penis yang
terlihat mengkilat itu. Kugenggam benda itu seolah mikrofon yang hendak
aku nyalakan. Wangi kecut kayu-kayuan yang segar dan khas dari alat
vital laki-laki ini terhirup oleh hidungku, membuatku tak bisa
menahannya lebih lama. Aku membuka mulutku lebar-lebar dan menjulurkan
lidahku hingga menggapai bagian bawah leher penisnya. Kuapit mesra
dengan kedua bibirku, kupijat dengan lidahku dan kuhisap perlahan
seperti layaknya aku menikmati sepotong eskrim bar, hanya saja eskrim
yang satu ini terasa panas dan juga hambar dan sedikit asin di lidah.
Kutarik dan kumasukkan kembali ke mulutku, kupijat dan kuhisap kembali,
berulang-ulang hingga benda panas itu betul-betul mengeras, membesar,
dan memerah, bak besi panas yang hendak ditempa. Kak Rangga memejamkan
matanya, hanya tangannya yang coba menghalangi rambutku yang terjatuh ke
depan. Setelah berapa lama, dia memegang daguku, lalu mendekati
telingaku dan berbisik.
"Boleh dimasukin gak, Din?" Tanyanya dengan malu-malu.
Terus terang, aku sudah cukup malu dengan melakukan semua ini. Bagaimana
tidak, cewek yang tengah mengulum kemaluannya ini adalah kekasih dari
sahabat dekatnya sendiri. Bibir yang sama yang beberapa hari lalu
menghisap kemaluan sahabatnya! Aku sendiri, rasanya tak sanggup
membayangkan batang kemaluan yang mungkin biasanya memasuki lubang
senggama teman sebangkuku juga memasuki lubang kemaluanku, rasanya aku
sudah keterlaluan.
"Sekali ini aja, Din. Aku gak bakal cerita apa-apa ke Ami atau ke Dhani, aku janji." Katanya, mencoba membujukku.
Kemaluan yang kokoh dan panas yang berada di dalam genggamanku ini
memang tampak seperti haus akan dekapan erat mulut vaginaku, seperti
halnya lubang senggama yang licin yang rapat milikku di sana, yang saat
ini betul-betul merindukan gesekan dari sebuah batang kemaluan
laki-laki.
Aku membiarkannya saat dia menarik ujung rokku dan mendudukkan pantatku
di atas bak air. Seperti terbelah, kedua bibir kemaluanku menganga saat
lengannya mengangkat salah satu pahaku ke atas. Dia mendekatkan
kemaluannya ke selangkanganku, lalu perlahan, disentuhkannya kepala
penis yang kenyal itu diantara kedua bibir kemaluanku yang nampaknya
sangat basah dan merekah itu. Dia mengarahkan kepala tumpul bak sosis
panas itu pada ujung bawah bibir kemaluanku lalu menekannya
perlahan-perlahan persis pada lubang yang berlendir itu, sepertinya dia
tahu kalau lubang vaginaku masih cukup sempit. Sejauh ini, aku hanya
melakukan hubungan suami-istri dengan Kak Dhani, dan itu pun baru hanya
beberapa kali saja.
"Ahhh!" Aku menahan nikmat saat kepala penisnya merangsek, menguak paksa dua bibir kemaluanku yang paling dalam.
"Aaaaaaaaaaaaaaaaah!" Aku mengerang panjang saat penis keras nan panas
itu melesak masuk, menyeruduk ke dalam liang vaginaku, mengurut
dinding-dinding licin milikku yang begitu sensitif.
"Uhhh!!" Aku tak henti-hentinya mengeluarkan suara, lenguhan itu tak
terkendali saat penis yang terhisap dalam vaginaku mulai bergerak
perlahan maju dan mundur. Rasa penuh pada liang kemaluanku itu
benar-benar membawaku terbang.
"A Rang.. ga" Kataku lemah memanggilnya diantara sejuta kenikmatan yang
menghampiriku. Aku menarik kepalanya, melabuhkan sebuah ciuman yang
diiringi oleh gesekan dalam lubang kemaluanku. Sesekali penisnya yang
ikut licin oleh cairan pelumasku itu lepas dari genggaman kemaluanku,
cairan yang licin dan lengket itu menetes hingga ke pantatku. Kak Rangga
tak henti-hentinya memacu pantatnya maju dan mundur, aku pun tak kalah
sibuk, mencumbunya dengan buas.
"Ami, maafkan aku." Jeritku dalam hati. "Ini terlalu nikmat untuk aku
tolak." Betapa tidak, berhubungan kelamin dengan sosok yang aku kagumi
ini tak hanya sekedar cerita drama romantis, namun juga rasa berhubungan
seks yang ternyata sangat nikmat.
Aku menatap cowok ganteng yang tengah menggauliku ini. Dia berkali-kali
memejamkan matanya, terlihat begitu menikmati lubang hangat yang licin
namun sempit milikku. Tidak jauh berbeda ketika Kak Dhani menindihku,
otot-otot tangannya meregang menahan tusukkan ke dalam vaginaku,
urat-urat di lehernya nampak jelas seolah sedang memberikan energi yang
lebih pada perut, pantat, dan pahanya. Sayang sekali, aku tak bisa
melihat penisnya keluar-masuk liang vaginaku, rok sekolahku yang
tersibak menghalangi penglihatanku, hanya pangkal penisnya yang terlihat
basah terlihat sesekali.
Tusukan-tusukan penisnya itu tak hanya menggesek dinding-dinding di
lubang kemaluanku, daerah sensistif di dalam kemaluanku pun ikut
bangkit. Kenikmatan menuju puncak pun sedikit demi sedikit mulai
berdatangan, aku bahkan harus menopang badanku dengan tanganku.
"Ah, ah, ahhh.." Suaraku dan suaranya mulai seirama, kenikmatan yang dia
rasakan nampaknya sama yang dirasakan olehku. Aku ikut menggoyangkan
pantatku ke depan dan ke belakang. Lama-kelamaan gerakan Kak Rangga kian
cepat. Dinding-dinding kemaluanku pun tak kalah berjuang mendaki puncak
kenikmatan.
"Uuuuuuuuuaaaah!!" Aku menggigit bibirku tatkala kenikmatan-kenikmatan
itu memuncak dalam sebuah lontaran kenikmatan yang dahsyat. Mengejangkan
semua otot di tubuhku, membius kepalaku dengan letupan-letupan nikmat
yang terus-menerus, sementara gesekan cepat kemaluan Kak Rangga yang tak
sebentar pun berhenti menambah panjang orgasmeku kali ini. Aku
mememeluknya erat, membuat penisnya tenggelam dalam lubang vaginaku
sedalam mungkin hingga orgasmeku selesai.
Aku menggoyangkan kembali pantatku, sekali pun kemaluanku kemudian
terasa ngilu, namun aku enggan membuat Kak Rangga yang tengah memacu
kenikmatannya itu berhenti di tengah jalan.
"Emmmgh.." Lenguhnya. "Sempit banget, sumpah." Katanya sambil memejamkan
mata, masih terlihat begitu sangat menikmati lubang kemaluanku.
"Andin.." Panggilnya, terasa olehku dia menambah kayuhannya lebih cepat.
Aku mencoba membantunya dengan goyangan pantatku sekali pun ruang
dudukku terbatas oleh bibir bak WC yang tidak cukup luas.
"Andin sayang.." Dia seperti mengigau. Aku pikir dia mengigau karena dia mulai mendekati masa ejakulasinya.
"Iya, sayang.." Aku membalasnya sambil menyeka keringat yang bercucuran dari keningnya.
"Udah mau keluar?" Bisikku bertanya.
"He-em" Dia menjawabnya dengan nafas tertahan di antara goyangan pantatnya yang sepertinya bergerak lebih cepat lagi.
"Andin.. Emh, emh.." Panggilnya lagi, namun disertai desahan nafas yang buas. Kayuhannya itu tiba-tiba menjadi super cepat, dan,
"Andin, aaaaaaaaaaaaahh!!" Serta-merta dia mencabut penisnya dari dalam
vaginaku. Nampak tak sadar dengan kenikmatan yang membawanya terbang
entah kemana itu, batang penis yang terlihat basah kuyup oleh
lendir-lendir dari dinding vaginaku itu tiba-tiba melontarkan cairan
kemana-mana. Cairan berwarna putih yang cukup banyak itu berloncatan dan
terlempar tanpa ampun cukup kencang dan jauh. Dahi Kak Rangga berkerut,
matanya meringis menahan nikmat. Aku diam saja, menunggu dia
menyelesaikan fase orgasmenya yang cukup panjang.
Aku mencoba membuatnya rileks, aku bangkit dan membungkukkan badanku ke
arah kemaluannya. Wangi lembab cairan cinta dari vaginaku dan wangi yang
menenangkan dari cairan cinta Kak Rangga bercampur menjadi satu. Aku
memegang dan menghisap batang kemaluan yang berlumur cairan yang serba
lengket itu. Manis-asam-asin terasa bercampur di lidahku, tapi sekali
pun begitu, tak urung aku nikmati, bahkan ketika sisa-sisa cairan
ejakulasi yang ternyata masih tersisa dalam saluran kemaluannya itu
sesekali meleleh aku telan begitu saja.
"Haha, parah banget sih, Kak." Kataku sambil menyeka mulutku,
mengomentari banyak dan kencangnya cairan ejakulasi dia. Dia tersenyum
ke arahku, membuka kemejanya dan melepas kaos dalamnya, lalu dia
membersihkan cairan ejakulasinya yang melumuri pahaku dan beberapa
daerah di pakaianku itu dengan kaosnya.
"Emang enak banget, Din." Ujarnya, lalu memberikan aku sebuah ciuman di kening.
"Ups." Dia menyeka cairan ejakulasi yang tak aku sadari tadi terlempar ke mukaku. "Maaf, ya?" Pintanya.
"Sering separah ini?" Tanyaku, membiarkan dia membersihkannya. Dia menggeleng.
"Gak tau kenapa, ini yang paling banyak dan paling enak." Jawabnya.
"Ckckck. Parah, parah. Haha." Aku tertawa.
- - -
"Hujannya parah!" Kataku sesampainya di tempat dudukku, di samping Ami
sahabatku, tentu dengan seribu rasa bersalah yang membebaniku.
"Lama banget, Din. Kejebak hujan di mana?" Tanya Ami sedikit memelankan
suaranya, tak mau Bu Tina yang sedang berada di depan papan tulis
memarahinya.
"Di WC, Mi." Jawabku. Ami kali ini terlihat polos di mataku. Bagaimana
tidak, selama satu jam lebih batang kemaluan pacarnya itu
mengaduk-ngaduk liang senggamaku dan dia tidak mengetahuinya samasekali.
Dia juga tidak tahu seandainya di beberapa tempat di kemeja dan rokku
terdapat cairan kenikmatan milik pacarnya, belum termasuk sperma yang
sengaja aku telan.
"Ah, Ami, maafkan aku." Kataku spontan. Ah, sial! Kenapa itu keluar dari mulutku??
"Maaf buat ..?" Ami balik bertanya. Aku jadi bingung dan tak tahu harus menjawab apa.
"Ini apa?" Tiba-tiba Ami bertanya. Dia menyimpan iPhone yang sedari tadi
digenggamnya itu, menjulurkan tangannya mengambil sesuatu yang lengket
dari rambutku.
"Sial!" Kataku dalam hati ketika melihat sesuatu yang Ami ambil dari rambutku. Percikan sperma Kak Rangga!
Dahi Ami berkerut dan seperti terkejut melihat lendir yang lengket di
tangannya, pasti dia tau kalau itu sperma cowok. Aku tak bisa berkata
apa-apa, aku cuma bisa diam dan bengong. Tapi setelah dipikir-pikir, toh
seandainya Ami tahu itu sperma, dia tidak akan tahu kalau itu sperma
pacarnya sendiri. Tapi kemudian aku terkejut setelah aku mengintip
smartphonenya dan membaca rentetan tulisan chatting yang diketik dari
Kak Rangga untuknya,
"Iya, sayang. Tadi aku kehujanan pas ke WC."
"Maaf gak sempet bales chatnya."
"Aku sama Andin kok selama hujan tadi,"
"Tanya aja dia kalo gak percaya."
"Waduh?" Kataku dalam hati.
Selesai.
No comments:
Post a Comment