Wednesday 6 June 2018

Godaan Sang Ibu Muda

Waktu kelas dua SMA, aku pernah beberapa kali diajak temanku, sebut saja namanya Tony, berlibur ke Jogja. Nginapnya di rumah kerabat Tony yang bernama mas Gunawan dan istrinya, mbak Keyla. Mas Gunawan berprofesi sebagai guru SMA, sedangkan mbak Keyla adalah murid mas Gunawan sendiri.

Waktu pertama kali ke sana, mereka masih pengantin baru. Usia mbak Keyla sebaya denganku. Setelah dinikahi, mbak Keyla memilih keluar dari sekolah dan menjadi ibu rumah tangga biasa.

Mas Gunawan adalah seorang yang humoris dan murah tawa. Tubuhnya kurus tinggi berkacamata, sedangkan mbak Keyla mungil, wajahnya ayu khas Jogja. Baru pertama berkenalan, kami sudah akrab.

Rumah mas Gunawan berbentuk seperti huruf L. Di bagian belakang ada dua kamar tidur, kamar mandi, dapur. Sedangkan di bagian depan ada dua kamar tidur juga, ruang makan dan ruang tamu. Sebidang tanah kosong di depan rumah belakang dan depan digunakan untuk tempat jemuran yang kadang dipakai sebagai lapangan bulu tangkis oleh warga sekitar. Lokasinya terletak di perkampungan pinggiran kota Jogja. Suasananya seperti di pedesaan. Asri dan tenang, ditambah lagi dengan jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya agak saling berjauhan.

Selama tinggal di rumah mas Gunawan, kami menempati sebuah kamar di dekat ruang tamu yang berada di bagian utama rumah. Kamar itu tampaknya memang disediakan untuk tamu mereka yang menginap, sedangkan mas Gunawan dan mbak Keyla menempati kamar di bagian belakang. Di sebelah kamar yang kami tempati ada satu lagi kamar bekas ditempati oleh kakak mbak Keyla. Kakak mbak Keyla sudah lulus SMA dan diterima kerja di Solo.

Di rumah itu juga tinggal ibu mbak Keyla. Yang unik, semua kamar di situ tak ada pintunya. Hanya sehelai kain yang menjulur dari kusen ke atas lantai, berjarak sekitar 20 cm dari lantai. Untuk keluar masuk cukup dengan menyingkap kain itu.

Yang agak bikin rikuh adalah saat buang air besar. Karena dindingnya tak penuh ke langit-langit, maka jika BAB harus ditahan-tahan agar suara kentut tidak terdengar dari luar yang bersebelahan dengan dapur dan tempat cuci baju.

Di Jogja, dengan menggunakan mobil Tony, kami diajak oleh mas Gunawan dan mbak Keyla mengunjungi tempat-tempat wisata yang ada. Saat itu aku baru tahu kalau mas Gunawan penghobi berat dunia fotografi. Tak heran jika salah satu ruang di rumahnya digunakan sebagai “kamar gelap” untuk mencuci cetak hasil jepretannya.

Mas Gunawan dan mbak Keyla sekali waktu juga pernah datang ke kotaku. Tujuannya untuk berbulan madu. Sebagai balas budi kebaikan mereka, aku bersama Tony meluangkan waktu menemani mereka mengunjungi tempat-tempat wisata yang ada di kotaku. Mereka juga kuajak mampir ke rumahku untuk kukenalkan pada ibu dan ayahku.

Karena keakraban itulah kemudian jika aku ke Jogja, walaupun tanpa Tony, selalu kusempatkan mampir ke rumah mereka. Seperti yang terjadi beberapa tahun lalu. Waktu itu aku bersama keluargaku (ayah, ibu dan adikku) menghadiri acara pernikahan saudaraku di Jogja. Dua hari sebelumnya kami sudah tiba di kota pelajar itu untuk membantu persiapan acara pernikahan. Dalam dua hari itu kami berada di rumah calon mempelai, tapi menginapnya di hotel dekat ringroad.

Siang hari di hari kedua, aku minta ijin orang tuaku untuk bertandang ke rumah mas Gunawan dan mbak Keyla, karena sudah cukup lama aku tidak bertemu. Aku meminjam motor saudaraku. Sampai tujuan, aku ditemui mbak Keyla karena mas Gunawan sedang mengajar.

Darahku berdesir saat mbak Keyla menyajikan es teh dan jajanan khas Jogja sambil menunduk. Tank top longgar yang dikenakannya otomatis jatuh hingga menampakkan sepasang ’pepaya Thailand’nya yang menggantung tepat di depan mataku. Sekilas aku tertegun menatapnya, lalu buru-buru mengalihkan pandangan ke jajanan yang tersaji di atas meja.

Saat sedang asyik-asyiknya ngobrol, terdengar tangisan bayi. Ternyata anak mbak Keyla. Usianya belum genap 3 bulan. Mbak Keyla bergegas masuk ke kamarnya dekat ruang tamu yang hanya ditutup kain korden.

Tak berapa lama ia keluar dengan menggendong bayi perempuan. Tanpa ‘peringatan dini’, dengan cueknya mbak Keyla menyingsingkan kaus tank topnya, lalu mengeluarkan satu payudaranya untuk menyusui bayinya. Aku yang perjaka ting-ting tentu saja merasa jengah melihat pemandangan itu, walaupun dalam hati girang juga. Sambil menyusui, mbak Keyla menceritakan tentang bayinya. Namanya Vina. Yang membuat aliran darah mudaku makin menderu-deru adalah saat ia menggeser bayinya mendekat ke arah payudaranya, tanpa sengaja rok mbak Keyla tersingkap. Paha mulusnya yang terlihat sebagian kontan membuatku salah tingkah.

Karena tak enak berada di situasi yang ‘menegangkan’ itu, aku bermaksud pamit pulang, dengan alasan mbak Keyla lagi repot. Tapi mbak Keyla mencegahku. Ia bilang sama sekali tak repot kalau cuma mengurus bayi saja. Entah ia merasa atau tidak kalau wajahku mulai tegang, berusaha sekuat hati menahan diri agar mataku tak lari ke dadanya yang mencuat sebelah.

Selesai menyusui dan bayinya kembali terlelap, mbak Keyla menidurkannya lagi ke dalam kamar. Saat menunggu mbak Keyla, aku gelisah. Otakku dipenuhi dengan fantasi jorok gara-gara kelakuan mbak Keyla. Hingga ketika mbak Keyla kembali menemuiku, aku sudah tak bisa berpikir jernih lagi. Tapi aku berusaha menjaga sikapku karena bagaimanapun juga mbak Keyla sekeluarga sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri.

Karena sudah lama ngobrolnya, aku pun pamit untuk pulang. Kali ini mbak Keyla tak mencegahku, mungkin karena ia sudah mengantuk dan akan tidur siang. Tapi dugaanku salah. Ternyata mbak Keyla ingin nebeng aku karena ia ada keperluan ke rumah temannya. Dia menyuruhku menunggu sebentar untuk berganti pakaian. Aku duduk lagi di kursiku, sementara mbak Keyla masuk ke kamar. Entah lupa atau menganggapku sudah seperti keluarga sendiri, mbak Keyla tidak menggeser kain penutup kamarnya.

Dari tempat dudukku aku bisa melihat dengan jelas mbak Keyla melepas tank top yang dikenakannya, kemudian roknya, hingga tinggal selembar celana dalam warna putih saja yang menutupi tubuhnya. Bentuk tubuhnya sungguh menggiurkan. Aku yang sudah mupeng, kini tak lagi jengah memandang. Justru kupuas-puaskan, karena kupikir, kapan lagi aku dapat rejeki seperti ini. Lagipula, mbak Keyla seperti tidak peduli aku melihat atau tidak. Ia asyik aja memilih-milih bra yang sewarna dengan celana dalamnya dan mengenakannya, lalu celana jins. Setelah itu ia menyisir rambutnya yang panjang terurai.

Mbak Keyla kemudian menemui ibunya untuk berpamitan dan menitipkan bayinya. Aku pun minta diri kepada ibu mbak Keyla.

Saat berboncengan, mbak Keyla menempelkan dadanya di punggungku begitu rapat dan melingkarkan tangannya di pinggangku. Tapi itu bukannya membuatku makin mupeng, aku justru merasa tak enak karena berada di jalan raya. Aku khawatir ada teman atau kerabat mbak Keyla yang melihat, yang bisa berakibat fitnah. Tapi tampaknya mbak Keyla cuek saja seperti itu sampai kami tiba di depan gang yang ditujunya. Begitu turun dari motor, ia berpesan agar aku menyempatkan diri mampir lagi ke rumahnya sebelum pulang ke kota asalku.

Selama mengikuti prosesi pernikahan yang memakan waktu 2 hari, sehari di rumah mempelai, sehari di gedung, benakku selalu dipenuhi bayang-bayang indah tubuh mbak Keyla. Aku bahkan berkhayal, saat acara usai aku berkunjung lagi ke rumahnya dan bisa menikmati pemandangan indah itu untuk kedua kalinya.

Setelah acara pernikahan selesai, aku masih punya waktu 2 hari di Jogja sebelum kembali ke kota asalku. Pasca acara pernikahan yang melelahkan, ayah, ibu dan adikku ingin istirahat saja di hotel dan baru esok harinya jalan-jalan keliling Jogja. Kesempatan ini tak kusia-siakan. Jam 10 pagi aku pamit untuk ke rumah mbak Keyla dengan sepeda motor yang kusewa tak jauh dari hotel.

Setiba di sana, kulihat mbak Keyla sedang menjemur baju-baju dan popok bayinya di halaman yang biasa dipakai bermain bulu tangkis. Ia mempersilakanku untuk masuk dulu ke ruang tamu. Beberapa saat kemudian ia menemuiku sambil membawa nampan dengan 2 gelas es teh dan sepiring kue-kue di atasnya. Aku sengaja duduk di kursi panjang yang kemarin kududuki agar bisa melihat lagi ’pepaya Thailand’ mbak Keyla yang menggantung saat menunduk.

Dugaanku tak meleset. Daster tanpa lengan yang longgar tak menghalangi tatapan mata nakalku. Kali ini aku tak ingin kehilangan momen berharga. Aku tak peduli mbak Keyla merasa atau tidak aku memandangi buah dadanya. Agak lama ia menunduk karena diselingi dengan merapikan dan membersihkan taplak meja yang sebenarnya sudah rapi dan bersih. Aku tak tahu apakah itu disengajanya untuk memberi kesempatan padaku menikmati sepasang bukitnya itu atau tidak. Yang jelas, gairah kelelakianku langsung tergugah.

Ketika kutanyakan di mana Vina, ”Sedang diasuh ibu di belakang,” kata mbak Keyla. Saat itu tiba-tiba aku punya ide untuk memancingnya dengan kata-kata yang menjurus.

“Vina sudah minum susu, mbak?” tanyaku sambil cengengesan.

“Sudah, tadi pagi. Memangnya kenapa, dik?” mbak Keyla balik bertanya.

“Jam berapa kira-kira minum susu lagi?”

“Nanti jam 11. Kenapa sih kok tanya terus?” ujarnya sambil mengernyitkan dahi diselingi senyum. Entah apa arti senyuman itu.

Aku berdiri dan merogoh kantung celanaku untuk mengambil kunci kontak sepeda motor seraya mengatakan, “Ya sudah, mbak. Aku pergi dulu, nanti jam 11 ke sini lagi. Biar bisa lihat Vina menyusu lagi.”

Spontan mbak Keyla tertawa lepas. Ucapan berikutnya dari mbak Keyla membuatku merasa mendapat lampu hijau. “Kepingin ya?” tukasnya masih dengan senyuman penuh arti.

“Iya, mbak. Kelihatannya kok segerrr banget,” kataku sekenanya.

Mbak Susi tertawa lagi dan berkata, “Minta sama pacarnya sana lho.”

Aku nyengir, “Belum punya pacar, mbak.” kataku.

“Tenane?! Masa cakep gini nggak punya pacar?!” ujar mbak Keyla dengan ekspresi muka menggoda.

“Betul, mbak. Masih perjaka ting-ting nih,” selorohku.

Lagi-lagi mbak Keyla tertawa lepas. Kemudian ia beranjak dari duduknya dan berjalan ke belakang rumah. Tak lama kemudian ia kembali dengan menggendong bayinya dan langsung masuk ke kamar. Lagi-lagi aku bisa melihat kegiatannya di dalam kamar.

Mula-mula ia baringkan bayinya di tempat tidur. Setelah itu melepas daster dan menggantinya dengan kaos you can see. Aku menahan nafas yang memburu saat melihat celana dalam hitam seksi yang dikenakannya sebelum ia mulai mengenakan rok sebatas lututnya. Begitu keluar, ia langsung menuju ke tempat dudukku. Saat hendak menjatuhkan pantat ke kursi, tangannya bertumpu di pahaku. Hal itu membuat darah mudaku semriwing, mengalir deras menggugah kelelakianku. Tapi aku bersikap wajar saja walaupun dalam hati bertanya, “Apa maksud mbak Keyla?”

GR-ku makin menjadi-jadi karena mbak Keyla duduknya dekat sekali denganku, hingga ketika ia membungkuk hendak mengambil minumnya di meja, sudut mataku jelas melihat dua bukitnya di dalam kaos, menggantung bebas tanpa ada BH yang menahannya. Aku tahu ia tak memakai BH agar leluasa jika hendak menyusui bayinya.

Aku tak berhenti memandanginya mulai dari menyeruput es tehnya sampai meletakkannya kembali di atas meja. Tampaknya ia tahu itu. “Kok ngeliatin aku terus, dik?” Ia melirikku dengan senyum tersungging di bibirnya yang tipis.

Dorongan libidoku meletup-letup hingga aku tak mampu berkata-kata. Langsung saja kukecup bahunya yang putih mulus. Ia hanya menatapku penuh arti saat kulakukan itu. Matanya pun mendadak terlihat sayu. Karena tak ada tanda-tanda penolakan, kuteruskan kecupanku, sementara tanganku meraba buah dadanya. Ia mendesah lirih. Desahannya itu membuatku jadi semakin bernafsu. Pelan-pelan kuturunkan satu sisi bahu you can see-nya dan tanpa ragu kuseruput bukit indahnya. Ia mendesah sambil mengusap dan sesekali meremas rambutku.

Beberapa saat lamanya ia biarkan aku melumat-lumat buah dadanya yang ranum, sementara tanganku mulai menjalar ke pahanya. Ia memberiku jalan untuk masuk ke dalam roknya dengan merenggangkan kedua pahanya. Sesekali ia mendesis dan mendesah menikmati cumbuanku, hingga kemudian ia mendorong lembut kepalaku agar berhenti.

“Jangan sekarang, dik. Mas Gunawan sebentar lagi pulang.” Nafasnya agak tersengal.

Aku menurut. Aku tak begitu kecewa karena dengan mengatakan, “Jangan sekarang,” artinya ia tak keberatan jika lain kali ada kesempatan yang lebih besar. Mbak Keyla membenahi rok dan kaosnya.

Ketika kulihat ia beringsut akan berdiri, kugamit lengannya dan langsung mendaratkan bibirku ke bibirnya. Sesaat mbak Keyla membalas ciumanku dengan penuh gairah sebelum dengan lembut melepaskannya. Ia lalu berdiri dengan satu tangannya mampir di bagian bawah tubuhku, meremas pelan batang penisku, untuk kemudian berlalu menuju kamar. Mataku tak lepas barang sedetikpun memandanginya. Ia melepas kaos you can see dan roknya. Saat berganti baju daster lagi, ia sengaja menghadap ke arahku, seakan memberiku isyarat bahwa suatu saat nanti aku boleh menikmati tubuh mungilnya yang padat berisi sepuasku. Aku hanya menghela nafas menyaksikan semua itu.

Karena aku merasa enggan berbasa-basi dengan mas Gunawan, aku tak menunggunya. Aku langsung pamit pada mbak Keyla begitu dia keluar dari kamar. Semula ia menahanku dan menawariku untuk makan siang bersama-sama mas Gunawan, tapi kutolak.

Saat sampai di mulut gang aku berpapasan dengan mas Gunawan. Tapi karena aku mengenakan helm teropong, ia tak melihatku. Ia melajukan motornya masuk gang, sementara aku masuk ke jalan besar dan langsung memulangkan motor sewaanku.

Sejak saat itu aku terus saja dibayangi wajah mbak Keyla. Sayang aku tak punya kesempatan untuk ke Jogja lagi. Tony pun sudah jarang mengajakku karena ia sudah sibuk dengan pacarnya.

Sekitar 2 minggu kemudian aku menerima sepucuk surat. Waktu kuperiksa pengirimnya, ternyata dari mbak Keyla! Gemetar tanganku membuka dan kemudian membacanya. Hatiku berbunga-bunga seketika begitu membaca tulisannya yang mengatakan kalau ia kangen padaku dan selalu memikirkanku. Kata-katanya begitu puitis hingga tak bosan-bosannya aku mengulangi membacanya. Di akhir tulisannya ia berpesan, jika aku mau membalas suratnya agar dialamatkan ke rumah temannya yang ia tulis di situ yang tak lain adalah alamat di mana aku pernah mengantarnya dulu.

Dengan penuh semangat, kubuat surat balasannya untuknya. Kalimat-kalimatnya pun tak kalah puitis. Terang-terangan kutumpahkan perasaanku dalam tulisan-tulisan yang menjurus erotis. Kutulis di suratku, jika waktu itu aku bawa tustel, pasti sudah kufoto dirinya saat berganti baju.

Tampaknya mbak Keyla menanggapi uneg-unegku dengan serius. Surat kedua yang kuterima darinya diselipi 2 lembar fotonya, dan semuanya membuat liurku menetes. Betapa tidak, foto yang dikirimnya adalah foto dirinya, satu dalam pose berbaring di ranjang tanpa busana, satu lagi saat ia mandi di shower! Menurut penjelasannya di surat, foto itu diambil di hotel ketika ia dan mas Gunawan datang ke kotaku beberapa waktu lalu. Saat itu ia habis bercinta dan mas Gunawan mengabadikannya dalam foto. Wow!

Waktu pun terus bergulir, hingga saat kelulusan SMA tiba. Artinya sudah lebih dari 5 bulan aku tak pernah ke Jogja lagi. Aku mulai mempesiapkan diri untuk masuk ke perguruan tinggi. Waktu pendaftaran, pilihan utamaku adalah universitas ternama di kotaku, sementara pilihan kedua di Solo. Ternyata aku diterima yang di Solo.

Semula aku agak enggan untuk mendaftar ulang di Solo karena tak ada teman, apalagi kerabat yang tinggal di sana. Namun daripada harus mendaftar di perguruan tinggi swasta yang mahal, lebih baik kumasuki saja perguruan tinggi negeri di Solo walaupun jurusannya kurang sesuai dengan minatku, dan berencana tahun berikutnya ikut tes lagi.

Tak sampai dua minggu tinggal di Solo, aku mulai merasa betah. Apalagi aku dibolehkan orang tuaku membawa motorku. Kujelajahi setiap sudut kota Solo saat ada waktu senggang. Solo hampir mirip dengan Jogja. Kotanya relatif tenang, tak seperti kota asalku yang macet di mana-mana. Selain itu, aku dapat tempat kos yang nyaman. Halaman depannya luas dan ditumbuhi pohon-pohon rindang. Ada 15 kamar berderet menghadap jalan.

Suatu hari aku naik bus umum jurusan Jogja, bermaksud mengabarkan kepada mas Gunawan dan mbak Keyla kalau aku kuliah di Solo, sekaligus menyambung tali silaturahmi. Kubawa dua potong baju bersih karena aku ingin menginap di rumah mas Gunawan dan mbak Keyla barang semalam.

Karena niatku adalah untuk bersilaturahmi, kutepis jauh-jauh keinginan untuk bercumbu dengan mbak Keyla. Sikonnya jelas tak akan memungkinkan, sebab hari Sabtu mas Gunawan libur. Memang semenjak mendapat foto erotis mbak Keyla, aku selalu saja membayangkan bercinta dengannya. Tapi saat itu aku tak berharap itu terjadi, karena aku sedang kesengsem pada salah seorang gadis, sebut saja namanya Wiwin, berasal dari Lampung, yang kos di dekat kos tempat tinggalku. Ia kuliah di perguruan tinggi swasta yang ada di Solo.

Sampai di halaman rumah mas Gunawan dan mbak Keyla, tak kulihat motor mas Gunawan. Aku mengira ia pergi dengan mbak Keyla dan anaknya. Tapi itu tak mengurungkan niatku untuk bertamu. Toh aku bisa menunggu, pikirku. Tak berapa lama keluarlah ibu mbak Keyla. Seperti biasa, ia menyambutku dengan ramah dan mempersilakanku masuk. Ternyata mas Gunawan mengikuti acara karyawisata dengan murid-muridnya ke Bandung sejak Jumat dan baru pulang Minggu malam. Mbak Keyla dan Vina diajak serta.

Karena itulah aku tak berlama-lama di situ. Setelah berbasa-basi, aku berpamitan untuk kembali ke Solo sambil tak lupa menitip salam untuk mas Gunawan dan mbak Keyla.

Tiga bulan kemudian aku jadian dengan Wiwin. Ini membuatku bisa melupakan mbak Keyla.

Sayangnya, hubunganku dengan Wiwin tak bertahan lama. Hanya 4 bulan. Diam-diam hatinya tertambat pada pelatih teater mahasiswa di kampusnya. Batinku terguncang menghadapi kenyataan itu. Untuk menghalau kegalauanku, aku pergi ke Jogja. Aku berharap, pertemuan dengan mas Gunawan dan mbak Keyla bisa menghiburku.

Ketika sampai di depan rumah mas Gunawan dan mbak Keyla, suasana lengang. Motor mas Gunawan tak ada di tempat biasanya. Tapi karena hari itu bukan hari libur, kupikir ia sedang mengajar. Ibu mbak Keyla yang kebetulan keluar dari pintu samping belakang rumahnya, mempersilakanku masuk ke ruang tamu. Kata beliau, mbak Keyla sedang ke puskesmas untuk mengimunisasikan anaknya. Aku dimintanya menunggu, sementara ia pergi sebentar ke rumah tetangganya.

Selama menunggu, kuamati isi rumah mas Gunawan. Keadaannya masih sama seperti dulu. Hanya saja, di salah satu sudut ruang tamu ada sekeranjang mainan anak-anak yang diletakkan di samping kereta bayi. Dalam kesendirian, pikiranku menerawang ke beberapa bulan sebelumnya ketika aku duduk berdua dengan mbak Keyla di situ, kemudian mencumbunya sebentar. Aku pun keasyikan melamun, hingga tak tahu kalau ibu mbak Keyla sudah kembali dan muncul dari dapur membawa minum untukku. Ia kemudian duduk menemaniku.

Ketika kutanyakan bagaimana kabar mas Gunawan, ibu mbak Keyla tampak agak gugup menjawab. Ia hanya mengatakan kalau mas Gunawan baik-baik saja dan sudah sejak 3 bulan ini tidak tinggal di situ lagi. Aku agak kaget mendengar itu. Kupikir mas Gunawan dan mbak Keyla sudah punya rumah sendiri dan pindah ke rumah baru mereka. Perkiraanku keliru.

Ibu mbak Keyla menjelaskan kalau mas Gunawan sudah bercerai dengan mbak Keyla. Aku terhenyak di tempat dudukku. Aku tak berani bertanya lebih jauh tentang hal yang sensitif itu, tapi tampaknya ibu mbak Keyla mengerti kalau aku penasaran. Lebih jauh ia menceritakan, mereka bercerai karena merasa sudah tidak cocok lagi. Hari-hari mereka lebih sering diisi dengan pertengkaran. Sebagai seorang ibu, ibu mbak Keyla berusaha untuk mendamaikan mereka, tapi sia-sia. Satu hal yang kelihatan sekali kalau ibu mbak Keyla tutupi adalah penyebab pertengkaran mereka. Ia sama sekali tak menyinggung-nyinggung soal itu. Aku pun tak berniat untuk mengorek keterangan lebih jauh, walau pun benakku dipenuhi dengan teka-teki mengenai prahara rumah tangga mas Gunawan dan mbak Keyla.

Saat sedang asyik mengobrol, mbak Keyla dan Vina datang. “Kok tumben?” kata mbak Keyla begitu melihatku sambil menyunggingkan senyum khasnya yang manis.

Karena aku sudah ada yang menemani, ibu mbak Keyla pun masuk kembali ke belakang. Kulihat Vina sudah tumbuh jadi bocah mungil yang cantik. Ia tidur dalam gendongan ibunya. Mbak Keyla masuk ke kamar dan membaringkan Vina di tempat tidur. Yang membuat darah mudaku berdesir, ia berganti baju tanpa menutup tirai kamarnya, persis seperti dulu. Mataku nyalang menatapnya, dan sekilas kulihat ia melirik ke arah aku duduk.

Aku agak canggung memulai pembicaraan ketika mbak Keyla duduk di depanku. Suasananya sudah berbeda. Aku khawatir mbak Keyla masih berduka soal perceraiannya dengan mas Gunawan. Kecanggunganku mencair saat mbak Keyla membuka obrolan seputar kabarku, termasuk tentang aku yang kuliah dan kos di Solo. Ia masih murah senyum seperti dulu.

Obrolan kami terputus ketika ibu mbak Keyla mengajakku untuk makan siang. Usai makan siang, aku dan mbak Keyla melanjutkan obrolan di ruang makan. Aku yang semula berniat menginap, mengurungkannya karena kurasa situasinya tidak memungkinkan. Itulah sebabnya aku pamit untuk kembali ke Solo. Tapi mbak Keyla bersikeras memaksaku untuk tinggal. Aku jadi bimbang karenanya. Kuutarakan padanya kalau sebenarnya aku ingin menginap di situ, tapi merasa tak enak akan merepotkannya. Mbak Keyla hanya tertawa. Ia mengambil ranselku yang tergeletak di lantai dekat kursi dan meletakkannya di meja dalam kamar yang dulu biasa kutempati. Kemudian ia menyuruhku untuk istirahat di kamar.

Ada yang sedikit berbeda dengan kamar itu. Dulu ada dipan (tempat tidur), sekarang hanya kasur yang digelar di lantai dialasi karpet plastik. Rasanya jadi terlihat luas. Aku pun merebahkan diri di kasur, tapi tak langsung tidur. Kusandarkan kepalaku di dinding, merenung.

Aku merenungkan perkembangan tak terduga yang menimpa rumah tangga mas Gunawan dan mbak Keyla. Betapa singkat usia perkawinan mereka, padahal ketika pertama bertemu dan pada pertemuan berikutnya dulu mereka tampak sangat bahagia, walaupun usia mereka terpaut cukup jauh. Aku ingat bagaimana mbak Keyla menggelayut mesra di lengan mas Gunawan ketika bermain air di pantai Parangtritis. Saat ombak kembali menerjang, spontan mas Gunawan menggendong mbak Keyla, tapi kemudian jatuh berdua. Aku dan Tony yang menyaksikan itu tertawa ngakak. Begitu juga dengan mereka yang basah kuyup.

Lamunanku beralih ke Wiwin. Hubunganku dengannya bisa dibilang sudah sampai pada tahap ’nyerempet bahaya’. Sudah beberapa kali Wiwin kuajak ke kamar kosku dan kami bercumbu di sana dalam keadaan setengah telanjang. Aku lepas baju dan tinggal memakai celana panjang saja, sedangkan Wiwin nyaris polos kecuali celana dalam yang masih melekat di tubuhnya. Tapi meski begitu aku bisa menahan diri untuk tidak berbuat lebih jauh, walaupun Wiwin kulihat sudah sangat pasrah. Aku ingin menjaga agar Wiwin tak sampai ternoda sampai kami menikah nanti. Nyatanya, kami bubar di tengah jalan dan aku menyesali kenapa tidak kulakukan saja waktu itu.

Tanpa terasa aku tertidur dan terbangun ketika terdengar celoteh anak kecil di ruang tamu. Kulihat jam menunjukkan pukul lima sore. Aku bangkit dari pembaringan, mengambil handuk di ransel, lalu keluar kamar. Di ruang tamu kulihat mbak Keyla tengah menyuapi Vina yang didudukkan di kereta bayi. Setelah berbasa-basi dengan mbak Keyla, aku pun mandi.

Singkat cerita, jam sembilan malam. Aku nonton TV di ruang tamu. Sendirian, karena mbak Keyla menindurkan Vina di kamar. Ibu mbak Keyla pun sejak jam delapan sudah masuk ke kamarnya setelah menemaniku sebentar.

Sejujurnya, aku tak terlalu konsentrasi pada acara TV yang memang tak menarik itu. Jantungku berdebar, memikirkan apa yang akan terjadi begitu mbak Keyla keluar kamar dan menemaniku di ruang tamu. Korden jendela ruang tamu tertutup semua. Lampu ruang tamu pun tidak begitu terang. Dalam suasana seperti itu dan aku berdua saja dengan mbak Keyla, sudah dapat dibayangkan apa yang akan terjadi berikutnya.

Satu-satunya yang bisa kulakukan saat itu adalah menunggu mbak Keyla. Diam-diam, libidoku bangkit membayangkan bercumbu dengannya di situ. Tunggu punya tunggu, sampai jam sepuluh ia tak kunjung keluar. Mungkin ketiduran waktu menyusui Vina, pikirku. Dengan perasaan kecewa, kumatikan TV dan aku ke kamar mandi untuk buang air kecil dan cuci muka.

Betapa kagetnya aku ketika kusibak kain penutup kamarku, di keremangan tampak olehku mbak Keyla sudah berbaring di kasur dengan tubuhnya ditutupi selimut sampai ke dada. Sejenak aku terpaku di tempatku. Kami saling berpandangan. Di keremangan kamar, kulihat mata mbak Keyla sayu menatapku. Senyum tipis tersungging di bibirnya yang tipis, seolah memintaku untuk segera mendekatinya.

Mungkin ia masuk ke kamarku saat aku ke kamar mandi, atau ketika aku duduk membelakangi kamar untuk nonton TV. Sebuah kejutan yang romantis dari mbak Keyla dan ia berhasil.

Tanpa kata cinta atau rayuan sebagai pembuka, kudekati mbak Keyla lalu kurebahkan tubuhku di sampingnya. Ketika kusibak selimutnya, lagi-lagi mbak Keyla membuat kejutan lagi. Ia bugil. Tidak ada sehelai benangpun yang menutupi tubuhnya yang putih mulus. Tanpa menunggu komando, aku pun segera melepas t-shirt dan celana pendekku. Mbak Keyla tampaknya juga sudah tak mampu menahan nafsunya. Belum lagi celanaku terlepas dari kakiku, ia merengkuh kepalaku dan langsung mendaratkan bibirnya di bibirku.

Mbak Keyla menciumiku dengan bertubi-tubi, tangannya langsung bergerilya di batang penisku yang sudah setengah menegang. Setelah itu ia berjongkok dan mulai mengecup dan menghisapi penisku dengan bibirnya yang mungil. Aku melenguh menerima segala kelakuannya itu, bisa kulihat bibir vaginanya yang menggembung indah ditutupi oleh bulu-bulu tipis, juga buah dadanya yang bulat menonjol meski sudah punya satu orang anak. Aku merasakan hisapannya di penisku semakin lama menjadi semakin menggairahkan.

Karena tak tahan, pelan-pelan kuangkat tubuh mbak Keyla supaya dia merebah telentang. Lalu kuhujani ia dengan kecupan di leher dan bibirnya. Sementara itu tanganku mulai bekerja di buah dada dan vaginanya. Tidak lama kemudian, mbak Keyla sudah menggelinjang setengah berteriak, ”Ndra, setubuhin aku sekarang... aku udah nggak tahan!”

Mendengar perintah itu, kusuruh dia untuk mengangkat kakinya. Begitu lorong vaginanya terbuka, segera aku masukkan penisku ke sana. Terasa hangat dan sangat basah karena vagina mbak Keyla sudah dipenuhi oleh dengan lendir. Setelah itu aku suruh dia melingkarkan kedua kakinya di pinggangku dan kedua tangannya di leherku, sementara kedua tanganku berada di pantatnya untuk mengangkat tubuh mbak Keyla.

Kupangku dia seperti orang yang sedang menggendong temannya, hanya saja penisku sudah tertancap ke lubang vaginanya. Dengan tanganku yang sudah berada di pantatnya, mulai kugerakkan tubuh mbak Keyla naik-turun sehingga kemaluan kami mulai saling bergesek. Aku merasakan lubang vagina mbak Keyla semakin basah melembab, sementara tonjolan putingnya yang mungil terasa keras menggesek permukaan dadaku.

Segera aku meraih dan mempermainkannya sementara mbak Keyla terus menggerakkan badannya naik turun, seperti orang yang sedang berkuda. Makin lama gerakan naik turunnya menjadi semakin cepat sehingga penisku dan vaginanya bergesek semakin keras. Karena vaginanya sudah mengeluarkan cairan pelumas, gesekan itu jadi terasa nikmat dan membuat penisku makin mengeras. Kenikmatan gesekan ini juga membuat mbak Keyla menjerit-jerit kecil, ”Ough... ough... ahh...”

Beberapa saat kemudian, gerakan naik turunnya bertambah pelan, seolah-olah mbak Keyla ingin merasakan gesekan yang menimbulkan kenikmatan itu. Penisku sekarang bergesek lembut dengan lorong vaginanya. Aku tahu kalau mbak Keyla sebentar lagi akan orgasme, langsung saja bibirku bekerja di payudaranya. Sambil kuremas pelan-pelan, kukecup dan kuhisap puting payudara mbak Keyla.

Kegiatanku ini ternyata membuat mbak Keyla semakin tersengal-sengal. ”Ahh... aauhhg... terus, Ndra... ohh...” rintihnya.

Tidak lama kemudian, mbak Keyla mengejang dan menjerit nikmat, ”Ndra, aku nggak tahan lagi... ohh... uhff...” dan aku merasakan penisku dibasahi cairan hangat dari lorong vaginanya.

Mbak Keyla merebahkan badannya di atas tubuhku. Aku terus mengecup dan menjilati kedua putingnya, juga celah-celah payudaranya. Sementara tangan kiriku juga mengelus dan meremas-remas pantatnya yang kencang.

Sesudah beberapa menit, aku bilang ke mbak Keyla, “Mbak, aku pingin nyetubuhin mbak dari belakang, coba mbak nungging di kasur.”

Tanpa banyak bicara, dia melakukan perintahku. Mbak Keyla membungkukkan badan dengan kedua tangan berpegangan di sandaran tempat tidur. Mengetahui dia sudah siap, segera kumasukkan penisku ke lubang vaginanya dari arah belakang, aku merasakan vaginanya masih cukup lembab untuk main satu ronde lagi. Dengan berpegangan pada pinggang mbak Keyla yang ramping, aku mulai menggerakkan badanku maju mundur. Batang penisku kembali keluar masuk di lorong vaginanya, mula-mula dengan perlahan-lahan, namun makin lama semakin bertambah temponya.

Badan mbak Keyla mulai terguncang-guncang dan dia mulai mendesah-desah, ”Ough... oohh... oughh... lagi, Ndra, lagi...” pintanya.

Setelah kugoyang dengan cepat dan bertenaga, aku pelankan ayunan pantatku dan aku raih payudaranya untuk kuremas-remas. Sesudah itu aku naikkan lagi tempo keluar-masuknya batang penisku di lorong vaginanya. Akibatnya mbak Keylajadi menjerit-jerit lagi, ”Uughh... ughh... oughh...”

Jeritannya ternyata semakin membangkitkan nafsuku, sehingga kugoyang tubuhku semakin cepat dan makin bertenaga. Aku merasakan kenikmatan yang makin besar, tapi akibatnya mbak Keyla jadi menjerit-jerit tak karuan, ”Ndra... udah, Ndra... oohh... aku nggak tahan...” rintihnya.

Akhirnya kulepaskan penisku dari jepitan vaginanya. Aku rentangkan dia di atas ranjang dan kubisiki, ”Maaf, mbak... saya belum keluar. Kita main sebentar lagi ya!”

Lalu kembali kutindih mbak Keyla dan kumasukkan penisku di lorong vaginanya. Sekarang kita main dengan posisi konvensional, aku di atas sedangkan mbak Keyla di bawah.

”Pelan-pelan ya, Ndra...” bisik mbak Keyla pelan menerima segala seranganku.

Aku bisa merasakan kedua payudaranya yang menegang di dadaku, segera aku meraih untuk meremas-remas dan memijitinya. Sementara kedua tangan mbak Keyla memeluk punggungku saat aku mulai beraksi dengan menggerakkan pinggulku naik turun semakin cepat. Kedua mulut kami juga saling bertemu dan bertaut erat. Kuciumi wajah cantik mbak Keyla, sesekali lidah kami beradu mencoba saling menghisap dan membelit penuh nikmat.

Pantat mbak Keyla ikut bergerak seirama dengan gerakan pinggulku, sehingga aku merasakan kenikmatan yang luar biasa dalam persetubuhan pertama ini, kenikmatan yang akan membuatku orgasme dalam waktu dekat. Beberapa saat kemudian, aku mendengar desah nafas mbak Keyla yang mulai tidak teratur. Segera aku menaikkan tempo goyangan pinggulku. Aku juga merasakan vagina mbak Keyla yang semakin lembab membasah, badannya juga menggelinjang-gelinjang di bawah tekanan badanku dan tangannya mulai meremas-remas rambutku. Makin lama desahannya menjadi semakin keras.

”Ahh... emmhh... Ndra, sebentar lagi... oughh...”

Kuteruskan goyanganku hingga beberapa saat kemudian, mbak Keyla menjerit, ”Ndra, aku nggak tahan lagi... oughh...” bisknya disertai badan mengejang pelan.

”Tahan dulu, mbak... kita sama-sama,” bisikku saat kurasakan cairan maniku mulai mengalir di sepanjang batang penisku. Begitu mencapai ujung, segera kupelankan goyangan pinggulku. Sesudah itu kutekan penisku dalam-dalam ke vagina mbak Keyla.

Dia kontan mengejang dan menjerit nikmat, ”Ouhh... Ndra!” cairannya langsung meledak, mengalir membasahi penisku.

Demikian juga aku. Tanpa bisa dicegah, air maniku menyemprot liar di dalam lorong vaginanya dan kita berdua melenguh nikmat merasakan sensasi orgasme yang begitu luar biasa ini.

Beberapa detik kemudian, aku dan mbak Keyla terkulai lemas tapi aku masih terus menciumi bibir dan lehernya dengan lembut. Tanganku juga mengelus dan memijiti kedua payudaranya karena aku tahu setelah orgasme, wanita tidak ingin ditinggal begitu saja.

Akhirnya mbak Keyla berbisik, “Nggak salah aku milih kamu, Ndra. Terima kasih ya, aku puas main sama kamu.”

”Sama-sama, mbak. Tubuh mbak juga enak,” sahutku asal.

Sesudah itu kami beristirahat untuk mengumpulkan tenaga karena masih ada sisa empat jam lagi sebelum subuh tiba. Kejadian selanjutnya silakan Anda bayangkan sendiri. Yang jelas, saat terdengar ayam berkokok, kami sedang berjibaku dalam panasnya gejolak birahi, entah untuk yang keberapa kalinya.

Ada dua hal yang membuat terkesan malam itu. Pertama, tak ada setetespun cairanku yang terbuang percuma. Semuanya menjadi penghuni perut mbak Keyla. Selain memenuhi lorong rahimnya, ia juga melahapnya seperti orang yang kehausan saat kusemprotkan air maniku ke dalam mulutnya.

Kedua, saat sedang berpacu dalam birahi dalam salah satu ronde yang kami mainkan, terdengar Vina merengek dari kamar sebelah. Semula mbak Keyla tak mempedulikannya. Ia yang ketika itu sedang berada di atasku terus saja melakukan goyang ngebor. Tapi begitu rengekan Vina menjadi semakin keras dan mulai menangis, mbak Keyla beringsut sambil menarik tanganku agar mengikutinya.

Sampai di kamarnya, mbak Keyla menyusui Vina dengan posisi menungging. Ia menoleh ke arahku dan aku tahu apa yang diinginkannya. Agar tubuh mbak Keyla tidak terlalu keras terguncang, aku melakukannya dengan pelan. Meski begitu, rasanya tak kalah nikmat. Justru bisa lebih lama, dan memberikan waktu pada Vina untuk tidur lagi. Kami pun bisa menyalurkan hajat meski dalam kondisi darurat seperti itu.

Keletihan yang mendera membuatku tertidur pulas menjelang subuh.

Ketika sedang lelap, aku kembali merasakan nikmat. Dengan mata berat kubuka mataku. Cahaya matahari menyeruak di antara lubang angin yang ada di atas jendela dan korden, hingga kamarku menjadi agak terang. Kulihat mbak Keyla sedang memainkan bagian bawah tubuhku dengan mulutnya. Kelelakianku pun bangkit, tapi aku masih sangat mengantuk. Aku pasrah saja dengan perlakuan mbak Keyla.

Lama ia bekerja di bawah sana sebelum kemudian berpindah posisi di atasku dan mulai bekerja lagi. Mataku terpejam, selain karena masih ngantuk, juga karena merasakan kenikmatan yang diciptakan oleh mbak Keyla di setiap gerakan tubuhnya. Aku hanya mengimbangi ketika guncangannya menjadi semakin keras dan begitu kukatakan kalau aku akan meletup, buru-buru ia berpindah ke sampingku sambil tangannya mengocok milikku dengan cepat sementara mulutnya menganga siap menyambut letupanku.

Begitu usai, mbak Keyla mengajakku untuk sarapan. Ternyata sudah jam sepuluh pagi. Sebelum sarapan, aku mandi dulu. Usai sarapan, aku beramah-tamah dengan ibu mbak Keyla sementara mbak Keyla berada di ruang makan, dan setelah itu pamit untuk kembali ke Solo. Mbak Keyla berpesan agar aku datang seminggu sekali ke rumahnya. Namun karena merasa tak enak dengan lingkungan sekitar dan ibu mbak Keyla kalau terlalu rutin, kuusulkan sebulan sekali saja.

Karena masih merasa lelah luar biasa, sampai kamar kos aku langsung tidur lagi sampai sore.

Tiga minggu kemudian aku datang lagi di rumah mbak Keyla. Menginap juga tentunya. Dan mbak Keyla piawai membuat kejutan erotis yang sulit untuk kulupakan. Sekali waktu, saat aku hendak meletup, mbak Keyla cepat-cepat menyuruhku berdiri, sementara ia mengambil mangkuk kecil di atas meja. Kemudian ia membantuku memasukkan cairanku ke dalam mangkuk. Begitu tetes terakhir masuk ke mangkuk, ia menggoyang-goyang sebentar mangkuk itu lalu langsung menenggak isinya sampai habis. Sisa-sisa yang masih menempel di mangkuk dijilatinya hingga tak bersisa. Aku takjub melihatnya.

Sejak itu, lama aku tak bertemu mbak Keyla karena aku disibukkan dengan persiapan mengikuti tes masuk perguruan tinggi negeri lagi, disamping ujian akhir semester. Mbak Keyla sempat satu kali mengirimiku surat menanyakan kabarku, dan kubalas kalau aku sedang sibuk dan berjanji akan segera mengunjunginya begitu urusanku selesai.

Tapi janji tinggal janji. Aku diterima di perguruan tinggi negeri di kotaku dengan jurusan yang dari dulu kuincar. Artinya aku harus berbenah untuk pindah lagi. Sebetulnya, ketika keluargaku datang ke Solo untuk membantuku beres-beres, aku berencana untuk pergi ke Jogja. Tapi karena tiba-tiba ayah jatuh sakit, rencana itu tak terwujud. Aku beserta keluarga segera kembali ke kota asalku yang jaraknya sejauh sembilan jam perjalanan.

Tanpa terasa, sudah satu tahun lebih aku tak pernah bisa mewujudkan janjiku pada mbak Keyla untuk mengunjunginya.

Suatu hari, sepulang kuliah aku diberitahu oleh ibu kalau ada seorang perempuan meneleponku dan berpesan agar aku menelepon di nomor yang dicatat ibu. Ternyata itu adalah nomor telepon hotel. Saat kuhubungi, operator yang menjawab dan aku disuruh menunggu sebentar. Tak lama kemudian, terdengar suara yang sangat familiar di telingaku. Suara mbak Keyla! Aku pun meluncur ke hotel tempat ia menginap setelah mbak Keyla memberitahu alamatnya.

Di hotel melati tempat mbak Keyla menginap, kami tumpahkan kerinduan kami dalam deru nafas kenikmatan duniawi yang lama tak tersalur.

Saat jeda, mbak Keyla bilang kalau ia ingin menjadi TKW. Aku kaget mendengar hal itu. Hak asuh Vina diambil alih oleh mas Gunawan, kata mbak Keyla ketika kutanyakan bagaimana dengan Vina andai mbak Keyla jadi TKW. Mbak Keyla yang tahu kalau ayahku pejabat bermaksud minta tolong untuk memuluskan rencananya. Aku tak bisa bicara banyak kecuali berjanji akan menyampaikannya kepada ayahku.

Ayahku marah besar begitu kukatakan hasil pembicaraanku dengan mbak Keyla. Kata ayah, meskipun hubungan kami akrab, tapi aku tetap tak boleh ikut campur urusan keluarganya. Ketika kusampaikan hal itu pada mbak Keyla, ia tampak kecewa. Ia kemudian memutuskan untuk kembali ke Jogja. Aku merasa tak enak padanya, tapi apa yang bisa kulakukan? Kuantar ia ke terminal, kubelikan tiket bus dan kuberikan semua uang yang ada di dompetku sebagai pegangannya.

Hanya berselang dua hari kemudian, aku bertemu Tony dalam sebuah acara reunian kelas. Dengan berpura-pura tidak tahu, kutanyakan bagaimana kabar mas Gunawan dan mbak Keyla. Aku pun pura-pura kaget ketika Tony cerita kalau mas Gunawan sudah bercerai dengan mbak Keyla. Yang membuatku kaget betulan adalah ketika Tony mengungkapkan penyebab perceraian mereka.

Kata Tony, mas Gunawan menceraikan mbak Keyla karena istrinya itu selingkuh. Terkuaknya perselingkuhan mbak Keyla gara-gara mas Gunawan menerima surat kaleng dari seseorang. Mulanya mas Gunawan tidak percaya begitu saja pada surat kaleng itu, tapi pada surat kaleng berikutnya yang menyertakan foto syur mbak Keyla, mas Gunawan jadi emosi. Selidik punya selidik, si pengirim surat kaleng tersebut adalah mantan selingkuhan mbak Keyla yang sakit hati karena dicampakkan oleh mbak Keyla. Mereka menjalin hubungan sejak mbak Keyla berpacaran dengan mas Gunawan.

Tak hanya itu. Si pengirim surat kaleng juga membeberkan kenakalan mbak Keyla yang sering di-booking om-om dengan bayaran uang.

Mas Gunawan langsung menceraikan mbak Keyla. Semula ia bermaksud mengambil Vina dari tangan mbak Keyla, tapi karena anak semata wayangnya itu masih bayi, ia berikan waktu kepada mbak Keyla untuk merawatnya. Begitu Vina berusia dua tahun, baru mas Gunawan mengambilnya dari mbak Keyla.

Aku termangu, antara percaya dan tidak, mendengar penuturan Tony. Mungkin itu sebabnya, baik mbak Keyla maupun ibunya, tidak pernah menceritakan sebab-musabab perceraian mereka, mungkin karena merasa malu. Mungkin itu juga sebabnya mbak Keyla punya koleksi baju-baju seksi yang pernah ditunjukkan padaku ketika kami berduaan. Dan, mungkin itu juga sebabnya mbak Keyla sangat mahir di atas ranjang, karena jam terbangnya banyak.

Meskipun itu cuma prasangkaku saja dan belum tentu kebenarannya, tapi mau tak mau aku harus berpikir ulang untuk memendam keinginan mereguk kenikmatan bersama mbak Keyla lagi. Aku khawatir akan menjadi bumerang bagi diriku sendiri.

Sejak pertemuan di hotel itu, aku tak pernah lagi bertemu dengan mbak Keyla. Kabar terakhir yang kudengar dari Tony setahun lalu, mas Gunawan tidak menikah lagi. Katanya ia ingin fokus memberikan perhatian pada Vina yang sudah menginjak remaja. Sementara itu, mbak Keyla tak diketahui kabar beritanya.

No comments:

Post a Comment