Ketika keluarga Anton makan malam bersama di restoran hotel, Aku ikut
untuk menyuapi Putri. Sesekali ekor mataku menangkap mata Pak Anton
mencuri-curi pandang ke arahku. Suatu saat dengan memasang muka marah
kutatap mata Pak Anton, aha ... dia cepat menunduk dan jadi salah
tingkah.
Selesai makan kami jalan-jalan menyusuri jalan depan hotel menikmati
udara malam Bandung yang sejuk, lalu masuk ke (lagi-lagi) Mall.
Beginilah model orang kaya berlibur. Kalau tidak ke luar negeri, ke
Bali, atau jalan-jalan ke Mall membeli apa saja. Suatu saat di sebuah
butik di lantai 1 Bu Anton sedang sibuk memilih-milih pakaian, Pak Anton
mendekatiku.
"Awas... saya akan teriak" bisikku ketika tangannya mulai menjamah pipi
Putri yang kugendong. Aku mengantisipasi gerakan tangan dia selanjutnya.
Pak Anton langsung menjauh. Ciut juga nyalinya. Mungkin saja dia memang
hanya ingin menyentuh anaknya, bukan menjamahku, Aku tak peduli.
Pulang dari jalan-jalan Aku sudah demikian lelahnya ingin cepat-cepat
merebahkan tubuh. Untunglah Putri sudah lelap. Ricky menonton TV.
"Kecilin suaranya ya Mas, mbak mau tidur" Ricky mematuhiku. Lalu Aku
terlelap.... Aku memimpikan Mas Adi tiba-tiba menyusul ke Bandung dan
marah-marah kenapa Aku mau saja ditiduri Pak Anton. Sambil menangis Aku
menjelaskan situasinya yang menyudutkanku. Aku juga menyalahkannya. Lalu
tiba-tiba Mas Adi telah menindih tubuhku. Dibukanya kancing dasterku
dan kemudian bra-ku. Diusapnya bulatan buah dadaku, usapan seperti
biasa, mengambang antara sentuhan dan tidak. Lalu puting dadaku
dikemotnya. Aku terbangun...
Kaget bukan main Aku. Begitu membuka mata kurasakan sesosok tubuh
menindihku. Ah ini mimpi. Ketika kesadaranku berangsur pulih, hey ...
ini bukan mimpi. Samar-samar kulihat tubuh itu benar-benar ada.
Kepalanya menyusup di dadaku. Mulut itu benar-benar mengulumi.
Kemotannya terasa di putingku. Aku berusaha bangkit, ah tubuhku lemah,
kesadaranku belum pulih benar. Tubuhku hanya sedikit terangkat. Kuluman
itu terlepas. Ketika Aku benar-benar telah sadar sepenuhnya, kuangkat
kepala yang menindih dadaku. Ricky !
"Kurang ajar !" tanganku melayang menampar pipinya, kanan dan kiri,
cukup keras. Aku marah benar. Kucengkeram kedua belah bahunya dan
kuguncang- guncang sementara mulutku memuntahkan bermacam makian. Ricky
pasif saja, tak melawan. Mukanya menunduk. Aku sadar, tak ada gunanya
menyiksa anak ini. Cengkeraman kulepaskan. Meskipun Aku jengkel bukan
main tapi Aku masih mampu menahan diri. Baru kusadari anak majikanku ini
telanjang bulat. Pakaiannya berserakan di karpet.
Aku membetulkan letak bra-ku yang tersingkap ke atas dan memasang
kancing dasterku kembali. Kulihat Ricky sesenggukan, tubuhnya
berguncang. Ricky menangis. Kubiarkan dia. Menangis karena kupukuli tadi
atau karena apa Aku tak peduli. Entah sudah berapa lama tangisnya tak
berhenti juga. Lama-lama timbul rasa iba. Anak ini sebenarnya anak baik,
penurut, tidak nakal, punya tenggang rasa kepada pembantu sekalipun.
Aku sungguh tak menyangka dan shock mendapati dia menjamahi tubuhku.
Selama ini Aku menganggap dia masih anak-anak. Tingkahnya memang manja
kekanakan. Tapi kelakuannya tadi adalah kelakuan lelaki dewasa. Anak
sekarang memang cepat matang dalam hal seksual, padahal Ricky baru kelas
2 SMP.
"Kenapa kamu, Rick ?"
Mendadak Ricky bangkit dan kepalanya rebah di pahaku, tangisnya makin keras.
"Maafkan saya, mbak ...." katanya terbata-bata.
"Saya emang jahat kepada mbak ..."lanjutnya.
"Saya engga bisa menahan ...... saya tak tahan mbak ...."
Tak tahan ? Apanya ? Tapi Aku malas bicara malam ini, masih ngantuk.
Begitu nyenyaknya tadi Aku tidur sampai tak merasakan Ricky telah
membuka kancing dasterku dan menyingkap bra-ku bahkan menciumi dadaku.
"Udah tidur sana, udah setengah satu" ujarku.
"Tapi mbak mau memaafkan saya, kan ?"
"Ya. Asal jangan kamu ulangi lagi"
"Ya mbak"
"Kalau kamu nakal lagi, mbak akan seret kamu keluar kamar, mbak kasih tahu papa mama"
"Saya janji mbak"
"Pakai baju kamu terus tidur" Ricky menurut. Kuperhatikan Ricky
mengenakan pakaiannya. Tubuhnya memang telah menjadi tubuh lelaki
dewasa. Bahkan kelaminnyapun tak beda dengan kelamin lelaki dewasa. Anak
ini memang sedang tumbuh. Aku harus lebih berhati-hati. Setelah Ricky
merebahkan tubuhnya hendak tidur, Aku berniat keluar kamar sekedar
menghirup udara segar. Kulihat dibawah pintu ada secarik kertas
tergeletak. Kurang ajar ! Tulisan Pak Anton. Kulirik Ricky sudah
terlelap, Aku mendekat ke lampu baca di dekat bed. "Besok pagi jam 10
Bapak tunggu di kamar 509 lantai 5". Lelaki ini benar-benar ular !
Berlibur ke luar kota membawa keluarganya, menginap di hotel mengambil 2
kamar di lantai 4, sementara diam-diam dia mengambil kamar lagi di
lantai berbeda dan dengan penuh percaya diri mengajak pengasuh anaknya
untuk disetubuhi ! Benar-benar keterlaluan. Tunggu saja besok ! Hampir
saja Aku merobek-robek kertas itu. Rencanakulah yang mencegah Aku
merobek. Kulipat kertas itu baik-baik lalu kusimpan dalam sampul uang
tadi.
***
Esok harinya, Sabtu, Ricky jadi murung dan pendiam, tak seperti biasanya
yang lincah. Dia menghindar setiap kutatap matanya. Tak lagi bermanja-
manja ke pangkuanku. Bahkan kalau tak dipaksa ibunya untuk sarapan, dia
tak mau makan. Tak heran pula ketika diajak bapak-ibunya jalan-jalan dia
pilih tinggal saja di hotel.
"Kamu sakit, Nak ?" tanya ibunya.
"Engga, Ma ..."
"Trus kenapa ngga mau jalan ?"
"Males aja. Capek. Lagian Ricky pengin main play-station"
Setelah ayahnya pergi Ricky memang terus memasang perangkat play-station
ke TV kamar dan lalu tenggelam dengan mainan yang populer di kalangan
anak-anak dan remaja itu. Aku tahu, Pak Anton tidak benar-benar pergi
keluar hotel. Paling-paling hanya naik satu lantai.
Aku sebenarnya ingin meng'interogasi' anak ini dan ingin tahu kenapa dia
tadi malam sampai senekat itu. Kubiarkan dia main sampai satu jam dan
akhirnya dia matikan TV dan beranjak keluar kamar.
"Ricky" panggilku. Dia menoleh sekejap terus menunduk. Tapi dia mengurungkan niatnya keluar kamar dan berjalan mendekatiku.
"Duduk, mbak mau bicara". Ricky duduk di tempat tidur Putri dan Aku duduk di tempat tidur lainnya. Dia diam menunggu.
"Kenapa kamu tadi malem ?" Ricky diam, kepalanya makin menunduk.
"Bicaralah, mbak engga marah lagi kok" sambungku.
"Bener, mbak engga marah lagi ?"
"Asal kamu mau terus terang"
Lama dia diam terus belum mau membuka mulut. Aku harus bersabar menunggu.
"Saya ...saya memang udah lama pengin...." katanya terbata-bata.
"Pengin ? Pengin apa ?"
"Ya... begituan..."
Sementara Aku masih terkejut betapa cepatnya anak ini jadi 'matang', Ricky nerocos melanjutkan.
"Temen-temen Ricky sering cerita begituan sama pacarnya, kaya'nya enak
banget. Ada juga yang sama cewe bayaran ... Ricky pengin juga, tapi
nggak punya pacar..."
Oh, anak ini masuk dalam lingkungan pergaulan yang salah. Berani
bertaruh, ibunya pasti pingsan mendengar anaknya sudah sejauh ini.
"Papa mama udah tahu Ricky pengin begituan?"
"Jelas engga dong mbak"
"Kenapa kamu engga cerita ke papa atau mama ?"
"Engga berani .... Ricky takut ..."
"Kenapa kamu berani sama mbak ?"
"Maaf mbak ..... " wajahnya sudah mau menangis.
"Maksud mbak ... kenapa kamu pengin ke mbak ?"
"Mbak kan baik banget sama Ricky ... minta pangku .... nyender ke mbak ...."
"Tapi ...." belum selesai Aku bicara Ricky memotong.
"Sebenarnya Ricky naksir cewe temen sekelas. Anaknya manis. Ricky suka
kalo lihat dia senyum ... manis banget. Badannya tinggi hampir sama ama
Ricky ... trus ... teteknya gede"
"Trus ... kamu pacari dia ?"
"Iya ... tapi ... belum. Gini, Ricky udah deketin dia. Kayanya dia
nerima, tapi kadang-kadang dia juga acuh. Paling makan ke kantin berdua.
Kalo deketan ama dia Ricky suka engga tahan ...
"Engga tahan apa ?"
"Ngliat dadanya .... pengin Ricky remes atau ciumin ... kaya temen-temen ama pacarnya ..."
"Trus ?"
"Tapi ... tapi ....."
"Tapi apa ?"
"Dadanya lebih bagus ... punya mbak ...."
"Bagus apanya ?"
"Mbak ngga marah kan ?"
"Engga "
"Punya mbak bulat .... dan lebih gede ..."
Tentu saja, bandingannya sama anak SMP yang baru tumbuh.
"Pernah suatu ketika Ricky udah ngga tahan ... trus Ricky pegang
dadanya... wah dia marah banget ... ampe sekarang dia engga mau ngomong
lagi ama Ricky" lanjutnya.
"Trus kenapa berani ganggu mbak ?" Ricky diam.
"Kenapa Ricky ?"
"Habisnya ... habisnya Ricky pengin banget ...lagian mbak tidurnya pules
banget sih. Coba kalo mbak waktu itu bangun ... engga sampai begitu
..." Pengakuan polos anak-anak. Aku bisa menerima penjelasannya, bisa
memaklumi perbuatannya. Kelakuan seorang anak yang baru mulai tumbuh,
yang selalu ingin tahu segalanya, termasuk soal seks. Yang tidak bisa
kuterima adalah kenapa bapak dan anaknya sama-sama nakal terhadapku.
Seolah menganggapku hanyalah obyek belaka. Cuma obyek seksual. Aku
memang memendam dendam kepada bapaknya. Tiba-tiba terlintas pikiran
jahat di kepalaku. Ah ... tidaklah.
Pintu kamar di ketuk, Bu Anton masuk.
"Ti, Ibu mau keluar dulu ya" Kulihat arlojiku, pukul 9.25.
"Saya ikut ya Bu ..."
"Kan Putri lagi tidur ..."
"Entar saya gendong aja"
Tatapan mata Bu Anton rada aneh.
"Ayolah"
Di perjalanan Bu Anton menanyaiku
"Kenapa kamu pengin banget ikut"
"Mengganggu Ibu, gitu ?"
"Engga ..... cuman engga biasanya kamu begitu"
"Gak ada pa-pa kok Bu. Bosan di kamar terus"
Alasanku yang sebenarnya sih menghindari ajakan Pak Anton untuk 'ngamar'. Rasain dia menunggu terus ....
***
Tingkah Pak Anton sewaktu makan malam di restoran tadi benar-benar
membuatku ingin melaksanakan pikiran jahatku. Kami makan malam hanya
berempat, Ricky tak mau turun hanya minta dibelikan makanan. Padahal Bu
Anton hanya ke toilet sekitar 5 menit, masih sempatnya dia merabaku
sambil berbisik :
"Kenapa tadi engga dateng ? ... saya pengin lagi ...."
Dengan kasar kutepis tangannya, lalu kubawa Putri menghindar. Aku
benar-benar marah. Marah karena dia tahu persis Aku tak bakalan lapor
kepada isterinya. Dia tahu persis posisiku yang lemah dan lalu
memanfaatkannya.
"Gimana Ti ....?"
"Pokoknya begitu Bapak mulai macem-macem lagi, saya langsung bilang ke
Ibu !" ancamku. Mendadak dia jadi diam seribu bahasa, lalu kembali ke
tempat duduknya dan minum. Wajahnya sungguh sulit dibaca. Tegang
mungkin.
"Cuman segitu ....." pikirku. Lelaki gagah itu langsung surut begitu
mendengar ancamanku. Begitu takutnya dia kalau isterinya tahu. Padahal
Aku cuma mengancam, belum tentu berani melaksanakan ancamanku. Karena
Aku belum berniat berhenti kerja, Aku masih punya 'hidden agenda', yaitu
rencana untuk membalas dendam !
Malam ini keluarga Anton tak punya acara, setelah makan malam suami
isteri itu langsung menuju kamar dan mengurung diri. Mungkin karena
besok harus bangun pagi untuk kembali ke Jakarta. Atau mungkin Pak Anton
sudah tak tahan ingin segera melampiaskan hasrat seksualnya yang tadi
tertahan. Melampiaskan ke 'jalan yang benar', yaitu kepada isterinya.
Akupun segera ke kamarku menidurkan putri. Si Ricky masih takut-takut
kepadaku. Dia masih asyik bermain game. Tak seperti biasanya ikut
bermanja-manja ketika Aku menidurkan adiknya.
"Udah malam, kamu besok harus bangun pagi-pagi. Tidurlah" kataku.
"Ya mBak". Ricky langsung mematikan mainannya dan merebahkan diri ke
kasur. Anak ini memang jadi pendiam. Aku memejamkan mata mencoba tidur.
"mBak ...." suara Ricky mengejutkanku ketika Aku hampir terlelap.
"Ada apa ?"
"mBak udah tidur ?"
"Hampir"
"Ricky mau nanya-nanya boleh nggak"
Tampaknya Ricky sudah pulih, tak takut-takut lagi bicara kepadaku.
"Nanya apa"
"Kalau begituan bisa hamil ya mBak"
"Kamu udah begituan ....?" agak kaget juga Aku. Pertanyaan yang tak kuduga.
"Engga lah mBak. Temen Ricky yang bilang"
"Apa katanya"
"Dia engga berani 'gituin' pacarnya. Takut pacarnya hamil"
"Kamu memangnya belum tahu"
"Belum"
"Engga diajarin di sekolah"
"Engga dong, masa pelajaran gituan"
"Di Biologi kan ada pelajaran tentang terjadinya bayi"
"Engga ada tuh mbak. Gimana dong mBak, Ricky pengin tahu"
Aku lalu cerita tentang terjadinya pembuahan sel mani dan sel telur
melalu proses hubungan kelamin, tentang janin sampai menjadi bayi.
"Hmm ... pantesan" komentarnya.
"Apanya ?"
"Si Rudy sering gituan tapi pacarnya tapi engga hamil. Kata dia cabut duluan sebelum keluar"
"Temen sekolah kamu udah ada yang pintar begitu"
"Dia udah SMU kok mBak. Kalau begituan kayanya enak banget ya mBak"
"Ya ... kalau engga enak nanti gak ada manusia yang mau punya anak. Trus
akibatnya manusia bisa punah" Tiba-tiba terlintas pikiran burukku.
Inilah saatnya ! Telah tiba waktuku untuk bertindak ! Ah .... tapi aku
tak tega. Lain kali saja dipertimbangkan lagi.
"Udah tidur aja"
Aku mencoba tidur lagi. Si Ricky tampaknya belum tidur juga. Badannya bolak balik.
"Ricky engga bisa tidur ..." keluhnya setelah setengah jam tak bersuara. Aku diam saja.
"mBak, Ricky gak bisa tidur" ulangnya.
"Ya udah, jangan ganggu mBak dong"
Lalu hening. Tapi sejurus kemudian.
"mBak ...."
"Apa lagi sih Rick" Aku mulai jengkel.
"Ricky mau pindah kesitu boleh ?"
Di bed besar ukuran King ini Aku biasa di sisi kiri, Putri di tengah, lalu Ricky di sebelah kanan.
"Ya udah sini" pikirku, supaya dia cepat tertidur dan tak menggangguku lagi.
Ricky dengan perlahan menggeser adiknya sedikit kekanan, lalu dia tidur di tengah.
"Hati-hati entar adikmu jatuh lho"
"Engga kok mBak, udah diganjal ama guling"
"Peluk Ricky dong mBak, supaya cepet tidur"
Aku diam. Malas. Bahkan memiringkan tubuhku membelakanginya.
"Ya udah, Ricky aja yang peluk mBak"
Kubiarkan saja Ricky memeluk tubuhku dari belakang. Lalu ketika Aku
mulai terlelap, kurasakan sesuatu menekan pinggangku. Anak ini memang
sedang mendekati puber, menjadi gampang terrangsang. Hari-hari
sebelumnya dia sering memeluk tubuhku seperti ini, tapi tak kurasakan
apa-apa. Mungkin sejak dia berani menjamahku kemarin, "penghayatan" atas
sikap memeluk tubuhku menjadi berbeda. Sekarang ini bukannya seorang
anak memeluk tubuh pengasuhnya, tapi sesosok tubuh lelaki menjelang
puber yang sedang memeluk tubuh seorang wanita dewasa.
Kenyataan ini telah membuatku mengambil keputusan: sekaranglah saatnya.
Telah tiba waktunya untuk membalas dendam kelakuan Pak Anton terhadapku.
Telah datang saatnya untuk membuat seorang anak 12 tahun menjadi
"dewasa" secara mendadak. Ya, inilah waktu yang tepat !
Aku lalu melepaskan diri dari pelukan Ricky dan turun dari tempat tidur.
"Mau kemana mBak ?"
"Pipis"
Di dalam kamar mandi yang terkunci Aku melepaskan dasterku. Bra dan
celana dalam kulepas juga. Aku telanjang bulat berdiri di depan cermin
mengamati tubuhku sendiri. Sepasang buah dada yang bentuknya tak berubah
sejak mereka tumbuh, masih bulat kencang ke depan. Perut bak landasan
rata dengan dihiasi pusar yang begitu melesak ke dalam. Lalu dibawahnya
tumbuh bulu-bulu halus menutupi permukaan lubang kelamin yang katanya
'legit', begitu pria beristeri di kamar sebelah pernah mengatakannya.
Inilah bedanya antara lelaki nakal yang sudah berpengalaman itu dengan
lelaki seperti Mas Adi. Mas Adi hanya berkomentar 'susah masuknya' atau
'enak banget', bukannya legit. Emangnya kue lapis !
Kukenakan dasterku kembali lalu Aku keluar dengan meninggalkan bra dan
celana dalamku di gantungan kamar mandi. Inilah saatnya ! Kurebahkan
tubuhku di kasur, kali ini Aku terlentang dan memejamkan mata, pura-pura
hendak tidur. Ricky yang tadinya terlentang memiringkan tubuhnya ke
arahku, lalu kurasakan sebelah tangannya memeluk perutku dan sebelah
kakinya menyilang di atas pahaku. Aku dipeluknya seperti kebiasaannya
memeluk guling. Segera saja kurasakan kelamin tegang itu mendesak sisi
pinggulku.
Persis seperti dugaanku telapak tangannya mulai merabai dadaku setelah
setengah jam dia diam saja. Dia berani memulai setelah Aku disangkanya
telah tertidur. Kubiarkan tangannya membukai kancing atas dasterku satu
persatu, lalu tangannya menyusup ke balik dasterku. Mungkin dia kaget
melihat Aku tak memakai bra. Diciuminya bukit dadaku lalu mulutnyapun
sampai ke putingnya, dikemotnya.
Saatnya beraksi. Tanganku lalu membelai-belai rambut dan punggungnya.
Ricky tersentak mengetahui ternyata Aku tak tidur. Kulumannya terlepas
dan kepalanya terangkat memandangiku. Aku tersenyum.
"mBak ......"
"Kamu mau ngapain lagi, Rick ?"
"Ricky pengin mBak ..... pengin banget .... boleh ya mBak ?"
"Pengin apa ..."
"Pengin main sama mBak"
"Main apa ...."
"Ah ... mBak ini. Boleh ya mBak ?"
"Ntar kalo mBak hamil gimana ?"
"Kaya Si Rudy aja, dicabut ...."
"Bener kamu pengin ..."
"Bener mBak, banget !"
"Kenapa engga sama temen sekolah kamu, yang sebaya ..."
"Temen sekolah nyebelin. Penginnya sama mBak aja"
"Kenapa pengin sama mBak ?"
"Habisnya mBak baik ..."
"Engga nyesel kamu ?"
"Engga !"
"Lepas dulu baju kamu"
Kontan Ricky bangkit dan secepat kilat melepas pakaiannya hingga
telanjang bulat. Penisnya sudah begitu tegang mengacung, tak beda dengan
penis orang dewasa. Lalu tanpa diminta dia melepas kancing dasterku
terus kebawah. Ketika sampai di kancing bagian bawah perut, dia tertegun
melihat Aku tak memakai celana dalam lagi.
Ketika dasterku telah lepas seluruhnya, Ricky langsung menindih tubuhku.
Penisnya menekan-nekan selangkanganku, tapi salah sasaran.
"Bukan begitu caranya ....... sini....."
Tanganku meraih batang penisnya, kusuruh dia menempatkan kedua lututnya
di antara pahaku yang kubuka lebar. Kutuntun penisnya menuju arah yang
benar, liang senggamaku. Tusukan dia tadi mengarah di atas clit-ku. Lalu
kuberi isyarat agar dia mulai menekan. Aku belum basah benar sehingga
dengan susah payah akhirnya Ricky berhasil membenamkan seluruh batang
penisnya ke dalam tubuhku. Lalu dari berlutut dia mengubah posisi
tubuhnya menjadi menindih tubuhku. Kupeluk erat tubuhnya ..... tapi
sesaat kemudian mendadak dia mengangkat tubuhnya kembali dan lalu dengan
cepat mencabut penisnya. Dan .... air maninya berhamburan di perut dan
dadaku.
"Hmmm ...kok udahan ..." komentarku mulai menyerang.
"Habis .... engga tahan lagi mBak ...." katanya terengah-engah.
"Bentar banget ...." kataku menusuk. Ricky diam.
"Cuman bikin kotor badan mBak doang ..."
"Apa enaknya kalo begini ...." Aku terus menyerangnya. Menghancurkan harga dirinya.
"Berhubungan seks tak boleh egois, asal dirinya udah puas lalu selesai.
Lihat juga gimana pasangan kita, apa dia juga puas" lanjutku. Ricky
masih diam. Sebenarnya Aku juga tahu kenapa dia begitu cepat ejakulasi.
Ini merupakan pengalaman pertama bagi Ricky dalam bersetubuh. Letak
lubangnyapun dia belum tahu persis. Cepat selesai bagi lelaki yang
pertama kali melakukan adalah hal wajar. Mas Adi juga begitu. Sudah
bagus Ricky mampu sampai penetrasi.
Seranganku ini merupakan langkah pertama dari agenda balas dendam.
Langkah kedua atau langkah terakhir sudah tersusun di kepalaku. Hanya
pelaksanaannya membutuhkan persiapanku, baik mental atau fisik, serta
waktu yang tepat. Yang jelas langkah pertama ini Aku nilai berhasil.
Ricky sama sekali berubah, menjadi pendiam. Tak pernah lagi bicara
denganku. Jangankan bicara, melihat mukakupun seperti ketakutan.
***
Waktu yang kutunggupun hampir tiba, setelah Mas Adi menyetujui rencanaku
pindah ke Semarang menyusul dia. Sebelum dia setuju memang terjadi
'diskusi' yang cukup seru.
"Kenapa sih kamu tinggalin kerja yang udah enak ini" tanyanya.
"Habis .... Mas belum tentu bisa ke sini tiap minggu" jawabku. Baru kali
ini Aku menyembunyikan sesuatu dari Mas Adi. Aku terpaksa tidak
berterus terang mengatakan alasanku yang sebenarnya. Yaitu menghindar
dari Pak Anton sekaligus membalas dendam.
"Itu kan awalnya aja, mulai Maret nanti Mas bisa kok tiap minggu ke Jakarta"
"Maret masih lama ... penginnya sekarang ini tiap minggu ketemu ama Mas"
"Kenapa .... kangen ya ama Mas" pipiku diciumnya.
"Engga, cuman kangen sama ini ..." ku-elus penisnya. Lalu Mas Adi
menubrukku hingga Aku terlentang. Saat berikutnya dia menelanjangiku.
'Diskusi'nya break dulu. Ada selingan Selingan nikmat : persetubuhan.
"Kamu engga ada masalah dengan keluarga Anton, kan ?" tanyanya. Tubuh
Mas Adi masih menelingkupi tubuhku, bahkan kelamin kamipun masih
'berhubungan'. Tadi kami sepakat untuk melakukan hubungan seks 'dengan
sebenar-benarnya'. Artinya, Mas Adi tak perlu mencabut menjelang puncak.
Mas Adi ber-ejakulasi di dalam tubuhku. Sungguh suatu sensasi baru.
Merasakan pengalaman baru bagaimana benda hangat itu berdenyut-denyut di
dalam sana..... Kalau ternyata benih itu 'jadi', ya urusan nanti lah.
"Engga ada masalah apa-apa kok"
"Trus kamu nanti kerja di mana ?"
"Kerja di rumah sakit ajalah. Lebih enak kaya'nya"
"Katanya dulu lebih enak jadi baby sitter"
"Iya dulu ..... sekarang lain. Entar bantuin Narti bikin surat-surat lamaran ya Mas"
"Okelah, kalau mau kamu begitu"
"Bener nih, Mas setuju ?"
"Iya"
"Engga nyesel ..."
"Nyesel apa ?"
"Entar ketahuan punya simpenan di Semarang ...." candaku. Digigitnya buah dadaku.
"Rupanya itu ya alasanmu ..."
***
Minggu pagi itu Aku sudah siap. Semua pakaianku sudah kumasukkan kedalam
koper kecil, dan barang-barang lainnya telah masuk ke tas jinjing.
Rasanya seluruh benda milikku telah Aku kemas, kecuali sampul berisi
uang dan selembar kertas dari Pak Anton dulu, sengaja Aku rekatkan ke
cermin hias dengan selotape. Kukunci pintu kamarku dan kuncinya Aku
bawa. Mas Adi dan temannya sudah siap mengantarku ke stasiun Gambir
dengan mobil kakaknya. Dia sekarang parkir di depan rumah. Sengaja tak
kuminta masuk dia masuk, alasanku agar tak berlama-lama pamitnya. Pagi
ini Aku dan Mas Adi akan ke Semarang dengan KA. Kubawa 2 tas itu ke
depan, di mana Pak dan Bu Anton duduk-duduk minum teh.
"Ibu boleh check isi tas-tas ini" kataku sambil membuka koper dan tasku
lebar-lebar. Supaya dia yakin Aku tak membawa benda-benda bukan milikku.
"Tak perlu Ti, Aku percaya kamu. Kamu sudah pikirkan benar ?" tanya Bu Anton.
"Sudah Bu"
"Terus terang Ibu menyayangkan keputusanmu. Ibu inginnya kamu tetap di sini"
"Saya sudah putuskan, Bu"
"Jujur saja Ti ya. Ada apa sebenarnya ?"
"Engga ada apa-apa, Bu. Ini hanya demi masa depan saya bersama Mas Adi"
Ekor mataku menangkap Pak Anton sedang menatapiku.
"Toh dengan kerja di sini tak ada masalah dengan pacarmu, kan ?"
"Lebih baik kalau saya tingga satu kota dengan tunangan saya, Bu"
"Atau ada masalah lain, gaji misalnya ?"
"Engga ada masalah dengan gaji"
"Anak-anak, Bi Ijah atau Bang Hasan ?"
"Sama sekali tidak"
"Lalu apa ?"
"Ibu benar-benar ingin tahu ?"
"Iya dong"
Saatnya mulai serangan.
"Ibu bisa tanya ke Bapak !" kataku dengan nada rada tinggi dan menatap
mata Pak Anton. Mata Bu Anton terbelalak. Ditatapnya suaminya, lalu
pindah memandangku. Ke suaminya lagi. Berganti-ganti.
"Kalian ....berdua ............... ?" katanya kemudian.
"......A....Aku.... tak percaya ...." kata Bu Anton terbata-bata. Saatnya melancarkan serangan terakhir.
"Sudah saya duga Ibu tak akan percaya. Ibu ingat waktu di Bandung saya ngotot ingin ikut Ibu ke Mall ?" Bu Anton hanya melongo.
"Silakan Ibu ke kamar saya, lihat di cermin. Ini kuncinya" kuserahkan kunci kamarku ke Bu Anton.
"Kalian tunggu di sini"
Bu Anton mengambil kunci dari tanganku dan bergegas ke belakang, menuju
kamarku. Aku juga bergegas mengangkut tas-tasku dan melangkah keluar
rumah. Sebelum keluar pintu Aku sempat 'menghadiahkan' senyuman kepada
wajah pucat Pak Anton. Senyum kemenangan. Aku menuju mobil, Mas Adi
membantuku mengangkat koper. Lalu kami berangkat meninggalkan rumah
keluarga Anton menuju stasiun Gambir......
Sebentar lagi akan terjadi 'perang baratayuda' antara suami-isteri
Anton. Setumpuk uang yang tak berkurang sesenpun dan secarik kertas
tulisan tangan Pak Anton yang berisi ajakan ke kamar 509, serta
'alibi'ku ikut Bu Anton pada hari dan jam itu, telah menjelaskan
semuanya ...
TAMAT
No comments:
Post a Comment