Semula tidak pernah terpikirkan. Karena aku pergi pagi pulang petang. Ketemu paling cuma 10 menit atau paling lama setengah jam.
Sebut saja namanya Yanti. Pekerja rumah tangga yang dipekerjakan istriku
untuk mencuci pakaian dan membersihkan rumah. Namun sesekali juga
membantu istriku memasak. Datang pagi dan siang sudah pulang. Itulah
kenapa aku tidak pernah memperhatikannya.
Penampilannya biasa saja. Waktu datang ke rumah untuk mencari kerja
dianter sama bibinya, katanya janda karena suaminya meninggal kecelakaan
dan punya satu anak umur 4 tahun yang dititipkan sama orangtuanya.
Usianya tidak lebih dari 25 tahun.
Memang seperti kebanyakan orang-orang di kampung tempat tinggalnya
perempuan dengan usia di atas 19 tahun rata-rata sudah menikah. Bahkan
ada yang sudah menikah di usia 16 tahun.
Hari itu aku sedang malas pergi ke kantor, karena di kantor sedang ada
pekerjaan mengganti dan memperbaiki furniture dan partisi. Aku alergi
dengan debu sehingga kuputuskan untuk kerja di rumah saja. Toh memang
kerjaku bisa di mana saja asal ada komputer dan sambungan internet.
Memang dengan kerja di rumah aku tidak bisa mengawasi pegawaiku, tetapi
dalam situasi di kantor seperti itu memang para pegawaiku pun kerjanya
cuma bersih-bersih. Penggantian furniture dan partisi ini diperkirakan
baru selesai setelah 2-3 hari. Untuk mengawasinya aku sudah serahkan
kepada Nyoto pegawaiku yang paling senior dan memang orang
kepercayaanku.
Karena kerja di rumah aku agak santai. Setelah selesai mengantar
anak-anak pergi ke sekolah aku nonton TV berita. Kegiatan yang amat
jarang aku lakukan. Istriku kebetulan berangkat pagi-pagi karena ada
acara annual meeting di kantornya dan katanya akan menginap semalam.
Pulang dari mengantar anak ke sekolah aku sudah mendapatkan Yanti di
rumah sedang menyapu lantai. Dia hanya menegurku "Pak ..." aku pun hanya
mendehem "hem..." sambil berlalu. Tidak ada kontak apa pun.
Setelah ganti baju dengan kaos rumah dan celana pendek aku ngeloyor ke
ruang keluarga menyalakan TV. Sambil selonjor di sofa kuraih smartphone
untuk melihat email masuk. Beberapa saat kemudian Yanti datang lalu
bertanya kalau-kalau aku perlu dibuatkan kopi atau teh manis. Aku pesan
kopi saja. Sambil menyerahkan kopi, dia berkata "Pak, nanti sambil Yanti
pel tidak apa-apa ya?" Sambil mengucapkan terima kasih atas kopinya aku
iyakan.
Mataku masih terpaku pada TV dan smartphone, ketika Yanti mulai mengepel
ruang keluarga. Rupanya dia mengepel rumahku yang tidak terlalu luas
itu mulai dari dapur lalu beranjak ke depan. Karena ruang keluarga
berada di tengah maka setelah selesai mengepel dapur maka giliran ruang
keluarga yang dia bersihkan. "Maaf pak" katanya saat dia mengepel di
dekatku. Aku beringsut sedikit dan meliriknya. Serrrr... tiba-tiba
darahku berdesir. Sumpah, meskipun aku sudah sering melihat nenen,
tetapi tetap saja ketika mataku tertumbuk pada nenen Yanti yang agak
bergoyang saat mengepel, darahku terasa berdesir dan jantungku berdebar.
Nenennya tidak terlalu besar, jika dibandingkan dengan punya nyonyaku.
Tetapi bentuknya masih bulat menantang dan bra yang dikenakannya pun
dari model yang cupnya tidak berbentuk sehingga putingnya yang
kecoklatan tumpah mengintip.
Berikutnya yang terjadi adalah mataku yang tadinya terpaku pada TV dan
smartphone kini bergeser pada pemandangan yang lebih menarik.
Berkali-kali mataku pindah dari TV ke dadanya. Susah sekali untuk
konsentrasi pada berita penangkapan teroris di Poso. Sampai akhirnya aku
kepergok, "Aih bapak!" serunya ketika memergokiku sedang memelototi
nenennya. Buru-buru dia berdiri sambil membenahi kaosnya yang lehernya
memang lebar sehingga memberiku peluang mengintip perkakasnya. "Lah
salah sendiri pake kaos longgar" jawabku sekenanya.
Kini otakku berputar bagaimana caranya menikmati ngenyot nenen sekel
itu. Sedangkan kepala si boy di bawah mulai berdenyut-denyut. Sementara
Yanti mengepelnya ganti posisi dengan jalan menyamping tidak mundur
lagi. Kepalanya menunduk, mungkin malu. Tetapi dia tetap menyelesaikan
pekerjaannya. Aku kembali menonton TV meskipun sekarang sudah tidak bisa
konsentrasi lagi. Saat Yanti mulai bergeser ke ruang depan, aku merogoh
si boy. Aku keluarkan dari CD dan aku pijat-pijat supaya dia berdiri
tegak. Setelah mengeras dan bisa bergerak-gerak naik turun dengan
gagahnya aku lepas dia dengan tetap aku biarkan di luar CD. Jadilah
celana pendekku menggembung. Sengaja kulakukan dan aku mau lihat apakah
Yanti nanti akan memperhatikan dan bagaimana reaksinya.
Tak berapa lama setelah selesai mengepel ruang depan dan teras serta
membereskan peralatannya. Yanti kembali masuk ke dalam untuk ke dapur.
Apa yang kuharapkan pun terjadi. Ketika melewatiku dia melirikku dan
tersenyum. "Apa tersenyum!" aku pura-pura menegur dengan agak keras.
"Ada yang tegang nih" lanjutku. "Tanggung jawab!" seruku lagi. "Idih,
bapak yang salah nyuri-nyuri liat kok Yanti yang disuruh tanggung jawab"
sahutnya dari bak cuci di dapur. Kena! kataku dalam hati. Aku memang
mencoba untuk mengajaknya ngobrol dan menggodanya.
"Yah kan kamu yang mulai..." kataku.
"Mulai gimana?" tanyanya.
"Mulai pamer" kataku lagi.
"Idih pamer gimana sih pak? Yanti kan lagi kerja!"
"Bapak aja yang matanya ..." katanya lagi dengan nada menggantung.
"Matanya apa? jelalatan?" sahutku.
"Ya gitu deh..." jawabnya lagi.
"Ga mau tahu pokoknya nanti kamu harus tanggung jawab" kataku lagi
"Ga mau!...Yanti bilangin ibu" sahutnya
"Terserah..." jawabku sekenanya lagi.
"Yanti pulang nih... ga aman di sini" katanya lagi mengancam.
"Ya pulang aja sono, kerjaan belum selesai kok pulang" sahutku.
Dia hanya diam saja melanjutkan pekerjaannya mencuci perkakas dapur
sampai selesai. Aku pun kembali diam tetapi sambil menyusun rencana.
Selang beberapa saat dia menyelesaikan pekerjaan cuci perkakas dapur dan
bergeser ke mesin cuci untuk mencuci pakaian. Setelah itu dia
bersiap-siap untuk melicinkan pakaian. Selama ini tempat untuk
menyeterika memang aku tempatkan di ruang keluarga supaya yang
menyeterika bisa sambil nonton TV.
Kini Yanti sudah mulai dengan pekerjaan menyeterika. Dia mulai dengan
potongan-potongan yang kecil. CD, kaos oblong, dan lain-lainnya.
"Pak TVnya Yanti pindahin ya?" pintanya. Karena aku memang sudah tidak
fokus ke TV dan untuk memperlancar rencanaku maka permintaannya aku
iyakan. Pindahlah channel TV ke tayangan sinetron.
Beberapa saat kemudian aku memutuskan untuk bergerak memulai melaksanakan rencanaku. Mulailah aku pura-pura hendak
mengambil minum ke dapur sambil membawa cangkir kopiku yang sudah
tandas. Tetapi ketika melewatinya tanganku usil meraba perutnya sambil
bilang, "Mau donk Yan".
"Gak" jawabnya, tapi tanganku tidak ditepisnya. Aku ke kulkas ambil air
dingin lalu ambil gelas. Kutuang segelas air dingin dan kembali ke
tempat dudukku. Saat melewatinya lagi kurengkuh pinggangnya dari
belakang sambil aku bisikin "aku mau donk nenennya"
"Pak aku teriak nih" ancamnya, tetapi tanganku tetap dibiarkan melingkar di perutnya.
"Teriak saja, kan malunya berdua," sahutku
"Pak lepasin" pintanya, tetapi sambil tetap duduk dan tidak berusa
melepaskan diri. Padahal aku merangkulnya juga biasa saja dan kalau
memang mau dia dengan mudah dapat melepaskan diri.
"Engga ah... sebentar aja yuk" kataku sambil memepetkan diriku ke bagian belakangnya. Aku cium wangi rambutnya.
"Engga ah pak, Yanti takut, nanti ketahuan ibu" katanya lirih sambil
menoleh kepadaku. Ah, rupanya ternyata dia tidak bertahan. Aku sangka
dia memang akan pura-pura bertahan. Ternyata tidak.
"Ya enggalah kalau kamu ga lapor dan aku juga ga bilang" kataku. Gila kali ya godain pekerja rumah lalu lapor ke nyonyanya.
"Bentar aja... aku cium aja nenenmu yah..." rayuku sambil tanganku beranjak dari perut memegang dadanya.
"Tapi beneran bentar saja ya pak..." jawabnya sambil menunduk dan memejamkan mata.
"Iya..." sahutku setengah berbisik.
Selanjutnya tentu saudara-saudara tahu apa yang terjadi. Tetapi baiklah
aku ceritakan sedikit supaya cerita ini berakhir dengan enak.
Saat tanganku mulai menyentuh kulit nenennya Yanti melenguh "Ah geli pak!". Ya, iyalah pasti geli masa engga pikirku dalam hati.
Aktivitasku berlanjut dengan mengangkat kaosnya dan membuka kaitan
branya. Longgar sudah. Kini giliran aku putar dia agak menyamping
sehingga memudahkan aku untuk menciumi leher dan meremas-remas nenennya.
"Ah pak geli, ga kuat, udah ya..." katanya sambil merem.
Sampai dititik ini tahulah aku bahwa permainan harus dilanjutkan.
Meskipun doi meminta sudah tetapi jika aku sudahi tentu saja doi pasti
kecewa. Jadi berlanjutlah aktivitasku dari menciumi leher bergerak ke
bawah menciumi nenennya. Tetapi masih belum aku kenyot nenennya.
"Hah pak Yanti lemas" katanya sambil membebankan seluruh berat tubuhnya
ke rangkulanku. Ini pertanda dia sudah menyerah dan harus segera dibawa
ke tempat lain yang lebih leluasa untuk aktivitas selanjutnya. Maka
kuangkatlah dia, wah barangkali sekitar 50 kg lebih, yang kalau dalam
keadaan biasa tentu aku tidak kuat melakukannya. Tetapi entah tenaga
dari mana meskipun agak sempoyongan sampailah kami ke karpet di depan TV
sambil hidungku masih tetap mendengus-dengus di sekitar nenennya.
Pelan-pelan kuturunkan dia ke karpet. Rupanya dia benar-benar sudah
menyerah pasrah sehingga mandah saja ketika badannya kutelentangkan di
atas karpet tempat anak-anak biasa menonton TV. Matanya tetap terpejam.
Aku pun berbaring di sampingnya. Kini mulutku menyusuri mukanya mulai
dari mata, hidung, dan akhirnya kukulum bibirnya. Yanti membalas
ciumanku. Rupanya permainannya lumayan hebat sehingga cukup lama kami
berciuman sambil tanganku terus bergerilya meremasi buah dadanya. Tak
puas dengan buah dadanya tanganku bergeser menuju perut dan
selangkangannya. Aku remas-remas gundukan diselangkangannya dengan agak
gemas. Tak puas juga, tanganku menyelinap ke celananya. Ternyata Yanti
hanya mengenakan celana kolor ketika bekerja. Sehingga dengan amat mudah
tanganku menyelinap dan masuk ke celana dalamnya.
Mak... teraba gundukan berambut lumayan lebat. Lalu jari tengahku
berlanjut dan menemukan celah hangat nan lembab agak licin dan
terperosok ke dalamnya.
"Ah..." desah Yanti melepaskan pagutannya dari bibirku saat jari
tengahku menyentuh benda lunak nan licin sebesar biji kacang mede di
sela-sela gundukannya yang berambut.
"Enak Yan?" tanyaku setengah berbisik sambil memutar-mutar jari tengahku
di atas benda lunak nan licin sebesar kacang mede itu. Yanti tidak
menjawab. Tetapi aku tahu pasti bahwa itu sangat enak.
Sambil terus memutar-mutar dan memaju-mundurkan jari tengahku aku
berusaha membuka celana dalam dan kolornya. Tidak ada penolakan darinya.
Malah pinggulnya agak diangkat agar aku dapat dengan mudah memelorotkan
celana dalam sekaligus kolornya. Kini terpampanglah pemandangan yang
konon indah sehingga memabokkan kebanyakan pria di dunia ini tak
terkecuali aku. Kini aku sudah lupa bahwa tadi aku cuma minta untuk
mencium nenennya saja. Rupanya Yanti pun lupa. Sehingga yang terjadi
berikutnya adalah akupun melepaskan celana pendek dan celana dalamku.
Tuing...! Keluarlah si boy dari sangkar dengan mengacung-acung.
Sayangnya Yanti tidak melihatnya karena dia memilih tetap memejamkan
mata.
Blessss! Saat si boy memasuki sarang kenikmatannya. Karena jalannya
sudah licin maka hanya dengan sedikit agak bersusah payah si boy
memasuki sarang kenikmatan yang terasa agak sempit dan berkedut-kedut
meremas-remas.
"Ah...ah..." kembali Yanti mendesah. Selanjutnya si boy meluncur maju
mundur dalam saluran hangat nan nikmat itu ditingkah dengan suara
"ah...ah... oh..." Yanti yang semakin membuat semangat untuk segera
menyelesaikan permainan.
Tak berapa lama kemudian, sekitar 7 menitan, si boy merasakan geli-geli
pada ujung kepalanya yang merasa semakin berkedut-kedut, sehingga aku
agak menurunkan laju gerak maju-mundur keluar-masuk. Tetapi Yanti malah
menggerak-gerakkan pinggulnya dengan sedikit agak liar dan kemudian
"Aaaahh..." serunya agak panjang sambil kakinya berusaha menjepit
pinggulku sementara kepalanya menengadah indah. Benar, sungguh indah
menikmati wajah perempuan yang sedang mengalami orgasme. Kejadian itu
terjadi sekitar 30 puluhan detik lebih, sementara si boy merasa bahwa
dia sedang dipijat setengah diremas oleh lorong ajaib yang hangat,
lembab, licin, dan terus-menerus berkedut-kedut itu. Tidak tahan dengan
remasan dan pijatan itu si boy pun berasa mau muntah dan akhirnya dengan
sedikit diayun keras menghujam ke dalam muntahlan si boy di dalam
lorong ajaib Yanti yang nan nikmat itu. Dan akhirnya seperti biasa
terkulailah kami berdua sambil berpelukan. Seperti yang anda duga
kejadian itu berulang beberapa kali dan sepertinya masih akan berulang
lagi.
No comments:
Post a Comment