Tuesday 29 May 2018

Ranti Terjebak Di Sarang Pedhofilia

Sial, aku semakin galau, Siti Fatimah entah mengapa bisa berubah begitu saja. Bukan saja sulit kuajak keluar, dia bahkan jarang mau menyapaku di tempat kerja. Walaupun kami belum resmi pacaran, namun aku merasa ada sedikit hati dengannya. Diperlakukan seperti itu membuat hatiku hancur. Aku sudah putus asa, berkali-kali aku mengajaknya keluar hanya mendapatkan penolakan. Aku seharusnya memupuskan harapanku itu, sebaiknya tidak terlalu berharap padanya.
***
‘Ada yang baru?’, aku coba sms Pak Kartolo. Bermaksud untuk menghibur diri sendiri, aku mau menyalurkan galau ku. Walaupun sudah sedikit bosan dengan anak-anak yang dipekerjakan Pak Kartolo, aku sedikit berharap adanya anak baru di sana. ‘Belum ada nih..’, balas Pak Kartolo membuatku kecewa. Aku pun lalu tidak membalas smsnya, sebaiknya aku mencari tempat baru untuk menyalurkan hasrat. Namun tidak lama, handphone ku berbunyi, Pak Kartolo menelponku, “Man, sorry... Belum ada yang baru...”, katanya. “Sebenarnya ada satu, Cuma belum stabil nih, ke sini saja biar saya ceritakan...”, lanjut Pak Kartolo membuatku penasaran.
Aku pun segera menuju ke tempat Pak Kartolo yang tersembunyi itu. Rumah mewah miliknya itu adalah sarang prostitusi. Banyak penggila anak kecil di sana, karena di sana hanya menyediakan gadis di bawah umur.
Aku sudah sampai di depan gang menuju rumah Pak Kartolo. Rumahnya di ujung gang sana, tidak ada orang yang mencurigai tempat itu sebenarnya, sepanjang gang cuma rumah-rumah kecil kumuh berdempetan, hingga ke ujung hanya ilalang yang cukup tinggi hingga sepanjang jalan sampai rumahnya. Seperti biasa aku hanya parkir di ujung rumah batas tanah kosong menuju rumah Pak Kartolo. Selama ini warga hanya tahu Pak Kartolo orang kaya yang sedikit tertutup.
Aku berjalan hingga ke rumahnya, dan segera mencari Pak Kartolo. “Selamat datang man...”, sambutnya lalu membawaku ke lantai dua. Satu kamar ia buka, dan ku lihat seorang gadis kecil terikat di kasur dengan wajah yang menangis. “Baru nih?’, tanyaku. “Dia maling man...”, kata Pak Kartolo. “Aku menangkapnya tadi malam... Ia coba masuk ke dapur dan mencuri makanan...”, lanjutnya. “Trus dijadikan budak???”, tanyaku heran. “Sudah saya introgasi, dia tidak mempunya siapapun, hanya sebatang kara, dia perlu makan katanya...”, jawab Pak Kartolo. “Aku menawarkan bekerja di sini, namun dia diam saja, hanya bisa menangis...”, Pak Kartolo menjelaskan bahwa dia tidak mungkin melepaskan anak itu atau pun membawanya ke kantor polisi, Pak Kartolo tidak mau usahanya ini terbongkar.
“Kalau lu mau, lu pakai saja, bayar kalau lu puas, saya cuma gak bakalan membiarkannya kabur...”, kata Pak Kartolo mempersilahkanku. “Tapi pak...”, aku coba meyakinkannya apakah ini tidak melanggar aturannya, setahuku Pak Kartolo mempekerjakan anak yang benar-benar bersedia bekerja. “Tenang, nanti akan saja bujuk sampai mau...”, jawab Pak Kartolo lalu meninggalkanku di kamar. Melihat gadis kecil itu bukan membuatku kasihan, entah mengapa, apa aku benar-benar telah kelainan?
Gadis itu terikat kuat, dengan keadaan bugil, tangan dan kakinya diikat bersama ke arah belakang. Ia terus menangis dengan mulut yang menggigir bibir bawahnya. Aku coba mendekatinya, dan duduk di sampingnya. Gila, gadis ini masih kecil, susunya saja baru tumbuh, putingnya benar-benar masih merah muda. Wajahnya sih standarlah, tidak cantik, namun juga tidak jelek. Terlihat wajah-wajah yang lugu terpancar. “Dek, siapa namamu?”, tanyaku sambil membelai rambutnya. “Hiks... hiks.. hiks... Ranti... Ranti...”, jawabnya sambil menangis dan gagap karena menahan-nahan tangisan.
“Jangan nangis dong...”, bujukku. “Umurmu berapa dek?”, tanyaku lagi coba membuat percakapan. “Sebelas tahun...”, jawabnya pelan. “Kamu lapar?”, tanyaku. Gadis kecil itu hanya geleng-geleng. “Jadi kamu mau apa?”, tanyaku. “Ranti perlu uang...”, katanya. “Bukannya Pak Kartolo akan menjamin kehidupanmu di sini?”, tanyaku. Ia hanya diam. Aku coba membujuknya, lalu ku keluarkan dompetku, ini saya bayar tambahan. Aku tidak perduli dia butuh berapa banyak, ku taruh uang sebanyak lima ratus ribu di sampingnya. Tanpa mau mendengar lagi alasannya, aku langsung membuka pakaianku, karena penisku sudah mengeras melihat gadis kecil bugil di sampingku ini.
Gadis ini menangis, ia menggigit bibirnya ketika aku mulai mendekatinya dengan keadaanku yang sudah bugil ini. “Ranti belum pernah...”, ia menangis ketakutan. Tragis, aku sama sekali tidak prihatin, aku malah semakin bernafsu. Aku langsung saja menjamah dadanya yang hampir datar itu. Wuih, penisku langsung berdenyut-denyut. Jantungku pun berdetak kencang. Aku sudah mecapai tahap hypersex yang tinggi, mungkin aku sudah terserang penyakit phedofilia tahap akut.
Aku memeluk Ranti, tubuhnya mungil sekali. Melihat gadis kecil ini dan mengetahui namanya, membuatku terbayang-bayang dengan artis di televisi, namanya Ranty Maria, artis yang pernah muncul di sinetron dan membuatku kesemsem. Artis itu kini sudah beranjak dewasa, aku terpaksa membayangkan tubuhnya yang masih imut, sambil memeluk Ranti. Ia masih terikat kuat, aku tak mau melepaskan ikatannya, aku takut ia kabur dan aku bakal disalahkan oleh Pak Kartolo.
Aku lalu mulai menciumi rambutnya, hmm, harum, sepertinya sebelum ini Rianti telah dibersihkan oleh Pak Kartolo. Tubuhnya juga harum, tidak seperti anak jalanan lainnya yang kucel. Aku mulai meraba susunya lagi, dan kuciumi bibirnya, Ranti masih menangis, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Perlahan ku alihkan ciumanku hingga ke susunya. Nikmat, susu kecil ini sungguh segar, benar-benar kecil, dan belum tersentuh sama sekali. Slup slup slup, aku menjilatinya dengan nafsu, Ranti kegelian, ia hanya bisa menggerakkan bahunya menahan rasa geli ini.
Puas menikmati susu kecilnya itu aku kemudian berfokus ke vaginanya. Sungguh benar-benar bersih, tidak ada bulu yang nampak, ku buka selangkangannya, dan kecil sekali lubang vaginanya itu, bahkan aku tidak yakin penisku bisa menyusurinya, itu hanya akan menyobek vaginanya itu. Ku coba dulu dengan jariku, pelan-pelan ku tusukkan jari telunjukku, “Argh, sakit bang!”, teriak Ranti ketika aku hanya memasukkan ujung jariku. Benar-benar sempit, padahal penisku sudah tak tahan ingin memasukinya. “Sakiitttt bang...”, Ranti merintih dan menangis. “Tolongg bang... Ranti belum pernah...”, ia memohon agar aku tidak menggagahinya.
Aku sudah terlanjur, aku tak mungkin pergi tanpa melakukan apapun. Lalu aku mengambil posisi baru, aku duduk di kasur, dan mengangkat Ranti untuk tidur menghadapku. “Ranti cukup sedotin aja deh...”, pintaku. Ranti menangis memandangi penisku yang tepat di depan wajahnya. Ku tarik rambutnya dan ku dekatkan lagi hingga penisku mengenai bibir kecilnya. “Tolong dek, abang ga tahan...”, kataku.
Ranti lalu mulai memasukkan penisku ke mulutnya, hanya masuk sedikit saja penisku di mulutnya. Aku rasa ia pun ketakutan, daripada aku harus menyodok vaginanya, ia pasti lebih memilih menyepong penisku. Ranti belum pernah menyepong, aku tahu itu, dari caranya mengulum penisku sangatlah amatiran. Aku membiarkannya belajar sendiri. Ia hanya menangis sambil menyedoti penisku. Aku sangat menikmatinya, sambil meraba-raba dadanya yang sedikit datar itu. Nikmat sekali, kegalauanku benar-benar hilang dalam sekejab, hanya nafsu yang ingin ku salurkan.
Ranti masih terus menyepong, ia belum begitu bisa, dengan menangis ia hanya terus berusaha. Ia belum tahu bagaimana cara membuat aku cepat berejakulasi. Hingga hampir tiga puluh menit pun ia belum berhasil menyelesaikannya. Aku sudah cukup bosan, kubiarkan dulu ia terus menjilati dan menyedot penisku itu seperti permen lolipop hingga beberapa menit lagi.
Aku sudah tidak tahan, ingin sekali berejakulasi karena puncak kenikmatan sudah di ubun-ubun. Aku menarik penisku dari mulutnya, lalu kocok sendiri. Aku tak bisa menunggu Ranti menyelesaikannya. Aku kocok dengan tanganku di dekat wajah Ranti, “Buka mulutmu..”, pintaku kepada Ranti. Ku kocok di dekat mulutnya, hingga aku benar-benar menuju kenikmatan puncak. Aku berhasil berejakulasi. Aku semprotkan spermaku masuk hingga ke mulutnya. “Telan!”, perintahku. Ranti dengan terpaksa menelan spermaku. Ia nampak sedikit jijik, mungkin bau amis dari spermaku yang belum pernah ia temui itu, ia terpaksa menelannya hingga habis. Ku masukkan lagi penisku agar Ranti membersihkan sisa-sisa spermaku. Ranti pun kembali mengulumnya dan menjilatinya. Aku benar-benar merasakan nikmat setelah spermaku berhasil keluar.
Namun belum selesai aku menarik keluar penisku dari mulut Ranti, aku mendengar suara gaduh di luar sana. Aku kaget, apa yang sebenarnya terjadi di luar sana. Cepat-cepat ku tarik penisku dan segera berpakaian kembali. Ku intip keluar jendela, sial, di luar sana ada mobil polisi, temapt ini sudah terlacak. Aku harus kabur sebelum polisi masuk dan mendapatkanku di sini. Jantungku berdetak kencang, aku belum pernah merasa begini, sial, aku benar-benar ketakutan, aku mondar-mandir mencari ide keluar.
“Jangan tinggalkan Ranti bang...”, pinta Ranti. Aku tidak tahu apa harus menolongnya. Aku mungkin tidak punya banyak waktu untuk menolongnya. Namun Ranti coba membantuku, “Ranti tahu belakang ada jalan, Ranti semalam datang dari sana...”, katanya membuatku punya kesempatan untuk kabur. Aku segera melepaskan ikatannya, ku cari pakaian di kamar ini namun tidak ketemu sama sekali. Terpaksa Ranti hanya memakai selimut untuk menutupi tubuhnya, lalu ku gendong dan segera berlari ke arah belakang bangunan.
Sedikit ku intip ke depan bangunan, Pak Kartolo sudah mengangkat tangannya tanda ia menyerah. Aku masih berlari, mungkin beberapa polisi sudah masuk ke tengah gedung. Beberapa anak kecil bersembunyi, ada yang mengunci dirinya dalam kamar, dan ada yang masuk ke dalam toilet. Rant memintaku ke arah dapur. Benar di sana ada pintu menuju belakang, dan tak disangka, belakang gedung ini terhubung ke sebuah rumah lagi yang kosong. Kata Ranti ia tidak sengaja menemukan pintu ini tidak terkunci ketika bermain-main ke rumah kosong itu.
Kami berhasil keluar dari gedung itu. Ranti menangis, aku tak tahu harus membawanya ke mana. Aku mencari tempat aman untuk bersembunyi. Sambil mengintip ku lihat ada polisi yang juga berhasil membuka pintu belakang, namun ia tidak menemukan apa-apa dan kemudian pergi. Aku sedikit lega. Aku tidak pernah berada dalam situasi seperti ini.
Untungnya motorku tadi parkir di depan rumah warga, sehingga tidak dicurigai polisi. Aku hanya menunggu polisi pergi dari tempat itu. Sambil menggendong Rianti yang tertutup selimut, aku mendekati motorku setelah polisi pergi. Rumah Pak Kartolo dipasang gadis polisi, kini sudah ditutup, aku tidak mungkin ke sini lagi. Aku lalu pulang ke kost ku dan membawa Ranti.
Aku tak mungkin merawatnya, tak mungkin menyembunyikannya di kost ku. Aku membelikannya pakaian dan memintanya pergi. Rianti menangis sambil mengucapkan “Terima kasih”, lalu ia pergi meninggalkanku, berjalan kaki dan memulai petualangannya lagi.

TAMAT

No comments:

Post a Comment