Tuesday 29 May 2018

Tasya 1

Sejak masih kelas 1 SMP, Tasya sudah terlihat cantik. Dulu tubuhnya mungil. Berkulit bersih. (Bagi umumnya orang Jawa, kulitnya sudah termasuk putih) Di antara cewek sekelasnya kecantikannya paling menonjol. Tasya menjadi pusat perhatian juga karena kecerdasannya. Itu diakui oleh teman-teman dan para guru. Tetapi kekurangan Tasya adalah, dia cewek pemalu. Tidak PD. Bila didekati cowok, salting (salah tingkah) . Karena kekurangannya ini, Tasya tak punya banyak teman cowok. Meskipun sebenarnya banyak yang naksir berat sama dia.
Diam-diam salah seorang gurunya menaruh hati pada cewek mungil ini. Pak Wid, yang di usia 40 masih sendiri. Bujang Lapuak, kata orang Minang. Sebagai guru, dia tahu diri, sadar usia, maka yang bisa dilakukan hanya sebatas menggoda atau kadang-kadang memberi tugas ringan, mengambilkan tas di kantor atau disuruh foto kopi soal di koperasi sekolah. Bagi Pak Wid, yang penting bisa dekat, bisa bicara dan kalau bisa, …. sedikit menyentuh tangannya atau mencubit pipinya. Itu sudah cukup. Begitu terus sampai kelas tiga dan lulus, Pak Wid belum berhasil pedekate. Bahkan sampai lulus!!!
Di mata para siswa, dia guru yang menyenangkan, berjiwa muda, pandai bikin lelucon segar saat mengajar dan ….. murah hati. Maka ketika mereka sudah lulus, masih sering mengunjungi rumah Pak Wid yang tinggal di situ ditemani ibunya yang sudah lanjut usia. Tidak heran jika acara reuni pertama mereka setelah 3 tahun meninggalkan SMP tercinta, diselenggarakan di rumah Pak Wid. Sederhana tetapi meriah. Acara demi acara lancar dan meninggalkan kesan yang mendalam. Hampir seluruh siswa hadir. Tidak terkecuali TASYA. Pak Wid belum melupakan Tasya. Guru jomblo itu masih memegang teguh tekadnya untuk mendapatkan Tasya.
Acara reuni sudah selesai. Sudah banyak yang pulang. Pak Wid berusaha menahan sebentar agar cewek pujaannya itu tidak pulang dulu. Bujangan tua ini sudah menyiapkan trik menarik, dia berharap bisa berhasil.
“Tasya, jangan pulang dulu. Sebentaaaar saja.”
“Ada, apa Pak.” Tasya menahan langkahnya di tangga teras.
“Mumpung kamu pakai pakaian cantik, aku mau ambil gambarmu.”
“Ah, malu, Pak!” Tasya langsung sembunyi di balik tubuh Kiki yang ada di dekatnya. Tetap saja dia masih pemalu.
“ Dewi, Sumi dan Andre, temani Tasya. Dia malu foto sendirian.” Masih terasa wibawa Pak Wid sebagai guru. Beberapa anak bergaya di depan kamera. Tetapi Pak Wid hanya meng- close up Tasya saja. Mereka nggak tahu tipuan itu.. Selesai foto mereka keluar dari teras menuju motor masing-masing. Pak Wid melambai ke Tasya juga. Dia membocengkan Kiki, sahabat dekatnya. Akhirnya rumah itu sepi. Tetapi Pak Wid masih berdiri di pintu pekarangan. Ada sesuatu yang ditunggu. 2 menit, 3 menit sampai 7 menit tak ada apa-apa. Pak Wid melangkah masuk, tiba-tiba langkahnya terhenti dan menoleh. Dia mendengar suara sepeda motor mendekat. Pak Wid tersenyum. Pasti anak itu mau ambil helm yang sengaja disembunykan agar cewek pujaan htinya yang pemalu itu kembali saat yang lain sudah pulang.
“Aduuuuh, Pak, helmku di mana ya?” Tasya bertanya dengan cemas.
“Lho, sudah sampai di mana? Kok baru ingat kalau nggak pake helm?” Pak Wid pura-pura heran.
“Gara-gara saya difoto-foto tadi, jadi saya tertinggal teman-teman.” Tasya cemberut, dia protes. “Aku pake topi serasa pake helm.Ternyata belum pake helm. Untung Kiki mengingatkan.”
“Wah, sorry Tasya. Betul juga kamu. Kalau masih banyak teman kan bisa bertanya .” Pak Wid mencoba menenangkan kepanikan cewek cantik itu. “Masuk sana! Dicari di dalam. Seingat kamu ditaruh di mana?”
“Tadi di stang motor!” Tasya sangat yakin. Wajahnya menampakkan kecemasan.
“Ya, siapa tahu ada yang meminjam tapi mengembalikan di tempat lain?” Pak Wid menjawab dengan kalem.
Tasya masuk kembali ke rumah. Kiki ikut mencari. Pak Wid juga “ikut-ikutan” mencari. Tapi tidak ada.
“Sudah, pake saja helm ku. Itu di motorku!” Pak Wid menawarkan jasa. Tasya ragu sejenak, tetapi merasa lega. Minimal dia bisa pinjam dulu untuk pulang.
“Pinjam dulu, ya Pak?” mengambil helm yang ditunjukkan gurunya.
“Bawa saja, aku punya dua kok.” Pak Wid menjawab tenang. ”Tapi duduk dulu sebentar dong.”
Karena merasa berhutang budi. Tasya menurut dan duduk bersama Kiki. Pak Wid mengumpulkan keberanian untuk memulai triknya.
“Hmm…ehm..Kiki dan Tasya rencana mau kuliah apa kerja.” Dia membuka pembicaraan.
“Kerja, Pak.” Kiki menjawab pendek. “tapi sambil sekolah.”
“Bagus…… jangan menganggur terlalu lama. Bahaya. Makin lama makin susah cari kerja.”
“Aku juga mau cari kerja, Pak. Tapi di mana…..carikan to, Pak!” Tasya tampak putus asa.
“Apa tujuan kamu kerja?” pancing pria bujangan itu cerdik.
“Ya mengembangkan ilmu yang diperoleh di sekolah.” Cerdas dan tangkas Tasya menyahut.
“Good. Jawaban yang cerdas.” Guru tua itu mengacungkan jempol supaya Tasya bangga.
“Kalau kamu, Kiki…………..?”
“Golek duwit, Pak” singkat saja Kiki menjawab.
“Betul, kamu Ki. Pinter. Akhirnya…..ujung-ujungnya…….” Dia sengaja berhenti untuk memancing reaksi.
“Du…wit!” Kiki dan Tasya menjawab bareng disusul tawa mereka meriah. Pak Wid puas. Umpan masuk!
“Kamu sudah tahu kan, waktu PPL, berapa upah minimum karyawan” Pak Wid menunggu.
“Nggak tau, Pak” Kiki bingung. wajah dan otaknya memang pas-pasan. Mudah bingung.
“Kalau yang saya dengar, 150 apa 600, nggak begitu jelas.” Tasya mencoba mengingat.
“Ya hampir mendekati betul. Upah seminggu 150 ribu . Jika sebulan ya 600 ribu.” Pak Wid memperjelas.
“Wah, besar sekali.” Kiki heran. Pak Wid juga heran, kenapa uang segitu dianggap banyak?
“Uang sekolah kita saja 100 ribu, transport 100 ribu. Ya kecil lah, Ki….” Tasya memprotes Kiki.
“Uang segitu hanya pas untuk makan, Ki” Pak Wid menjelaskan.”Padahal kita punya banyak kebutuhan lain.”
“Sudahlah, kamu memang belum perlu mikir seperti itu. Yang penting kamu kerja. Wis”
“Lha yo kuwi Pak, kerja apa? Beli pulsa sebulan aja sudah 50 ribu. Belum beli bedak, jajan” Tasya menghitung.
“Ada kabar baik dan kabar buruk.” Pak Wid mulai menebarkan racun. Dua cewek itu diam memperhatikan dengan serius. “Yang baik dulu apa yang buruk dulu?”
“Yang baik dulu Pak” Kiki usul tetapi dibantah oleh Tasya. Keduanya terlibat perdebatan seru. Baik dulu, apa buruk???
“Sudahlah, aku beri tahu yang buruk dulu?” diam sejenak…….hening….serius
“Aku punya lowongan kerja?”
“Horeeeeee……..!” dua cewek itu berteriak gembira tetapi sesaat kemudian kaget sendiri terus diam.
“ Ini kan kabar buruk? Piye to Pak. Ada lowongan kerja kok kabar buruk” Kiki bingung lagi menatap gurunya penuh tanda tanya. Pak Wid membiarkan keduanya tercekam rasa penasaran.
“Buruknya…… kamu belum tentu mau kerja. Males. Enak di rumah. Ya…..kan??”
“Ah, eng….gak…lah. Kerjo kok males. Susah-susah cari kerja. Sudah dapat kok malah males.” Kiki ngedumel.
“Itu kabar baik,” Tasya meluruskan. “ Bagiku….pekerjaan itu menyenangkan. Trus, kerja apa itu, Pak.” Tasya penasaran.
“Lho, nggak ingin tahu kabar baiknya…..?” pancing Pak Wid yang membuat dua cewek lugu itu semakin penasaran terhadap gurunya yang “baik hati” itu.
“Apa……Pak….he…he….he…..” Kiki tertawa senang. Yang buruk saja menyenangkan. Apalagi ini….”
“Ya iya lah!” Tasya juga penasaran.
“Baiknya….. pekerjaan itu ada upahnya…..”
“Aaaaahh…..yo mestiiiiiiiiiiiiiii ” kedua cewek itu memukuli punggung gurunya yang “nakal” Senang sekali Pak Wid
“Belum selesai …sudah main pukul…” pura-pura dia marah, “Kalau di pabrik upahnya 600 ribu sebulan. Tetapi pekerjaan yang aku tawarkan ini …upahnya cuma 200 ribu …..”
“Huuuuuuuuuuuuuu………” langsung mereka cemberut, tapi hanya sesaat karena guru itu melanjutkan, “ SEHARI!”
Aku ulangi Se….haaaaa…….ri”
“Haaaaa…? 200 ribu rupiah sehariii? Gek kerjo opo….kuwi?” spontan dan hampir bersamaan mereka bertanya
“Ringan….. tidak memerlukan pikiran dan tenaga yang berat. Hanya perlu sedikit keberanian dan…. tekad yang kuat. BEKERJA….DEMI UANG. “ Bau “racun” itu sedap sekali…. Sewangi “janji surga”
“Kerja apa to, Pak? Aku kok ora mudeng?” Kiki betul betul bingung.
“Pokoknya siapa yang mau kerja, Ayo, ikut aku! Tidak bisa ditunda. Besok sudah direbut orang lain. Siapa yang mau ?”
“Aku…Pak” keduanya menjawab serempak. Mereka bingung, tapi juga takut kehilangan kesempatan.
Pak Wid membawa keduanya ke sebuah hotel melati. Dipesan satu kamar yang besar dan cukup sinar dari jendela. Di tempat itulah kedua cewek itu baru tau bahwa mereka akan difoto. Mula-mula foto biasa. Masih berpakaian lengkap. Mereka bergaya dengan bangga. Selesai dua tiga cepretan. Uang 10 ribuan dibagi. Lepas sepatu dan kaos kaki, berani. Klap! Klap! Klap! Dapat 15 ribu, Artinya naik 5 ribu. Lepas baju luar, masih pakai kaos atau rangkapan dalam. Tambah lagi 5 ribu. Tak terasa sekarang tinggal Bra dan CD. Pada tahap inilah mereka mulai alot dan bertahan. Bahkan minta berhenti.
Pak Wid melambaikan lembaran uang berwarna biru kea rah Kiki. Karena terus ragu-ragu, Pak Wid menyelipkan uang itu di belahan dada Kiki. Dia sudah pegang 45 ribu. Sekarang di dadanya ada 50 ribu. Wah, hampir 100 ribu. Dengan mantap Kiki melepas bra-nya. Uang itu ditaruh di dompetnya. Susunya masih kecil. Tapi bagi Pak Wid yang penting Kiki berani lepas bra. Ini akan mempengaruhi Tasya. Klap! Cuma sekali. BH Kiki dikembalikan. Kiki mengenakan kembali
Tasya berpikir. Apa susahnya? Hanya difoto sekali. Dapat 50 ribu. Lalu boleh pakai beha lagi. Pak Wid tidak menunggu Tasya. Lembaran itu langsung diselipkan di belahan susu Tasya. Tasya ragu-ragu sejenak dan …… melepas juga. Beha dilempar ke tempat tidur. Sambil memberi aba-aba dan mengarahkan Tasya untuk bergaya, diam-diam Pak Wid menyembuhyikan beha itu di bawah bantal. Dada Tasya biasanya tampak rata jika pakai seragam itu, ternyata…. Buesar!

No comments:

Post a Comment