Wednesday 30 May 2018

Clarissa & Natalie

Kamis, September 2024
11.10PM
Suite Room -*Amsterdam Marriott Hotel
Oud West, Amsterdam, Belanda



'F... FUCK! Mmnhh...!'
Tubuh Natalie mengencang saat penisku menghantam rahimnya dengan kuat. Desahannya memenuhi ruangan. Tubuhnya yang matang dan seksi mengkilat bersimbah keringat, meliuk, bergerak naik-turun di atas tubuhku. Aku meremas pantatnya yang montok. Penisku terus menghujam vaginanya.

"Mmnnhh.. Nat... Natt... Mmmhh..." desahku. Vaginanya mengencang, menjepit penisku semakin keras.
"Oh Sh... Shit... Shiit... Nhh... Adiit..." Natalie mendesah makin kuat. Aku mulai merasa tubuhnya gemetar... Tanda sebentar lagi ia akan kembali mencapai klimaks.
"Mau... Nngh... Keluar...?" tanyaku. Natalie mengangguk cepat-cepat.
"Fuck.. Oh Dit... DIT! Gue... Ku... Arrr.... Ngggghhh!" Natalie melenguh kencang-kencang saat mencapai orgasme nya yang keempat malam itu. Cairan vaginanya menyemprot-nyemprot keluar. Tubuhnya mengencang, kemudian terkulai lemas di atasku.

Aku masih belum puas. Kuangkat tubuh Natalie dan kubalikkan hingga tertelungkup. Tanpa disuruh, ia mengangkat pantatnya, menungging.
"Shit... Why are you so strong..." umpatnya sambil nyengir. Aku terkekeh sambil mengarahkan penisku yang masih sekeras batu ke arah anusnya.
"Sekali lagi masih bisa lah..." kataku.

Dengan kuat kutusukkan penisku ke dalam anusnya. Natalie mengerang, menikmati. Anusnya seperti menyedot penisku kuat-kuat. Enak sekali.

"Mmhh... Mhhh! Nghh... Natalie... Nat... Natt..." desahku seirama dengan hujaman penisku.
"Ohh.. Ohh... Oh! Aaahh..." Natalie tak banyak berkata-kata.

Pinggul wanita ini bergerak seirama tusukanku yang semakin lama semakin cepat, semakin kuat. Anusnya mengencang. Kuremas pantatnya yang montok, kutampar sekali-sekali. Natalie mendesah, mengerang, melenguh keenakan.

"Anjrit Dit... Gue... Oh... Shh... Shit... I'm... Cumming... Cumm..."
"Mnhh.. Wait Nat... Gue juga... Wait... Mmmhh.. Nat... Naat!"
"Aah... Aaah... Mmmmhhh!"

Kami orgasme bersamaan. Aku meledakkan spermaku berkali-kali ke dalam anusnya, kemudian mencabut dan menyemprotkannya ke atas pantat, pinggang, dan punggung Natalie, seolah tak berhenti-berhenti.

Kurobohkan tubuhku di sebelah Natalie. Kami berdua terengah-engah, berusaha mengatur nafas.

"You're crazy you know that..." bisiknya sambil terengah.
"Hh... Haha... So are you..." jawabku. Natalie tertawa lelah. Kami memejamkan mata. Penisku ngilu sekali rasanya keluar empat kali.



Sudah hampir sebulan aku tinggal di Amsterdam. Sekitar pertengahan tahun ini, sebuah perusahaan pembuat film dewasa ternama dari Amerika mendekatiku dan memintaku untuk menyutradarai sekaligus melakukan shooting proyek film dewasa produksi terbaru mereka. Ini adalah produksi besar, melibatkan banyak pornstar kelas dunia. Nilai kontraknya sangat menggiurkan, tapi aku harus menyelesaikan proses shooting ini dalam waktu dua bulan, dan harus dilakukan di Amsterdam, Belanda. Awalnya aku mengira Cherry, Vany, Ella, dan anak-anak tidak akan mengizinkanku... Tapi ternyata mereka sangat mendukung. Mereka sepakat berkata bahwa ini kesempatan yang jarang tiba, dan sayang jika disia-siakan.

Akhirnya, pertengahan bulan Agustus yang lalu, aku berangkat ke Belanda, ditemani Ella, anak sulungku dari Vany yang sekarang berusia 15 tahun. Ella yang sedang liburan sekolah musim panas akan tinggal selama seminggu di Amsterdam, menemani (dan tentunya memenuhi kebutuhan seksual) ayahnya, sebelum kembali ke Tokyo dan kembali bersekolah.

Setibanya di Amsterdam, kami terkejut karena dijemput di bandara oleh Natalie Anneke Setiawan, teman keluarga kami. Natalie adalah orang Indonesia campuran Belanda, seusiaku, teman satu almamater dengan aku dan Cherry dulu saat berkuliah di Singapura, dan salah satu dari sangat sedikit orang yang mengetahui cerita-cerita seru di keluargaku.

Natalie adalah seorang wanita cantik, tinggi semampai sekitar 175cm, berambut coklat tua panjang bergelombang, dan berkulit kuning langsat mulus. Untuk wanita berusia tiga puluh empat tahun, Natalie bisa dibilang sangat seksi: Badannya masih langsing ideal, dengan dada yang pas besarnya (36D), dan paha yang luar biasa jenjang. Natalie tak pernah menikah, tapi tak pernah membatasi diri untuk berhubungan seksual dengan siapa pun yang dianggapnya layak menikmati tubuh indahnya... Termasuk diriku.

Usut punya usut, ternyata Natalie adalah salah satu petinggi di perusahaan yang mengontrakku, dan saat tahu bahwa teman lamanya yang akan menyutradarai dan mengurus shooting proyek terbesar mereka, ia ngotot mau menjadi produser dan mengawasi proses produksi di Belanda. Akhirnya, sampailah ia di Amsterdam, bertemu dengan teman lamanya, dan menjadi guide serta host yang sangat baik bagi aku dan Ella. Seminggu kemudian, saat Ella akhirnya pulang ke Tokyo, Natalie pun mengambil alih 'tugas' Ella, dan memuaskanku dengan sangat luar biasa.

Kami bekerja bersama dengan sangat baik, dan tanpa terasa, setengah proses produksi sudah berjalan dengan sempurna. Malam itu, kami menikmati malam kami berdua setelah sehari penuh menghabiskan seluruh tenaga untuk shooting, dan setelah hampir dua jam saling memuaskan, kami tergeletak lemas di ranjang.

"So... Lu kosong ga Saturday?" tanyaku, mengatur jadwal 'meeting' berikutnya.
"Saturday... Wait let me check," ujarnya sambil meraih smartphone dan kacamatanya yang terletak di meja kecil di samping ranjang. Tubuhnya yang indah masih tertelungkup. Aku pun bangkit, menciumi punggung temanku ini dengan lembut. Natalie membuka kalendernya.

"Oh no... Sorry... Gue musti ke Frankfurt besok sampe Senin depan," keluh Natalie. Aku nyengir. Memang wanita sibuk.
"Right... Gue sendirian this weekend berarti," kataku pura-pura merajuk. Natalie tertawa.
"Uuu... Kecian... Adit cuma masturbasi doang ya weekend ini," katanya sambil memegang pipiku dengan kedua tangannya, sok imut. Aku tertawa dan mengecup bibir temanku ini.
"Rese lu..." ujarku. Natalie terkekeh dan merebahkan dirinya ke ranjang. Telentang. Aku masih mengagumi tubuhnya yang sungguh indah, kumainkan jemariku di kedua dadanya yang montok dan putingnya yang coklat tua dan menantang.
"Untung ada gue lu... Kalo ga bakal bosen di sini dua bulan," katanya.
"Ya sih... Thank you, Nat," kataku setuju. Kusedot putingnya perlahan. Natalie mendesah, membelai-belai rambutku lembut. Tiba-tiba ia tertegun.

"No... Wait. I've got an idea!" katanya setengah berpikir. Kuangakat wajahku dari dadanya, menatap matanya yang indah.
"Clar!" ujarnya.
"Who?"
"Clar... Clarissa." katanya bersemangat.
*"… Hah?" tanyaku. Bingung. Natalie tak menjawab, tapi ia segera membuka folder foto smartphone-nya, mencari hingga menemukan sebuah foto, dan langsung menunjukkannya padaku: Foto seorang gadis sangat cantik, mirip Natalie.

"Siapa nih?”
“My… Let’s just say she’s my niece. Keponakan gue. Cakep kan?"
"Cakep sih... Kenapa emangnya dia?"
"Ya ga kenapa-kenapa... Dia butuh ekstra uang buat kuliah," jawab Natalie tanpa dosa.

Aku terdiam sejenak, kata-kata Natalie tak langsung menyatu di pikiranku. Sedetik kemudian aku tersadar.

"Ohhh! Ya ampun Nat keponakan sendiri di jual sih..." ujarku.
"Loh! Apa sih! Dia emang mau jadi pornstar juga... Cuma belom ketemu kesempatan... Nah siapa tau weekend ini bisa ngobrol sama salah satu sutrarada film dewasa paling beken dari Jepang... Ya ga sih," papar Natalie panjang, masih dengan wajah serius dan dengan tatapan tanpa dosa. Aku menatap temanku ini dan tertawa. Sedetik kemudian, Natalie pun tertawa juga.

"Ya... Kalo mau diajak bersenang-senang juga boleh," tambahnya sambil tertawa.
"Lu parah sih keponakan sendiri..." kataku pura-pura tak percaya, sambil menatap foto Clarissa. "Umur brapa nih? Cakep banget..."
"Tebak," kata Natalie. Aku termenung sebentar.
"20? 21?" tebakku. Natalie menggeleng.
"Tujuh belas," jawabnya. Mataku terbelalak.
"Hah? Sumpah lu tujuh belas? Dewasa amat tampangnya!" kataku. Natalie tertawa.
"Ya... Tinggi, lagi. Lebih tinggi dari gue. Se lu gitu pendek dikit lah," jawab Natalie.
"Gila-gila..."

Kutatap kembali layar handphone itu. Memang cantik sih keponakan temanku ini. Tapi apakah etis bersetubuh dengan keponakan temanku sendiri, yang tidak pernah mengenalku sebelumnya?

"... Berapa?" tanyaku akhirnya. Natalie menyebutkan sebuah harga, cukup tinggi.
"Tapi I guarantee... Worth every penny," tandas temanku. Aku menimbang-nimbang.
"... Okelah. Siapa tau beneran juga bisa direkrut jadi pornstar," jawabku mengiyakan.

Natalie nyengir, merebahkan dirinya di sampingku dan mengecup pipiku.

"Oke... Besok gue kontek dia," katanya. Saat itu tangannya merogoh ke selangkanganku, menyentuh penisku dengan lembut.
"Eh... Eh... Ini apa-apaan nih!?" kataku pura-pura protes. Natalie nyengir nakal.
"Yakin gamau lagi? Ini tegang begini..." katanya seraya mengocok penisku perlahan.

Aku tertawa, mengecup bibirnya.

"Dasar..." bisikku sambil menaiki temanku.


***

Sabtu, September 2024
08.49 PM
Suite Room -*Amsterdam Marriott Hotel
Oud West, Amsterdam, Belanda



'Clar udah jalan. Have fun. Treat my girl nice okay?'

Aku tersenyum membaca pesan singkat dari Natalie. Kulihat jam di dinding, sudah menunjukkan pukul 8.49 malam. Sekitar sepuluh menit lagi kencanku malam ini akan datang.

Bekerja di Belanda tanpa ditemani Cherry, Vany, Ella, atau Grace tentunya membuatku gelisah, karena ada satu 'kebutuhan' yang tidak terpenuhi. Selama hampir sebulan ini, Natalie setia menemaniku. Ia tentunya adalah seorang pemandu wisata yang luar biasa karena Amsterdam adalah kota kelahirannya–Natalie tahu setiap restoran dan tempat hangout yang terbaik di kota ini–, tapi selain itu wanita ini juga sangat lihai di atas ranjang. Ia seperti kombinasi yang pas antara dada montok Vany dan pantat seksi Cherry, dipadu dengan wajah sangat cantik Grace. Aku tersenyum memikirkan betapa kecanduannya aku terhadap wanita-wanita semacam ini… Kemana pun aku pergi selalu aku tak dapat lepas dari mereka.

Sekitar sepuluh menit kemudian, tepat jam 9 malam, aku mendengar bunyi bel pintu suiteku. Kurapikan kemejaku, dan aku berjalan ke arah pintu, membukanya perlahan. Sesosok gadis sangat cantik berdiri di ambang pintu kamar suite ku. Jika tantenya tidak memberitahuku usianya terlebih dahulu, aku pasti akan menebak umurnya lebih tua... Tapi aku tahu gadis ini baru 17 tahun... Hanya sedikit lebih tua dari Ella, anak sulungku.

Tinggi menjulang kira-kira 178cm, dengan kulit yang berwarna putih kemerah-merahan--sedikit terlalu putih untuk ukuran orang Indonesia, hidung yang mancung, dan rambut panjang bergelombang yang burgundy gelap, bibirnya yang penuh dan seksi membentuk senyuman yang sangat manis. Saat aku melihat senyum itu, hatiku luluh. Hampir aku tidak tega melanjutkan malam ini. Senyumnya manis dan polos sekali, seolah anak ini tanpa dosa. Tiba-tiba, ia mengulurkan tangannya, membuyarkan lamunanku.

"Clarissa," ujarnya, memperkenalkan diri. Suaranya merdu, agak berat. Aku menyambut jemarinya yang lentik dan sangat lembut dan membalas senyumannya.

"Adit," kataku. Aku menarik lengannya dengan lembut untuk masuk ke dalam kamar suite ku. "Mari masuk..."

Clarissa berjalan masuk dengan anggun. Tubuhnya dibalut dengan dress berwarna merah pas badan, menunjukkan setiap lekuk tubuhnya yang sangat langsing. Dadanya bulat dan cukup besar--kira-kira 34D menurutku--tapi tidak berlebihan. Saat ia berjalan melewatiku, aku dapat mengagumi pantatnya yang montok dan penuh, menonjol cantik dari balik dressnya. Hanya satu kata untuk menggambarkan Clarissa: pas. Tidak berlebihan, tapi jelas tidak kurang sama sekali. Entah kenapa, jantungku berdebar-debar.

Clarissa duduk di sofa dan membuka sepatunya. Aku duduk di sebelahnya. Wangi sekali gadis ini... Parfum mahal. Yah... Sesuai memang dengan tarifnya.

"Mau minum apa Clar?" tanyaku. "Teh? Kopi? Liquor?"
"Hmm... I don't mind Whiskey kalo Om punya," jawabnya. Aku mengangguk dan beranjak ke bar, mengambil dua gelas kosong, menaruh beberapa es batu ke dalamnya, dan menuangkan whiskey terbaikku. Dalam hati aku membatin... "Gila.. Dia manggil gue Om!" Yah... Seumuran Ella sih... Dan aku teman tantenya... Sudah layak dan sepantasnya.

Kuangsurkan gelas itu ke Clarissa sambil kembali duduk di sebelahnya. Ia menyorongkannya untuk toast kecil, dan kami menyeruput sedikit whiskey. Clarissa tersenyum.

"So... Kamu sekolah di sini?" tanyaku memulai pembicaraan.
"Iya aku kuliah. Kebetulan ada Mami jadi bisa sekalian ikut tinggal di sini" ceritanya dengan renyah. Aku tersenyum. Cara Clarissa berbicara pun mirip dengan Natalie… Tunggu.

“Mami?”
“Iya… Lho, Mami ga kasih tau?”
“Kasih tau apa?” tanyaku semakin bingung.
“Kalau aku anaknya Mami… Mami Natalie kan yang teman Om?” jawab Clarissa polos.
“I… Iya. Natalie temanku.. Tapi dia ga bilang kalau kamu anaknya! Dia bilangnya kamu keponakannya!” ujarku.

Clarissa tertawa terbahak-bahak, tawanya renyah sekali.

“Hahaha… Yaampun… Mami ga enak kali kalo bilang aku anaknya…” katanya di sela-sela tawanya.
“Astagah… Ini sih aku yang jadi ga enak… Kenapa dia ga bilang sama aku!” dalam hati aku mengumpat temanku… Gila juga, dia menyodorkan anaknya sendiri untuk menemani pria lain!

“Hahaha… Jangan ga enak Om… Aku emang mau koq… Dan aku dengar Om adalah salah satu sutradara Adult Movies paling terkenal di Jepang… Dan aku emang pengen banget jadi pornstar… Ya siapa tau, Om…” jawab Clarissa lancar. Aku akhirnya terkekeh.

“Hehehe.. Belum pernah aku denger ada anak yg sesemangat kamu untuk masuk ke bisnis ini,” kataku. Clarissa tersenyum cantik lagi.

“Ya… Dari aku kecil ya aku taunya Mami kerja in this industry… And she cares for me a lot, so… Well.. I want to continue the tradition,” kata Clar lancar.

“Wah tapi aku harus ngomong sama Natalie sih… Dia ga pernah cerita dia punya anak lho… Dan anak secantik kamu,” kataku jujur. Pipi Clar merona.

“Hehe memang ga banyak orang yang tahu,” katanya. Sebuah pertanyaan timbul dalam hatiku.
“Um… Papimu?” tanyaku. Clarissa nyengir, tapi aku melihat ada yang berubah di matanya.
“Mmm… Mami ga pernah cerita banyak tentang Papi…” jawabnya, suaranya menjadi serius. “Yang aku tahu… Papi is an American… And he left my mom when she was pregnant, when she was my age… 17 years old. I think that was before she got to know you in Singapore? So.. Yea… I never met him.”
“Ah… Okay…,” sudah kuduga.


Clarissa menyeruput whisky nya sedikit lagi. Suara denting es batu dengan gelas kristal menggema di tengah keheningan tak nyaman yang memenuhi ruangan. Aku salah memilih topik pembicaraan, sepertinya.

“Mmm… Om… Mami… Udah ngomong tentang harganya?” tanya Clarissa. Aku terkejut ditanyai blak-blakan begitu.
“Oh.. Oh iya bener! Bentar ya Om transfer sekarang,” kataku tergesa. Kuambil smartphoneku dan kubuka aplikasi mobile banking dari bank ku di Belanda. Clarissa berdiri perlahan dari sofa.

“Sambil Om transfer… Aku siap-siap dulu ya…” katanya merdu. Aku suka sekali suaranya.
“Silakan,” jawabku senang. Clarissa tersenyum cantik sekali dan berjalan perlahan ke kamar mandi. Dari belakang aku kembali mengagumi pantat gadis cantik ini… Benar-benar pas. Sangat pas.

Sambil mentransfer jumlah yang sudah disepakati ke rekening Clarissa, aku mengirimkan pesan singkat ke temanku yang sedang di Jerman.

Lu ga bilang dia anak lu! Dasar gila…

Aku nyengir sambil menantikan balasannya. Aku berjalan perlahan ke arah kamar tidur ruangan suite itu dan merebahkan diriku di ranjang, memejamkan mata. Aku tak tahu apa yang harus aku harapkan dari Clarissa… Penampilan fisiknya sangat sempurna… Tapi berpuluh tahun pengalaman mengajariku bahwa fisik saja tidak menjamin performa di atas ranjang.

Smartphone-ku bergetar, tanda balasan dari Natalie sudah masuk. Aku mengangkat gadget tipis itu.

“Ngantuk ya Om?”

Suara merdu Clarissa menggugahku dari lamunan. Aku membuka mata, dan langsung terbelalak melihat gadis ini. Kubuka mataku dan menatap pemilik suara merdu itu. Clarissa berdiri di ambang pintu kamar tidurku dengan mengenakan lingerie latex berwarna merah terang, sangat kontras dengan kulitnya yang seputih susu. Lingerie ini sangat ketat menutupi area-area vital dari tubuh indahnya, sangat tipis sehingga membuat putingnya menyembul dan belahan vaginanya terlihat dari balik kain, dan sangat terbuka hingga membuatku dapat melihat hampir seluruh tubuh gadis ini… Hanya puting dan vaginanya saja yang tertutup. Aku merasakan celanaku sangat menyempit.

“Oh my God, Clar… You’re an angel,” ujarku jujur. Clarissa kembali memberiku tawa mungil renyahnya itu. Ia bergerak perlahan, seksi sekali, menaiki ranjang dan merangkak ke arahku yang masih setengah berbaring.

“So… Kata Mami… Om… Cukup…” desahnya sambil membelai tonjolan di selangkanganku dengan jemarinya yang lentik “… Besar.”
“Well… Jangan percaya Mami…” jawabku setengah berbisik. Wajahnya yang cantik sudah sangat dekat dengan wajahku. “… Buktiin sendiri.”

Clar kembali tertawa kecil, dan perlahan, ia mendekatkan bibirnya yang penuh ke bibirku. Bibirnya menyentuh bibirku dengan lembut, dan kami berciuman, sangat perlahan, sangat menikmati. Sambil terus melumat bibirku, tangan kanan Clarissa dengan ahli membuka kancing dan retsleting celanaku, dan perlahan, ia merogoh ke dalam celana dalamku, mengeluarkan penisku yang sudah sangat tegang.

Perlahan, Clar melepaskan ciumannya. Ia menoleh ke bawah, melihat penisku yang ada di gengaman tangannya, dan aku melihat keterkejutan di matanya saat melihatnya.

“Wow… Om… Kayaknya kalo dalam hal ini aku perlu percaya Mami deh…” ujar Clar. Aku nyengir.

“Jadi Mami ga bohong ya,” kataku. Clar nyengir dan menggelengkan kepalanya.
“Ini… Besar banget sih…” desahnya. “… Berapa senti?”
“Tebak,” ujarku jahil.
Clar tertawa kecil, “Mmm… Ini sih… Tiga puluh?”
“Tiga satu,” jawabku. Mata Clar membelalak.

Aku tertawa dan menariknya lembut mendekatku, dan kami berciuman lagi; lebih ganas kali ini. Clar memasukkan lidahnya ke dalam mulutku, dan segera kubelit dengan lidahku. Tangan kanannya mengusap penisku dan mengocoknya sangat perlahan-lahan, dari pangkal ke kepala, dan sangat perlahan kembali lagi ke pangkal… Begitu terus. Belum pernah aku di handjob seperti ini!

Kami terus berciuman, semakin lama semakin panas, lidah kami saling membelit. Aku melepas ciuman. Clar perlahan menaikiku, meletakkan penisku di antara selangkangannya yang membuka lebar. Pahanya yang jenjang dan mulus menjepitku dengan lembut.

“You can touch me if you want…” godanya. Aku merasa penisku berdenyut setiap kali mendengar suaranya yang sangat merdu. Aku tersenyum dan perlahan mulai meletakkan tanganku di atas pahanya… Mulus sekali.

Tanganku bergerak perlahan ke belakang, menikmati bongkahan pantatnya yang bulat. Kuremas dengan kuat pantat Clarissa yang montok. Clar menggigit bibir bawahnya sambil tersenyum nakal, dan mulai perlahan-lahan membuka kancing kemejaku, dan dengan lembut, jemarinya yang lentik membelai dadaku.

Sembari tanganku naik dari pantat ke pinggang Clarissa yang sangat ramping, gadis ini mulai menggerakkan pinggulnya maju-mundur perlahan-lahan, seperti sedang menaiki kuda. Penisku merasakan sensasi gesekan yang sangat nikmat.

“Mmmhh… Clar…” desahku. Clarissa nyengir manis sekali, dan menundukkan tubuhnya, menciumi leherku dengan lembut, menjilatinya. Aku merasa seperti aliran listrik menjalar di seluruh tubuhku.

Aku kembali menggerakkan tanganku semakin ke atas, menuju gunung kembarnya yang sangat indah. Namun, belum sempat aku menyentuhnya, Clar meliuk, dan mengarahkan ciumannya semakin ke bawah perlahan-lahan. Dari leher, ke dada, ke perut, ke pinggang… Hingga akhirnya ia berhenti persis di atas penisku yang sudah tak sabar menunggu. Clar mengangkat matanya menatapku, seolah meminta izin.

“Go ahead… Send me to heaven,” kataku. Aku sudah tak sabar. Clar nyengir, dan dengan sangat lembut, ia memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Bibirnya yang tebal mengatup, membungkus sempurna penisku, dan mulai perlahan-lahan bergerak turun hingga menyentuh pangkalnya. Aku tak dapat melukiskan betapa enaknya blowjob ini dengan kata-kata.

Aku dapat merasakan kepala penisku menyentuh ujung belakang bagian dalam tenggorokan Clar. Aku tahu penisku masuk sudah memenuhi rongga mulutnya dan hampir seperempat leher gadis ini, tapi hebatnya, ia tidak tersedak sedikit pun. Sambil kebali menatapku, Clar mengangkat kepalanya perlahan-lahan, kembali bibir tebalnya ‘membelai’ penisku. Aku memejamkan mata menikmati.

“Ohh… Clar… Clarissa… Mmnhh…”

Clar mulai mempercepat gerakannya naik-turun. Lidahnya bermain di bagian bawah penisku. Blowjob yang sekelas ini hanya pernah aku rasakan dari satu orang: Grace, mantan pacarku. Tanganku membelai rambutnya yang merah tua. Aku tahu aku tak akan tahan lama dibeginikan terus.

“Mmhh… Clar… NnnnnAAAHH!”

Clar melepas sedotannya dan penisku menembakkan sperma berkali-kali ke wajah cantiknya. Clar memejamkan mata rapat-rapat sambil tersenyum, senyum yang membuat hidungnya berkerut, imut sekali. Saat aku selesai menembakkan spermaku, wajahnya sudah berlumuran putih. Clar nyengir manis, mengambil sisa-sisa cairan putih kental itu dengan jemari lentiknya, dan melumatnya semua dengan mulutnya sampai habis. Seksi sekali. Penisku masih tegang sekali, bahkan rasanya semakin tegang.

“Om… Koq masih tegang sih…?” tanyanya. Aku menangkap nada terkejut yang asli dari suaranya. Aku tertawa.
“Baru sekali sih ga ada apa-apanya, Clar… Yuk lanjut!”

Kubalikkan badannya hingga terlentang di ranjang, dan perlahan, kubuka lingerie merahnya. Dadanya yang indah terpampang di depanku; dadanya bulat dan montok, putih mulus, dengan puting yang cukup kecil berwarna merah muda. Vaginanya tercukur bersih, tidak ada bulu sedikit pun. Aku mengagumi keindahan tubuh gadis ini sambil tersenyum.

“Ayo Om… Koq diem aja sih…” desahnya menggoda.

Aku nyengir. Tak menunggu disuruh dua kali, aku menciumi leher Clarissa. Clar memejamkan mata, menikmati. Ciumanku turun ke dadanya yang montok. Tanganku sudah tak sabar meremas keduanya; perlahan kuremas dada gadis ini, tebal dan penuh rasanya. Aku menyadari satu hal: Kulit Clar sangatlah mulus; seperti menyentuh sutra rasanya.

“Mhh… Om…”

Kedua tanganku meremas dadanya semakin kencang. Jemariku memainkan putingnya yang mengeras, membuat Clar menggelinjang keenakan.

“Mmhh! Mnnhh… Oo…m!”
“Clar… Om sedot ya…”

Clar mengangguk. Mukanya mulai merona merah. Kusedot puting kirinya terlebih dahulu, lidahku memain-mainkannya di dalam mulutku. Clar menggigit bibir bawahnya. Rupaya payudara gadis ini sangat sensitif.

“Ngahh… Aa… Aahh… Omm… Oommm…”

Tangan kanan Clar mencengkeram rambutku sementara yang kiri menarik seprei kuat-kuat. Desahan nafasnya semakin berat. Aku menyedot putingnya dan meremas dadanya lebih kuat lagi. Clar tak tahan.

“Aaahh… AAHH… MNNHH!”

Tubuh Clar menegang beberapa detik, kemudian melemas. Orgasme pertamanya berakhir, membuat dirinya gemetar.

“Clar… Kamu baru dimainin toketnya aja udah orgasm gimana…?” godaku. Clar nyengir malu, mukanya merah padam.
“Mmhh… Gatau Om… Hhh… Hhh… Biasanya ga gitu… Barusan kenapa… Hhh… Enak banget tiba-tiba,” katanya sambil ngos-ngosan.
“Boleh lanjut?” aku meminta izin. Clar mengangguk kuat sambil tersenyum.

Aku meneruskan ciumanku turun semakin ke bawah; menikmati kelembutan kulitnya turun ke perutnya yang rata dan kencang, ke pangkal pahanya, dan akhirnya berhadapan dengan vaginanya yang pink dan tembem. Indah sekali.

“May I?”
“Sure… Sure Om… Please…”

Aku membenamkan wajahku di selangkangan Clarissa. Vaginanya sudah basah sekali berkat orgasme tadi, dan sekarang aku menjulurkan lidahku ke dalamnya, menjilati bagian dalam dinding vaginanya dengan bersemangat.

“Nnngg… Nhhhh… Aahh.. Aaaah! Omm… O… Ohhh…” Clar mendesah dan melenguh dengan nikmat. Seingatku, aku belum pernah mendengar desahan semerdu ini. Tubuh Clarissa mengejang lagi, dan sebentar kemudian aku merasakan wajahku tersiram cairan bening segar yang menyemprot dari dalam vagina gadis ini.

Aku mengangkat dan mengelap mukaku dengan selimut. Clar menatapku dengan matanya yang besar dan indah, yang sekarang terlihat sayu setelah dua kali orgasme. Aku tersenyum, bergerak ke atas tubuhnya, mendekatkan wajahku ke miliknya. Clar membelai wajahku, jemarinya yang lentik menelusuri jenggot tipis di pipi dan daguku.

“I love your smile,” bisikku sambil mengecup bibirnya. Clar memamerkan senyumnya yang cantik.
“Just my smile…?” desahnya menggoda. Aku mendengus.
“… Your everything…” kataku. Penisku menyenggol bibir vaginanya, sudah tak sabar.

“I’m yours, Om…” bisik gadis ini di telingaku. Tangannya menggenggam penisku, mengarahkannya ke dalam vaginanya. Kepala penisku menyentuh, kemudian menembus vaginanya perlahan. Vany memejamkan mata dan memelukku erat-erat.

Pelahan, aku merasakan penisku menerobos masuk ke dalam vaginanya; dinding vaginanya yang becek dan hangat membungkus penisku. Clar mengangakan mulutnya, seperti hendak mendesah keras atau mencari napas, tapi tak ada suara yang keluar. Aku terus menusuk ke dalam dengan perlahan, hingga akhirnya kepala penisku menyentuh mulut rahim Clarissa. Clar membelalakkan matanya. Seluruh tiga puluh satu sentimeter penisku telah memenuhi vaginanya.

“O… Omm… You fill… Me up…” katanya terbata. Aku mengecup bibirnya yang tebal. Aku menarik penisku sampai setengah keluar, kemudian dengan cepat dan sekuat tenaga menghujamkannya kembali ke dalam vagina Clar.

“Mmnnhhh! Aaah! Aah! Omm… Oh…. Aaahh… Aaah… Mnhh!” desah Clar dengan kencang. Tangannya memeluk punggungku erat-erat.

“Om! Omm…! Nggh!” desahnya merdu. Aku mengecup, menjilati leher Clarissa yang jenjang. Clar menggelinjang, matanya terpejam, mulutnya menganga keenakan. Vagina Clar yang sangat hangat dan lembut seperti semakin lama semakin mengetat di sekeliling penisku. Enak sekali.

“Mmh… Clarr… Clar… So… Good…” kataku sambil terus menggenjotnya. Clar merapatkan kedua tungkainya ke kanan-kiri pinggangku. Tanganku meremas kedua buah dadanya yang mulus dan montok, memainkan putingnya dengan jemariku.

“Om…! Ahh.. Ahh… Aaaahh! Annhh…. OOM!” Clar menjerit. Aku merasakan penisku disiram cairan dingin. Clar baru saja orgasme lagi. Aku tak peduli, aku semakin mempercepat tusukanku. Vaginanya mengencang, menjepitku semakin erat. Aku tahu aku tak akan bertahan lama.

“Clarr… Clar… Clar… Mmmhh…. Om… Mau… Keluarr… Nnnhh… NNH!”

Aku meledakkan spermaku banyak-banyak ke dalam vagina gadis ini. Saat kutarik penisku lepas, cairan putih meleleh dari dalamnya. Wajah Clar merah padam, tubuh indahnya bersimbah keringat. Aku jelas belum puas.

“Oh my God… Oh… Omm… Hhhh….” Clar terbata-bata mencari napas. Kumiringkan tubuhnya yang agak lemas ke sisi kanan. Aku beranjak ke belakangnya. Tanpa disuruh, Clar mengangkat tungkai kirinya dan menahannya dengan tangannya, menyediakan ruang bagiku.

Aku menusukkan lagi penisku ke dalam vaginanya. Basah sekali sekarang. Tanpa aba-aba, aku langsung menggenjot gadis ini. Tangan Clar mencengkeram seprei, menikmati. Kuremas-remas dadanya yang montok sambil menciumi lehernya yang jenjang.

“Aaaahh… Annhh… Mmnhh…. Mhhh! Mhhhh!”

Aku merasa penisku bahkan lebih mengeras lagi setiap kali mendengar Clar mendesah. Entah kenapa, suaranya seperti menyihirku. Indah dan merdu sekali. Jemariku memainkan putingnya, mencubitnya dan memutar-mutarnya perlahan. Clar sepertinya tidak tahan.

“Mmhhh… Mmhh… Omm… Oommmm…. Oommmm!”

Cairan dingin putih kembali menyembur dari dalam vaginanya, kali ini lebih kencang sampai penisku terlepas. Clar terkulai lemas di ranjang. Tapi aku belum puas. Tenagaku sudah tidak sekuat dulu waktu remaja, tapi aku tahu aku masih bisa sekali lagi.

Kubelai paha Clar yang sangat mulus dari bawah ke atas, dan meremas pantatnya yang montok. Clar sepertinya mengerti apa yang aku inginkan, tapi tidak berani mengatakannya. Wajahnya meronah merah, kali ini karena malu. Aku nyengir. Sepertinya harus basa-basi dulu supaya dia tenang.

“Kamu… Kapan pertama kali ML?”
“Umur 13, Om…” jawabnya. Aku tersenyum.
“Kamu dari umur 13 udah cantik gini?” godaku. Clar tersenyum malu. Pipinya menjadi semakin merona.
“Nanti minta Mami aja foto-foto pas aku kecil,” katanya. Aku terbahak, lalu aku langsung masuk ke topik utama.
“Kalo… yang ini? Pertama kali kapan…?” tanyaku, sambil perlahan membelai pantatnya. Sekarang muka Clar merah padam. Aku sudah tahu jawabannya.

“Mmm… …. Belum pernah… Om…” katanya malu-malu.
“… Mau?” tanyaku. Clar terlihat ragu-ragu. Kupeluk gadis ini dengan lembut. Entah mengapa aku menyayanginya lebih dari sekedar teman seks, tapi seperti anakku sendiri.

Clar terdiam, kemudian tersenyum. Tiba-tiba aku melihat ada kilatan jahil di matanya.
“… Mmm… Mau deh,” katanya manja sambil menjulurkan lidah. “Tapi… Ada satu syarat!”
“Apa?” tanyaku.
“… Aku boleh manggil Om… Papi!” ujarnya. Aku terbelalak.
“Hah? Koq Papi?” tanyaku, benar-benar terkejut.
“Hahaha… Yaa… Aku dari kecil ga pernah kenal Papiku… Dan selama ini cowo-cowo yang aku kenal kebanyakan cuma deketin aku karena aku cantik, atau karena badanku bagus… Atau cuma sebatas clientku aja,” jelasnya panjang-lebar.
“Loh… Aku juga kan kenalan kamu as a… A client?”

“I know… … No, I don’t know…” katanya, bingung. Kemudian Clar tertawa renyah.
“Gatau… Aku kayak… Sejak Om buka pintu tadi, aku bisa ngerasain sayang yang beda, yang ga cuma nafsu,” lanjutnya.

Aku terdiam. Bagaimana ia bisa membaca pikiranku?

Clar mengecup pipiku, tangannya membelai wajahku. Aku menatap matanya yang indah, dan senyumnya yang menyihir.

“Jadi… Boleh ga… Papi?” bisiknya dengan suara merdunya.
“How can I say no…” kataku, menyerah. “Tapi minta ijin Mami dulu ya!”
Clar terbahak, mengangguk. Kami berciuman, lembut dan lama. Lidah kami saling membelit.

Clar membalikkan badannya, nungging di atas ranjang. Aku menyiapkan diriku di belakangnya, dan memasukkan penisku ke dalam vaginanya yang basah. Clar menoleh, bingung.

“Biar licin dulu, Clar…” jelasku. Clar tersenyum paham.

Setelah beberapa kali melumasi penisku dengan cairan vaginanya, aku melepas penisku dan mengarahkannya ke anus Clar. Perlahan, kugosokkan dulu batang penisku di belahan pantatnya yang montok, membiasakan pantat Clar dengan sensasi ini. Clar memejamka mata menikmati.

Perlahan, kedua tanganku meremas bongkahan pantat Clar dan melebarkannya. Dengan sangat pelan, ku tusukkan kepala penisku ke anusnya.

“Relax ya, Clar…” kataku menenangkannya. Clar mengangguk.

Kedua jempolku menarik anusnya semakin melebar. Kepala penisku masuk perlahan diikuti dengan sedikit demi sedikit batangnya. Clar menggelinjang, ia membenamkan mukanya di bantal, menahan sakit. Tapi gadis ini cenderung kalem, sehingga ia tidak mengencangkan anusnya dan membuatnya menjadi lebih menyakitkan. Clar tetap rileks, dan perlahan-lahan, penisku mulai mengisi anusnya sampai penuh.

Saat seluruh penisku sudah memasuki anusnya, Clar menoleh ke arahku, mukanya merah padam. Ini sempit sekali, dan bongkahan pantatnya yang montok membungkus penisku dengan nikmat.

“Ready?” tanyaku. Clar mengangguk, agak ragu-ragu.

Tanpa disuruh dua kali, aku menarik penisku dari anusnya sampai setengah panjangnya, dan menghujamkannya ke dalam sekuat tenaga. Clar membelalakkan mata, dan lenguhan panjang keluar dari mulutnya.

“Nnggggaaaaaahhhhhhh….! Oohh! Oh Papi! Paaa…. pppiiii!”

Aku menyerang pantat Clar kuat-kuat. Tanganku meremas, menampar pantat Clar dengan lembut. Clar kembali membenamkan wajahnya di bantal, suara jeritan dan desahannya teredam. Kedua jemarinya mencengkeram seprei kuat-kuat.

“Mhh… Mmhhh Clar… Clar ini… Enak… Banget… aahhh”

Kuangkat tubuh gadis ini hingga terduduk di posisi reverse-cowgirl, punggungnya bersandar di dadaku. Tanpa disuruh, Clar mengangkat pahanya dan menghujamkannya kembali ke atas penisku berkali-kali. Tanganku merogoh kedepan, kembali memainkan dadanya. Aku mengecup, menjilati lehernya.

“Ahhn.. Hahnnn.. Ahhnn…. Ahh.. Aaahh… Pa… Pii…” desah Clar tak karuan.

Aku melepas penisku dari dalam anusnya dan merebahkan diriku. Clar paham, langsung membalikkan badannya dan menaikiku. Tangannya sendiri yang membimbing penisku masuk ke dalam anusnya kembali. Aku meremas bongkahan pantat gadis ini sambil menghujam-hujamkan penisku dengan kuat. Sempit sekali, enak sekali.

“Mmmmhhh! Mhh… Papi… Papi… Mau…. Keluarr…. Mmhhh” desahnya.
“Bareng… Bar… Bareng ya…” ajakku. Clar mengangguk liar. Wajahnya merah padam. Keringat membasahi tubuh kami berdua. Klimaksku sudah dekat.

“Clar… Clar… Mmhhhhh!”
“Oohh… Papp…. Pappiiii!”

Aku meledakkan spermaku banyak-banyak di dalam anusnya, sementara Clar squirting kencang ke atas perutku. Aku terus menembakkan spermaku hingga penisku tercabut dari anusnya.

Clar roboh di atasku, terengah-engah. Kami terdiam beberapa lama, mengatur nafas. Kupeluk tubuh jenjang Clarissa. Aku merasakan cairan putih mengalir perlahan dari vagina dan anusnya. Aku memejamkan mata, menikmati tubuh kami yang saling menempel, merasakan nafas kami yang tersengal-sengal.

Aku menoleh, mencari wajah cantik Clarissa. Matanya terpejam, mulutnya sedikit menganga. Ia sudah tertidur!

Tersenyum, dengan sangat hati-hati aku membalikkan tubuh Clar hingga telentang di ranjang, dan menyelimutinya dengan lembut. Kukecup kening gadis ini sambil berbisik.

“I love you, Clar…”

Aku beringsut turun dari ranjang, ingin ke toilet untuk membersihkan diriku. Tapi lima jari lentik yang sangat mulus menyentuh pergelanganku dengan lembut. Aku menoleh, Clar membuka matanya sedikit, dan tersenyum sangat manis.

“I love you too, Papi… Don’t leave…” bisiknya lembut.

Aku nyengir. Hatiku sudah benar-benar luluh. Kembali kunaiki ranjang dan kurebahkan diriku di sebelah Clarissa, dan sekali lagi… Kami berciuman dengan lembut.



Senin, Oktober 2025
10.03AM
Studio Three
Amsterdam, Belanda



“Ahh! Ah! Anhh! Anhh…!”
“Ohh… Oh Shit… Shannon… Mmhh!”
“Ohh.. Mnnhh!”

Joel mempercepat tusukannya ke dalam anus Shannon. Sementara itu Steve menghujamkan penisnya yang sangat besar ke dalam vagina Shannon dengan bersemangat. Di saat yang bersamaan, Ken meremas dada Shannon yang sangat besar, membuat susu menyiprat keluar, dan menjepit penisnya kuat-kuat. Tubuh Shannon bergerak seirama hantaman Joel dan Steve yang memasukinya bergantian. Tangan kanan dan kiri Shannon mengocok penis John dan Tony. Muka Shannon menunjukkan dirinya sudah sangat mendekati klimaks.

“Are you… Mmhh... About to… Nhh... Cum, Shannon?” tanya Steve.
“Uh huh… Ahh.. Ahh..” Shannon mengangguk berkali-kali.
“Me… Me too.. Mmhhnnhh…” kata Joel.
“Yes, let’s cum…. Mhh… Together… Mnnhh….” lenguh Ken.
“Ngh!… Aahh… Fuck… Ahh…”

Tangan Joel dan Steve membelai perut Shannon yang sangat buncit; kulitnya sangat mulus dan indah, terlihat sangat berkilau karena cahaya matahari dan minyak pelumas yang melumurinya. Shannon mencengkeram seprai erat-erat. Mukanya merah membara.

“I’m Cumming… Ahhhh! I’m Cumm… ingg!”
“Nnhhhhh! Ahhhh!"

Joel meledakkan spermanya berkali-kali ke dalam anus Shannon. Beberapa detik kemudian Steve pun melakukan yang sama ke dalam vagina Shannon, diikuti oleh Ken di antara jepitan dadanya, dan John serta Tony yang menyemprotkan cairan putih ke muka cantik Shannon. Shannon mengejang saat mencapai orgasmenya, dadanya menyemprotkan air susu kencang-kencang, kemudian ia terkulai, melemas, sambil mendesah nikmat. Joel dan Steve cepat-cepat mencabut penis mereka, dan cairan putih kental mulai mengalir banyak-banyak dari dalam anus dan vagina Shannon.

***

“And… Cut! GREAT SHOT! That’s a wrap everyone! Thank you!”

Seluruh crew bertepuk tangan. Aku baru saja menyelesaikan shooting adegan terakhir film dewasa produksi terbaruku. Joel Blake, Steve Long, Ken Harding, John Cummings dan Tony Strong, aktor-aktor film dewasa paling terkenal belakangan ini, memeluk Shannon, lawan main mereka, memakai kimono, berpamitan padaku dan tim produksi, kemudian segera berjalan menuju ruang ganti mereka. Para crew pun segera meninggalkan ruangan studio.

Aku berdiri, nyengir pada gadis cantik yang masih terkulai bugil dan bersimbah cairan putih di ranjang, dan berjalan mendekatinya. Gadis itu nyengir manis membalasku.

“Hai Papi…”
“Wonderful, Clar…” pujiku.

Shannon Silver adalah aktris film dewasa yang paling dicari di internet dalam 3 bulan terakhir, dengan puluhan judul film yang sudah terbit hanya dalam 9 bulan sejak debutnya. Wajahnya yang adalah perpaduan sempurna kepolosan dan keseksian, tubuhnya yang sangat elok natural, teknik seksnya yang luar biasa, dan suara desahannya yang merdu membuatnya langsung menjadi bintang di dunia perfilman dewasa internasional. Apalagi, film-filmnya yang dirilis belakangan ini menunjukkan tubuhnya yang sedang mengandung, membuatnya semakin montok dan seksi.

Tapi, aku mengenalnya sebagai Clarissa… Gadis sangat cantik berusia 18 tahun, anak perempuan teman baikku Natalie, yang sekarang memanggilku ‘Papi’ atas seizin maminya. Dan… Ya… Clar sedang 8 bulan mengandung anakku.

“Gimana tadi?” tanyaku.
“Good… Cowo-cowo ini selalu beneran kerasa enaknya,” kata Clarissa sambil tersenyum dan mengusap perutnya yang buncit. Aku memakaikan kimono putih kepadanya.
“Tapi masih enakan Papi, ah… Baby-nya lebih cocok sama papinya sendiri kayaknya,” tambahnya sambil berbisik nakal. Aku tertawa kecil.


“Good shot, Clar,”

Kami menoleh, dan melihat Natalie berjalan masuk ke ruangan. Ia menghampiriku dan mengecup keningku, kemudian mencium pipi anak gadisnya.

“Thank you, Mi…” kata Clarissa sambil nyengir. Natalie duduk di ranjang di sebelahku.

“So… Lunch?” tanya Natalie menawarkan makan siang. Aku melirik arlojiku.
“Masih jam segini baru brunch kali, Nat…” kataku. “… Kan tadi udah breakfast?"
“Apalah istilahnya… Gue laper lagi pokoknya,” kata Natalie. Clarissa tertawa.
“Hahahaha… Ya pasti laper terus lah… Mami kan makan buat dua orang juga,” ujarnya renyah.
“Bener juga ya…” kataku sambil ikut tertawa. Aku membelai perut Natalie yang juga sudah buncit, 5 bulan membawa janinku di dalamnya.

“Lu tuh ya, Dit… Sekali jebret langsung Mami sama Anak loh jadi dua-duanya,” kata Natalie seolah ngambek. Aku tertawa, kukecup bibir temanku ini, kemudian berpaling dan melakukan yang sama pada Clarissa.

“Ya gimana… Ibu sama anak dua-duanya super hot,” kataku. Clarissa tertawa dan memukul lenganku.
“Gapapalah, Mi… Kan aku sekalian dapet adek juga,” katanya manis. Jemarinya yang lentik merogoh selangkanganku dan mulai membelainya lembut. Aku merasa penisku mengeras.
“Eh… Eh… Ini jadi makan ga?” tanyaku panik.
“Hmmh… Aku koq masih pengen lagi,” jawab Clar manja. Wah bahaya ini. Aku menoleh ke Natalie meminta bantuan, tapi aku terkejut melihatnya melepas sweaternya, menampilkan bra warna hitam berenda yang nampak kesulitan menahan dadanya yang 38DD, dan perutnya yang buncit menggiurkan.
“Mmh… Gue lebih laper ini sih, Dit sebenernya…” katanya menggoda. Aku menelan ludah. Natalie menarik lepas bra nya, menjatuhkan roknya, melepas celana dalamnya perlahan dan menarik kepalaku hingga wajahku terbenam di antara dadanya yang montok.

“Makannya ntar aja ya, Pi…” bisik Clar yang sudah melepas kimononya dan celanaku, kemudian meletakkan penisku yang sudah sangat tegang di antara dadanya yang sudah mengembang hingga 36F karena penuh dengan susu. Saat Clar menekan kedua dadanya dan mulai men-titfuck-ku, air susu mengalir keluar dari kedua putingnya.

“Mmnnhh… Astagaaah kalian…"

No comments:

Post a Comment