Wednesday 30 May 2018

The Chronicles of Three Family: Album Perkembangan Fitri 1

Namaku Fariz Haryanto Bimasatya. Tahun ini usiaku tiga puluh tujuh tahun. Aku termasuk orang yang cukup berada, dengan memiliki bisnis jual beli online dan pembuatan situs web. Aku sangat mencintai istriku, yang berumur hampir 20 tahun lebih muda dariku. Apalagi, hubungan di antara kami sudah lama terjalin.


***​

Kisah ini berawal ketika aku masih berada di bangku kuliah. Usiaku dua puluh tahun waktu itu. Pertama kali aku melihat istriku, dia adalah seorang bayi berumur satu tahun dalam kereta bayi yang didorong oleh sepasang suami istri muda.

Aku mengenal keluarganya karena aku diundang ke acara perkenalan keluarganya pada tetangga ketika mereka baru pindah ke lingkungan tetanggaku. Ayahnya, yang bernama Malik, sulung dari tiga bersaudara, adalah seorang anggota ormas keagamaan moderat dan pengusaha yang berkecukupan, yang berusia enam tahun lebih tua dariku. Ibunya, yang bernama Milla, seorang guru yang berusia lebih tua lima tahun dariku.

Sering aku melihatnya saat ia didorong dalam kereta bayi bersama orang tuanya. Terkadang aku iseng bermain cilukba dengannya. Orang tuanya hanya tertawa melihatku mengajak anak mereka bermain.

***​

Kira-kira setahun setelah perpindahan keluarga kecil itu, anak kedua mereka lahir, seorang bayi perempuan. Mereka mengundang tetangga mereka ke acara mereka untuk bayi baru lahir. Aku datang karena kupikir tidak apa-apa datang ke sana, sekaligus berburu gulai dan sate kambing gratisan.

Di acara itu, aku melihat bayi itu sedang duduk di kursi bayi, sudah tumbuh menjadi seorang balita berumur dua tahun. Pipinya tidak terlalu tembam, tapi tetap imut. Terbayang olehku bahwa dia akan tumbuh menjadi gadis yang cantik.

***​

Tiga tahun kemudian, bayi yang lucu itu tumbuh menjadi anak balita yang imut dan cantik berusia lima tahun. Fitri, demikianlah mereka memanggilnya, jarang aku melihatnya menangis, baik saat terjatuh ataupun saat digoda oleh teman sebayanya. Aku kadang merasa trenyuh saat melihatnya diganggu oleh teman sebayanya.

"Biarin aja, Dik Fariz. Biar Fitri makin kuat mentalnya." jawab Mbak Milla sewaktu aku mengeluhkan anak-anak yang sering mengerjai Fitri. Kulihat Mas Malik setuju dengan kata-kata Mbak Milla. Akhirnya aku pun membiarkannya.

***​

Ketika Fitri berumur enam tahun, Mas Malik meninggal karena kecelakaan kendaraan bermotor. Di upacara pemakaman Mas Malik, aku melihat Fitri menangis. Saat itu aku pertama kalinya berkenalan dengan paman-pamannya, seorang pria berumur dua puluh tahunan akhir yang terlihat sakit-sakitan dan seorang pria tampan berumur dua puluh tahunan awal.

"Adiknya Mas Malik, Mas?" sapaku pada seorang pria yang agak mirip dengan Mas Malik. "Oh? Oh iya, Mas" balasnya. "Fariz, Mas" kuulurkan tanganku padanya untuk menjabat tangannya.

" Oh? Oh, iya Mas. Zainal," jawabnya menjabat tanganku. "Panggil saja Zain, Mas. Ini Rahman, Mas. Kakak saya" ujarnya memperkenalkan pria ringkih yang duduk di sebelahnya dengan seorang wanita, sepertinya istri dari si pria pesakitan itu. Muncullah Mbak Milla, yang menghampiri kami.

"Lho, Dik Fariz? Sudah kenalan sama Dik Rahman sama Dik Zain, ya?" tanya Mbak Milla. Kuanggukkan kepalaku. "Dik Fariz, dicari Fitri tuh" ujarnya, menunjuk ke dalam rumah.

"Oom" panggil Fitri kepadaku yang duduk di sampingnya, mengutarakan kekhawatirannya yang disembunyikannya selama pemakaman ayahnya, "Siapa yang bakal nemenin Fitri ntarnya?".

"Mang Zain juga masih ada, terus Mama juga masih ada. Oom juga masih ada" jawabku berusaha mengusir rasa khawatir yang kurasakan dari nada suaranya. Fitri masih tetap menangis terisak-isak. Akupun merasa iba melihatnya menangis terisak-isak. Kurangkul tubuhnya dan kuelus kepalanya, berusaha menenangkannya.

Tak lama kemudian, Mbak Milla menghampiriku dan Fitri, yang ternyata sudah tertidur dengan kepala bersandar di pangkuanku. Mbak Milla memintaku menggendong putrinya itu ke kamarnya, yang segera kuturuti. Setelah menaruh gadis kecil ini di kamarnya, aku segera berlalu, tak lupa sebelumnya kupasang selimut untuknya supaya tidak masuk angin.

***​

Setelah Mas Malik meninggal, Mbak Milla membesarkan Fitri seorang diri. Untunglah, Mas Zain dan Mas Rahman yang mengurusi bisnis keluarga Mas Malik tidak menelantarkan keluarga kakak sulung mereka. Mbak Milla pun berhenti mengajar dan mulai bekerja membantu bisnis keluarga mereka.

Celakanya, hanya enam bulan setelah Mas Malik meninggal, tiga bulan setelah Mas Zain lulus kuliah, giliran Mas Rahman meninggal karena sakit. Memang sewaktu ke pemakaman Mas Malik, Mas Rahman tidak pernah terlihat sehat. Beban Mas Zain dan Mbak Milla semakin besar untuk usaha mereka, terutama karena Mas Rahman mengurusi keuangan perusahaan mereka sewaktu beliau masih hidup. Kudengar dari Mbak Milla, Mas Rahman meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri dan seorang anak laki-laki. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya dengan anak-anak itu.

Ketika setelah itu Mbak Milla semakin sibuk dengan kegiatan bisnisnya, Fitri semakin sering tinggal hanya berdua bersama Fira di rumahnya. Supaya Fitri (dan juga Fira) ada pengawas di rumah, Mbak Milla memintaku menerimanya di rumah.

"Maaf ya, Dik Fariz" tutur Mbak Milla membuka percakapan kami, "Karena Mbak akhir-akhir ini makin sibuk kerja buat anak-anak juga, Mbak minta Dik Fariz nemenin anak-anak, sekalian tolong bantu belajarnya anak-anak, ya". Aku menyanggupinya.

***​

Ketika usia gadis itu mencapai sepuluh tahun, aku mendengar dari Mbak Milla bahwa ia mendapat mensnya yang pertama. Darahku berdesir sewaktu mendengar bahwa ia telah tumbuh menjadi gadis remaja kecil.

"Dik Fariz, aku tahu kamu suka sama Fitri dari waktu pertama kali kamu ketemu dia. Tapi tolonglah, tunggu sampe dia bisa milih. Aku percaya kalo kamu bisa nunggu, kok," pinta Mbak Milla sambil tersenyum.
Tak terasa sudah tiga tahun lebih berlalu sejak Mbak Mila menitipkan Fitri padaku. Akupun berusaha memenuhi harapan Mbak Milla. Aku bertekad menjaga kepercayaan yang diberikan Mbak Mila padaku. Kadang kalau Mbak Milla atau Mas Zain sedang sibuk, Mbak Milla memintaku menemani Fitri untuk membeli keperluannya.

"Oom Fariz, sini Oom," panggil Fitri dari dalam kamarnya ketika aku berkunjung ke rumahnya untuk mengantar surat, "Oom bisa ajarin aku, nggak? Ada PR, nih.".

"PR? Yang mana, Fit?" tanyaku, "BTW, Fira ke mana?"

"Fira masih lama pulangnya, Oom," jawabnya sembari mengulurkan sebuah buku ke arahku, "Ini lho, Oom... Aku nggak enak kalau harus minta tolong ke yang lain.".

'Berarti cuma kita berdua, ya?' pikirku membuka-buka buku itu. Pendidikan Seksual Bagi Remaja. Darahku terasa berdesir saat Fitri menggelendot di sampingku. Kurasakan buah dadanya yang baru tumbuh dan tertutup seragam sekolah, yang selama ini terbungkus pakaian longgar, menekan lenganku.

"Kenapa nggak nanya sama Mama?" tanyaku kalem sambil tersenyum, "Hmmm?".

"Habis, Mama...," Fitri tersipu-sipu malu.

"Fitri malu nanya kayak gini sama Mama?" tanyaku lagi. Kulihat Fitri menganggukkan kepalanya. Akhirnya akupun setuju.

Kubuka buku itu sambil menjelaskannya satu persatu. Tentu saja aku paham anatomi tubuh manusia. Ayahku dulu adalah seorang dokter, sebelum beliau dipidana karena kasus malpraktik, dan setelah beliau bebas, beliau mengundurkan diri dari dunia kedokteran dan mengasingkan diri ke pedesaan. Alasanku memilih ilmu IT, adalah karena lebih mudah menjadi anonim di dunia maya.

"Jadi gitu toh, caranya ya Oom?" tanya Fitri yang bersandar di bahuku. Kuanggukkan kepalaku.

Mendadak Fitri mendekatkan bibirnya ke bibirku. 'Eh, apaan nih?' pikirku. Kutatap wajah yang terbalut jilbab putih itu. Wajah yang biasanya kalem itu menatapku tajam, menyiratkan birahi yang membara, seolah menyampaikan, 'Inikah yang selama ini kau inginkan? Aku sudah siap.'.

Akupun membalasnya, dan kamipun berciuman. Nafsuku naik dengan cepat hingga menutupi pikiranku bahwa gadis yang sedang menciumiku ini adalah seorang siswi SMP berumur tiga belas tahun.

Sembari berciuman, kurangkul tubuh mungilnya dan kurebahkan ke ranjang. Kuhisap-hisap bibirnya, dan kurasakan napasnya. Kumasukkan lidahku ke bibirnya, dan iapun membalas dengan memainkan lidahnya. Terasa bahwa gairah seksualnya semakin meningkat. Ternyata dia termasuk cepat belajar mengenai seks.

"Oom..." desahnya pelan, saat aku menciumi lehernya yang tertutup jilbab kaus. Kudengar deru napasnya di telingaku. Begitu indah bagiku saat itu.

Perlahan kulepas kancing-kancing baju seragam sekolah berlengan panjang yang dikenakannya. Lalu kubuka seragamnya beserta kaus dalamnya. Terpampang buah dada yang baru tumbuh, yang berbalut BH trainingnya. Kulepas BH trainingnya dengan perlahan. Kini, Fitri hanya tinggal mengenakan rok panjang biru serta jilbab kaus.

Melihat hal itu, aku semakin bergairah. Kusingkap jilbab kaus yang dikenakannya dan kusambar payudara yang baru tumbuh itu dengan mulutku. Kumainkan puting susu yang berwarna coklat itu dengan bibir dan lidahku.

"Ouhh..., ahh..., emhh..., ahhh..., ouhh...," desahan dan racauannya ketika kulumat payudara yang baru saja tumbuh itu dengan bibir dan lidahku. Tidak lupa kupilin-pilih putingnya yang indah itu. Alhasil, buah dadanya pun basah kuyup terkena air liurku dan keringatnya.

Kusibakkan rok panjang biru seragamnya hingga sampai di perut dan kukangkangkan kakinya. Terpampang di hadapanku gundukan yang tertutup celana dalam putih yang sudah mulai basah di tengahnya. Kutatap wajahnya, meminta izin. Fitri memejamkan matanya, seolah pasrah kujamah.

Kuciumi dan kuendus gundukan yang tertutup celana dalam itu. Bau kemaluan gadis muda, yang masih belum bisa merawat kemaluannya pun menguar di udara. Kutarik celana dalamnya hingga mencapai mata kaki, dan terpampanglah kemaluan yang masih sangat rapat itu.

Kukangkangkan kedua kakinya hingga bagian dalam bibir kemaluan Fitri yang mungil terlihat. Kembali kudekatkan wajahku, dan kulumat kemaluan yang seharusnya belum waktunya untuk dijamah itu.

"Aiiiih," pekik gadis kecil berjilbabku ini ketika vagina mudanya menerima usapan dari lidahku untuk pertama kalinya. Kujilati klitorisnya, membuatnya memekik-mekik tertahan menahan rasa geli. Kuhisap-hisap lubangnya yang mulai basah itu. Tak lupa kujulurkan tanganku ke atas untuk meraih puting susunya yang belum sepenuhnya tumbuh itu.

"Aiiiih..., aaaaau..., geliiii..., Oooom...," kudengar pekikan-pekikan kecilnya saat aku menghajar klitoris mungilnya dengan lidahku. Tak lama kemudian kurasakan vaginanya semakin basah akibat rangsanganku. Tubuhnya semakin menegang dan puting susunya yang belum mekar itu semakin menonjol.

"Ooooooouh...," desahnya pelan ketika mencapai orgasmenya. Orgasme pertama dalam hidupnya yang terjadi akibat dirangsang oleh seorang laki-laki. Cairan cintanya mengucur dari celah di antara kedua pahanya. Kujilat cairan yang meluber.

"Oom...," panggil Fitri setelah sensasi orgasme pertamanya mereda akibat rangsanganku. Kudekatkan bibirku naik menyusuri tubuhnya mulai dari klitoris, lalu ke pusar. Kutempelkan lidahku di kulit pusarnya dan kurasakan keringatnya. Kugerakan kepalaku, semakin naik menuju belahan dada, leher, hingga wajah kami berhadapan. Kuraih wajahnya yang tertutup jilbab putihnya. Kembali kukecup bibirnya, dan kulumat lidahnya. Kali ini balasan dari Fitri datang dengan menggebu-gebu.

"Oom, aku mau jadi kayak Mbak Ifaaah," mohonnya setelah melepas ciuman kami, sembari menatap wajahku. Mbak Ifah adalah istri Mas Zain yang baru dinikahi beberapa bulan lalu. Konon Mas Zain menikahi Mbak Ifah karena Mbak Ifah terlanjur hamil. Mengingat Mbak Ifah yang begitu serasi dengan Mas Zain membuat hatiku iri.

Kuposisikan penisku di bibir kemaluan gadis kecil yang cantik ini. Terasa basah karena rangsangan-rangsangan yang telah kudaratkan di tubuhnya membuat lendir vaginanya mengalir pelan.

"Oooom, pelan-pelaaaaan," mohon Fitri ketika kudorong penisku perlahan memasuki liang kemaluan gadis SMP ini. Vaginanya terasa sangat rapat menjepit kepala penisku. Ketika ujung kepala penisku menyentuh selaput daranya, kuminta Fitri untuk bersiap-siap.

"Fitri, ini agak sakit. Mohon tahan, ya," pintaku sambil tersenyum. Tanganku mengelusi kepalanya yang berbalut jilbab putih untuk menenangkannya. Dianggukkannya wajahnya yang cantik itu. Tubuhnya menegang.

"Aiiii," terdengar pekikan gadis ini ketika kusentakkan penisku untuk menjebol keperawanannya. Terasa denyutan dinding vaginanya meremas-remas kepala penisku. Kutatap wajahnya yang menengadah ke atas mengernyit kesakitan. Sungguh indah menyaksikan ekspresinya.

Kembali kudorong penisku yang sudah berada di dalam liang senggamanya. Kutarik perlahan, lalu kudorong lagi. Fitri kembali mengernyit, menahan rasa sakit di selangkangannya. Tubuhnya melengkung ke belakang.

Akhirnya penisku menyentuh pintu rahimnya. Kubiarkan penisku berada di liang vaginanya, seolah diremas oleh dinding daging yang menjepit erat, sembari menunggu vagina mungilnya untuk menyesuaikan diri dengan dengan penisku. Kutatap wajah Fitri yang mengernyit menahan sakit.

"Masih sakit?" tanyaku. Fitri menganggukkan kepalanya. Kulihat matanya berkaca-kaca. Aku menjadi agak iba.

"Oom, tolong..., ngggah.., jangan gerak duluuuu..., auuuuh..." pinta Fitri menahan rasa sakit di kemaluannya. Kuturuti keinginannya, sembari menunggu vaginanya menjadi lebih basah.

Selama beberapa menit, kami hanya berpelukan dalam diam menunggu saat untuk memulai aksi. Fitri menikmati penisku yang mengganjal liang peranakannya sementara aku menikmati denyutan dinding vaginanya yang meremas-remas batang kemaluanku.

"Oom mulai yaa, Fiiit...," pintaku kepadanya dengan menatap wajahnya, yang dibalas dengan anggukan kepalanya. Kutarik penisku sedikit dari vaginanya dan kembali kutekan masuk. Fitri memejamkan matanya merasakan sensasi yang terjadi pada tubuh mudanya.

Seiring dengan vaginanya yang semakin becek dan genjotanku yang semakin lancar walaupun harus dilakukan dengan hati-hati, Fitri merangkulkan tangannya di leherku dan melingkarkan betis mungilnya di pinggangku

"Iyaaaah...., aduuuuuuh..., mmmmh..., aduuuuuuh.., Oommmmh..., di situuuuuh..., ouuuuuh," desah Fitri merasakan nikmat dan nyerinya gesekan antara kulit penisku dengan dindng liang senggamanya. Tubuh mungilnya terguncang-guncang akibat genjotanku.

Ketika genjotanku semakin lancar, erangan dan lenguhan gadis kecil berjilbabku ini semakin terdengar keras. Untuk mencegah supaya orang di luar rumah tidak curiga, kembali kulumat bibir mungilnya yang indah dan kumainkan lidahku di mulutnya.

Aku pun tak dapat bertahan lama. Selain karena jepitan vaginanya begitu rapat karena baru saja diperawani dan vaginanya pun belum waktunya dimasuki oleh penis seorang pria, ini adalah pengalaman pertamaku.

Ooooooh..., Oooom..., Fitri pipiiiiiss, Ooooommm...," kurasakan penisku dibasahi oleh cairan cinta yang keluar dari vaginanya. Gadis kecil berjilbabku ini telah mencapai orgasme dari persetubuhan pertamannya. Terasa denyutan dinding vaginanya meremas-remas penisku. Kusentakkan penisku hingga menembus sampai ke bibir rahimnya, daaan...

Crott, crott, crott, crott, crott, crott... Kutumpahkan spermaku di rahimnya, rahim yang seharusnya belum siap untuk mengandung anakku. Sedemikian banyaknya spermaku memancar, sampai-sampai meluber dari vaginanya membasahi seprai. Kupeluk tubuh mungilnya, dan kuciumi wajah cantiknya.

Kulihat setetes air mata mengalir dari sudut mata Fitri. "Apa dia menyesal?" tanyaku dalam hati.

"Nggak apa-apa, Oom. Fitri sendiri yang mau," seolah mengerti apa yang kupikirkan, Fitri menyenderkan dirinya di samping tubuhku, menenangkan diriku. Kurangkul tubuhnya dan kukecup dahinya, untuk memberi ketenangan baginya.

Setelah menikmati efek pasca-orgasme, kami bangkit, berbenah, dan membereskan seprai yang bernoda darah. Kumasukkan dalam kantong plastik untuk kukirim ke laundry kiloan yang agak jauh dari rumah kami. Kulihat Fitri berlalu tertatih-tatih karena luka robek pada selaput daranya.


***​

Setelah persetubuhan pertama kami, aku menyadari bahwa aku menginginkan gadis ini, bukan hanya sebatas kebutuhan seksual saja, tapi juga sebagai partner hidup. Aku ingin menjaga gadis ini, gadis yang kurenggut keperawanannya sebelum waktunya ini. Dan maksudku bukan hanya seks saja, aku ingin memilikinya seutuhnya.

Aku tak pernah merasa bosan menikmati kebersamaanku dengan gadis ABG ini. Dan kurasa dia pun demikian. Begitu banyak teman cowoknya menyatakan cinta kepadanya, tapi selalu ditolaknya. Akupun demikian, begitu banyak klien dan tetangga lain ingin menjodohkanku dengan kerabat mereka, semuanya kutolak.

Terkadang kami melakukan ibadah siang dan ibadah sore berdua, sembari menunggu Mbak Milla pulang dari urusan bisnisnya. Di lain waktu aku mengajarinya pelajaran sekolahnya. Dan kami pun makin terampil dalam memberikan kenikmatan terhadap satu sama lain.

***​

Pernah, aku mengajaknya berjalan-jalan ke wilayah pantai yang tidak terlalu ramai sebagai hadiahku untuknya karena menjadi juara pertama di sekolahnya. Sesampainya di sana, kusewa sebuah bungalow kecil berbentuk rumah panggung yang tinggi sebagai tempat kami menginap.

Begitu kami masuk kamar dan mengunci pintu, Fitri melumat bibirku dengan bibir mungilnya dan merangkulkan lengannya di leherku. Aku tergagap sejenak. Kuraih pinggangnya, dan kamipun saling melumat. Kurasakan bahwa gadis berjilbabku ini sudah tidak kuat menahan birahinya.

Kurasakan tangan Fitri melepas pakaianku, mulai dari baju kaus polo, celana denim, kaus dalamku, dan terakhir celana dalamku. Dijilatinya kulitku, membuatku merinding. Dikocoknya penisku dan kurasakan kulit tangannya yang halus mencengkram penisku. Semakin lama kocokannya membuat penisku tegang dan membuatku tak mau kalah darinya.

Kulepas kemeja yang dikenakan Fitri. Kurasakan bahwa kemejanya agak tebal. Ternyata dia tidak mengenakan pakaian dalam sehelai benangpun di baliknya. Benar-benar membuatku semakin bergairah. Kusingkap ujung jilbab yang menutup dadanya dan kusambar payudara berukuran 32B miliknya. 'Semakin besar karena sering kujamah,' pikirku. Kumainkan dengan lidahku, kusedot putingnya, dan kutinggalkan bekas cupangan di kulit dadanya supaya dia semakin bernafsu.

Kubalikkan tubuhnya, hingga wajah kami menghadap meja rias, dan kupeluk bahu dan pinggangnya. Kuremas-remas buah dadanya, kumainkan putingnya, dan kutangkupkan tanganku di selangkangannya yang masih tertutup celana panjang yang dikenakannya.

Tangan Fitri bergerak meraih tanganku yang sedang menjamah tubuhnya. Kepalanya yang masih berbalut jilbab itu bersandar pasrah di bahuku.

Kuraih celana panjang katun longgar yang dikenakan Fitri dan kuturunkan resletingnya sebelum kucengkeram pinggirannya dan kuturunkan bersama celana dalamnya. Kini Fitri telanjang bulat sudah dengan hanya mengenakan jilbab. Kulihat selangkangannya yang tertutup rambut tipis. Kurogohkan tangan kananku ke bibir vaginanya. Kuraba bagian dalamnya, terasa basah. Kurangsang klitorisnya.

Dengan mesra, kuminta Fitri membungkuk di depan meja rias dengan kedua tangannya bertopang pada meja rias. Perhatianku beralih pada bongkahan pantatnya, kuciumi bongkahan pantatnya yang bulat dan montok itu. Badannya gemetar menerima rangsanganku.

Kurenggangkan sedikit sepasang pahanya hingga terlihat bibir vaginanya yang menggembung padat. Kumasukkan jari tengahku ke dalam celah peranakannya yang sudah mulai basah, dan kukorek-korek dengan jari tengahku untuk mencari bagian yang disebut g-spot.

Begitu menemukan apa yang kucari, langsung kugesek-gesek bagian tersebut dengan jari tengahku. Akibatnya luar biasa. Lenguhan dan rintihan gadis berjilbabku ini makin membahana mengisi bungalow tempat kami memacu birahi. Kulihat bayangan Fitri di cermin, wajah seorang gadis berjilbab berumur lima belas tahun dengan ekspresinya yang sedang dilanda badai api birahi.

"Iiiiiiiih, Oooooooommmmh, mmmmmmmhhh, aduuuuuuhhh, aaaaaakh, udaaaaaah, udaaaaah, stooooph, ouuuh, enaaaaakh, udaaaaah, enaaaakh, iiiiih," jeritnya terbelalak merasakan kenikmatan dari gesekan jari tanganku dengan g-spotnya.

Tak lupa tanganku meraih ke depan, kembali menggapai buah dadanya. Kuremas, dan kumainkan puting susunya dengan jariku, membuat putingnya makin tegak mengacung. Erangan dan jeritan manjanya pun terdengar semakin indah.

"Emmmmph, aaaaaaauuh, iiiiiiiiiiiiih, aaaaaaaau, udaaaaaaaah, aduuuuuuh, ooooooh, udaaaaah, pliiiiiss, udaaaah, nggak kuaaaaaat," erang gadis berjilbabku ini. Tubuhnya menghentak-hentak, tak kuasa menahan badai birahi yang mengamuk di dalam tubuhnya, akibat ulahku. Tak lama kemudian, tubuhnya pun menegang.

"Ooooooouh," erangnya saat ia mencapai ejakulasinya. Cairan vaginanya mengucur deras membasahi tanganku. Wajahnya yang terengah-engah mengambil napas akibat dilanda birahi yang baru saja dialaminya terlihat kontras dalam balutan jilbab.

Tubuhnya yang relatif mungil untuk gadis seumurnya itu ambruk menindih meja rias. Kunaikkan bagian belakang tubuhnya ke atas, dan dalam posisinya yang menungging, kuarahkan penisku pada celah vaginanya. Penisku masuk dengan lancar dengan dilumasi cairan cintanya yang masih mengalir keluar.

"Hmmmm, mmmmmh," gumam Fitri merasakan liang peranakannya yang masih tumbuh itu diganjal batang penisku. Kuelus lembut belakang kepalanya yang tertutup jilbab. Kuraih kedua tangannya dan kutarik ke belakang sehingga tangan kami saling menggenggam satu sama lain, sebelum mulai menggenjotnya dengan sentakan-sentakan lambat dan keras.

"Lihat ke depan, Fit," ujarku tersenyum membujuk Fitri melihat pemandangan di depan cermin di tengah genjotanku. Terlihat sosokku yang sedang menggenjot Fitri yang masih mengenakan jilbab dari belakang. Matanya setengah terpejam, dan rahang bawahnya menggantung ternganga merasakan nikmatnya gesekan dinding vaginanya dengan kulit batang penisku. Erangan dan rintihan lirih terdengar dari mulut mungilnya.

"Ooouuh, ouuuuh, ouuuuh, yang kerassssh, Ooooommmh, ouuuuhhh" erang Fitri memintaku untuk menggenjotnya dengan cepat dan keras. Kurasakan cengkeraman tangannya pada tanganku semakin keras. Sesekali kurasakan tangannya yang mencengkram tanganku menyentak seolah meminta tubuhku supaya mempercepat dan memperkuat genjotanku pada liang nikmatnya.

Mendengar permintaan kekasih kecilku ini, kupercepat dan kuperkuat genjotanku pada liang nikmatnya. Sesekali kusentak tangannya ke arahku supaya sodokan penisku bisa masuk lebih dalam hingga menerobos mulut rahimnya. Apalagi kurasakan denyutan, remasan, dan cengkeraman dinding vagina gadis berjilbabku ini semakin kencang. Pertanda dia akan segera mencapai puncaknya.
.
"Ngeeeeeeeeh," erang Fitri saat badai orgasme kembali melandanya. Tubuh mungilnya bergetar, kepalanya yang berbalut jilbab itu mendongak, matanya terpejam, dan mulutnya menganga menyambut kenikmatan yang terjadi pada tubuhnya. Kurasakan penisku yang berada dalam vaginanya disiram cairan hangat.

Kucabut penisku dari kemaluan gadis berjilbabku ini dan kududukkan pantatku di kursi di depan meja rias itu, lalu dengan mesra kuminta supaya dia menduduki pahaku dengan kedua kaki mengangkang. Seolah paham keinginanku, diapun memundurkan tubuhnya dan mengepaskan liang nikmatnya dengan penisku dalam posisi membelakangiku sebelum menurunkan pantatnya. Penisku pun masuk dengan lancar ke dalam vaginanya.

Kulihat di cermin sosok Fitri yang menumpukan kedua tangannya di pahaku sebelum merapatkan kakinya dan mulai memompa tubuhnya naik turun di atas pangkuanku. Perhatianku beralih pada wajahnya yang terlihat pada pantulan cermin, wajah seorang gadis berjilbab berumur lima belas tahun yang sedang dilanda birahi yang berkobar-kobar. Kulihat penisku yang masih tertancap di vaginanya, mengkilap diselimuti lendir vaginanya.

Oooommm..., mmmhhh..., remesinh..., toketh..., Fitriiiih..., Ooooommmh..., mmmmmmmh..., maenin itil Fitriiiih..., Ooommmhhh..., uuuuuuhhh..., enaaaaaaakh...," desahnya saat tubuhnya naik turun bak seorang penunggang kuda.

Tanganku menjelajahi bagian depan tubuhnya, sebelum tangan kananku bersarang di payudara kirinya dan tangan kiriku bersarang di pangkal pahanya. Kuusap dan kugesek klitorisnya dengan jari tengah tangan kiriku, membuat gelinjang tubuhnya makin terasa. Tak lupa kuremas buah dadanya yang cukup montok untuk gadis seusianya dan kumainkan puting susunya, membuatnya mendesah-desah pelan.

"Fitriiiiih, hhhhh, Fitriiiiiih, hhhhh, nakaaaaaaaalh, godain Ooommmmh...," balasku sembari menyentakkan penisku ke atas ketika tubuh Fitri turun, membuat ujung penisku menumbuk mulut rahimnya. Akibatnya, tubuh mungil gadis berjilbabku ini makin kelojotan menahan nikmat. Dari mulutnya keluar pekikan-pekikan akibat sensasi tumbukan di rahimnya.

"Ooooohhh..., Ooooommmhhh..., mmmmhhhh, Fitriiiiiih..., eeeeeeeeuhhhh...," racaunya saat mencapai orgasmenya. Kepalanya yang berbalut jilbab itu bersandar di bahuku. Kurasakan penisku diremas-remas oleh denyutan dinding vaginanya dan cairan vaginanya yang hangat membasahi penisku. Kulihat di cermin, payudara mudanya yang cukup montok untuk gadis seusianya naik turun seiring napasnya.

Setelah orgasmenya berlalu, Fitri turun dari tubuhku dan bersimpuh di depanku yang belum mencapai klimaks sebelum mulai memainkan penisku dengan tangannya. Dikocoknya dengan tangannya yang halus.

"Oom," Fitri menatap mataku, sembari tersenyum, "Maaf ya, Oom nggak bisa keluar di dalem kali ini.". Aku mengerti, bahwa saat itu kekasih mudaku ini sedang berada dalam masa suburnya.

Nggak apa-apa kok, Fitri... Oom ngerti," jawabku menikmati kocokan tangan di penisku. Tak berapa lama, Fitri mulai menjilati penisku, dan memasukkan kepala penisku ke mulut mungilnya.

"Hmmm, hmmm, hmmm," erang Fitri tertahan penisku di mulutnya. Kedua tangannya memainkan buah pelirku. Dengan lenbut dan penuh terima kasih, kuelus kepalanya yang berbalut jilbab yang kini sudah lecek terkena keringat kami berdua.

Crott, crott, crott, crott, crott, crott... Kutumpahkan spermaku di mulutnya. Tanpa ragu, Fitri menelannya tak bersisa. Belum cukup, setelah menelan spermaku, gadis berjilbabku ini menjilati batang penisku untuk membersihkan cairan vaginanya yang melekat di sana.

Kuraih tubuh mungilnya yang hanya mengenakan jilbab dan masih bersimpuh di lantai. Kulap sisa-sisa spermaku yang meluber membasahi bibir dan pipinya. Kuciumi dahi dan matanya, kali ini tanpa nafsu, sebelum kami naik ke ranjang dan kutarik bed cover dalam posisi memeluknya dari belakang, untuk tidur karena kelelahan yang kami alami.

Kejadian tersebut berulang setiap liburan. Entah kenapa, Mbak Milla membiarkanku mengajak Fitri berjalan-jalan, seolah tetap mempercayaiku. Padahal aku terus mereguk kenikmatan bersama putri sulungnya itu. Ketika kutanyakan hal ini dengan Fitri, dia berkata, "Kayaknya Mama tau. Kemarin, aku dikasih pil antihamil.".

***​

Tentu saja cinta tanpa modal itu adalah omong kosong. Aku mempelajari hal itu dari ayahku. Dan aku pun biasa memanjakan Fitri sesuai komitmenku dalam menyanggupi pemintaan Mbak Milla untuk memenuhi kebutuhan Fitri dan Fira sejauh yang kubisa saat menitipkan kedua putrinya itu padaku.

Untungnya, Fitri bukan orang yang boros dan materialistis. Barang termahal yang dimilikinya dariku hanyalah sebuah komputer jinjing dan sebuah telepon seluler yang bisa dibilang bukan kelas tertinggi dari produsennya. Itupun kubelikan sebagai hadiah ulang tahunnya. Kubeli lebih karena kualitas built-in dan fungsional dari produsen terkait, dan Fitri tetap mengeluh kepadaku bahwa barang-barang itu terlalu mewah untuknya.

Sementara itu, Fira sering berbelanja pakaian dan makanan, serta jajan bersama teman-temannya. Bahkan pernah Fira lima kali membeli sepatu baru dalam setahun. Fitri hanya menggelengkan kepala saat Fira meminta kebutuhan kepadaku.

"Boros banget, Oom," komentarnya padaku sebal suatu hari ketika kami menunggu Fira di restaurant row sebuah pusat perbelanjaan sementara Fira berbelanja.

"Mungkin dia mau jadi saudaranya setan, bukan jadi saudaranya kamu," jawabku kalem.

"Iiiiiih, Oom gitu deh," sambut Fitri merajuk, "Itu 'kan adekku sendiri, Oom... Masak dibilang mau jadi sodaranya setan, sih?".

"Iya... Sodaranya setan... Kan kamu setannya... Setan yang ngegodain Oom... Hehehe...," ujarku kalem merujuk saat dulu kami bercinta untuk pertama kalinya.

"Iiiih, Oom gitu deh...," ujar Fitri merajuk malu saat cengir lebar terpampang di wajahku.

Walaupun Mbak Milla selalu berpesan padaku untuk menagih uang ganti darinya apabila Fitri dan Fira menggunakan uangku, aku tidak keberatan mereka memakai uangku selama aku ada uang. Biasanya, aku hanya melaporkan sebesar jumlah uangku yang digunakan Fira, itupun setelah Mbak Milla memaksaku untuk menerimanya, karena Mbak Milla tahu sejak awal bahwa Fira cenderung lebih boros.

***​

Akibat terlalu sering kujamah, payudara Fitri berkembang melebihi ukuran yang wajar pada gadis-gadis seusianya. Terkadang aku menemani Fitri berbelanja pakaian dalam atas seizin Mbak Milla, sehingga aku menyadari perubahan yang terjadi pada tubuh kekasih mungilku yang berjilbab ini.

Pada saat-saat seperti itu, seringkali Fitri mencoba pakaian dalam yang bentuknya aneh dan unik, dan menunjukkannya padaku di ruang ganti. Tak mengherankan apabila ia sudah mengenal celana dalam berenda dan BH seksi di usia lima belas tahun. Bahkan dia memiliki string bikini set.

Terkadang, saat ia mengajakku bercinta dengannya, ia memakai bikini set, thong, atau g-string dan BH berenda berwarna mencolok yang seksi di balik bajunya yang lebar sebagai bukti bahwa dia sedang tersedia untuk jamahanku. Di saat lain, saat ia tidak tersedia untuk jamahanku, dia akan mengenakan celana dalam lebar dan BH polos berwarna putih krim.

Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalaku saat melihat g-string dan BH berenda yang tembus pandang di saat aku sedang menyingkap pakaian rumahnya ketika kami sedang melalukan sesi pemanasan sebelum bercinta, mengingat ia selalu mengenakan jilbab saat berhadapan dengan laki-laki. Sebenarnya aku agak khawatir kalau-kalau Mbak Milla menjadi curiga mengenai adanya celana dalam dan BH seksi. Namun, Fitri selalu berhasil menenangkanku.

"Sebenarnya, kayaknya Mama punya celana dalam bekas waktu Papa masih ada. Kayaknya masih dipake sampe rusak dulu. Sama, Mama juga pernah cerita kalo dia doyan pake g-string waktu kuliah dulu. Jadi ya Mama nggak terlalu peduli aku punya g-string. Asal nggak ada putih-putih lengket aja 'kali ya," jawabnya sewaktu aku menanyakan apakah ibunya akan curiga.

"Terus, 'kan di rumah ada mesin cuci, jadi habis mandi cucian langsung ditaro. Kecuali kalo kegedean, kayak seprei yang dulu," tambahnya membuatku teringat saat aku mengambil keperawanannya beberapa tahun sebelumnya.

***​

Suatu ketika, sewaktu Fitri berumur tujuh belas tahun, hampir delapan belas tahun, kira-kira dua minggu menjelang ujian akhir, Mbak Milla berpamitan kepadaku hendak pergi untuk urusan bisnis. Setelah melihat Mbak Milla pergi, kulihat Fitri yang memakai jilbab dan seragam SMA mengetuk pintu rumahku. Kubuka, dan kuajak dia masuk rumah.

Begitu Fitri masuk ke rumahku dan menutup pintu rumahku, tangannya segera meraih pinggangku dan bibirnya yang merekah dengan lip gloss menciumi bibirku. Sejenak akupun agak gelagapan.

Kubuka kancing-kancing seragamnya, dan kusampirkan seragamnya di bahunya beserta ujung jilbabnya. Ternyata dia tidak memakai BH. Kuhajar buah dadanya dengan ciuman dan lumatan. Buah dada yang telah tumbuh selama beberapa tahun ini, yang entah berapa kali aku menjamahnya, yang sekarang sudah berukuran 32D, dengan puting yang mengacung tegak, yang entah berapa kali sudah kujilati dan kuhisap, sangat serasi dengan tubuh mungilnya yang kini hanya 150cm.

Fitri mendongakkan tubuhnya, dan kedua tangannya meremas-remas kepalaku yang terbenam di celah payudara montoknya. Kudengarkan desahan, erangan, dan lenguhan tertahan yang keluar dari mulut mungilnya.

Kumasukkan tanganku dari atas rok panjang seragamnya, dan kurasakan kulit dan rambut halus ketika tanganku mencapai bibir vaginanya. Ternyata dia sudah tidak mengenakan celana dalam. Benar-benar siap untuk kujamah dan kunikmati. Kutangkupkan tanganku pada bibir kemaluannya, dan kurogohkan jari-jariku mencari dan menjamah klitorisnya.

Kucabut tanganku dari vaginanya, lalu kuminta kekasihku ini menyingkap ujung rok abu-abunya yang berlipit. Diapun menggulung roknya hingga mencapai pangkal paha, lalu menyelipkan ujung roknya ke pinggang. Terlihat betis dan paha putihnya yang mulus, disertai celah yang sudah basah di antara kedua pahanya.

Kuturunkan posisi tubuhku hingga berjongkok di depan selangkangan Fitri. Kudekatkan bibirku untuk menciumi sepasang pahanya, lalu kujilati paha mulusnya hingga basah kuyup. Terdengar erangan tertahan keluar dari mulutnya.

Kuraih pantatnya dengan tanganku supaya selangkangannya menempel di wajahku. Kuendus bau kemaluannya yang tak tertutup celana dalam itu, dan kujilati kemaluannya. Kemaluan yang entah sudah berapa kali menjadi sasaran jilatan lidah dan sodokan penisku. Kudengar erangan dan pekikan manjanya ketika aku menjilati kemaluannya. Tetap merdu seperti biasa selama empat tahun ini. Setelah kurasa sudah cukup, kukeluarkan kepalaku dari posisi di antara kedua pahanya.

Kubaringkan tubuhku di sofa ruang tamu, dan kuatur supaya Fitri bisa menunggangiku dengan gaya woman-on-top. Gaya yang sangat kami sukai, dengan alasan yang berbeda. Bagi Fitri karena dia bisa mengontrol kapan dia ingin orgasme, dan bagiku karena aku bisa melihat goyangan buah dadanya yang mulai membesar sejak dia berusia empat belas tahun, dan kibaran ujung jilbab yang menutupi leher serta sebagian dadanya.

Tangan Fitri menggenggam penisku, dan memasukkannya ke liang nikmatnya, seolah pedang yang dimasukkan ke sarungnya. Masih terasa rapat, walaupun sudah tidak serapat dulu lagi. Untunglah tak terlihat jelambir vagina yang biasanya ada pada seorang wanita yang sering bersetubuh.

"Oom, Oom diam saja, ya... Fitri mau kasih servis spesial buat Oom... Kan Oom ulang tahun hari ini," tutur Fitri lembut. Mendadak aku teringat bahwa hari ini adalah hari ulang tahunku yang ketiga puluh tujuh.

Kusingkap sedikit kemeja seragam SMA-nya dan kuraih bongkahan daging padat yang menggantung di dadanya. Sesekali kumainkan puting susunya, kusentuh-sentuh, kutarik-tarik lembut, dan kupilin-pilin. Akibatnya, gerakan tubuh Fitri semakin menggila.

"Ooooomh..., iyaaaah..., di situuuuh..., oooouh...," desah Fitri sembari memutar-mutarkan pinggulnya, membuat penisku serasa dilumat dan digiling oleh dinding vaginanya.

Tangannya bergerak meraba-raba tubuhnya sendiri, sesekali meremas buah dadanya sendiri, sesekali meraih kepalanya yang tertutup jilbab, sesekali mengusap pahanya, sesekali merogoh klitorisnya. Akupun tak mau kalah, kuremas buah dadanya. Sesekali kusodokkan penisku ke atas, menumbuk mulut rahimnya.

Sungguh sangat erotis menyaksikan ekspresi seorang siswi SMU berjilbab yang sedang dilanda badai birahi dengan seragamnya yang telah tersingkap dan buah dadanya yang tak berbalut BH sedang bergoyang di atas tubuh seorang laki-laki dengan penis sang laki-laki menancap di kemaluan gadis berjilbab itu.

Kurasakan bahwa gadis berjilbabku ini akan mencapai orgasmenya, dari remasan dnding vaginanya yang semakin intens. Di sisi lain, penisku sudah tidak kuat menghadapi goyangan dan liukan pinggulnya.

"Ooooom Fiiith sayaaaaangh, enaaaakh, mau keluarinh..., di manaaaaa?" tanyaku ketika merasakan bahwa aku akan mencapai klimaks. Keringat bercucurnn dari dahinya membasahi jilbabnya.

"Oooom, di dalem ajaaaaaah... Tunggu bentaaaarh, Oooooommmh" pinta gadisku ini manja, semakin meningkatkan genjotan dan goyangannya. Liukan tubuhnya semakin menjadi-jadi. Jilbabnya kini semakin berantakan. Wajahnya semakin sayu akibat orgasmenya yang semakin mendekat.

"Ooooooouhhh," desah Fitri ketika mencapai orgasmenya. Cairan orgasmenya menyemprot membasahi batang penisku. Buah dadanya yang berukuran 32D itu bergoyang ke atas ketika kepalanya mendongak ke atas menikmati klimaksnya. Denyutan serta remasan dinding vaginanya pada penisku di saat orgasmenya, membuatku tak kuat lagi. Kusentakkan penisku ke atas hingga menumbuk pintu rahimnya, daaaan...

Crott, crott, crott, crott, crott, crott... Akupun mencapai klimaksku. Kusemprotkan spermaku ke dalam rahim gadis berjilbabku ini, seolah ingin membuahinya. Ingin menghamilinya. Ingin ia memiliki anak dari benihku.

Dan itulah perasaanku kepadanya. Ingin bertanggung jawab atasnya. Ingin menikahinya. Ingin supaya ia jadi milikku.

"Oooooouuuugh, Oommmmh," lenguhnya pelan merasakan orgasme susulan ketika penisku menyemprotkan sperma ke dalam rahimnya. Tangannya meraih rambutnya sendiri, sebelum tubuhnya ambruk menimpa tubuhku. Tanganku pun memeluknya tubuhnya serta mengelusi kepalanya yang terbalut jilbab seragamnya. Kutatap matanya yang indah itu dengan tatapan penuh perasaan cinta dan kuciumi serta kulumat bibir mungilnya.

Selagi kami berciuman menikmati sensasi pasca orgasme, terdengar ketukan dari jendela. Betapa terkejutnya aku melihat Mbak Milla mengetuk kaca jendela rumahku. Kulihat wajah Fitri pun menjadi sama pucat pasinya. Untunglah Mbak Milla tidak menjadi histeris karena melihat putri sulungnya yang hanya mengenakan jilbab dan rok abu-abu panjang sedang bergoyang di atas tubuh separuh bayaku yang terbaring di sofa. Kulihat Mbak Milla hanya menggelengkan kepalanya dan memegang ulu hatinya, sebelum berlalu.

No comments:

Post a Comment