Ini adalah cerita bagian ketiga. Untuk mengetahui cerita sebelumnya silakan cari atau googling.
Menjelang jam 4 sore kereta api Matarmaja muncul dari
Barat. Aku dan John sudah menunggu hampir satu jam di stasiun Pegaden
Baru, Subang untuk melanjutkan perjalanan ke Semarang. Jika perjalanan
normal tidak ada hambatan kami akan sampai di Semarang sekitar jam 10
malam. Lumayan waktu 6 jam dalam kereta yang ACnya masih berfungsi
dengan baik.
Kereta berhenti di stasiun Semarang Poncol. Aku tidak
akrab dengan daerah ini, karena biasanya aku turun di Stasiun Semarang
Tawang, yang sering kebanjiran. Di pintu keluar stasiun kami sudah
dicegat, tukang becak, ojek, dan taksi. Aku berdua ngloyor saja keluar
sampai benar-benar keluar dari pagar areal stasiun. Di seberang jalan
ada warung menjual minuman segar, dalam kotak pendingin.. Kepada penjual
di warung itu aku bertanya-tanya mengenai stasiun bis untuk jurusan
Purwodadi. Dia mengatakan, biasanya jurusan Purwodadi terakhir jalan jam
5 sore.
Kami mencegat taksi dan kepada supir taksi, kami minta
diantar ke hotel yang dekat dengan Simpang Lima. Tidak sampai setengah
jam taksi sudah berhenti di depan lobby hotel yang lumayan juga. Mungkin
hotel ini sekitar bintang 3.
Urusan Chek in sudah selesai dan kami menuju kamar .
Lumayan bersih, kami bergantian mandi dan istirahat sejenak. Malam itu
kami berkeliling-keliling Simpang Lima Semarang, untuk cuci mata sambil
makan malam.
Pagi-pagi selepas sarapan kami berdua langsung chek out
dan memanggil taksi untuk mengantar ke stasiun bus Penggaron, Semarang.
Stasiun bus yang tidak terlalu besar, dengan mudah kami mendapatkan bus
jurusan Purwodadi. Duduk sekitar 15 menit di dalam bus yang lumayan
hangat juga karena busnya tidak ada AC.
Normalnya Semarang Purwodadi sekitar 2 jam, tetapi kali
ini 3 jam baru sampai terminal Purwodadi, Grobogan. Jalannya memang
tidak lancar karena ada perbaikan di beberapa tempat sehingga kendaraan
harus ngantri.
Turun dari bus sudah dicegat tukang beca dan ojek. Saya
cuek aja dan ngloyor, dan seperti biasa mencari warung untuk sekedar
ngopi sambil cari informasi. Tanya sana-sini sampai akhirnya saya
mengatakan mau ke Kropak, Wirosari.
"Lho saya orang kropak Pak, bapak mau cari rumahnya siapa," kata si Bapak pemilik warung.
Waduh saya bingung juga menjawabnya, untung inspirasi
segera masuk, " mau ke balai desa pak, mau ketemu kepala desa," kata
saya menjawab sekenanya.
Saya lalu menanyakan kendaraan menuju Kropak, si Bapak
merekomendasikan saya naik ojeg dia akan mencarikan ojek yang biasa
ngantar ke Kropak. Muncullah dua pengojek dengan motor bebek.
Saya langsung berdiri dan menarik salah seorang tukang ojek itu keluar
warung, agar pembicaraan saya tidak di dengar oleh si Bapak pemilik
warung,
Si tukang ojek paham tujuan kami, tetapi dia bukan
penduduk sana sehingga tidak bisa menunjukkan tempat-tempat yang saya
inginkan. Namun dia banyak kenalan di Kropak yang juga pengojek, dia
berharap mereka bisa menuntun saya lebih lanjut.
Setelah ongkos disepakati, kami meluncur dibawah terik
matahari. Jaraknya lumayan jauh juga sekitar 20 km dari kota Purwodadi.
Jalan yang dilalui melalui jalan tanah diantara sawah-sawah,
kadang-kadang melewati semak dan perkampungan kecil. Sekitar setengah
jam kami akhirnya sampai ke Kropak. Aku diturunkan di sebuah warung
makan yang sederhana. Ini kesempatan kami makan siang. Si pengojek tadi
setelah menurunkan kami dia mencari rekannya pengojek yang standby di
desa itu. Tidak lama kemudian muncul tukang-tukang ojek itu. Pengojek
dari Purwodadi setelah dibayar ongkosnya dia kembali ke Purwodadi,
sementara pengojek asal Kropak menolak kami ajak makan, mereka akhirnya
ngopi saja.
Sambil senyum-senyum mereka menanyakan kira-kira yang
bagaimana yang kami inginkan. Jika mengikuti keinginan kami mungkin agak
sulit, jadi saya balik bertanya, stok yang ada yang bagaimana saja
gambarannya.
Mereka tawarkan umumnya sudah agak berumur semua,
rata-rata diatas usia 25 tahun. Tidak ada yang unik sehingga aku agak
sulit menentukan. Aku tanyakan diantara begitu banyak yang ditawarkan
adakah yang kakak beradik. Langsung di jawab, "ada" malah ada 3 yang
begitu.
Setelah memperoleh gambaran, akhirnya aku dan john
memilih salah satu pasangan kakak beradik yang digambarkan paling bagus.
Aku memberi kesempatan kepada tukang ojek itu untuk men cek apakah
mereka ada di rumah, dan kalau ada mereka juga perlu bersiap dan juga
apakah mereka bisa terima tamu.
Keduanya akhirnya meluncur, tidak sampai setengah jam
keduanya kembali malah diboncengannya ada wanita-wanita. Kami
dperkenalkan, orangnya lumayan untuk ukuran desa, badannya kelihatan
cukup terawat dan sekel, kutaksir umurnya belum sampai 25. Aku
bersepakat dengan John bahwa aku mengambil si adik dan John mengambil si
kakak. Kami juga bersepakat untuk nantinya tukar, aku pakai kakaknya
dan John pakai si adik.
Meski pun mereka tidak lagi bisa disebut remaja, tetapi
wajahnya manis, jika ada yang pernah melihat wajah pesinden Jawa
Sunyahni, ya kurang lebih seperti itu. Kakak dan adik lumayan cakep dan
yang lebih penting bahenol.
Kedua mereka kembali pulang setelah kami tawari minuman
mereka menolak. Selanjutnya kami dibawa kerumah si kakak beradik.
Rumahnya agak di pinggir desa dan belakang rumahnya seperti ada suara
sungai dan memang benar ada sungai yang lumayan lebar dan deras airnya.
Si kakak memperkenalkan diri bernama Purwanti dan
adiknya Purwani. Di rumah itu mereka tinggal bertiga, yang seorang lagi
adalah ibu mereka yang sudah cukup tua, tetapi masih kelihatan sehat.
Kami sempat diperkenalkan. Dia tidak bisa berbahasa Indonesia, ya untung
aku bisa sedikit ngomong Jawa. Dia bercerita bahwa masih mudanya dia
adalah penari ledek tayub yang sering berkeliling ke banyak daerah,
Kedua anaknya mengikuti jejak ibunya juga penari tayub.
Purwanti dan Purwani sekarang statusnya janda. Memang
agak susah mempunyai istri yang profesinya seorang penari yang harus
mampu menggoda lelaki. Kepiawaian menggoda itulah yang merupakan modal
penting, karena dengan demikian akan diperoleh banyak duit melalui
saweran.
"Sekarang makin sepi mas jarang ada tanggapan, abis
dimana-mana pada sok alim," kata si adik yang kelihatannya lebih lancar
nyrocos.
Rumah mereka cukup lumayan bersih untuk ukuran desa,
hanya modelnya berbeda dengan rumah desa di Pegaden, Subang. Di sini
rumahnya model kaya joglo, sehingga kamar ada di kiri kanan dan ruang
keluarganya ada ditengah dan tidak berjendela. Terasnya sangat leluasa
selebar rumah di situ ada set kursi tamu sederhana lalu ada amben atau
bale-bale. Di dalam ada seperangkat kursi tamu dan dibelakangnya ada
meja makan.
Aku dan John sepakat memberi mereka uang jasanya di
depan. Jumlahnya sudah kami ketahui dari tukang ojek pemandu tadi.
Dengan gaya malu-malu mereka terima uang itu tanpa menghitungnya. Aku
menambahkan lagi sedikit yang kusebut sebagai uang makan untuk makan
nanti malam dan sarapan besok pagi.
"Waduh mas hari gini gak ada warung sayur yang jualan,
nanti saya minta tetangga nangkep ayam dan digoreng aja sekalian," kata
Purwanti.
Dia lalu beranjak keluar halaman rumah dan menghubungi
tetangga yang disuruhnya memasak ayam goreng. Sementara itu aku minta
Purwani mengajak jalan-jalan ke belakang rumah dimana ada sungai. Kami
melewati kebun yang ditanami ubi kayu alias singkong, ubi rambat atau
telo, cabai rawit dan kacang panjang. Dibelakang kebun itu lah terdapat
sungai yang airnya jernih dan mengalir cukup deras. Kami harus hati-hati
turun ke bawah karena agak jauh juga kebawah sampai mendapatkan air
sungai. Di situ ada tempat untuk cuci pakaian dan sekaligus mandi. "Mas
kita nanti mandi sore di sini, lebih enak dari pada di sumur. Airnya
seger," kata Purwani.
Sekembali kami ke rumah sudah terhidang minuman hangat.
"Mas nyobain ini minuman desa namanya wedang uwuh". Di dalam gelas yang
cukup besar terdapat daun-daun kering, kulit kayu dan rempah. Rasanya
enak juga dan menyegarkan.
Kami berempat ngobrol berbagai hal sampai juga
membicarakan kemungkinan kami nanti malam melakukan tukar guling.
Kelihatannya mereka tidak keberatan. "Emang simasnya kuat ," ujar
Purwani.
"Eh masnya mau gak nyoba jamu desa, jamu godokan,
kebetulan tetangga saya buat gituan, kalau mau saya ambilin," kata
Purwanti.
Aku yang memang suka jamu, oke-oke saja, tetapi John dia
tidak suka rasa pahit jamu jadi dia menolak untuk coba-coba. "Eh mas
nanti lemes lho," kata Purwani.
Menemani minum wedang uwuh ada singkong rebus. Rasanya
sih cukup asyik, apalagi kami makan di teras depan dengan pemandangan
alam pedesaan dan bau semak daun-daun. Dari rumah tetangga yang agak
jauh terdengar suara burung puter dan tekukur dan sayup sayup ada suara
radio yang sedang mengumandangkan lagu-lagu Jawa.
Suasana desa begini sudah lama menjadi impianku.
Tentram, meski sekarang terganggu oleh raungan suara sepeda motor.
Sekitar jam setengah lima kami diajak mandi sore ke sungai di belakang.
Aku mengenakan celana boxer, juga si John sedangkan mereka mengenakan
kemben kain batik. Berbeda dengan adat di Subang, di sini mereka mandi
masih pakai kain basahan. Badannya putih dan gempal.
Karena mereka tidak membuka kembannya aku pun mandi
tetap mengenakan celana boxer. Air sungai yang jernih terasa segar
sekali. Mereka mandi sambil main ciblon, dengan cara menepuk-nepuk air.
John memang anak terlalu kota, dia seumur hidupnya belum
pernah tinggal di desa. Kalau pun tinggal di desa baru akhir-akhir ini
saja karena kebetulan rumahnya yang dia beli kompleks BTN yang
membebaskan sawah. Kalau menurut John rumahnya mewah alias mepet sawah.
Habis mandi badan kami segar sekali. Aku berganti celana
dalam mengenakan sarung dan kaus oblong. Kami digiring masuk kedalam
kamar masing-masing. Di dalam kamar ada tempat tidur besi yang
diselubungi kelambu. Aku dipersilakan naik ke tempat tidur mengambil
posisi di dekat dinding.
Purwani rupanya ingin memberi service pijatan terlebih
dahulu aku diminta buka baju tinggal celana dalam saja tidur telungkup.
Acara pijat ini memang paling aku sukai, karena badanku rasanya nikmat
sekali jika dipijat.
Tangannya mulai merambah badanku, mulai dari bahu lalu
turun ke pinggang lalu turun ke kaki. Badanku didudukinya. Dia masih
mengenakan kemben, tetapi kulit punggungku merasa di balik kemben dia
tidak mengenakan apa-apa lagi. Aku jadi makin syur.
Adegan telungkup berubah jadi telentang, seluruh
permukaan badanku di jamah dengan pijatan-pijatan. Penisku menggembung
di balik celana dalam, diacuhkan saja oleh Purwani. Sampai pijatan
selesai terlihat titik-titik keringat di dahinya.
Badanku sudah segar dan menawarkan memijat dirinya.
Mulanya dia malu menerima tawaran itu, tetapi setelah aku desak terus
akhirnya dia menyerah. " Mas e bisa mijet to," katanya kurang yakin.
"Ya dicoba wae mbak," kataku menimpali.
Dia tidur tengkurap, dan aku mulai melancarkan pijatan
dari ujung kaki, naik ke betis, lalu ke paha. Melalui gerakan pijat kain
sarungnya makin naik tinggi sampai kedua bongkahan pantatnya terlihat.
Purwani berkali-kali memuji pijatanku. Aku memang agak peham titik-titik
syaraf, termasuk titik syaraf birahi wanita. Ketika bongkahan pantatnya
aku pijat, sebenarnya dia sudah mulai naik nafsunya, tetapi
kelihatannya dia menahannya.
Aku berpindah dari bongkahan pantat yang gempal ke bahu.
Lemak di bagian belakang tubuhnya lumayan kencang. Pijatan terus turun
ke bawah sampai lagi ke bongkahan pantat.
Ketika dia kuminta berbalik telentang, Purwani berusaha
menutup bagian kemaluannya dan kedua payudaranya dengan kemben batik.
Aku kembali memijat dari ujung kaki terus naik secara perlahan-lahan ke
paha. Paha bagian dalam adalah bagian kelemahan wanita. Jika bagian itu
diberi tekanan lembut, dia akan merangsang pemiliknya. Memang ketika
bagian itu aku sentuh, Purwani sudah mulai menggeliat. Dia sudah mulai
terlanda birahi. Makanya ketika kain batiknya aku singkap ke atas dia
sudah tidak peduli lagi.
Segitiga selangkangannya sudah terbuka dan aku bisa
dengan jelas melihat jembut yang tidak terlalu lebat, tetapi istimewanya
bagian kemaluannya membubung, Orang desa menyebutnya mentul. Aku
memijat bagian pinggir kemaluannya lalu aku tekan-tekan bukit
kemaluannya. dia sudah makin sering menggelinjang. Dengan gerakan sambil
memijat, salah satu jari kelingkingku masuk kecelah kemaluannya. Terasa
berlendir basah. Dia dipastikan sudah sangat terangsang.
Aku lalu memainkan clitorisnya, dia semakin
menggelinjang gak karauan, aku memainkan dengan gerakan konstan dan
sentuhan halus sampai dia mencapai orgasme yang ditandai dengan denyutan
lubang memeknya. Setelah reda aku mencolokkan perlahan-lahan jari
tengah dan jari manis ke dalam vagina sampai seluruh jariku terbenam.
Setelah vaginanya terbiasa menerima kedua jariku aku memainkannya dengan
mengocok dan kadang-kadang melakukan gerakan seolah mengangkat tubuhnya
dengan kedua jariku. Purwani melolong-lolong nikmat sampai akhirnya dia
menjerit nikmat. Badannya sampai ikut berkedut-kedut karena hentakan
orgasmenya yang demikian kuat. Bukan itu saja, dari belahan vaginanya
ada memuncrat berkali-kali cairan sampai mengenai hidungku. Dia
mengalami orgasme vagina dan berejakulasi.
Akhirnya dia terkulai lemas, kembennya sudah gak karuan
dan tidak lagi menutupi buah dadanya yang membengkak. " Mas seumur-umur
aku baru ngrasai enak yang kayak gini , sampai rasanya ada yang muncrat
ya mas," katanya.
Aku menciumi wajahnya yang sedikit berkeringat. Dia
lalu memelukku erat sekali. " Mas sudah tinggal di sini aja sama saya
jangan pulang lagi, " katanya .
Wanita yang baru mendapat orgasmenya yang dahsyat jika
dilanjutkan dengan menciumi wajahnya seperti mencurahkan kasih sayang,
dia akan sangat berkesan dan ingin selalu berada di dekat kita. "Mas
awakku lemes banget he rasane, lan rada ngantuk," ujarnya.
Aku yang sudah mencapai ketegangan top, tentu saja
mengabaikan keluhannya, Kembennya aku buka sehingga di telanjang bulat
lalu celanaku kulepas dan dengan posisi menindihnya aku mencolokkan
penisku memasuki gerbang kenikmatannya.
Meski lubangnya terasa licin, tetapi karena cairannya
agak kental, jadi rasanya rada megang tuh memek. Rasa vaginanya enak
sekali. Aku terus bermain menggenjotnya. Mungkin karena dia baru saja
mencapai orgasme dan merasa dekat dengan aku, dia cepat sekali mencapai
orgasme berikutnya sampai akhirnya aku mencapai ejakulasi juga .
Spermaku kulepas di dalam vagina dengan menekankan kemaluanku
sedalam-dalamnya.
"Mas suwun yo mas sudah lama aku nggak dapet rasa nikmat yang begini, mas kok pinter banget sih, " katanya.
Kami lalu beristirahat sebentar, sambil ngobrol. Dia
katanya ngantuk sekali, ingin tidur sebentar. Aku terpaksa bengong saja
menunggui dia tidur. Dengan bersarung, aku keluar mencari kamar mandi di
dalam rumahnya. Disitu kucuci senjataku lalu mengenakan celana dalam
dan mengenakan kaus oblong.
Ketika keluar aku berpapasan dengan Purwanti, "Mas temenmu ngorok, Wani mana, " tanyanya.
"Ngorok," jawabku singkat.
"Wah mas e pasti kuat lan pinter main e," kata Purwanti mengambil kesimpulan singkat.
Jam sudah menunjukkan jam 8 malam, perut sudah mulai
menghisap. Purwanti membangunkan Wani untuk membantunya menyiapkan
makanan. Lauknya adalah ayam goreng dan sambel. Si John dengan
mengusap-usap mata keluar dari kamarnya.
Ketika kurasai ayam gorengnya masih terasa bau amis ayam. "Mbak ayam nya kita buat soto saja ya." Kataku.
"Mas aku gak punya bumbunya," katanya.
"Tenang wae aku sing nggae," kataku menyatakan siap
membuat soto ayam seketika. Didalam ranselku ada 2 bungkus mihun jagung
soto ayam, Aku minta mereka nyuir-suir ayamnya sementara aku merebus
mihun. Sekitar 5 menit bihun rebus rasa soto sudah selesai dan
kuletakkan dipanci dengan air yang berlebihan, lalu tambah garam
sedikit, merica bubuk dan msg, sampai rasanya pas ketika kucicipi.
Nasi kami ditaburi suiran ayam lalu kuah soto dengan
bihunnya kami tuang ke piring masing-masing. Nasi panas dan soto panas,
tambah sambel bawang, wuih rasanya nikmat banget. "Eh mas e kok pinter
yo mbikin soto cepet banget dan enak e nggak kalah karo warung soto,"
kalau keadaan darurat memang harus gitu kataku.
Lho mas e memang pinter masak tho, tanya si Purwanti,
aku jawab sedikit-sedikit bisalah. "Wah kebetulan besok lagi pasaran di
desa, jadi banyak orang jualan, Besok kita belanja ya, terus mas e sing
masak.
Di desa-desa di jawa, tidak setiap hari ada pasar,
biasanya pasar diselenggarakan seminggu sekali. Ada yang mengikuti hari
berdasarkan penanggalan masehi, tetapi kebanyakan mengikuti hari-hari
jawa atau disebut naptu, Jadi ada pasar paing, disebut paingan, pasar
legi ya legian. Aku tidak ingat di Kropak itu pasar apa.
Setelah makan bersama, termasuk si mbah ikut makan
bersama, kami istrihat sambil makan angin, begitu istilahku, duduk-duduk
di amben teras depan. Suasananya senyap sekali, hanya suara jangkrik
dan macam-macam binatang lainnya yang terdengar.
Malam ini Nyonya rumah menyuguhkan kopi tubruk yang
dicampur jahe. Rasanya pedes dan seger. Kopi adalah persiapan untuk kami
tidur sampai larut. Menjelang jam 10 kami digiring masuk, kali ini
swing, atau tukar peraduan, Aku masuk ke kamar kakaknya Purwanti,
Purwani menyeret John memasuki kamarnya.
"Mas kata adi ku, si mas e pinter mijet yo," kata Purwanti.
"Kalau mau dipijet, mesti mijet dulu," kataku.
Aku pun lalu membuka semua baju termasuk celana dalamku.
Itu aku lakukan karena ruang tidur kami agak gelap. Aku langsung tidur
tengkurep.
"Eh mas e lha kok langsung telanjang yo." Katanya sambil meraba-raba pantatku
"Iya dari pada repot nanti, toh akhirnya dibuka juga, "kataku.
Seperti ritual pijat biasa dan kemudian aku membalas
dengan memijat dirinya. Si kakak ini malah cepet banget terangsangnya.
Mungkin karena suasana gelap dia jadi merasa makin romantis. Ketika
kucolok dua jariku dan mempermainkan gspotnya dia berteriak ketika
orgasmenya datang. Kayak gak peduli, dan mukaku kena semprot pula
pancaran ejakulasinya.
Aku juga memperlakukan Purwanti dengan penuh kasih
sayang, kuciumi wajahnya yang baru saja dia mendapat orgasme
tertingginya. "Mas tinggal seminggu di sini ya, gak usah kasi duit aku
juga gak apa-apa, aku bakal kangen terus karo sampean," katanya sambil
memelukku erat sekali seolah-olah dia tidak rela melepas tubuhku.
Selanjutnya aku menggenjot tubuhnya sampai dia kembali
kelojotan. Jamu godogan yang aku minum tadi memang membuktikan
khasiatnya. Badanku tidak terasa capek sama sekali bahkan batangku
tetap berdiri tegak 100%.. Si Purwanti kewalahan menghadapi aksiku
sampai dia minta disudahi saja permainannya, padahal aku belum nyampe.
Untuk mempercepat orgasmeku aku harus berkonstrasi penuh, sampai
akhirnya sampai juga ke puncak dan tembakan kulepas di dalam liang
kenikamatan yang terdalam.
Baru saja setengah jam istirahat, tiba-tiba si adik
masuk dan langsung mengambil posisi tidur disebelahku, rasanya tempat
tidur jadi sempit karena aku diapit di tengah. " Lha kok kawanku
ditinggal," tanya ku.
" Habis dia udah gak kuat main lagi mana langsung
ngorok, ya udah aku tinggal aja kemarin, abis suarane si mbak tadi
njerit, pasti keenakan ya," kata Purwani.
Akhirnya aku setuju tidur bertiga tapi aku mengajukan
syarat mereka dan aku semua tidur tanpa baju. Aku bilang biar gampang.
Benar juga si adik belum sejam istirahat sudah mengelus-elus si Boy. Eh
ditantang begitu dia langsung bangun dan siap bertempur lagi. Sebetulnya
aku sudah rada males, tapi namanya kesempatan yang jarang ada, maka
kubiarkan saja. Purwani tanpa malu-malu menaiki tubuhku dan memasukkan
batangku ke vaginanya. Dia bermain sampai mencapai kepuasan dan akhirnya
ambruk. Lalu tidur di sampingku. Kakaknya sudah tertidur dari tadi.
Sementara barangku masih tegak berdiri, tetapi, karena mataku agak
mengantuk maka kubiarkan saja dia bangun sendirian.
Pagi-pagi sekali aku sudah dikerubuti kakak beradik, Aku
tersadar ketika penisku sudah menghunjam lubang kenikmatan Purwanti.
Sementara itu si Adik menciumi dadaku setelah itu menyodorkan susunya
minta diemut. Kedua mereka belum pernah punya anak sehingga putting
susunya masih tidak terlalu besar.
Aku baru mengalami bahwa aku bisa kalah cepat bangun
dibandingkan penisku. Sebab ketika aku bangun penisku sudah keras
sehingga mampu masuk ke dalam sarang Purwanti. Purwanti kelihatan
berusaha konsentrasi dengan permainannya sehingga dia lebih cepat
mencapai orgasme. Begitu ambruk dan rebah di sampingku, posisinya
digantikan oleh adiknya yang mengambil posisi WOT seperti kakaknya.
Mungkin juga karena ada rasa sehati permainan mereka bisa semangat dan
yang lebih penting mereka cepat mencapai orgasme.
Sampai Purwani ambruk aku belum mencapai orgasme, aku
berpikir perlu menghemat tenaga . Sebab jika aku orgasme di pagi ini
badanku akan lemas dan sepanjang hari nanti bakal ngantuk melulu. Cahaya
matahari pagi sudah mulai menerobos celah-celah jendela.
Kakak beradik sudah terkapar dan kelihatannya mereka
tertidur. Aku bangun keluar kamar dan menuju kamar mandi untuk
bersih-bersih. Aku harus berterima kasih pada siapa pun yang punya
gagasan mengganti minyak tanah dengan gas, sehingga dapur di desa yang
jauh dari kota juga menggunakan kompor gas. Aku masak air di ceret lalu
melihat persediaan makanan. Ada ikan asin, ada cabe hijau, bawang merah
dan putih, dan tentunya terasi juga. Sedang aku di dapur muncul si mbah
sambil bertanya kemana kedua anaknya. Aku katakan saja bahwa mereka
belum bangun. Si Mbah bingung, karena kedua anaknya itu tidak biasa
bangun kesiangan.
Dia membantu aku mengupas bawang lalu menguleknya dan
menggoreng ikan asin. Aku lalu membuat nasi goreng sambal hijau dengan
taburan ikan asin goreng kering yang sudah dipotel kecil-kecil. Aku
sengaja membuatnya pedas. Seharusnya kalau ada telor bisa dibuatkan
telor mata sapi.
Nasi goreng sudah siap tapi belum tersaji karena masih
di kuali, dan air panas siap diseduh dengan kopi. Purwanti dan Purwani
tergopoh-gopoh keluar kamar dengan hanya berkemben kain. Dia merasa
malu, karena aku melakukan persiapan sarapan pagi, padahal seharusnya
merekalah yang berkewajiban.
"Wah mas e luar biasa sampai aku ama wani kesirep, "
kata Purwanti malu. Dia meminta aku duduk saja di depan dan untuk
selanjutnya dia yang akan ambil oper pekerjaan mempersiapkan makan pagi.
Aku dan John sempat jalan-jalan di dekat-dekat situ melihat sekeliling.
Penduduk di situ ramah-ramah. Mereka menegur kami ramah. Aku tidak
jalan jauh-jauh lalu kembali duduk di teras rumah dua kakak beradik.
Sambil masih mengenakan kemben mereka menghidangkan nasi
goreng ikan asin cabe hijau dan kopi tubruk. Mereka dan simbah ikut
nimbrung makan. Kata mereka pedesnya pol, alias pedes banget, tapi enak.
Si John yang tidak tahan pedes, terpaksa mencampur dengan nasi putih
dingin.
Sehabis makan kami istrahat sebentar lalu beriringan
menuju sungai di balakang rumah. Kali ini aku mandi telanjang saja,
karena memang tempatnya agak terlindung. Akhirnya kedua cewek itu pun
ikut-ikutan mandi telanjang. John jadi terpaksa telanjang juga dia.
Tidak terjadi insiden di sungai, kecuali saling meraba dan menyabuni.
Air sungai yang dingin membuat kami harus cepat-cepat.
Seperti yang mereka katakan kemarin, bahwa hari ini ada
pasaran di kampung mereka. Wani menanyakan aku masih belum pulang hari
ini. Aku jawab Iya.Dia lalu menanya kan aku ingin makan apa hari ini.
Aku teringat masakan khas daerah perbatasan jawa timut jawa tengah
adalah " asem-asem balungan". Ini masakan menggunakan daging kambing
berkuah asam yang segar. Uniknya rasa asamnya diperoleh dari daun
kedondong muda. Kata purwanti asem-asem adalah keahlian si mbah.
Kami berempat jalan menuju pasar yang berjarak sekitar
10 menit dari rumah. Pagi itu pasar sudah ramai orang berjualan
macam-macam, mulai dari bahan makanan mentah sampai makanan matang dan
jajanan khas desa seperti, tiwul, gatot dan berbagai nama lainnya yang
aku lupa sebutannya.
Seharian itu kami menikmati masakan dan suasana
keheningan desa yang damai dan tentram. Rasa nya tidak ada gairah
ngesek, siang-siang. Karena selain udaranya panas, aku dan John sudah
terlalu puas ngeseks selama ini. Malah sehabis makan siang aku ngantuk
dan tertidur entah di kamar siapa. Mungkin John juga begitu.
Cukup lama juga aku tertidur, karena ketika bangun jam ditangan sudah menunjukkan pukul 4 sore. ***
No comments:
Post a Comment