Wednesday 30 May 2018

The Chronicles of Three Family: Album Perkembangan Fitri 2

Malamnya, Mbak Milla menghubungiku. Aku merasa ini ada kaitannya dengan adegan panas yang kulakukan bersama putri sulungnya, yang dilihatnya sebelumnya.

Kuketuk pintu rumahnya, dan kulihat Fitri, yang sedang menunduk, dengan kain kaftan dan jilbab. Tak kulihat Fira. Anak itu memang lebih dekat dengan ibunya daripada Fitri.

“"Fira mana, Mbak?”" tanyaku.

“"Main ke rumah temannya."” jawab Mbak Milla membuka pembicaraan.

"“Dah berapa lama, Dik Fariz?”" tanya Mbak Milla. Nada suaranya jelas mengancamku. Nada suara yang biasa dipakainya untuk menghadapi laporan dari pegawai yang menghindari tanggung jawab. Hatiku membeku mendengar kata-kata Mbak Milla. Mbak Milla sedang membahas hubunganku dengan putri sulungnya, dan pilihannya jelas antara kantor polisi atau KUA.

Kuputuskan untuk jujur kepadanya, karena aku sudah bertekad untuk menyelesaikan masalah yang menghantuiku ini secara sah dan legal.

"“Empat, Mbak,”" jawabku.

“"Empat bulan?”" tanyanya memicingkan matanya.

“"Empat tahun," Mbak,” jawabku.

“"Empat tahun? Dari Fitri umur tiga belas tahun? Dik Fariz ini pedofil ya?"” tanya Mbak Milla tajam. Aku langsung terdiam mendengar kata-katanya.

"“Gini, Dik Fariz. Mbak sudah tahu dari dulu, gimana deketnya Dik Fariz sama Fitri. Mbak nggak melarang kalo kalian berdua mau deket-deketan,”" ujar Mbak Milla, "“Tapi, tolong pakai otaknya ya, Dik. Dik Fariz bisa dipenjara lho kalau orang lain tau lalu ngelaporin hal kayak gini. Kalo Dik Fariz dipenjara, siapa yang bakal jagain Fitri dan Fira, sementara Mbak sama Mas Zain sibuk?”".

Kutundukkan kepalaku, tak berani menatap wajahnya. Wajah yang biasanya teduh itu benar-benar terasa mengintimidasiku.

“"Fitri juga,"” ujarnya memalingkan kepala ke arah Fitri, "“Fitri sayang Oom Fariz?”". Kulihat wajah Fitri mengangguk.

"“Kalo Fitri benar-benar sayang Oom Fariz, harusnya Fitri bisa nahan diri dan ngingetin Oom Fariz kalo yang Oom Fariz lakuin itu salah,"” tegur Mbak Milla tajam kepada putrinya itu

Kulihat wajah Fitri terlihat murung. Akhirnya dengan satu tarikan napas panjang, Fitri berterus terang bahwa semua yang kami lakukan adalah berdasarkan keinginannya sendiri.

"“Mama, Fitri tau apa yang Fitri lakuin ini salah, tapi Fitri ngerasa kalau Oom Fariz suka sama Fitri. Tapi..., tapiii....,"” bela Fitri, "“Oom Fariz nggak pernah mulai. Jadi...,”" .

"“Jadi, Fitri mulai duluan gitu?”" tanya Mbak Milla, "“Fitri, kalau ada orang lain yang lihat, Oom Fariz bisa dilaporin ke polisi. Bisa dipenjara lho. Fitri mau Oom Fariz dipenjara?”".

Kulihat Fitri menggelengkan kepalanya dan menutupi wajahnya. Sepertinya dia tidak mampu membayangkan kalau aku akan dipenjara karena ulahnya.

“"Makanya, mikir!”" bentak Mbak Milla akhirnya, meledak, “"Jangan cuma kontolnya Oom Fariz doang dipikirin!”".

Tentu saja tidak benar bahwa Fitri hanya memikirkan kontolku. Kutahu hal itu karena akulah yang mengambil rapornya di sekolah apabila Mbak Milla sedang sibuk mengurus bisnis bersama Mas Zain dan kemudian dibantu Mbak Ifah. Nilai-nilainya tak pernah di bawah delapan puluh dari nilai tertinggi seratus. Bahkan beberapa kali ia menduduki posisi juara kelas sejak SMP hingga SMA. Hal ini sangat menakjubkanku.

Malah sebenarnya Fitri lebih butuh hiburan serta perlindungan. Itulah salah satu alasan mengapa aku mengizinkan Fitri belajar di rumahku, yang menjadi awal hubunganku dengannya.

"“Tapi Mbak ngasih pil antihamil ke Fitri?”" tanyaku ketika teringat fakta tersebut.

"“Itu karena Mbak mikir kalo Fitri punya pacar, pacarnya pasti seumur dia, Dik Fariz; bukan seumur Dik Fariz. Mbak percaya sama Dik Fariz, tapi sebagai wali, bukan sebagai oom-oom pedofil,"” jawab Mbak Milla tajam.

“"Jadi, Mbak lebih suka Fitri punya pacar yang belom bisa ngejagain dia? Yang belom bisa ngajarin dia? Yang belom bisa ngayomin dia? Yang belom bisa ngebiayain dia?"” balasku akhirnya, sama tajamnya. Kulihat Mbak Milla berjengit, kulanjutkan, “"Mbak, kalo Fitri waktu itu punya pacar yang seumur dia, terus dia sampe hamil, pacarnya yang seumur dia itu dah bisa kasih makan dia belom?”".

Mbak Milla hanya terdiam mendengar kata-kataku yang setajam itu, barangkali karena dia tidak membayangkan hal-hal tersebut terjadi pada putrinya.

"“Mbak Milla, memang yang kami lakukan ini salah. Tapi saya mohon, beri saya kesempatan buat nebus kesalahan saya,"” tukasku.

"“Nebus? Harus, itu!"” sambar Mbak Milla tajam, "“Dengan cara apa Dik Fariz mau nebus kesalahan Dik Fariz sama Fitri?”".

"“Saya mau nikah sama Fitri. Saya siap ngejagain Fitri. Saya siap ngelamar Fitri,"” jawabku berusaha membela Fitri yang matanya mulai berkaca-kaca, “"Saya mau Fitri jadi istri saya. Saya mau Fitri melahirkan anak-anak saya.”". Aku jatuh iba melihatnya membela diriku.

"“Memangnya Dik Fariz mau nikahin Fitri? Mau ngejagain Fitri seumur hidup Dik Fariz? Mau jadi ayah buat anak-anak Fitri?"” balas Mbak Milla masih tajam. Kuanggukkan kepalaku tanpa ragu.

"“Saya bersedia, Mbak!"” jawabku tanpa ragu pada akhirnya. Sejenak Mbak Milla menatap mataku, seolah mencari sedikit saja dusta dan keraguan di sana. Namun, tekadku sudah bulat. Apapun akan kulakukan untuk bersama dengan Fitri, sebagai bukti tanggung jawab dan cintaku pada kekasih muda berjilbabku yang sudah sering kujamah ini.

Menyadari bahwa dia tidak menemukan apa yang dicarinya, Mbak Milla pun mendesah pelan, dan memalingkan pandangan ke arah Fitri. Agaknya, Mbak Milla menyadari kebulatan tekadku, karena dia tidak menekanku lebih lanjut lagi. Aku bersyukur Mbak Milla tidak menekanku, karena bisa saja aku akan bertindak bodoh dan nekat untuk bisa bersama dengan putri sulungnya itu.

"“Gimana, Fitri? Oom Fariz sudah nawarin ke Mama buat ngelamar Fitri, sekarang keputusan ada di tangan Fitri. Fitri mau nikah sama Oom Fariz?"” tanya Mbak Milla pada putrinya itu. Fitri hanya menganggukkan kepalanya. Melihat putrinya itu, Mbak Milla pun hanya mendesah pelan.

"“Kalo gitu Dik Fariz, saya mau Dik Fariz nggak berhubungan suami istri lagi sama Fitri. Nggak sebelom akad. Ciuman enggak. Pelukan juga nggak. Habis itu, mari kita atur nikahnya Dik Fariz sama Fitri,"” jawab Mbak Milla yang segera menoleh ke Fitri, "“Gimana, Fitri? Nggak ada hubungan seks lagi. Ciuman ato pelukan juga nggak. Akad habis lulus. Sepakat?”". Kekasih mudaku itu hanya menganggukkan wajahnya.

"“Mama mau ngobrol dulu sama Oom Fariz. Kamu masuk kamar dulu,"” perintah Mbak Milla pada Fitri. Wajah gadis itu hanya tertunduk saja. Mbak Milla menatap anak gadisnya yang berlalu dan kembali menatapku sembari menghela napas panjang.

“"Dik Fariz, maafin Mbak. Sebenernya Mbak kecewa sekaligus lega,"” tutur Mbak Milla, "“Mbak kecewa terjadi hal seperti ini. Tapi Mbak lega Fitri memilih Dik Fariz, bukan orang lain”".

Aku terdiam mendengar hal itu, merasa malu karena Mbak Milla akhirnya mengetahui hubunganku dengan Fitri, dan berterima kasih karena Mbak Milla tetap mempercayaiku setelah apa yang sudah terjadi pada putrinya itu.

"“Dik Fariz,"” lanjut Mbak Milla, "“Benernya Mas Malik sudah nganggep Dik Fariz adik Mas Malik sendiri. Waktu Mas Malik meninggal, Mas Malik titip pesan ke saya, kalau ada apa-apa sama saya dan Mas Malik, kami harap Dik Fariz mau ngurus Fitri dan Fira.”".

Mendengar penuturan Mbak Milla, aku tak bisa menahan diriku lagi. Erangan penyesalan keluar dari mulutku, bersama air mataku yang mulai mengalir, seiring kenanganku akan kenikmatan terlarang yang telah kulakukan bersama putri sulungnya itu.

“"Udah deh, Dik Fariz. Mungkin takdirnya emang gini. Muter dulu ambil jalan yang salah, biar bisa nyampe ke tujuan,"” ujar Mbak Milla pasrah menepuk bahuku berusaha menenangkanku, “"Udah. Stop nangisnya. Mbak nggak mau lho, Fitri punya suami cowok cengeng.”".


***​

Tahun itu, aku mengunjungi keluarga besarku di kampung bersama Mbak Milla untuk memperkenalkan Fitri pada kedua orang tua dan adik-adikku. Ayah dan ibuku yang berusia sepuh itu kaget sewaktu aku memperkenalkan calon istriku pada mereka.

"“Akhirnya, ada cewek yang mau sama kamu ya, Riz. Kamu yang dulu grogi kalo dideketin cewek seumuran kamu,”" ujar ayahku kalem saat kami sedang bicara berdua mengenang masa kecilku.

"“Eh, emang iya, aku kayak gitu?"” tanyaku. Ayahku mengangguk pelan.

"“Mau kopi?”" tanya ayahku. Kutahu beliau biasa menyuguhi kopi pada seseorang kalau hendak bicara lama. Kuanggukkan kepalaku.

“"Apa kamu sudah sembuh?”" tanya ayahku lagi, setelah kami menyeruput kopi masing-masing. Kutahu yang ia maksudkan. Sebagai mantan dokter yang juga pernah belajar psikologi dasar manusia, dia pasti tahu banyak mengenaiku. Aku tidak terlalu suka membahas hal itu.

"“Yah, aku sudah bilang, aku nggak suka bahas hal itu,"” jawabku sebelum menambahkan, "“Lagian, kalau aku sembuh, aku nggak bakal bisa deket sama dia, ‘kan?”".

"“Ayah bicara nantinya, Nak,”" jawabnya, "“Kalau kamu nantinya punya anak gadis."”.

"“Tidak,"” jawabku akhirnya. Tentu saja tidak. Aku masih cukup waras untuk mengetahui yang mana anakku dan yang mana yang bukan.

Kami berada di sana selama seminggu, sebelum pulang ke kota dan mulai menyiapkan acara pertunanganku dengan Fitri.

***​

Acara pertunanganku dengan Fitri baru saja tuntas, dengan cincin tunangan melingkari jari manis tanganku dan tangan Fitri. Aku sedang berdiri bersandar di sebuah tembok merenungkan seluruh perjalanan panjang kami untuk bisa bersama.

"“Tuh, kenalan sama Oom Fariz, tuh”," seorang pria yang sedang menggendong anak laki-laki kecil yang lucu sambil mengulurkan tangan sang anak kepadaku, “"Oom Fariz, kenalan doooong. Ini Daus.”".

Aku hanya tertawa saja sambil mengulurkan tanganku menyambut tangan sang balita. Tentu saja aku tahu siapa dia. Hampir setiap hari raya, Mbak Milla mengajakku berkumpul bersama keluarga besar Mendiang Mas Malik.

“"Oyoyoyoyoy,”" ujar sang pria, Mas Zain, ketika si anak berontak dari gendongannya. Untunglah kulihat Mbak Ifah dengan sigap menghampiri mereka, mengambil alih gendongan sang anak. Kulihat kereta bayi mereka yang berisi satu orang bayi perempuan.

"“Udah, jangan cilukba-cilukbaan sama Ida. Ntar ditaksir lagi kayak waktu sama Fitri. Dah punya Fitri juga,"” canda Mas Zain, menyebut pertemuan pertamaku dengan Fitri. Aku hanya tersenyum kecil saja mendengar candaannya.

"“Meh...,"” seru Mas Zain menggelengkan kepalanya, setelah menyerahkan anak sulungnya pada istrinya yang cantik itu, “"Mas Fariz, kalo udah punya anak dari Fitri, Mas Fariz harus siap kayak gini lho, Mas.”".

"“BTW, Mas Fariz, akhirnya setelah aku tunggu-tunggu kapan Mas mau lamar Fitri, sekarang terwujud juga,”" ujarnya, "“Usaha lancar, Mas?"”. Kuanggukkan kepalaku. Saat itu aku adalah salah satu rekanan bisnis terbaiknya. Tentu saja dia tahu usaha yang kumiliki.

"“Yaaaa, kalo nggak begini, mana berani aku ambil resiko ke Mbak Milla buat ngelamar Fitri, Mas,"” tukasku jujur. Sejujurnya, pilihanku hanya dilaporkan ke kantor polisi atau menikahi Fitri. Seandainya aku benar-benar miskin, aku tidak akan senekat itu melamar Fitri yang masih kelas tiga SMA.

Kurasa Mas Zain mengerti sedikit mengenai kecemasanku, karena pria yang beberapa tahun lebih muda dariku itu menepuk bahuku.

"“Tenang, aku tau Fitri bakal jadi ibu yang baik buat anak-anak kalian,”" tuturnya menenangkanku, sebelum meminta, “"Jagain Fitri ya, Mas.”".

***​

Aku dan Fitri menikah tahun itu, di hari ulang tahunnya yang kedelapan belas, segera setelah Fitri dipastikan lulus SMA, dengan Mas Zain sebagai wali nikah Fitri.

"“Saya nikahkan keponakan saya Fitri Juliana Syaifuddin, dengan Saudara Fariz Haryanto Bimasatya, dengan mas kawin sekeping emas Antam seratus gram beserta sertifikat aslinya, dan seperangkat alat ibadah,"” ujar Mas Zain dalam acara akad nikahku dengan Fitri yang langsung kusambar, “"Saya terima nikahnya."”.

“"Oom, aku jujur, aku lega lho waktu Oom akhirnya ngelamar aku. Aku ngerasa bersyukur banget nggak salah pilih orang buat jadi pendamping aku. Aku ngerasa, Oom akhirnya mau tanggung jawab,”" komentar Fitri kepadaku pada malam pertama kami sebagai suami istri.

***

TAMAT​

No comments:

Post a Comment