Wednesday 30 May 2018

Kisah Nadia: MENYELAMATKAN NAMA BAIK KELUARGA 1

Pernikahan itu dirayakan dengan sederhana. Hanya beberapa keluarga dekat, dan kerabat. Pak Mamat sendiri masih setengah tidak percaya, akhirnya dia menikahi Nadia, sebagai istri kedua. Beda usianya keduanya sangat jauh. Pak Mamat sudah 50an tahun, sedang Nadia masih sekolah di SMA. Nadia masih perawan ting ting sementara Pak Mamat sudah punya tiga anak, yang bahkan salah satu anaknya adalah teman sekolah Nadia. Pak Mamat juga masih beristri.



Kejadian itu tidak diduga sebelumnya. Nadia adalah putri dari Pak Bima salah satu kawan Pak Mamat dalam kelompok pengajiannya. Pak Mamat tinggal di kota kecamatan, sementara Pak Bima di desa sekitar 15 km dari kota. Pernikahan itu merupakan usulan Pak Kamit, sesepuh di daerahnya. Awalnya, Nadia mengalami kejadian memalukan yang menghebohkan seluruh kampung. Gadis cantik itu digrebek oleh warga saat sedang berduaan dengan pacarnya, seorang mahasiswa dari kampung sebelah. Mereka berdua kedapatan berduaan di kamar dalam keadaan hampir telanjang. Kejadian itu sekitar dua bulan yang lalu. Tentu saja, peristiwa yang terjadi di rumah Pak Bima itu memalukan seluruh keluarga besarnya, apalagi Pak Bima adalah seorang yang terkenal alim dan aktif dalam kegiatan sosial.



Walaupun dengan tersedu, Nadia bersikeras bahwa mereka tidak melakukan perbuatan yang lebih dari sekedar bercumbu, tapi tetap saja memalukan bagi Pak Bima sekeluarga. Apalagi pemuda yang memacarinya belum bekerja dan tidak direstui oleh Pak Bima. Pemuda itu termasuk terkenal sebagai ‘trouble maker’.



Akhirnya setelah berembug dengan Pak Kamit dan tokoh-tokoh desa setempat, tercetuslah usulan untuk menikahkan ‘sementara’ Nadia dengan salah satu dari pria yang bisa membimbingnya. Para bapak-bapak dalam kelompok itu memang lagi keranjingan isu poligami. Pak Kamit sendiri sudah memiliki empat istri. Beberapa masih belum, termasuk Pak Mamat dan Pak Bima. Ide itu juga untuk memberikan kehidupan baru bagi Nadia, dengan memindahkannya ke sekolah di kota Pak Mamat.



“Gimana, pak Mamat? Ini cuma untuk menyelamatkan nama baik Nadia, dan sekaligus membimbingnya. Kita khan gak bisa juga mengabaikan hormon remaja seperti Nadia. Ya kalau memungkinkan, tetap dijaga kesuciannya hingga besok menikah lagi dengan pasangannya. Pak Mamat cuma sebagai jembatan selama Nadia nanti selesai sekolah dan kuliah. Buat menjaga dan mengantisipasi fitnah, Pak”, begitu usulan Pak Kamit waktu itu yang nampak masuk akal.

Pak Bima sendiri menyetujuinya dan bahkan mendukung. Baginya nama baik keluarga lebih penting ketimbang perasaan Nadia. Apalagi, Pak Bima sangat patuh pada Pak Kamit, tetua mereka.

“Tapi ya gak usah, kalau Pak Mamat gak suka sama Nadia” kata Pak Kamit sambil mengedipkan mata. Para bapak-bapak itu lalu tertawa. Ya gak mungkinlah Pak Mamat menolak usulan itu. Nadia itu sangat cantik, kulitnya putih, matanya agak sipit, dan nampak imut dengan rambut poninya. Tubuhnya langsing dan imut.

“Ya, saya maulah pak”, kata Pak Mamat disambut riuh tawa para bapak-bapak.

Pak Mamat orangnya agak gemuk dan kekar. Dia seorang pemborong yang sukses di desanya. Di rumahnya dia juga menjadi pedagang material bahan bangunan.





Herannya Bu Mamat juga menyetujui ide itu. Barangkali karena bagi keluarga itu, Nadia sudah dikenal dengan baik sejak dia kecil. Pak Mamat dengan Pak Bima memang sudah saling mengenal sejak lama.



Nadia Melodina, sejak saat itu, Pak Mamat selalu memikirkan gadis imut itu. Sebelumnya, jangankan membayangkannya sebagai istri, teman anak gadisnya itu waktu kecil sudah dianggapnya saudara. Dulu, waktu SD, anak itu sering berkunjung ke rumah, dan bahkan kedua keluarga itu kadang berwisata bersama. Walau sejak SMP, anaknya tidak lagi satu sekolah dengan Nadia, tapi mereka kadang masih saling berkunjung, terutama saat lebaran.



Tapi sudah lama Pak Mamat tidak memperhatikan Nadia secara cermat. Semenjak Pak Mamat pindah ke kota, Nadia sudah tidak pernah lagi main ke rumah. Hanya pada saat lamaran, Pak Mamat kembali memperhatikan gadis itu. Sore itu, gadis mungil itu kebanyakan hanya menunduk. Sepanjang acara, Pak Mamat mencuri-curi pandang ke arah gadis itu. Kata ayahnya, Nadia menyetujui lamaran Pak Mamat. Mungkin juga karena terlanjur menjadi aib keluarga. Hati Pak Mamat berbunga-bunga. Anggukan tanpa suara Nadia malam lamaran itu seperti hadiah lotre milyaran rupiah bagi Pak Mamat. Akhirnya aku punya istri muda, pikirnya.

Masih lekat dalam ingatan Pak Mamat, gadis itu mengenakan kerudung merah muda. Tubuh mungilnya dibalut baju gamis putih bermotif sederhana. Gundukan dada mungilnya sekilas nampak dalam amatan Pak Mamat. Wajahnya polos, dengan pipi kemerahan dan bibir mungil merekah.



Sekarang pada saat upacara pernikahan, Pak Mamat kembali bertemu dengan gadis itu. Hanya keluarga dekat yang berkumpul. Pernikahan ini juga dilakukan tanpa publikasi besar-besaran. Hanya mengundang penghulu yang juga kawan akrab mereka, dan beberapa kerabat, terutama anggota pengajian Pak Kamit. Pak Kamit menjadi saksi pernikahan, dan memberikan wejangan pengantin. Malam itu, keluarga besar Pak Bima langsung menyerahkan Nadia pada Pak Mamat. Pak Bima berpesan untuk menjaga anaknya dan membimbingnya.

Setelah upacara serah terima, Pak Mamat langsung memboyong Nadia ke rumahnya di kota.



Awalnya Nadia nampak kikuk di rumah Pak Mamat. Tapi istri Pak Mamat justru dengan antusias mengatur semua kebutuhan dan kamar Nadia. Nadia sudah menganggap Bu Mamat sebagaimana budenya sendiri. Untungnya ada satu kamar bekas milik anaknya. Kamar itu kosong semenjak Prima, anak perempuan tertua Pak Mamat menikah dan pindah ke Jakarta.



Nadia jengah, melihat kamar itu dihias layaknya kamar pengantin. Sprei merah jambu yang baru, dengan taburan bunga-bunga di atas. Setelah meletakkan tasnya di lantai, dia bergegas mau keluar.



“Nadia kalau capek istirahat langsung aja” kata Bu Mamat.

“Nggak kok bude, masih mau ketemu Dini. Dini ada Bude?” kata Nadia, dia sebenarnya masih canggung berada lama-lama di kamar pengantin itu.

“Ada di kamarnya. Paling nanti juga ke ruang tengah. Bude ke kamar dulu ya”

“Iya Bude, makasih banget…” Nadia merasa tenang dengan sambutan dan keramahan Bu Mamat.



“Haiii!!!” sapaan keras Dini ketika Nadia turun ke ruang tengah.

“Astaga Dini!!” mereka lalu berpelukan. Sudah lama Nadia tidak bertemu dengan bekas teman SDnya itu. Antara malu, canggung, dan haru campur aduk dalam pikiran Nadia saat bertemu Dini dalam situasi ini.

“Duuh kamu cantik banget” puji Dini. Nadia memang masih menyisakan make up dandanan waktu menikah tadi.

“Kamu juga Din. Kangen aku..” Nadia tersipu.

“Ayoo, ke kamarku yuuk..” Dini lalu menyeretnya ke kamarnya.



Sudah lama sekali Nadia tidak masuk ke kamar temannya itu. Segalanya sudah berubah. Dulu posternya banyak Spongebob, sekarang artist-artist korea. Nuansanya sudah remaja banget. Dini mengajaknya duduk karpet empuk di sisi ranjang.



Mereka lalu mengobrol seru soal teman-teman Sdnya. Nadia merasa terhibur, dan melupakan sejenak pernikahannya yang sampai saat ini masih membingungkannya. Untungnya, Dini sama sekali tidak menyinggung soal kasus penggebrekan Nadia dan pacarnya. Dini adalah sahabat yang baik hati bagi Nadia. Dulu mereka sangat akrab, karena kebetulan kedua ayahnya juga kenalan baik.



Reuni itu berjalan seru. Mereka juga berbagi kisah semenjak berpisah di SMP hingga SMA. Keluarga Dini pindah ke kota saat Dini masuk ke SMP. Dini, anak ketiga Pak Mamat yang dulu teman sekelas Nadia di SD juga menyambut dengan baik. Anak gadis pak Mamat itu sudah tahu permasalahan Nadia, dan menyetujui pernikahan bapaknya. Baginya, keputusan itu demi kebaikan keluarga Pak Bima dan Nadia.



Pak Mamat masih mengobrol dengan beberapa kawannya di teras rumah. Dia mendengar kegaduhan Dini dan Nadia di ruang tengah. Nadia yang tadinya diam selama perjalanan, menjadi terlihat riang ketika bertemu Dini. Mereka langsung saling bercakap dengan akrab. Pak Mamat lega karena semuanya berjalan dengan baik. Justru yang paling kikuk adalah antara Pak Mamat dan Nadia. Keduanya belum pernah bercakap sejak pernikahan itu. Tapi Pak Mamat membiarkannya. Masih banyak waktu, pikirnya.



Setelah para tamu pamit, Pak Mamat masih menyedot rokoknya di teras rumah. Beberapa menit yang lalu, istrinya sudah berpamitan untuk tidur duluan. Pak Mamat masih bingung, dia harus tidur di mana malam itu. Hatinya berdesir menyadari bahwa malam ini dia sudah resmi memiliki dua istri. Tanpa sadar dia membetulkan batangnya yang tiba-tiba mengeras di balik sarungnya.



Orang-orang di dalam rumah sudah sepi. Mungkin Nadia sudah ke kamarnya, dan Dini juga sudah tidur. Pak Mamat lalu beranjak masuk ke rumah, setelah mengunci gerbang halaman.



Di kamarnya, Bu Mamat nampak sudah terlelap di balik selimutnya. Lalu Pak Mamat mengganti sarung dengan kolor tidurnya. Pelan-pelan dibaringkannya tubuh di sisi sang istri. Dipeluknya tubuh montok itu dari belakang. Bu Mamat menggeliat.



“Pah..” katanya.

“Yaa..”

“Sana tengok Nadia. Kasihan dia, bisa tidur gak di kamar barunya?”

Pak Mamat diam sejenak. Dia sangat menyayangi istri yang sudah dinikahinya selama 24 tahun itu.

“Kok aku Mah?” tanyanya kemudian.

“Aku capek banget, pah. Sana gih”

Pak Mamat lalu bangkit dan mengambil sarungnya. Dengan berlagak malas, diseretnya langkah ke kamar Nadia. Padahal hatinya deg-degan menuju kamar istri mudanya. Sampai saat ini, dia belum pernah sama sekali mengobrol langsung dengan Nadia.



Di depan pintu kamar Nadia, Pak Mamat terdiam. Kamar itu sudah sepi. Apa dia sudah tidur.



Lalu pelan diketuknya pintu.



“Yaaa…” suara Nadia dari dalam. Lalu terdengar langkah buru-buru menuju pintu. Glek. Pintu dibuka. Seraut wajah tersipu muncul dari balik pintu. Pak Mamat melongo melihat wajah putih yang mendongak menatapnya itu. Tubuh putih gadis itu terbungkus kaos tipis berlengan pendek. Celana pendeknya ketat di atas lutut.

Nadia hanya sejenak menatap wajah suaminya. Segera dia kembali menunduk sambil melebarkan pintu. Tanpa suara, dia mempersilakan Pak Mamat dengan gerakan tubuh menyamping memberi jalan masuk.



Lalu gadis itu melangkah ke atas ranjang. Pak Mamat masih berdiri di depan pintu. Dilihatnya Nadia merebahkan tubuh di kasur sambil memindahkan gulingnya ke pinggir ranjang, seolah memberi tempat pada Pak Mamat untuk tidur di sampingnya. Lalu dengan perlahan, Pak Mamat masuk dan menutup pintu.



Mereka lalu berbaring bersisian. Pak Mamat berusaha bergerak pelan untuk tidak mengganggu gadis mungil di sebelahnya yang sudah memeluk guling memunggunginya. Tentu malam ini dia lelah, pikirnya. Tubuh wangi gadis itu mengganggu kesadarannya. Tapi Pak Mamat memutuskan untuk beristirahat tanpa pikiran aneh-aneh dengan anak temannya itu.

No comments:

Post a Comment