Wednesday 30 May 2018

Wisata Sex 1

Ah sial banget, kenapa kereta commuter jabotabek sekarang gak berhenti di stasiun Senen, padahal aku mau naik kereta keluar kota dari stasiun Senen. Dari Stasiun Kemayoran aku terpaksa menggunakan ojek ke stasiun Senen.

Sesampai di Senen temanku John sudah menunggu di sana. Kami berdua sudah janjian ketemu di stasiun Senen untuk memulai perjalanan gila-gilaan, bukan mendaki gunung, menelusuri gua atau backpacker, tapi wisata kampung yang rada ngesex.

Masih ada waktu sekitar setengah jam. Kami duduk-duduk bengong aja, karena kebetulan kami berdua bukan perokok. Belum sampai setengah jam muncul rangkaian Matarmaja yang akan membawa kami ke Timur.

Aku dan john memilih naik kereta api karena lebih praktis, lebih cepat dan lebih murah, kalau naik bus bisa 4 jam baru sampai, bawa mobil pribadi, risiko nyasar lebih besar meski ada GPS. Tujuan kami adalah stasiun kecil Pegaden Baru di wilayah Subang.

Fantastis, tidak sampai 2 jam stasiun kecil Pegaden Baru telah kami injak. Puluhan tukang ojek seolah berebut penumpang yang tidak seberapa turun di stasiun kecil itu. Aku maupun John baru pertama kali menginjakkan kaki di stasiun itu, juga tidak punya kenalan di situ seorang pun. Padahal kami kalau ditanya tukang ojek mau kemana, kami tidak bisa menyebutkan, karena tujuan kami memang khas, yaitu rumah yang bisa kami inapi tapi ada selimut hidupnya. Nah kan susah.

Kuajak John ke luar stasiun sambil berkali-kali menampik tawaran tukang ojek. Kami berdua ngopi di warung di luar stasiun. Rupanya ada tukang ojek yang penasaran mengikuti kami menawarkan jasa ojeknya. Mereka ada 2 orang. Mungkin mereka berharap bisa mnejaring kami berdua menggunakan jasanya.

" Bos mau kemana, bos" tanya salah satu tukang ojek yang kutaksir berusia sekitar pertengahan 30 tahunan.

"Belum tau mau kemana," jawabku singkat untuk memancing reaksi mereka. Kira-kira apa yang akan mereka katakan kalau aku mengatakan begitu.

"Bos mau cari janda," tanyanya agak menyelidik.

"Emang ada," tanyaku sekenanya

"Banyak bos," katanya.

"Emangnya ada yang bagus ," tanyaku rada cuek

"Mantap-mantap bos " katanya sambil mengacungkan jempolnya.

"Mantapnya kayak apa, ada berapa," tanya John.

"Aduh saya gak punya fotonya , orang HP saya jadul sih bos.," katanya seperti rada kesal.

" Kenal berapa orang," tanya ku.

Si tukang ojek kemudian sambil menerawang pandangannya menyebut nama-nama.

Lumayan banyak juga nama-nama yang disebutkan.

Dia lalu menawarkan salah satu dari nama-nama itu. " Bos maunya yang gimana ," tanyanya.

"Yang rada sekel, buntelannya gede umurnya sekitar 20 -30, mukanya cantik," tanya ku.

"Kalau si bos," tanya tukang ojek menunjuk John.

"Ya sama lah," kata John.

Dua tukang ojek itu lalu berunding.

"Ada bos," kata tukang ojek yang kelihatannya lebih senior.

Kami lalu tawar-menawar uang jasa mreka.

"Pokoknya sampai bos dapat yang cocok lah," katanya.

Menurutku harga yang ditawarkan itu agak mahal, tapi karena dia menjamin sampai kami dapat yang cocok akhirnya kami setuju.

Dengan gesit tukang ojek itu menulusuri jalan desa, dan menembus perkebunan tebu. Kami akhirnya berhenti di depan sebuah warung dan si tukang ojek mempersilakan kami istirahat dulu di situ sambil dia mau menemui calon yang akan kami " pakai".

Aku dan John rada celingukan juga, sore-sore berada di daerah yang sama sekali belum kami kenal. Keramahan pemilik warung mempersilakan kami masuk ke dalam, mencairkan suasana kekakuan. Aku numpang ke toilet dan memesan minuman dingin. Sekitar setengah jam muncul si tukang ojek. Dia menawarkan "barang2" yang yang tersedia sambil menyebutkan ciri-2nya.

Aku memilih yang disebut namanya Dedeh, dan John memilih Titin. Kedua tukang ojek itu langsung balik dan tancap gas lagi.

Sambil menunggu tukang ojek balik aku ngobrol sama pemilik warung , seeorang bapak-bapak yang kutaksir berusia 50 an. Dia mengatakan bahwa di kampung Saradan ini sudah biasa menerima tamu dari luar untuk menginap. Di dekat warungnya juga ada beberapa rumah yang bisa menerima tamu menginap. Mereka tidak hanya yang berumur setengah tua (STW) tetapi ada juga yang masih tergolong abg. Aku jadi rada menyesal memesan STW dari tukang ojek tadi. Tapi apa boleh buat, bagi kami berdua yang buta sama sekali mengenai daerah ini, ya harus mau menerima apa yang bisa kami dapat dulu.

Tidak berapa lama muncul 3 anak abg ke warung si bapak, anaknya lumayan manis, kutaksir umurnya masih sekitar 15 an. Si Bapak menggiring mereka untuk menyalami kami. Setelah menyebut namanya masing masing mereka berlalu dan menghilang dari pandangan kami.

Aku jadi kehilangan minat pada pesananku dari si tukang ojek tadi, karena ke 3 abg tadi manis-manis . Tapi masih ada waktu lah, paling tidak kami bisa menambah tinggal di desa ini 1 malam lagi jadi total 2 malam. Aku berjanji ke Bapak pemilik warung, besok aku akan kembali ke warung dan akan memesan ABG itu tadi. Jadi di kampung yang sepi dan jarang terdengar raungan mesin kendaraan bermotor, kecuali sepeda motor, aku melakukan booking.

Tidak lama kemudian muncul situkang ojek dengan boncengannya masing-masing. Eh lumayan juga, bodynya menarik. Keduanya kualitasnya dapat dikatakan sama, antara Dedeh dan Tititn. Misalnya di acak aku gak keberatan dapat yang mana pun.

Kutaksir mereka berdua belum sampai berusia 30 tahun mungkin baru sekitar 25-an lah. Kami bersalaman, Dedeh diatur tukang ojek duduk di sampingku dan Titin duduk di samping John. Keduanya janda. Mereka dengan gaya malu gadis desa mengatakan bisa menerima kami menginap di rumah mereka masing-masing. Kebetulan rumah mereka berdua berdekatan.

Sifat serakah yang ada di otakku lalu berproses. Aku sebetulnya ingin mencicipi keduanya, lalu John ku kirimin sms menawarkan kalau nanti sudah puas dengan pasangannya kita bertukar. John pikiran di otaknya ternyata sama dengan aku, dia langsung jawab singkat "setuju".

Waduh, gimana ngomongnya ke Dedeh dan Titin. " Teh boleh gak nanti malam saya pindah," tanya ku ke Dedeh.

"Ha. pindah kemana atuh," tanyanya heran.

"Pindah ke rumah Titin, dan temen saya pindah kerumah Teteh,"

"Oh begitu, mangga atuh,"

Setelah terjadi kesepakatan akhirnya kedua mereka dibawa lagi sama si tukang ojek pulang kerumahnya baru membawa kami ke rumah.

"Gimana bos, mau nginap sebulan di sini tiap hari ganti-ganti saya siap mengantar bos, gak bakal habis stoknya bos," kata si tukang ojek sambil senyum-senyum menerima uang sebagai ongkosnya.

Rumah Dedeh sangat sederhana, rumahnya separuh tembok separuh papan. Hanya ada 2 kamar tidur. Dia di situ tinggal bersama ibunya yang sudah tua. Mereka 3 bersaudara. Dedeh anak bungsu kedua yang lebih tua adalah laki-laki merantau berkerja di jakarta. Jadi Dedeh yang statusnya janda tanpa anak bertugas merawat ibunya yang sudah tua.

Aku memberikan uang dimuka seperti yang disebutkan tukang ojek di warung tadi. Aku bermaksud dengan uang itu dia nanti malam bisa menyediakan makan malam ala kadarnya. Seteleh menerima uang dia mambuatkan aku teh manis panas lalu masuk kebelakang rumah agak lama baru muncul .

Di duduk disampingku dan menawarkan mandi, karena hari memang sudah mulai agak gelap. "Akang mau saya mandiin," dia melontarkan tawaran yang langsung membuat juniorku bangkit.

Tawaran yang tidak mungkin aku tolak. Si Dedeh bangkit dan memberikan sarung dan mengajakku masuk kamar untuk mengganti bajuku dengan sarung. Dia juga begitu, dengan santainya dia membuka semua bajunya dan bertelanjang bulat di depanku lalu mengenakan sarung berkemben. Bodynya memang menarik, meski made in desa.

Kami berdua masuk ke kamar mandi yang hanya terdapat ember dan pompa tangan. Air di ember sudah penuh. Dedeh membuka sarungnya sehingga dia bertelanjang bulat di depanku. Aku membuka sarungku yang masih ada celana dalam lagi di dalamnya. Dengan sigap Dedeh memuka celana dalamku. Mecuatlah batangku yang sudah cukup keras. Dengan nakalnya Dedeh jongkok di depan batangku dan langsung mengulumnya. Aku menggelinjang nikmat. Meski pun made in desa, tapi kulumannya luar biasa. Aku tidak mampu bertahan lama sampai akhirnya ejakulasi di dalam mulutnya. Hebatnya dia langsung menenlan semua sperma ku. Aku yang tidak bisa menahan rasa geli luar biasa di kepala penisku. Rasanya agak ngilu pasca ejakulasi kepala penis terkena jilatan Dedeh. Dedeh seperti tidak rela ada setetes yang tercecer.

Badanku terasa agak lemas. Dedeh seperti sudah mahir langsung menciduk air dan mengguyur badanku lalu mengguyur badannya sendiri. Diambilnya tangan sabun lux yang wangi dan sekujur tubuhku di sabuni. Dibagian penis dia bekerja agak lama dengan gerakan mengocok, batangku yang lemas. Sampai lubang pantatkua dia ceboki sampai bersih. Aku dimintanya menyabuni tubuhnya yang bahenol.

Kupeluk dia dari belakang dan penisku yang masih kuyu aku tekankan ke belahan pantatnya yang gempal. Sambil kedua tanganku meremas payudaranya yang lumayan menggumpal kenyal.

Nafsuku jadi bangkit lagi. Pelan-pelan barangku bangkit lagi.

Dedeh lalu mengguyur badannya dan badanku juga sampai semua sabun luruh. Dia mengambil handuk dan menghandukiku, lalu dirinya menggunakan handuk yang sama mengeringkan badannya. Aku hanya menggunakan sarung bertelanjang dada, sedangkan Dedeh menggunakan kemben menggandengku masuk ke kamar.

Aku dibaringkan dan sarungku dipelorot. Sementara Dedeh sudah bugil. Aku pasif tidur telentang dengan pasrah dan membiarkan Dedeh mengeluarkan seluruh ilmu yang dimilikinya.

Dia memulai dengan kembali mengulum penisku, menjilati buah zakarku dan mengulumnya juga lalu menjilati lubang pantatku yang memberikan sensasi geli dan nikmat. Pelan-pelan penisku mulai membesar di dalam mulut Dedeh yang sangat piawai.

Dia menduduki penisku dan mulai mengayuh dirinya diatas diriku. Terasa sekali ketika dia mencari posisi yang dia rasakan paling nikmat. Dia mulai bersuara mengerang-ngerang ketika posisi nikmatnya mulai ditemukan. Tidak sampai 5 menit dia ambruk dengan nafas terengah-engah. Sementara aku masih jauh dari garis finish.

Aku membalikkan posisi, dan mulai mengenjot dengan posisi missionaris. Aku juga mencari posisiku yang paling nikmat sambil berlama-lama menekan dan menggesek bagian clitorisnya dengan jembutku. Lalu memompa lagi. Dedeh mulai mengerang lagi dan akhirnya menjerit panjang dan memelukku. Terasa sekali lubang vaginanya berkedut-kedut. Aku berhenti sementara untuk membiarkan dia mencapai orgasmenya.

Setelah kedutan itu tidak aku rasakan aku kembali menggenjot. Kali ini dengan gerakan kasar dan cepat, karena aku sebetulnya sudah agak lelah sehingga ingin segera ejakulasi. Tetapi bukan aku yang mencapai puncak si Dedeh sudah mendahului. Aku terpaksa berhenti lagi. Mood ku yang tadi hampir dapat sekarang hilang lagi. Aku mulai lelah. Aku membalikkan posisi sehingga WOT. Dedeh sebenarnya sudah lemas, tapi dia berusaha memuaskanku dan mengikuti kemauanku. Dia menindihku dan aku yang aktif bergerak. Rasa nikmat mulai menjalari tubuhku sehingga aku kemudian mencapai puncak dan semua sperma kulepas di dalam memeknya.

Badanku terasa lelah demikian juga mungkin dedeh karena itu kami berdua tertidur dalam keadaan bugil. Mungkin ada sekitar 1 jam kami teridur dan terbangun karena mendengar ada suara John di luar dan suara Titin.

Kami berdua tergesa-gesa bangun. Aku mengenakan sarung tanpa celana dalam dan kaus oblong. Dedeh mgnenakan baju kaya sweater dengan sarung dan tanpa celana dalam juga. Perut mulai terasa lapar. Ketiak kami keluar Titin dan John tersenyum-senyum melihat kami keluar bersamaan dari kamar. Kulirik meja makan, ternyata makanan sudah siap terhidang. Ada sambal, sayur asem, tempe goreng, ayam goreng dan tumis kangkung, Kuajak sekalian John dan Titin makan. Mulanya Titin malu, tetapi akhirnya kami makan bersama.

Sambil makan aku mengorek keterangan Titin. Dia masih punya suami, tetapi kerja di Jakarta. Suaminya tahu kalau dia juga sering menerima tamu di rumah. Karena di desa Saradan ini perbuatan seperti itu sudah biasa, jadi suaminya pun bisa menerima. "Itung-itung untuk tambah uang belanja," kata Titin.

Seperti kesepakatan semula akhirnya aku dengan barang-barangku pindah ke rumah Titin. Jaraknya tidak telalu jauh. Jam 9 malam ini kami berdua jalan menelusuri jalan desa. Jaraknya tidak terlalu jauh sekitar 500 m, tetapi meliuk-liuk masuk gang.

Rumah Titin kelihatan dari luar agak besar. Rumahnya tembok, tetapi masih belum diplester. Aku masuk ke ruang dalam. Ruang tamu sederhana, ada amben, atau disebut juga bale-bale. Titin mempersilakan aku duduk. Dia menawarkan kopi untuk menyegarkan.

Tawaran itu tentu saja aku terima, karena aku harus bersiap pertempuran malam ini dengan Titin. Titin perawakannya tidak terlalu gemuk, badannya singset, baru punya anak 1 berumur 2 tahun. Umurnya kutaksir masih sekitar 20 tahun.

Body seperti Titin, biasanya barangnya sempit dan enak. Itu pengalaman aku sering tiarap ke mana-mana. Dia lebih renyah bergaul, omongannya banyak. Ditengah ngobrol muncul seorang gadis menghidangkan kopi. " Ini adik saya, tinggal disini ngawani, abis sendirian" kata Titin mengenalkan adiknya yang menyalamiku malu-malu. Celakanya tanganku ditarik dan diciumnya seperti layaknya salim antara santri dengan udztadnya.

Aku segera menarik tanganku, gak enaklah, tapi sudah sempat tercium juga. Dia memperkenalkan dirinya dengan nama Neneng, umurnya kutaksir sekitar 17 tahun. Masih terlihat belia, meski dalam kesederhanaan kampung.

Setelah menghidangkan kopi dia mundur ke belakang dan masuk kamar. Aku menanyakan ke Titin. " Nanti kalau kita masuk kamar, adikmu gimana," tanyaku.

"Ah ya biasa aja, tadi temannya kan sudah disini, di sini mah gituan udah biasa oom," katanya.

"Emangnya oom minat sama adik saya," Titin mulai membuka peluang.

"Kalau saya mau emang dia bisa," tanyaku penuh harap.

"Ya bisalah, kan dia jug ada lobangnya," kata Titin sambil bergurau.

"Bukan gitu, emangnya dia udah gak perawan lagi," tanyaku.

"Kupingnya yang perawan, dia juga bisa terima tamu kok," kata Titin.

"Gimana oom minat ya," tanya Titin dengan pandangan mata genit.

"Minat sih, tapi sama tetehnya juga minat, gimana ya," tanyaku sambil rada cemas.

"Ya gak apa-apa, nanti kita main bertiga di kamar saya," kata Titin enteng.

Titin lalu berteriak memanggil nama Neneng. Yang dipanggil keluar sambil mengucek matanya.

"Tadi temen saya main sama Neng juga," tanyaku sama Titin.

"Enggak sih Titin tadi pergi entah kemana nglayap sama temen-temennya." Kata Titin.

Sambil makan singkong rebus dan kopi tubruk kami ngobrol bertiga.

Setelah agak larut, kami bertiga menuju kamar mandi untuk saling membersihkan diri dan membuang desakan air seni (kok air seni ya, seninya dimana) aku diberi sarung dan handuk, Mereka berdua masuk kamar dan keluarnya sudah berkemben kain sarung pula.

Di kamar mandi yang agak remang-remang mereka berdua dengan santainya membuka kemben yang ternyata dibaliknya tidak ada bh dan celana dalam. Titin jembutnya normal aja agak jarang sedikitlah, Kalau sih Neng bulunya baru sedikit banget. Sehingga cembungan memeknya kelihatan jelas. Mereka kencing dengan suara berdesir lalu mengambil air di ember untuk membersihkan diri. Aku melepas sarung dan membuka celana dalamku. Belum aku beraksi Neneng dan Titin sudah menyambut senjataku yang belum siap bertempur dengan menyiram air dan menyabuninya. Seperti juga Dedeh aku disabuni sampai ke lubang-lubang pantat.

Mereka kembali mengenakan kemben dan tidak mengenakan apa-apa lagi di dalamnya . Aku pun tidak memakai celana dalamku dengan hanya bersarung saja kami bertiga masuk ke kamar Titin.

Kasurnya digelar dibawah , dan kelihatannya jika ditiduri bertiga agak sempit mungkin ukuran 160.

Aku dengan percaya diri membuka kaus oblong dan tidur hanya dengan bersarung. Mereka bertiga pun begitu. Titin di kananku, dan Neneng di kiriku. Keduanya langsung aktif seperti tentara terlatih. Titin mengangkat sarungku dan langsung menangkap burung di dalamnya. Diremas-remas sebentar lalu dikocok ringan. Aku menurunkan sarung Neneng sehingga terlihat teteknya yang masih tidak terlalu besar dan pentilnya pun kecil sekali. Aku jilati teteknya, dan di bawah sana penisku dan sekitarnya sudah mulai dilomoti Titin.

Aku malam ini harus menghadapi dua musuh, padahal amunisi dan tenaga sudah banyak terkuras. Perlu ada taktik untuk memenangkan peperangan. Puas menciumi dan meraba tetek kecil, tanganku menggerayang ke selangkangan Neneng. Gundukan mentul dan masih sedikit bulu terasa. Jari tengahku mencari jalan sendiri sampai menemukan tonjolan kecil daging penutup clitoris. Dengan segera dan lincah jariku bermain di clitorisnya. Neneng mengelinjang jika tanganku menyentuh ujung clitorisnya.

Tanpa sepengetahuan pemiliknya dengan cara yang tersamar aku membaui tanganku yang berlendir dari kemaluan Neneng. Tidak tercium ada bau. Berarti dia bersih. Kuarahkan Neneng untuk menggantikan kerja si Titin dan Titin kutarik keatas. Untuk ku hisap teteknya. Neneng cukup mahir juga memainkan kebanggaanku, meski tidak sepiawai kakaknya.

Berikutnya giliran si Titin aku eksplor memeknya. Sudah agak berlendir. Seperti tadi aku curi-curi mencium lendir si Titin yang tertinggal di tanganku. Baunya tidak ada alias enak-enak aja. Senjataku sudah dikulum dua wanita kakak beradik, tetapi masih mampu bertahan. Mungkin sudah agak imum karena pertempuran dengan si Dedeh tadi.

Aku menarik Titin untuk mengambil posisi WOT. Dia segera menyarangkan burungku ke lubang kebahagiaannya. Tebakanku tidak meleset. Terasa ketat betul lubang memek si Titin, setiap gerakan terasa menyedot penisku. Seandainya ini adalah pertempuran pertama, aku bakal bobo pada gerakan sepuluh langkah. Untung aku bisa bertahan. Titin menemukan posisi nikmatnya sehingga dia akhirnya mencapai orgasme. Aku sebenarnya hampir terlarut dengan suasana menjelang Titin orgasme tadi, karena dia mengerang dan gerakannya buas sekali. Dia seolah tidak perduli ada adik di sebelahnya yang menyaksikan.

Titin ambruk menindih tubuhku dengan nafas terengah-engah. Terasa sekali lubang memeknya berkontraksi dengan iriama orgasme. Setelah dia menuntaskan nikmatnya Titin turun dan berbaring di sampingku. Aku meminta Neneng menggantikan tugas kakaknya . Dia segera mengerti lalu memandu penisku memasukkan memek yang nyaris gundul.

Neneng bergerak-gerak diatasku, tetapi dia tampaknya tidak mengetahui posisi enaknya. Aku harus menuntunnya. Dengan berbagai gerakku, akhirnya ketemu juga posisi terenak itu. Aku menjadi semakin yakin karena Neneng mulai menggumam melampiaskan kenikmatannya. Anak seumuran Neneng umumnya agak susah mencapai orgasme, makanya dia cukup lama sampai akhirnya ambruk berorgasme. Memeknya memang agak sempit, tapi, jika aku masih lebih legit kakaknya punya.

Dua orang tumbang dalam pertempuran ini. Si Titin rupanya sudah ngorok disampingku. Titin kubaringkan dan aku mengenjotnya lagi. Badanku yang agak lelah mempengaruhi mood juga, sehingga aku sulit mencapai puncak gunung tertinggi meski sudah main cukup lama. Kelihatannya si Neng sempat mendapat O sekali lagi dalam perjalanan aku menindihnya.

Rasanya aku bakal sulit tidur kalau tidak berejakulasi. Sementara main dengan Neng agak susah aku mencapainya. Tanpa memperdulikan Titin yang tertidur nyenyak, aku jebloskan pelan-pelan batangku yang masih lumayan keras.

Dalam permaian kali ini aku tidak perduli apakan Titin mencapai orgasme atau tidak, yang penting aku bisa keluar dan hendaknya jangan lama-lama. Titin terbangun ketika aku mulai menggenjotnya. Dia agak ngantuk tetapi membalas gerakanku juga. Memeknya memang benar-benar nikmat. Aku konsentrasi penuh dan akhirnya badanku mulai meremang dan aku semakin kosentrasi sampai akhirnya lepas juga spermaku di dalam memeknya. Rupanya kedudtan orgasmeku membuat Titin juga berorgasme sehingga dia peluk tubuhku kuat kuat. " Oom yang ini enak banget, saya sampai lemes.

Kulirik si Neng sudah mendengkur halus. Aku pun sudah mencapai titik lelah yang tertinggi sehingga tanpa perduli keadaan aku tidur diantara mereka.

Aku tidak terlalu sadar, tetapi kelihatannya sudah agak pagi. Terasa penisku dingin. Kulirik ke bawah Titin sedang membersihkan seluruh bagian kemaluanku dengan handuk kecil basah. Setelah itu dia tutupi tubuhku dengan sarung. Dia sendiri masih menggunakan kemben. Si Neng sudah tidak ada di tempatnya.

Aku pura-pura tidur saja, tapi rada susah juga karena sudah terganggu. Akhirnya sekitar matahari sudah mulai muncul di ufuk timur Aku bangun dengan hanya mengenakan sarung tanpa daleman dan kaus oblong.

Aku duduk diruang tamu. Tidak lama kemudian Neng membawa segelas kopi tubruk.

"oom mau sarapan apa," tanya si Titin.

"Apa sajalah yang tidak terlalu repot" kataku.

"Kalau mau Indomie, warungnya belum buka, dirumah Cuma ada nasi sama ikan asin sisa semalam" kata Titin.

"Ya udah bikin nasi goreng ikan asin aja," kataku.

"gimana itu oom, saya nggak tau," ujar Titin.

Aku akhirnya turun tangan membuat nasi goreng cabe hijau dengan ikan asin. Kami bertiga menikmati nasi goreng hijau. Aku dipujinya pintar memasak.

Selesai menikmati sarapan kami lalu bersepakat mandi pagi bersama-sama. Pada mandi pagi itu aku sudah kehilangan gairah, jadi meski mandi bareng dan berbugil ria, tapi aku kurang terangsang. Sehingga mandi pagi itu lancar-lancar saja.

Aku berpakaian seperti semula, celana jeans dan kaus oblong.

Suasana cerah sekali, kopi masih setengah gelas dan sudah kehilangan panasnya. Tapi aku tidak masalah, tetap saja menyukai kopi yang sudah tidak hangat lagi.

Aku mendengar ada suara mengobrol yang agaknya aku kenal. Benar saja John dan Dedeh muncul di pintu. Keduanya tampak segar. Memang mereka baru selesai mandi kelihatannya. Kami bergabung di ruang tamu dan mengobrol panjang lebar.

Neneng aku pancing-pancing mengenai lingkungannya di desa. Dia nyrocos aja bahwa banyak temannya yang masih sekolah SMP sudah bisa terima tamu di rumah. Kedua orang tuanya merelakan saja anaknya menerima tamu dan menginap di kamar. Informasi yang dibeberkan tanpa bumbu berlebihan, malah diomongkan seperti tanpa beban, membuat aku dan juga John ternganga-nganga.

Saya membujuk si Neng untuk mengundang teman-temennya yang masih belia, dan sudah menerima tamu di rumahnya. Tanpa menunggu lama, dia langsung berlalu . Kami berempat ngrobrol menganai berbagai hal. Tapi aku fokus mengorek keterangan berbagai informasi mengenai keterbukaan sex di desa yang jauh dari keramaian ini.

Sayang si Titin dan Dedeh tidak bisa menceritakan sejarahnya mengapa desa terpencil gini bisa punya adat membebaskan orang berbuat sex di rumah tanpa ada rasa malu. Saya kira kalau hanya alasan uang mereka pasti merantau ke kota besar untuk menjadi PSK.

Baik Titin maupun Dedeh beralasan takut merantau karena mereka merasa ngeri jika digrebek atau ditangkap petugas. "Ya mending di rumah aja oom, dapatnya gak banyak juga gak apa-apa, yang penting aman.

Sekitar 2 jam setelah Neneng pergi tadi, dia sudah kembali dengan rombongan. Ada 5 orang temennya bersamanya. Wajahnya malu-malu, tetapi semuanya kelihatan masih sangat belia. Aku taksir usianya baru sekitar 12 – 14 tahun. Aku tidak percaya dengan pandangan mataku sendiri. Anak-anak semuda ini sudah diumbar orang tuanya untuk berbuat sex bebas.

Memang tidak semuanya berwajah cantik atau manis, tetapi kepolosan dari wajah kebeliaannya sangat menonjol. Dandanan mereka sangat sederhana khas wanita desa.

Aku penasaran juga ingin mencicipi mereka, tetapi melawan kelimanya mana mungkin aku bisa. Sayang juga melepaskan mereka begitu saja. Otak fotografer langsung konek. Aku menawarkan mereka untuk mau aku foto dalam keadaan bugil. Aku menjanjikan memberi uang yang untuk ukaran di desa ini sangat lumayan. Mulanya mereka malu, tetapi jumlah uang yang aku iming-imingkan itu menggoda mereka untuk menerimanya. "Foto-foto doang Oom, " tanya salah seorang dari mereka yang kelihatannya paling tua.

Aku jawab benar, hanya foto-foto saja, tempatnya ya di rumah ini dan di halaman belakang rumah. Rumah si Titin kebetulan agak memisah dari tetangga dan dibatasi oleh kerimbunan semak yang merupakan pagar hidup.

Mereka berlima langsung saling pandang dan tertawa malu sambil menutupkan tangannya ke mulut.

Titin dan Dedeh dengan bahasa setempat membantu aku agar mereka mau saja menerima tawaranku. Kata dia uang segitu lumayan, Cuma difoto-foto doang paling juga gak lama. Titin akhirnya menggiring kelima anak itu masuk kamar untuk melepas semua pakaiannya. Tidak lama kemudian dia keluar dan menutup pintu depan. Ruangan menjadi agak redup, aku membuka semua jendela dan menutup sedikit kordijnnya.

Neneng merajuk, dia juga ingin difoto karena ingin dapat duit lagi. Aku setuju saja, Dia kemudian berlari masuk kamar di tempat anak-anak tadi. "Oom kalau kita-kita boleh juga enggak difoto," tanya Dedeh. " Lumayan oom untuk tambah-tambah," sambungnya lagi.

Aku langsung memikirkan skenarionya. " ok," kataku.

Dedeh dan Titin ikut masuk kamar untuk melepas baju.

John memprotes aku, kata dia biayanya lumayan besar, cukup untuk "tiarap" dua malam lagi.

Tapi aku bilang, tenang aja, "ente gak usah keluar uang, gua aja yang bayar semua,"

Pintu kamar terbuka. Diawali dengan si Neneng keluar sambil masih berusaha menutup teteknya dan memeknya, yang lain juga jadi ikut-ikutan begitu. Terakhir si Titin dan Dedeh tanpa canggung keluar dengan telanjang bulat dan tidak menutupi auratnya

Aku lalu mengatur posisi 8 orang itu. Pertama-tama aku mengambil mereka dengan foto bersama berjajar, berkali-kali. Setelah itu aku mengatur posisi masing-masing seperti sedang melakukan kesibukan di rumah. Dia bale-bale mereka yang masih belia aku suruh duduk sambil membuka selangkangannya. Mereka masih belum berjembut semua Berbagai posisi aku ambil dan secara bergantian aku ambil satu persatu dengan berbagai gaya sampai pada close up memeknya dan teteknya.

Setelah itu dua perempuan yang sudah dewasa juga aku shoot dengan berbagai posisi sampai close up memeknya masih-masing.

Dari ruang tamu aku arahkan bergerak ke arah dapur. Meski dapurnya sempit, tetapi karena ada akses pintu ke belakang, dan ketika dibuka lumayan memberi cahaya masuk dan aku bisa membidik kamera dengan berbagai angel. Ternyata di belakang rumah ada halaman yang tidak seberapa tetapi bersih dan ada pula sumur di situ. Mereka lalu aku arahkan ke halaman belakang berbagai gaya dan tampak latar belakang rumah pedesaan yang sederhana. Dibelakang rumah Titin, ternyata perkebunan tebu. Agak semak memang, aku membersihkan beberapa semak sehingga kelihatan tidak terlalu banyak daun tebu kering. Mereka pun aku atur berpose di seputaran kebun Tebu. Jadi Foto-foto itu sangat asri karena diantaranya ada juga di dekat kandang kambing, kandang ayam, sumur dan ada pula dangau di tengah kebun tebu.

Aku akhirnya lelah juga karena acara foto-fotoan telanjang hampir 2 jam juga. Memori card berkapasitas 8 G hampir penuh, padahal masing-masing image 5 mega.

Untung masih telintas diotakku foto0 mereka setengah telanjang. Mereka kuminta membawa pakaiannya ke belakang karena aku akan memfoto mereka dengan hanya mengenakan celana dalam , dengan kutang dan baju yang masih memperlihatkan aurat mereka sedikit di sekitar sumur.

Akhirnya tuntas sudah memori 8 giga penuh. Tidak semuanya foto, setengahnya adalah video. ***

No comments:

Post a Comment