Ah sial banget, kenapa kereta commuter jabotabek sekarang gak berhenti
di stasiun Senen, padahal aku mau naik kereta keluar kota dari stasiun
Senen. Dari Stasiun Kemayoran aku terpaksa menggunakan ojek ke stasiun
Senen.
Sesampai di Senen temanku John sudah menunggu di sana.
Kami berdua sudah janjian ketemu di stasiun Senen untuk memulai
perjalanan gila-gilaan, bukan mendaki gunung, menelusuri gua atau
backpacker, tapi wisata kampung yang rada ngesex.
Masih ada waktu sekitar setengah jam. Kami duduk-duduk
bengong aja, karena kebetulan kami berdua bukan perokok. Belum sampai
setengah jam muncul rangkaian Matarmaja yang akan membawa kami ke Timur.
Aku dan john memilih naik kereta api karena lebih
praktis, lebih cepat dan lebih murah, kalau naik bus bisa 4 jam baru
sampai, bawa mobil pribadi, risiko nyasar lebih besar meski ada GPS.
Tujuan kami adalah stasiun kecil Pegaden Baru di wilayah Subang.
Fantastis, tidak sampai 2 jam stasiun kecil Pegaden Baru
telah kami injak. Puluhan tukang ojek seolah berebut penumpang yang
tidak seberapa turun di stasiun kecil itu. Aku maupun John baru pertama
kali menginjakkan kaki di stasiun itu, juga tidak punya kenalan di situ
seorang pun. Padahal kami kalau ditanya tukang ojek mau kemana, kami
tidak bisa menyebutkan, karena tujuan kami memang khas, yaitu rumah yang
bisa kami inapi tapi ada selimut hidupnya. Nah kan susah.
Kuajak John ke luar stasiun sambil berkali-kali menampik
tawaran tukang ojek. Kami berdua ngopi di warung di luar stasiun.
Rupanya ada tukang ojek yang penasaran mengikuti kami menawarkan jasa
ojeknya. Mereka ada 2 orang. Mungkin mereka berharap bisa mnejaring kami
berdua menggunakan jasanya.
" Bos mau kemana, bos" tanya salah satu tukang ojek yang kutaksir berusia sekitar pertengahan 30 tahunan.
"Belum tau mau kemana," jawabku singkat untuk memancing
reaksi mereka. Kira-kira apa yang akan mereka katakan kalau aku
mengatakan begitu.
"Bos mau cari janda," tanyanya agak menyelidik.
"Emang ada," tanyaku sekenanya
"Banyak bos," katanya.
"Emangnya ada yang bagus ," tanyaku rada cuek
"Mantap-mantap bos " katanya sambil mengacungkan jempolnya.
"Mantapnya kayak apa, ada berapa," tanya John.
"Aduh saya gak punya fotonya , orang HP saya jadul sih bos.," katanya seperti rada kesal.
" Kenal berapa orang," tanya ku.
Si tukang ojek kemudian sambil menerawang pandangannya menyebut nama-nama.
Lumayan banyak juga nama-nama yang disebutkan.
Dia lalu menawarkan salah satu dari nama-nama itu. " Bos maunya yang gimana ," tanyanya.
"Yang rada sekel, buntelannya gede umurnya sekitar 20 -30, mukanya cantik," tanya ku.
"Kalau si bos," tanya tukang ojek menunjuk John.
"Ya sama lah," kata John.
Dua tukang ojek itu lalu berunding.
"Ada bos," kata tukang ojek yang kelihatannya lebih senior.
Kami lalu tawar-menawar uang jasa mreka.
"Pokoknya sampai bos dapat yang cocok lah," katanya.
Menurutku harga yang ditawarkan itu agak mahal, tapi
karena dia menjamin sampai kami dapat yang cocok akhirnya kami setuju.
Dengan gesit tukang ojek itu menulusuri jalan desa, dan
menembus perkebunan tebu. Kami akhirnya berhenti di depan sebuah warung
dan si tukang ojek mempersilakan kami istirahat dulu di situ sambil dia
mau menemui calon yang akan kami " pakai".
Aku dan John rada celingukan juga, sore-sore berada di
daerah yang sama sekali belum kami kenal. Keramahan pemilik warung
mempersilakan kami masuk ke dalam, mencairkan suasana kekakuan. Aku
numpang ke toilet dan memesan minuman dingin. Sekitar setengah jam
muncul si tukang ojek. Dia menawarkan "barang2" yang yang tersedia
sambil menyebutkan ciri-2nya.
Aku memilih yang disebut namanya Dedeh, dan John memilih
Titin. Kedua tukang ojek itu langsung balik dan tancap gas lagi.
Sambil menunggu tukang ojek balik aku ngobrol sama
pemilik warung , seeorang bapak-bapak yang kutaksir berusia 50 an. Dia
mengatakan bahwa di kampung Saradan ini sudah biasa menerima tamu dari
luar untuk menginap. Di dekat warungnya juga ada beberapa rumah yang
bisa menerima tamu menginap. Mereka tidak hanya yang berumur setengah
tua (STW) tetapi ada juga yang masih tergolong abg. Aku jadi rada
menyesal memesan STW dari tukang ojek tadi. Tapi apa boleh buat, bagi
kami berdua yang buta sama sekali mengenai daerah ini, ya harus mau
menerima apa yang bisa kami dapat dulu.
Tidak berapa lama muncul 3 anak abg ke warung si bapak,
anaknya lumayan manis, kutaksir umurnya masih sekitar 15 an. Si Bapak
menggiring mereka untuk menyalami kami. Setelah menyebut namanya masing
masing mereka berlalu dan menghilang dari pandangan kami.
Aku jadi kehilangan minat pada pesananku dari si tukang
ojek tadi, karena ke 3 abg tadi manis-manis . Tapi masih ada waktu lah,
paling tidak kami bisa menambah tinggal di desa ini 1 malam lagi jadi
total 2 malam. Aku berjanji ke Bapak pemilik warung, besok aku akan
kembali ke warung dan akan memesan ABG itu tadi. Jadi di kampung yang
sepi dan jarang terdengar raungan mesin kendaraan bermotor, kecuali
sepeda motor, aku melakukan booking.
Tidak lama kemudian muncul situkang ojek dengan
boncengannya masing-masing. Eh lumayan juga, bodynya menarik. Keduanya
kualitasnya dapat dikatakan sama, antara Dedeh dan Tititn. Misalnya di
acak aku gak keberatan dapat yang mana pun.
Kutaksir mereka berdua belum sampai berusia 30 tahun
mungkin baru sekitar 25-an lah. Kami bersalaman, Dedeh diatur tukang
ojek duduk di sampingku dan Titin duduk di samping John. Keduanya janda.
Mereka dengan gaya malu gadis desa mengatakan bisa menerima kami
menginap di rumah mereka masing-masing. Kebetulan rumah mereka berdua
berdekatan.
Sifat serakah yang ada di otakku lalu berproses. Aku
sebetulnya ingin mencicipi keduanya, lalu John ku kirimin sms menawarkan
kalau nanti sudah puas dengan pasangannya kita bertukar. John pikiran
di otaknya ternyata sama dengan aku, dia langsung jawab singkat
"setuju".
Waduh, gimana ngomongnya ke Dedeh dan Titin. " Teh boleh gak nanti malam saya pindah," tanya ku ke Dedeh.
"Ha. pindah kemana atuh," tanyanya heran.
"Pindah ke rumah Titin, dan temen saya pindah kerumah Teteh,"
"Oh begitu, mangga atuh,"
Setelah terjadi kesepakatan akhirnya kedua mereka dibawa
lagi sama si tukang ojek pulang kerumahnya baru membawa kami ke rumah.
"Gimana bos, mau nginap sebulan di sini tiap hari
ganti-ganti saya siap mengantar bos, gak bakal habis stoknya bos," kata
si tukang ojek sambil senyum-senyum menerima uang sebagai ongkosnya.
Rumah Dedeh sangat sederhana, rumahnya separuh tembok
separuh papan. Hanya ada 2 kamar tidur. Dia di situ tinggal bersama
ibunya yang sudah tua. Mereka 3 bersaudara. Dedeh anak bungsu kedua
yang lebih tua adalah laki-laki merantau berkerja di jakarta. Jadi Dedeh
yang statusnya janda tanpa anak bertugas merawat ibunya yang sudah tua.
Aku memberikan uang dimuka seperti yang disebutkan
tukang ojek di warung tadi. Aku bermaksud dengan uang itu dia nanti
malam bisa menyediakan makan malam ala kadarnya. Seteleh menerima uang
dia mambuatkan aku teh manis panas lalu masuk kebelakang rumah agak
lama baru muncul .
Di duduk disampingku dan menawarkan mandi, karena hari
memang sudah mulai agak gelap. "Akang mau saya mandiin," dia melontarkan
tawaran yang langsung membuat juniorku bangkit.
Tawaran yang tidak mungkin aku tolak. Si Dedeh bangkit dan memberikan
sarung dan mengajakku masuk kamar untuk mengganti bajuku dengan sarung.
Dia juga begitu, dengan santainya dia membuka semua bajunya dan
bertelanjang bulat di depanku lalu mengenakan sarung berkemben. Bodynya
memang menarik, meski made in desa.
Kami berdua masuk ke kamar mandi yang hanya terdapat
ember dan pompa tangan. Air di ember sudah penuh. Dedeh membuka
sarungnya sehingga dia bertelanjang bulat di depanku. Aku membuka
sarungku yang masih ada celana dalam lagi di dalamnya. Dengan sigap
Dedeh memuka celana dalamku. Mecuatlah batangku yang sudah cukup keras.
Dengan nakalnya Dedeh jongkok di depan batangku dan langsung
mengulumnya. Aku menggelinjang nikmat. Meski pun made in desa, tapi
kulumannya luar biasa. Aku tidak mampu bertahan lama sampai akhirnya
ejakulasi di dalam mulutnya. Hebatnya dia langsung menenlan semua sperma
ku. Aku yang tidak bisa menahan rasa geli luar biasa di kepala penisku.
Rasanya agak ngilu pasca ejakulasi kepala penis terkena jilatan Dedeh.
Dedeh seperti tidak rela ada setetes yang tercecer.
Badanku terasa agak lemas. Dedeh seperti sudah mahir
langsung menciduk air dan mengguyur badanku lalu mengguyur badannya
sendiri. Diambilnya tangan sabun lux yang wangi dan sekujur tubuhku di
sabuni. Dibagian penis dia bekerja agak lama dengan gerakan mengocok,
batangku yang lemas. Sampai lubang pantatkua dia ceboki sampai bersih.
Aku dimintanya menyabuni tubuhnya yang bahenol.
Kupeluk dia dari belakang dan penisku yang masih kuyu
aku tekankan ke belahan pantatnya yang gempal. Sambil kedua tanganku
meremas payudaranya yang lumayan menggumpal kenyal.
Nafsuku jadi bangkit lagi. Pelan-pelan barangku bangkit lagi.
Dedeh lalu mengguyur badannya dan badanku juga sampai
semua sabun luruh. Dia mengambil handuk dan menghandukiku, lalu dirinya
menggunakan handuk yang sama mengeringkan badannya. Aku hanya
menggunakan sarung bertelanjang dada, sedangkan Dedeh menggunakan kemben
menggandengku masuk ke kamar.
Aku dibaringkan dan sarungku dipelorot. Sementara Dedeh
sudah bugil. Aku pasif tidur telentang dengan pasrah dan membiarkan
Dedeh mengeluarkan seluruh ilmu yang dimilikinya.
Dia memulai dengan kembali mengulum penisku, menjilati
buah zakarku dan mengulumnya juga lalu menjilati lubang pantatku yang
memberikan sensasi geli dan nikmat. Pelan-pelan penisku mulai membesar
di dalam mulut Dedeh yang sangat piawai.
Dia menduduki penisku dan mulai mengayuh dirinya diatas
diriku. Terasa sekali ketika dia mencari posisi yang dia rasakan paling
nikmat. Dia mulai bersuara mengerang-ngerang ketika posisi nikmatnya
mulai ditemukan. Tidak sampai 5 menit dia ambruk dengan nafas
terengah-engah. Sementara aku masih jauh dari garis finish.
Aku membalikkan posisi, dan mulai mengenjot dengan
posisi missionaris. Aku juga mencari posisiku yang paling nikmat sambil
berlama-lama menekan dan menggesek bagian clitorisnya dengan jembutku.
Lalu memompa lagi. Dedeh mulai mengerang lagi dan akhirnya menjerit
panjang dan memelukku. Terasa sekali lubang vaginanya berkedut-kedut.
Aku berhenti sementara untuk membiarkan dia mencapai orgasmenya.
Setelah kedutan itu tidak aku rasakan aku kembali menggenjot. Kali ini
dengan gerakan kasar dan cepat, karena aku sebetulnya sudah agak lelah
sehingga ingin segera ejakulasi. Tetapi bukan aku yang mencapai puncak
si Dedeh sudah mendahului. Aku terpaksa berhenti lagi. Mood ku yang tadi
hampir dapat sekarang hilang lagi. Aku mulai lelah. Aku membalikkan
posisi sehingga WOT. Dedeh sebenarnya sudah lemas, tapi dia berusaha
memuaskanku dan mengikuti kemauanku. Dia menindihku dan aku yang aktif
bergerak. Rasa nikmat mulai menjalari tubuhku sehingga aku kemudian
mencapai puncak dan semua sperma kulepas di dalam memeknya.
Badanku terasa lelah demikian juga mungkin dedeh karena itu kami berdua
tertidur dalam keadaan bugil. Mungkin ada sekitar 1 jam kami teridur
dan terbangun karena mendengar ada suara John di luar dan suara Titin.
Kami berdua tergesa-gesa bangun. Aku mengenakan sarung tanpa celana
dalam dan kaus oblong. Dedeh mgnenakan baju kaya sweater dengan sarung
dan tanpa celana dalam juga. Perut mulai terasa lapar. Ketiak kami
keluar Titin dan John tersenyum-senyum melihat kami keluar bersamaan
dari kamar. Kulirik meja makan, ternyata makanan sudah siap terhidang.
Ada sambal, sayur asem, tempe goreng, ayam goreng dan tumis kangkung,
Kuajak sekalian John dan Titin makan. Mulanya Titin malu, tetapi
akhirnya kami makan bersama.
Sambil makan aku mengorek keterangan Titin. Dia masih punya suami,
tetapi kerja di Jakarta. Suaminya tahu kalau dia juga sering menerima
tamu di rumah. Karena di desa Saradan ini perbuatan seperti itu sudah
biasa, jadi suaminya pun bisa menerima. "Itung-itung untuk tambah uang
belanja," kata Titin.
Seperti kesepakatan semula akhirnya aku dengan barang-barangku pindah
ke rumah Titin. Jaraknya tidak telalu jauh. Jam 9 malam ini kami berdua
jalan menelusuri jalan desa. Jaraknya tidak terlalu jauh sekitar 500 m,
tetapi meliuk-liuk masuk gang.
Rumah Titin kelihatan dari luar agak besar. Rumahnya tembok, tetapi
masih belum diplester. Aku masuk ke ruang dalam. Ruang tamu sederhana,
ada amben, atau disebut juga bale-bale. Titin mempersilakan aku duduk.
Dia menawarkan kopi untuk menyegarkan.
Tawaran itu tentu saja aku terima, karena aku harus bersiap pertempuran
malam ini dengan Titin. Titin perawakannya tidak terlalu gemuk, badannya
singset, baru punya anak 1 berumur 2 tahun. Umurnya kutaksir masih
sekitar 20 tahun.
Body seperti Titin, biasanya barangnya sempit dan enak. Itu pengalaman
aku sering tiarap ke mana-mana. Dia lebih renyah bergaul, omongannya
banyak. Ditengah ngobrol muncul seorang gadis menghidangkan kopi. " Ini
adik saya, tinggal disini ngawani, abis sendirian" kata Titin
mengenalkan adiknya yang menyalamiku malu-malu. Celakanya tanganku
ditarik dan diciumnya seperti layaknya salim antara santri dengan
udztadnya.
Aku segera menarik tanganku, gak enaklah, tapi sudah sempat tercium
juga. Dia memperkenalkan dirinya dengan nama Neneng, umurnya kutaksir
sekitar 17 tahun. Masih terlihat belia, meski dalam kesederhanaan
kampung.
Setelah menghidangkan kopi dia mundur ke belakang dan masuk kamar. Aku
menanyakan ke Titin. " Nanti kalau kita masuk kamar, adikmu gimana,"
tanyaku.
"Ah ya biasa aja, tadi temannya kan sudah disini, di sini mah gituan udah biasa oom," katanya.
"Emangnya oom minat sama adik saya," Titin mulai membuka peluang.
"Kalau saya mau emang dia bisa," tanyaku penuh harap.
"Ya bisalah, kan dia jug ada lobangnya," kata Titin sambil bergurau.
"Bukan gitu, emangnya dia udah gak perawan lagi," tanyaku.
"Kupingnya yang perawan, dia juga bisa terima tamu kok," kata Titin.
"Gimana oom minat ya," tanya Titin dengan pandangan mata genit.
"Minat sih, tapi sama tetehnya juga minat, gimana ya," tanyaku sambil rada cemas.
"Ya gak apa-apa, nanti kita main bertiga di kamar saya," kata Titin enteng.
Titin lalu berteriak memanggil nama Neneng. Yang dipanggil keluar sambil mengucek matanya.
"Tadi temen saya main sama Neng juga," tanyaku sama Titin.
"Enggak sih Titin tadi pergi entah kemana nglayap sama temen-temennya." Kata Titin.
Sambil makan singkong rebus dan kopi tubruk kami ngobrol bertiga.
Setelah agak larut, kami bertiga menuju kamar mandi untuk saling
membersihkan diri dan membuang desakan air seni (kok air seni ya,
seninya dimana) aku diberi sarung dan handuk, Mereka berdua masuk kamar
dan keluarnya sudah berkemben kain sarung pula.
Di kamar mandi yang agak remang-remang mereka berdua dengan santainya
membuka kemben yang ternyata dibaliknya tidak ada bh dan celana dalam.
Titin jembutnya normal aja agak jarang sedikitlah, Kalau sih Neng
bulunya baru sedikit banget. Sehingga cembungan memeknya kelihatan
jelas. Mereka kencing dengan suara berdesir lalu mengambil air di ember
untuk membersihkan diri. Aku melepas sarung dan membuka celana dalamku.
Belum aku beraksi Neneng dan Titin sudah menyambut senjataku yang belum
siap bertempur dengan menyiram air dan menyabuninya. Seperti juga Dedeh
aku disabuni sampai ke lubang-lubang pantat.
Mereka kembali mengenakan kemben dan tidak mengenakan apa-apa lagi di
dalamnya . Aku pun tidak memakai celana dalamku dengan hanya bersarung
saja kami bertiga masuk ke kamar Titin.
Kasurnya digelar dibawah , dan kelihatannya jika ditiduri bertiga agak sempit mungkin ukuran 160.
Aku dengan percaya diri membuka kaus oblong dan tidur hanya dengan
bersarung. Mereka bertiga pun begitu. Titin di kananku, dan Neneng di
kiriku. Keduanya langsung aktif seperti tentara terlatih. Titin
mengangkat sarungku dan langsung menangkap burung di dalamnya.
Diremas-remas sebentar lalu dikocok ringan. Aku menurunkan sarung
Neneng sehingga terlihat teteknya yang masih tidak terlalu besar dan
pentilnya pun kecil sekali. Aku jilati teteknya, dan di bawah sana
penisku dan sekitarnya sudah mulai dilomoti Titin.
Aku malam ini harus menghadapi dua musuh, padahal amunisi dan tenaga
sudah banyak terkuras. Perlu ada taktik untuk memenangkan peperangan.
Puas menciumi dan meraba tetek kecil, tanganku menggerayang ke
selangkangan Neneng. Gundukan mentul dan masih sedikit bulu terasa. Jari
tengahku mencari jalan sendiri sampai menemukan tonjolan kecil daging
penutup clitoris. Dengan segera dan lincah jariku bermain di
clitorisnya. Neneng mengelinjang jika tanganku menyentuh ujung
clitorisnya.
Tanpa sepengetahuan pemiliknya dengan cara yang tersamar aku membaui
tanganku yang berlendir dari kemaluan Neneng. Tidak tercium ada bau.
Berarti dia bersih. Kuarahkan Neneng untuk menggantikan kerja si Titin
dan Titin kutarik keatas. Untuk ku hisap teteknya. Neneng cukup mahir
juga memainkan kebanggaanku, meski tidak sepiawai kakaknya.
Berikutnya giliran si Titin aku eksplor memeknya. Sudah agak berlendir.
Seperti tadi aku curi-curi mencium lendir si Titin yang tertinggal di
tanganku. Baunya tidak ada alias enak-enak aja. Senjataku sudah dikulum
dua wanita kakak beradik, tetapi masih mampu bertahan. Mungkin sudah
agak imum karena pertempuran dengan si Dedeh tadi.
Aku menarik Titin untuk mengambil posisi WOT. Dia segera menyarangkan
burungku ke lubang kebahagiaannya. Tebakanku tidak meleset. Terasa ketat
betul lubang memek si Titin, setiap gerakan terasa menyedot penisku.
Seandainya ini adalah pertempuran pertama, aku bakal bobo pada gerakan
sepuluh langkah. Untung aku bisa bertahan. Titin menemukan posisi
nikmatnya sehingga dia akhirnya mencapai orgasme. Aku sebenarnya hampir
terlarut dengan suasana menjelang Titin orgasme tadi, karena dia
mengerang dan gerakannya buas sekali. Dia seolah tidak perduli ada adik
di sebelahnya yang menyaksikan.
Titin ambruk menindih tubuhku dengan nafas terengah-engah. Terasa sekali
lubang memeknya berkontraksi dengan iriama orgasme. Setelah dia
menuntaskan nikmatnya Titin turun dan berbaring di sampingku. Aku
meminta Neneng menggantikan tugas kakaknya . Dia segera mengerti lalu
memandu penisku memasukkan memek yang nyaris gundul.
Neneng bergerak-gerak diatasku, tetapi dia tampaknya tidak mengetahui
posisi enaknya. Aku harus menuntunnya. Dengan berbagai gerakku,
akhirnya ketemu juga posisi terenak itu. Aku menjadi semakin yakin
karena Neneng mulai menggumam melampiaskan kenikmatannya. Anak seumuran
Neneng umumnya agak susah mencapai orgasme, makanya dia cukup lama
sampai akhirnya ambruk berorgasme. Memeknya memang agak sempit, tapi,
jika aku masih lebih legit kakaknya punya.
Dua orang tumbang dalam pertempuran ini. Si Titin rupanya sudah ngorok
disampingku. Titin kubaringkan dan aku mengenjotnya lagi. Badanku yang
agak lelah mempengaruhi mood juga, sehingga aku sulit mencapai puncak
gunung tertinggi meski sudah main cukup lama. Kelihatannya si Neng
sempat mendapat O sekali lagi dalam perjalanan aku menindihnya.
Rasanya aku bakal sulit tidur kalau tidak berejakulasi. Sementara main
dengan Neng agak susah aku mencapainya. Tanpa memperdulikan Titin yang
tertidur nyenyak, aku jebloskan pelan-pelan batangku yang masih lumayan
keras.
Dalam permaian kali ini aku tidak perduli apakan Titin mencapai orgasme
atau tidak, yang penting aku bisa keluar dan hendaknya jangan lama-lama.
Titin terbangun ketika aku mulai menggenjotnya. Dia agak ngantuk tetapi
membalas gerakanku juga. Memeknya memang benar-benar nikmat. Aku
konsentrasi penuh dan akhirnya badanku mulai meremang dan aku semakin
kosentrasi sampai akhirnya lepas juga spermaku di dalam memeknya.
Rupanya kedudtan orgasmeku membuat Titin juga berorgasme sehingga dia
peluk tubuhku kuat kuat. " Oom yang ini enak banget, saya sampai lemes.
Kulirik si Neng sudah mendengkur halus. Aku pun sudah mencapai titik
lelah yang tertinggi sehingga tanpa perduli keadaan aku tidur diantara
mereka.
Aku tidak terlalu sadar, tetapi kelihatannya sudah agak pagi. Terasa
penisku dingin. Kulirik ke bawah Titin sedang membersihkan seluruh
bagian kemaluanku dengan handuk kecil basah. Setelah itu dia tutupi
tubuhku dengan sarung. Dia sendiri masih menggunakan kemben. Si Neng
sudah tidak ada di tempatnya.
Aku pura-pura tidur saja, tapi rada susah juga karena sudah terganggu.
Akhirnya sekitar matahari sudah mulai muncul di ufuk timur Aku bangun
dengan hanya mengenakan sarung tanpa daleman dan kaus oblong.
Aku duduk diruang tamu. Tidak lama kemudian Neng membawa segelas kopi tubruk.
"oom mau sarapan apa," tanya si Titin.
"Apa sajalah yang tidak terlalu repot" kataku.
"Kalau mau Indomie, warungnya belum buka, dirumah Cuma ada nasi sama ikan asin sisa semalam" kata Titin.
"Ya udah bikin nasi goreng ikan asin aja," kataku.
"gimana itu oom, saya nggak tau," ujar Titin.
Aku akhirnya turun tangan membuat nasi goreng cabe hijau dengan ikan
asin. Kami bertiga menikmati nasi goreng hijau. Aku dipujinya pintar
memasak.
Selesai menikmati sarapan kami lalu bersepakat mandi pagi bersama-sama.
Pada mandi pagi itu aku sudah kehilangan gairah, jadi meski mandi bareng
dan berbugil ria, tapi aku kurang terangsang. Sehingga mandi pagi itu
lancar-lancar saja.
Aku berpakaian seperti semula, celana jeans dan kaus oblong.
Suasana cerah sekali, kopi masih setengah gelas dan sudah kehilangan
panasnya. Tapi aku tidak masalah, tetap saja menyukai kopi yang sudah
tidak hangat lagi.
Aku mendengar ada suara mengobrol yang agaknya aku kenal. Benar saja
John dan Dedeh muncul di pintu. Keduanya tampak segar. Memang mereka
baru selesai mandi kelihatannya. Kami bergabung di ruang tamu dan
mengobrol panjang lebar.
Neneng aku pancing-pancing mengenai lingkungannya di desa. Dia nyrocos
aja bahwa banyak temannya yang masih sekolah SMP sudah bisa terima tamu
di rumah. Kedua orang tuanya merelakan saja anaknya menerima tamu dan
menginap di kamar. Informasi yang dibeberkan tanpa bumbu berlebihan,
malah diomongkan seperti tanpa beban, membuat aku dan juga John
ternganga-nganga.
Saya membujuk si Neng untuk mengundang teman-temennya yang masih belia,
dan sudah menerima tamu di rumahnya. Tanpa menunggu lama, dia langsung
berlalu . Kami berempat ngrobrol menganai berbagai hal. Tapi aku fokus
mengorek keterangan berbagai informasi mengenai keterbukaan sex di desa
yang jauh dari keramaian ini.
Sayang si Titin dan Dedeh tidak bisa menceritakan sejarahnya mengapa
desa terpencil gini bisa punya adat membebaskan orang berbuat sex di
rumah tanpa ada rasa malu. Saya kira kalau hanya alasan uang mereka
pasti merantau ke kota besar untuk menjadi PSK.
Baik Titin maupun Dedeh beralasan takut merantau karena mereka merasa
ngeri jika digrebek atau ditangkap petugas. "Ya mending di rumah aja
oom, dapatnya gak banyak juga gak apa-apa, yang penting aman.
Sekitar 2 jam setelah Neneng pergi tadi, dia sudah kembali dengan
rombongan. Ada 5 orang temennya bersamanya. Wajahnya malu-malu, tetapi
semuanya kelihatan masih sangat belia. Aku taksir usianya baru sekitar
12 – 14 tahun. Aku tidak percaya dengan pandangan mataku
sendiri. Anak-anak semuda ini sudah diumbar orang tuanya untuk berbuat
sex bebas.
Memang tidak semuanya berwajah cantik atau manis, tetapi kepolosan dari
wajah kebeliaannya sangat menonjol. Dandanan mereka sangat sederhana
khas wanita desa.
Aku penasaran juga ingin mencicipi mereka, tetapi melawan kelimanya mana
mungkin aku bisa. Sayang juga melepaskan mereka begitu saja. Otak
fotografer langsung konek. Aku menawarkan mereka untuk mau aku foto
dalam keadaan bugil. Aku menjanjikan memberi uang yang untuk ukaran di
desa ini sangat lumayan. Mulanya mereka malu, tetapi jumlah uang yang
aku iming-imingkan itu menggoda mereka untuk menerimanya. "Foto-foto
doang Oom, " tanya salah seorang dari mereka yang kelihatannya paling
tua.
Aku jawab benar, hanya foto-foto saja, tempatnya ya di rumah ini dan di
halaman belakang rumah. Rumah si Titin kebetulan agak memisah dari
tetangga dan dibatasi oleh kerimbunan semak yang merupakan pagar hidup.
Mereka berlima langsung saling pandang dan tertawa malu sambil menutupkan tangannya ke mulut.
Titin dan Dedeh dengan bahasa setempat membantu aku agar mereka mau saja
menerima tawaranku. Kata dia uang segitu lumayan, Cuma difoto-foto
doang paling juga gak lama. Titin akhirnya menggiring kelima anak itu
masuk kamar untuk melepas semua pakaiannya. Tidak lama kemudian dia
keluar dan menutup pintu depan. Ruangan menjadi agak redup, aku membuka
semua jendela dan menutup sedikit kordijnnya.
Neneng merajuk, dia juga ingin difoto karena ingin dapat duit lagi. Aku
setuju saja, Dia kemudian berlari masuk kamar di tempat anak-anak tadi.
"Oom kalau kita-kita boleh juga enggak difoto," tanya Dedeh. " Lumayan
oom untuk tambah-tambah," sambungnya lagi.
Aku langsung memikirkan skenarionya. " ok," kataku.
Dedeh dan Titin ikut masuk kamar untuk melepas baju.
John memprotes aku, kata dia biayanya lumayan besar, cukup untuk "tiarap" dua malam lagi.
Tapi aku bilang, tenang aja, "ente gak usah keluar uang, gua aja yang bayar semua,"
Pintu kamar terbuka. Diawali dengan si Neneng keluar sambil masih
berusaha menutup teteknya dan memeknya, yang lain juga jadi ikut-ikutan
begitu. Terakhir si Titin dan Dedeh tanpa canggung keluar dengan
telanjang bulat dan tidak menutupi auratnya
Aku lalu mengatur posisi 8 orang itu. Pertama-tama aku mengambil mereka
dengan foto bersama berjajar, berkali-kali. Setelah itu aku mengatur
posisi masing-masing seperti sedang melakukan kesibukan di rumah. Dia
bale-bale mereka yang masih belia aku suruh duduk sambil membuka
selangkangannya. Mereka masih belum berjembut semua Berbagai posisi aku
ambil dan secara bergantian aku ambil satu persatu dengan berbagai gaya
sampai pada close up memeknya dan teteknya.
Setelah itu dua perempuan yang sudah dewasa juga aku shoot dengan berbagai posisi sampai close up memeknya masih-masing.
Dari ruang tamu aku arahkan bergerak ke arah dapur. Meski dapurnya
sempit, tetapi karena ada akses pintu ke belakang, dan ketika dibuka
lumayan memberi cahaya masuk dan aku bisa membidik kamera dengan
berbagai angel. Ternyata di belakang rumah ada halaman yang tidak
seberapa tetapi bersih dan ada pula sumur di situ. Mereka lalu aku
arahkan ke halaman belakang berbagai gaya dan tampak latar belakang
rumah pedesaan yang sederhana. Dibelakang rumah Titin, ternyata
perkebunan tebu. Agak semak memang, aku membersihkan beberapa semak
sehingga kelihatan tidak terlalu banyak daun tebu kering. Mereka pun aku
atur berpose di seputaran kebun Tebu. Jadi Foto-foto itu sangat asri
karena diantaranya ada juga di dekat kandang kambing, kandang ayam,
sumur dan ada pula dangau di tengah kebun tebu.
Aku akhirnya lelah juga karena acara foto-fotoan telanjang hampir 2 jam
juga. Memori card berkapasitas 8 G hampir penuh, padahal masing-masing
image 5 mega.
Untung masih telintas diotakku foto0 mereka setengah telanjang. Mereka
kuminta membawa pakaiannya ke belakang karena aku akan memfoto mereka
dengan hanya mengenakan celana dalam , dengan kutang dan baju yang masih
memperlihatkan aurat mereka sedikit di sekitar sumur.
Akhirnya tuntas sudah memori 8 giga penuh. Tidak semuanya foto, setengahnya adalah video. ***
No comments:
Post a Comment