SEJAK mendapatkan haid pertamanya, Cima (12 tahun), adik iparku, jadi
semakin jarang main ke rumah, mijit dan injek-injekin badanku. Apalagi
kalau bertepatan saat badan lagi butuh2nya minta sentuhan keras
tangannya, aka. dipijit. Engga' ada orang lain lagi sih yg bsa dimintain tolong. Mana isteriku-sayang keliatan capek ngasuh anak.
Tapi entah angin darimana, suatu sore, saat kami ngumpul di ruang depan rumah, isteri bilang ke Cima, "Injek-injekin tuh!"
Saat itu juga, otomatis, dengan gaya jenaka, aku langsung tengkurap,
"Oia bener nih! Kebetulan banget telapak kaki, paha, pinggang, dan
punggung lagi pegel banget."
Rada2 males, Cima menginjak-injaki badanku. Pertama telapak kaki, lalu
lanjut ke paha, kemudian pinggang, hingga punggung. Nyaman rasanya.
Perasaan, berat badan Cima jadi nambah. 30 menit lewat, kayak sebentar
banget.
Beberapa saat kemudian, isteriku ke belakang, aku membisiki ke Cima, "Ntar malam, ya De, lanjut?"
"Oke, Ka!" jawab Cima sambil tersenyum tulus.
MALAM hari di rumah neneknya isteri, tempat tinggal Cima. Usai shalat isya di masjid, aku langsung duduk di ruang tamu.
"Assalamualaikum. Cima...!"
"Ya, Ka. Udah siap?" suara Cima terdengar dari dalam kamarnya. "Ayo, De!" sahutku.
JARANG-jarang Cima menggunakan tangan untuk memijit badanku. Malam
tersebut, aku bisa merasakan halusnya jari-jemari Cima, meniti bagian2
badanku.
Sekitar limabelas menit berlalu, kedua tangannya yang hangat menyentuh
kedua rusukku yang berada di bawah ketiak. Aku terkesiap. Ada rasa geli,
merinding. Sesaat aku membalikkan badanku pelan2. Sementara posisi Cima
sedang berlutut, kedua lututnya berada di pinggir kedua sisi
pinggangku. Kami saling diam, saling memandang. Aku kemudian memegang
kedua telapak tangan Cima. Aku bangun dan duduk. Cima kutarik perlahan
ke arah dadaku.
Cima tidak menolak. Kami kemudian sudah saling berpelukan. Cima
kupangku, sementara penisku mengeras begitu bersentuhan dengan
vaginanya.
Entah bagaimana cara dan ceritanya, tau-tau dalam hitungan detik, kami
sudah bertelanjang bulat. Rumah nenek Cima kebetulan sepi, masih pada
pengajian malam di masjid. Aroma mesum sangat kerasa di antara kami.
Cima mendesah, nafasnya ngos-ngosan. Dada dan puting kami saling
bersentuhan. Payudaranya sebesar bola tenis, ukuran sekepalan tangan.
Sesekali aku elus lembut ujung putingnya yang cokelat.
"Enghh, hmmmffftt....!" Cima mengerang. Mungkin dia horni. Penisku yang
keras menekan-nekan vaginanya yang masih belum berbulu. Aku merasakan
deru nafasnya di kupingku, nafas birahi dan horni Cima.
Tiga menit berlalu.
"Diam, Ka. Tahan di situ." Cima merangkul punggungku kencang. Aku diam
sbgmn yang dia minta. Pantat Cima bergerak naik turun, ia
menggesek-gesekkan klitorisnya ke penisku. Kami saling berpandangan.
Muka polosnya semakin cantik, berkeringat, mulutnya menganga menikmati
gesekan demi gesekan. Sekitar tiga menit, goyangan naik-turunnya semakin
cepat, semakin kencang, Cima merangkul punggungku semakin kuat. Badan
dan kepalanya terangkat.
Sementara aku merasakan ada kedutan2 di penisku. Ah, aku membatin, "Gila
ini, aku mau 'keluar'. Mana lagi hot²nya pula." Khawatir kentang.
"Aargghhh!" Cima berteriak kecil. Matanya mendelik, merem-melek,
lidahnya menjulur. Lalu mendadak lemas di kasur. Dia mndptkn orgasmenya.
Saat itu juga, aku ngecrot, pas di atas vaginanya. Aku pun ikut lemas.
Kami bertindihan. Cima senyum² malu gitu. Ada rasa puas di muka Cima. "Enak ya?"
Cima mngangguk polos. Kami kemudian berpelukan.
SETELAH kjadian malam tsb, kami jd saling diam. Kadang, suatu hari,
ketika sambil mengasuh anakku, Cima suka ketangkap mata ketika dia sdg
melirikku, tersenyum. Ada sinyal yg terpancar, se-olah² ia ingin 'minta
lagi'. Dan, begitulah yg terjadi. Entah kapan dan di mana, kami kadang
suka mengadakan kencan² rahasia. Itu berlanjut hingga dia menjelang
lulus SMP sekarang. Engga tau deh kapan kami mulai ML, pelbagai posisi
bercinta (kamasutra) sudah kami praktekkan. Tapi tetaplah, save sex with
kondom, meski sering juga tanpa itu.
Hubungan saling suka dan saling pengertian sdh makin terbangun di antara
Cima dan aku, seaman mungkin dan serapat mungkin membungkus rapih
skandal seks kami. Kami kadang suka khawatir, takut ketauan. Tapi kami
optimis sj: Hrs pandai cari aman!
No comments:
Post a Comment