kisah nyata pengalamanku pribadi. Aku mau menceritakan kisahku yang
sebenarnya pada Shindy, anak ketiga perempuan berusia 11 tahun dalam
keluarga itu. Dia saat ini masih duduk di bangku kelas 5 SD. Anaknya
Centil dan sangat grusah-grusuh, tapi baik hati. Shindy suka membawakan
makanan kecil dan selalu ga menolak ketika disuruh membelikan rokok.
Saat aku tidur sore, dia suka membangunkan aku, menyuruh agar cepat
mandi. Tak lupa setelah itu dia membawakan PR-nya untuk kami kerjakan
bersama. Tentu saja aku suka, karean Shindy memang anak yang baik,
bersih, berkulit putih. Ayah ibunya sangat senang, karena aku suka
mengajarinya menyanyi oleh vocal. Sebagai mahasiswa Fakultas Kesenian
jurusan etnomusikologi, aku juga senang memainkan gitar klasikku.
Terkadang dari seberangkamarku, ibu Shindy suka mengikuti nyanyianku.
Apalagi kalau aku memetik gitarku dengan lagu-lagu nostalgia seperti
Love Sotery atau send me the pillow.
Sore itu, aku gerah sekali. Aku mengenakan kain sarung. Biasa itu aku
lakukan untuk mengusir rasa gerah. Semua keluargatau itu. Kali ini
seperti biasanya aku mengenakan kain sarung tanpa baju seperti biasanya,
hanya saja kali ini aku tidak mengenakan CD.
Wandy (nama samaran)
ibu pergi dulu ya. Temani Shindy, ya, ibu kosku setengah berteriak dari ruang tamu.
Ok
bu!jawabku singkat. Aku duduk di tempat tidurku sembari membaca
novel Pramoedya Ananta Toer. AKu mendengar suara pintu tertutup dan
Shindy menguncinya. Tak lama Shindy datang ke kamarku. Dia hanya memakai
minishirt. Mungkin karean gerah juga. Terlihat jelas olehku, teteknya
yang mungil baru tumbuh membayang. Pentilnya yang aku rasa baru sebesar
beras menyembul dari balik minishirt itu. Shindy baru saja mandi.
Memakai celana hotpant. Entah kenapa, tiba-tiba burungku menggeliat.
Saat Shindy mendekatiku, langsung dia kupeluk dan kucium pipinya.
Mencium pipinya, sudah menjadi hal yang biasa. Di depan ibu dan ayahnya,
aku sudah beberapa kali mencium pipinya, terkadang mencubit pipi montok
putih mulus itu.
Shindy pun kupangku. Kupeluk dengannafsu. Dia diam saja, karen tak tau
apa yang bakal tejadi. Setelah puas mencium kedua pipinya, kini kucium
bibirnya. Biobir bagian bawah yang tipis itu kusedot perlahan sekali
dengan lembut. Shindy menatapku dalam diam. Aku tersenyum dan Shindy
membalas senyumku. Shindy berontak sat lidahku memasuki mulutnya. Tapi
aku tetap mengelus-elus rambutnya.
Ulurkan lidahmu, nanti kamu akan tau, betapa enaknya, kataku berusaha menggunakan bahasa anak-anak.
Ah
jijik,katanya. Aku terus merayunya dengan lembut. Akhirnya Shindy
menurutinya. Aku mengulum bibirnya dengan lembut. Sebaliknya kuajari dia
mkenyedot-nyedot lidahku. Sebelumnya aku mengatakan, kalau aku sudah
sikat gigi.
Bagaimana, enak kan? kataku. Shindy diam saja. Aku berjanji akan
memberikan yang lebih nikmat lagi. Shindy mengangukkan kepalanya. Dia
mau yang lebih nikmat lagi. Dengan pelan kubuka minishirt-nya.
Malu dong kak? katanya. Aku meyakinkannya, kalau kami hanya berdua di
rumah dan tak akan ada yang melihat. Aku bujuk dia kalau kalau mau tau
rasa enak dan nanti akan kubawa jajan. Bujukanku mengena. Perlahan
kubuka minishirt-nya. Bul
.buah dadanya yang baru tumbuh itu menyembul.
Benar saja, pentilnya masih sebesar beras. Dengan lembut dan sangat
hati-hati, kujilati teteknya itu. Lidahku bermain di pentil teteknya.
Kiri dan kanan. Kulihat Shindy mulai kegelian.
Bagaimana
enakkan? Mau diterusin atau stop aja? tanyaku. Shindy hanya tersenyum saja.
Kuturunkan dia dari pangkuanku. Lalu kuminta dia bertelanjang. Mulanya
dia menolak, tapi aku terus membujuknya dan akupun melepaskan kain
sarungku, hingga aku lebih dulu telanjang. Perlahan kubuka celana
pendeknya dan kolornya. Lalu dia kupangku lagi. Kini belahan vaginanya
kurapatkan ke burungku yang sudah berdiri tegak bagai tiang bendera.
Tubuhnya yang mungil menempel di tubuhku. Kami berpelukan dan bergantian
menyedot bibir dan lidah. Dengan cepat sekali Shindy dapat mempelajari
apa ya
kusarankan. Dia benar-benar menikmati jilatanku pada teteknya yang mungil itu.
"Shindy mau lebih enak lagi enggak?" tanyaku. Lagi-lagi Shindy diam.
Kutidurkan dia di atas tempat tidurku. Lalu kukangkangkan kedua pahanya.
Vagina mulus tanpa bulu dan bibir itu, begitu indahnya. Mulai kujilati
vaginanya. Dengan lidah secara lembut kuarahkan lidahku pada
klitorisnya. Naik-turun, naik-turun. Kulihat Shindy memejamkan matanya.
"Bagaimana, nikmat?" tanyaku. Lagi-lagi Shindy yang suka grusah grusuh
itu diam saja. Kulanjutkan menjilati vaginanya. Aku belum sampai hati
merusak perawannya. Dia harus tetap perawan, pikirku. Shindy pun
menggelinjang. Tiba-tiba dia minta berhenti. Saat aku memberhentikannya,
dia dengan cepat berlari ke kamar mandi. Aku mendengar suara, Shindy
sedang kencing. AKua mengerti, kalau Shindy masih kecil. Setelah dia
cebok, dia kembali lagi ke kamarku.
Shindy meminta lagi, agar teteknya dijilati. Nanti kalau sudah tetek di
jilati, ***** Shindy jilati lagi ya Kak? katanya. Aku tersenyum. Dia
sudah dapat rasa nikmat pikirku. Aku mengangguk. Setelah dia kurebahkan
kembali di tempat tidur, kukangkangkan kedua pahanya. Kini burungku
kugesek-gesekkan ke vaginanya. Kucari klitorisnya. Pada klitoris itulah
kepala burungku kugesek-gesekkan. Aku sengaja memegang burungku, agar
tak sampai merusak Shindy. Sementara lidahku, terus menjilati puting
teteknya. Aku merasa tak puas. Walaupun aku laki-laki, aku selalu
menyediakan lotion di kamarku, kalau hari panas lotion itu mampu
mengghilangkan kegerahan pada kulitku. Dengan cepat lotion itu kuolesi
pada bvurungku. Lalu kuolesi pula pada vagina Shindy dan
selangkangannya. Kini Shindy kembali kupangku.
Vaginanya yang sudah licin dan burungku yang sudah licin, berlaga.
Kugesek-gesek. Pantatnya yang mungil kumaju-mundurkan. Tangan kananku
berada di pantatnya agar mudah memaju-mundurkannya. Sebelah lagi
tanganku memeluk tubuhnya. Dadanya yang ditumbuhi tetek munguil itu
merapat ke perutku. Aku tertunduk untuk menjilati lehernya. Rasa licin
akibat lotion membuat Shindy semakin kuat memeluk leherku. Aku juga
memeluknya erat. Kini bungkahan lahar mau meletus dari burungku. Dengan
cepat kuarahkan kepala burungku ke lubang vaginanya. Setelah menempel
dengan cepat tanganku mengocok burung yang tegang itu. Dan
crooot...crooot...crooot. Spermaku keluar. Aku yakin, dia sperma itu
akan muncrat di lubang vagina Shindy. Kini tubuh Shindy kudekap kuat.
Shindy membalas dekapanku. Nafasnya semakin tak teratur.
"Ah...kak, Shindy mau pipis nih," katanya.
"Pipis saja," kataku sembari memeluknya semakin erat. Shindy membalas
pelukanku lebih erat lagi. Kedua kakinya menjepit pinggangku, kuat
sekali. Aku membiarkannya memperlakukan aku demikian. Tak lama.
Perlahan-lahan jepitan kedua aki Shindy melemas. Rangkulannya pada
leherku, juga melemas. Dengan kasih sayang, aku mencium pipinya.
Kugendong dia ke kamar mandi. Aku tak melihat ada sperma di
selangkangannya. Mungkinkah spermaku memasuki vaginanya? Aku tak
perduli, karean aku tau Shindy belum haid.
Kupakaikan pakaiannya, setelah di kamar. Aku makai kain sarungku. Mari kita bobo, kataku. Shindy menganguk.
"Besok lagi, ya Kak," katanya.
"Ya..besok lagi atau nanti. Tapi ini rahasia kita berdua ya. Tak boleh
diketahui oleh siapapun juga," kataku. Shindy mengangguk. Kucium pipinya
dan kami tertidur pulas di kamar.
Kami terbangun, setelah terdengar suara bell. Shindy kubangunkan untuk
membuka pintu. Mamanya pulang dengan papanya. Sedang aku pura-pura
tertidur. Jantungku berdetak keras. Apakah Shindy menceritakan kejadian
itu kepada mamanya atau tidak. Ternyata tidak. Shindy hanya bercerita,
kalau dia ketiduran di sampingku yang katanya masih tertidur pulas.
"Sudah buat PR, tanya papanya.
"Sudah siap, dibantu kakak tadi," katanya. Ternyata Shindy secara refleks sudah pandai berbohong. Selamat, pikirku.
Setelah itu, setiap kali ada kesempatan, kami selalu bertelanjang. Jika
kesempatan sempit, kami hanya cipokan saja. Aku menggendongnya lalu
mencium bibirnya.
Hal itu kami lakukan 16 bulan lamanya, sampai aku jadi sarjana dan aku harus mencari pekerjaan.
Malam perpisahan, kami melakukannya. Karena terlalu sering melaga kepala burungku ke vaginanya, keti
ka kukuakkan vaginanya, aku melihat selaput daranya masioh utuh. Masa
depannya pasti masih baik, pikirku. Aku tak merusak vagina mungil itu.
Sesekali aku merindukan Shindy, setelah lima tahun kejadian. AKu tak
tahu sebesar apa teteknya sekarang, apakah dia ketagihan atau tidak.
Kalau ketagihan, apakah perawannya sudah jebol atau tidak. Semoga saja
tidak.
No comments:
Post a Comment