Hallo, ini Pak Kartolo ya?, aku menelepon seorang pria yang fotonya aku
dapatkan di buku harian Tono. Jelas aku sangat penasaran, dari sekian
banyak foto gadis-gadis, ternyata ada satu-satunya foto pria. Apakah
Tono memiliki kelainan? Apa dia itu pecinta sesama jenis? Foto pria
berkumis tebal itu tertera nomor handphone nya. Aku pun menelponnya dan
membuat jadwal ketemu.
Sebuah cafe, tempat tongkrongan kami terdahulunya. Sejak adanya tempat
usaha, kami sudah jarang nongkrong di sini. Ku lihat om-om seperti di
foto sudah duduk di ujung sana. Pak Kartolo?, sapaku. Oh, iya, salam
kenal, jawabnya sambil berjabat tangan. Saya Satorman, temannya Tono,
aku memperkenalkan diri.
Kami pun sedikit berbasa-basi. Dari pembicaraan, aku pun mulai tahu,
pria ini bukanlah korban nafsu seks Tono. Ada sebuah bisnis yang mereka
jalankan, aku pun mulai menguaknya. Pria itu mengajakku ikut dengannya.
Terpaksa motor ku tinggal di cafe, dan ikut dengannya dengan mobil
Toyota Innova nya yang terlihat mewah.
Sepanjang perjalanan pria itu menceritakan tentang sifat Tono yang
hypersex. Dan sekarang aku dibawa ke tempat biasa Tono menyalurkan
hasratnya. Karena kamu teman Tono, saya hitung gratis untuk biaya
perkenalan, kata pria itu. Sepertinya ia adalah seorang mucikari, Cuma
aku sedikit penasaran, di mana usahanya, dan gadis-gadis secantik apa
yang ia pekerjakan sehingga Tono bisa ketagihan.
Aku dibawa ke pemukiman yang sedikit kumuh, pria ini tidak takut
mobilnya lecet, kami menyusuri gang-gang kecil yang penuh dengan sampah.
Hingga sampai di dalam, ada pagar dari seng bekas yang menutupi jalan
kami, seorang pria yang berjaga-jaga memberi hormat lalu membukakan
pagar itu. Di balik pagar ternyata ada sebuah rumah cukup mewah, dua
lantai, tamannya cukup luas.
Ayo man, dia mengajakku masuk ke rumahnya. Aku sangat kaget, melihat
ruang tamunya yang dipenuhi dengan anak kecil yang sedang bercanda ria.
Semuanya anak-anak perempuan, kisaran delapan hingga lima belas tahun.
Ada yang sedang berbincang-bincang, ada yang bermain handphone, dan ada
yang sedang duduk menonton televisi. Pilih saja mana yang kamu suka,
kata Pak Kartolo.
Ternyata di sini adalah sarangnya prostitusi anak di bawah umur. Aku
sangat kaget, para anak-anak itu pun terlihat ceria, dan mereka
sepertinya pandai merawat tubuh, semuanya cantik-cantik. Tenang saja
man, di sini kita mempekerjakan anak-anak jalanan yang sebatang kara
saja, sambung Pak Kartolo. Mereka butuh makan, jadi saya tawarkan
untuk bekerja di sini, katanya dengan tanpa rasa bersalah. Apa Tono
tidak pernah cerita?, tanyanya.
Aku sudah terlanjur menguak semua ini, aku sangat terpaksa menjawab,
Sepertinya aku harus segera pulang.., kataku. Wah, kamu
mengecewakanku man, kata Pak Kartolo. Saya kasih gratis loh,
sambungnya, Kamu tahu berapa mahalnya harga di sini?. Aku terdiam,
sepertinya aku tidak bisa pergi dari sini dengan mudah. Kamu tidak
minat dengan yang di sini?, tanya Pak Kartolo karena aku terdiam,
mungkin pikirnya aku seperti Tono, pengidap kelainan seks.
Hmm, masih ada satu anak, itu langganan Tono, ayo ikut saya, Pak
Kartolo mengajakku naik ke lantai dua. Di sana banyak sekali bili-bilik
kamar, beberapa pria berlalu lalang, entah pria hidung belang atau
penjaga di sana. Nah, masuk lah, saya kasih gratis dua jam, kata Pak
Kartolo membuka pintu salah satu bilik kamar. Ini kesukaan Tono loh,
ia berbisik di telingaku lalu menyuruhku masuk.
Kamarnya cukup mewah seperti hotel, ada televisi dan AC, di kasur ku
lihat seorang anak sedang terikat di sana. Aku sangat kaget, anak
perempuan itu memandang ke arahku, dengan tanpa mengenakan busana, ia
meronta-ronta. Ku tutup pintu, lalu ku dekati, aku sangat penasaran
mengapa anak ini diperlakukan seperti ini.
Anak perempuan inis sangat cantik, bersih dan putih. Buah dadanya baru
saja menyebul seperti anak yang baru tumbuh remaja. Herannya melihatnya
begitu bukan membuatku kasihan, penisku malah terasa mengaceng. Namun ku
coba tahan, aku dekati dan duduk di sampingnya. Adik kenapa di sini?,
tanyaku. Anak itu tidak menjawab, malahan ia terus melihatku dengan
wajah memelas. Terpaksa aku pun menjelaskan semuanya. Aku ke sini bukan
untuk menyalurkan nafsu..., kataku. Aku hanya penasaran dengan
kegiatan almarhum temanku, Tono, aku mulai bercerita kepada gadis yang
terikat di kasur.
Walaupun penisku mengaceng, namun aku menahannya, sambil
sebentar-sebentar ku lihat ke arah susunya yang kecil itu. Aku pun mulai
lagi bercerita, Pak Kartolo menyuruhku masuk ke kamar ini, kataku.
Dan gadis itu pun mulai mau bersuara, Abang gak mau perkosa saya?,
tanyanya. Ah, aku..., susah aku menjawab, jantungku berdegup kencang,
ingin sekali aku menyalurkan nafsuku itu. Namaku Gisela..., kata gadis
itu. Aku di sini hanya cari uang bang... Aku harap abang mau
bersetubuh denganku, katanya langsung membuatku shock sebentar.
Kasihan, aku bukan bernafsu lagi, namun segera kulepaskan ikatannya.
Dengar ya dik, abang Cuma mau tahu apa yang dilakukan Tono di sini,
aku menjelaskan kepada anak itu setelah melepaskan ikatannya. Gisela
duduk di sampingku, ia mulai bercerita kisahnya yang kelam, seperti kata
Pak Kartolo, Gisela ternyata memang sebatang kara.
Kami mulai akrab, Gisela ternyata anak yang periang, seperti tanpa beban
ia bercerita kisahnya. Di sini ia baru bekerja beberapa bulan.
Pelanggan pertamanya adalah Tono, Bang Tono datang dan cari anak baru,
cerita Gisela. Karena kecantikan Gisela, apalagi saat itu adalah anak
baru, Tono lalu menjatuhkan pilihan pada Gisela. Walaupun Pak Kartolo
menetapkan harga yang cukup tinggi, namun Tono berani membayar demi
gadis segar yang masih perawan itu.
Bang Tono sedikit gila bang, dia suka menyetubuhiku dengan keadaan
terikat, seolah-olah seperti diperkosa, jelasnya. Aku mulai tertarik
dengan anak yang tegar ini. Ceritanya cukup panjang dan mendetail
tentang Tono. Dan tak disangka kami semakin akrab selama hampir satu
jam. Gisela duduk semakin dekat, memelukku, kemudian ia duduk naik ke
pangkuanku. Penisku tersentuh oleh pantatnya itu hingga langsung saja
ngaceng.
Kuarahkan tubuhnya agar berhadap-hadapan denganku. Aku merasa aku boleh
mencicipinya sebentar saja, agar aku tahu sensasi apa yang dirasakan
Tono selama ini. Setelah wajah kami berhadapan, aku mencium bibirnya.
Kuminta dia menjulurkan lidahnya dan kusedot-sedot perlahan.
Gantian aku yang disedot. Aku mengelus-elus susunya, hampir rata,
susunya kecil, mungil dengan pentilnya sebesar pentil susuku. Putingnya
lalu kujilati. Kulihat Gisela merasa geli pada awalnya. Lama kelamaan
dia semakin suka.
Kurebahkan dia di kasur, lalu ku buka pakaianku sampai aku telanjang
bulat dengan penisku yang berdiri. Gisela menatap penisku yang berdiri.
Aku langsung mengangkangkan keduapahanya dan menjilati vaginanya yang
masih polos belum berbulu itu. Kulihat klitorisnya masih benar-benar
kecil. Gisela menggeliat dan mulai menikmatinya. Tiba-tiba dia
menjepiktu dengan kedua kakinya. Tak lama, seperi kasur basah, karena
dia kencingi. Mukaku juga terkena kencingnya.
Kulihat Gisela mulai ketakutan sekali, telah mengencingi mukaku.
Wajahnya kembali normal saat dia melihat senyumku. Aku membiarkan
kencing itu membahasi kasur. Aku gendong dia ke kamar mandi yang berada
dalam kamar, aku kemudian membersihkan diri. Kami masih telanjang. Aku
memandikannya dalam kamar mandi. Tubuh mungilnya ku elus-elus. Sungguh
luar biasa, tidak heran Tono sampai ketagihan ke sini.
Setelah bersih dan harum sabun, aku pun membawanya keluar kamar mandi,
kami kembali ke kasur. Kubaringkan dia lalu ku cari sesuatu di laci meja
tempat taruh televisi. Bukan di sana, laci yang bawah lagi, kata
Gisela. Sepertinya dia tahu apa yang aku cari. Ku temukan beberapa
bungkus kondom, lalu aku pakaikan ke penisku.
Lalu aku pun mulai mengarahkan penisku mengena di lubang vaginanya. Dia
dalam pangkuanku meminta agar dia menekan tubuhnya, agar penisku bisa
masuk. Dia lakukan. Sebentar-sebentar dia mengatakan sakit, ia sedikit
merintih, vaginanya yang masih kecil itu masih cukup sempit untuk
kujebol. Kutekan penisku perlahan hingga Gisela meringis, Arg. Ku
menciumi bibirnya dan terus menyapu-nyapu susunya yang kecil. Aku
menekan lagi penisku, Gisela merintih nikmat, kutekan lagi penisku dan
penisku masuk semua.
Gisela menggigit bibir bawahnya, entah karena sakit atau karena
kenikmatan. Lalu aku menciumi pipinya dan menjilati pula susunya.
Perlahanaku menarik penisku keluar, hingga Gisela merintih nikmat. Aku
tekan lagi perlahan-lahan merintih nikmat lagi. Kutarik perlahan,
kutusuk perlahan dan seterusnya. Sangat nikmat sekali rupanya
menyetubuhi gadis sekecil ini. Gisela tidak keberatan, ia malah seperti
menikmatinya.
Gisela kemudian memelukku. Kuangkat tubuhnya dalam gendonganku, karena
kasihan menindihnya dengan tubuhku yang lebih berat darinya. Kubiarkan
penisku di dalam vaginanya. Aku hanya menjilati lehernya dan berganti
menjilati susunya bergantian, kiri-kanan. Gisela pun kemudian
meliuk-liukkan tubuhnya, membuat penisku tersentuh-sentuh sesuatu di
dalam vaginanya. Nikmat sekali.
Gisela diam saja, tapi pinggulnya masih terus meliuk-liuk. Aku
memeluknya dan mengulum-ngulum bibirnya. Sesekali kujulurkan lidahku
menjilati langit-langitnya dan mempermainkan lidahnya pula.
Gisela meluk-liukkan tubuhnya semakin cepat dan cepat. Jemarinya
mencengkram di pundakku. Terasa kukunya walau tidak panjang, tapi
menekan kulitku. Aku peluk dia erat sembari mengusap usap pungungnya dan
bibirku terus menyedot-nyedot bibirnya yang mungil. "Argh...,"
rintihnya kemudian berhenti meliuk-liukkan tubuhnya dan aku juga merasa
berada di ujung sana. Kupeluk dia erat sekali dan kutekan penisku
semakin dalam sampai menyentuh sesuatu di ujung sana. Aku merasakan
nikmat tiada tara, penisku bergetar kencang dan akhirnya CROT, aku
orgasme.
Kutatap wajahnya yang pasi dan letih. Aku mencium pipinya dan kubisikkan
kata ke telinganya, "Kamu hebat.." kataku. Gisela baring di kasur, lalu
ku pakai kembali pakaianku. Aku pun meninggalkannya sendiri di kamar.
Kalau minat, sms saja, entar saya yang jemput, kata Pak Kartolo
menunggu di lantai satu, ia kemudian mengantarku kembali ke cafe.
Terima kasih, lain kali saya hubungi lagi, kataku.
TAMAT
No comments:
Post a Comment