Friday 15 June 2018

Ada Cinta di SMA : Bab 12 ~ Kerelaan Hati Menjadi Sex Buddy Saja

Gue pandangi wajah Dea dengan serius.

“Menurut lo ini bakal berhasil?” tanya gue sambil meneguk sekaleng fanta.

“Udah deh, percaya gue.. ini yg terbaik buat elo berdua.”

“Tapi..”

“Apaan?”

“Hmm yaudah deh..” kata gue. Kemudian gue menyalakan ponsel gue, dan mencoba menghubungi nomor hp Sasa.

Tuutt.. Tuutt.. Tuutt..

“...”

“Halo?”

“...”

“Saa?”

“.. rell..”

“Are u okay? Kamu lagi dimana? Bisa ketemu sekarang?”

Selama sepersekian detik tak terdengar jawaban.

“Aku matiin nih?” kata gue mencoba mengancam.

“... Aku di rumah. Kamu boleh ke rumah, lagi sepi juga..”

“Kita out aja ya? Gue lagi pengen cari suasana baru. Setengah jam lagi gue sampe.”

“Oke deh,”

Lalu gue memencet tombol end.


“Oke deh, gue ikutin apa kata lo semalem. Tapi, jangan salahin gue kalo pas di TKP ntar gue berimprovisasi..”

“Terserah lu deh.. gue Cuma ngasih masukan aja biar kalian bisa baikan..” kata Dea. Tangannya mengelus telapak tangan gue, kemudian menggenggamnya.

Be stronger, bro. Like last night, remember?” ujarnya sambil terkekeh. Gue hanya senyam-senyum sendiri mendengarnya.


15 menit kemudian gue sudah siap. Gue sudah berpakaian serapi mungkin, sekeren mungkin, karena gue gak tahu bakalan gimana nasib hubungan gue sama Sasa. Mungkin kami sudah sama sama berada dalam titik ‘jenuh’. Menurut gue itu hal yg wajar dalam sebuah hubungan.

“Gue berangkat dulu ya,” kata gue sambil membunyikan klakson kepada Dea. Ia hanya tersenyum sambil melambaikan tangannya.

Gue langsung meluncur menuju ke rumah Sasa. Setibanya di rumahnya, gue bunyikan klakson mobil gue, dan tak lama kemudian munculah Sasa, TANPA MENGENAKAN JILBAB! Ia mengenakan setelan outfit casual dengan bawahan celana jeans, dan sepatu pink berlogo tanda ‘centang’.

Dia langsung masuk ke dalam mobil.

“Kesurupan apa, Sa? Kok engga pake jilbab?” kata gue sekedar berbasa basi dengannya. Buat gue, yg sudah biasa melihatnya tanpa jilbab, rambutnya yg panjang itu terlihat biasa saja di mata gue. Namun bagi orang lain, mungkin mereka akan melihat sesosok ‘Dian Sastro’ saat masih main di AADC I. Memang gue akui kalo keduanya memiliki bentuk rambut dan wajah yg sama.

“Hmm.. kayaknya aku udah ga pantes lagi deh pake hijab di depan kamu.” Katanya lirih. Ia menunduk terus sedari tadi.

“Apaan sih kamu, sayang..” gue mencoba membuatnya nyaman dengan mengelus tangannya, tetapi tanpa gue duga ternyata dia menghindar.

“Udah, rel. Langsung cabut aja,” katanya, masih tetap tak mau menoleh ke arah gue.


Gue hanya menghela nafas. Gue tutup jendela mobil, menyalakan AC, dan kemudian melesat menuju tempat tujuan.

Setelah sepanjang perjalanan gue mencari tempat yg pas buat ngomong berdua, akhirnya gue menghentikan mobil gue di sebuah cafe di jalan Patang Puluhan.

Turun dari mobil, gue coba menggandeng tangannya, dan ia menurut saja. Gue melangkah masuk ke dalam, dan suasananya pas sekali! Suasananya remang remang, dengan desain yg menurut gue sangat mendukung apa yg akan gue bicarakan dengan Sasa.

Gue lalu mengajak Sasa naik ke lantai atas, dan mencari tempat duduk di sudut ruangan. Tempat special kami, hehe.


Tak lama kemudian seorang waitress datang dan menyerahkan menu. Gue pun menyerahkannya kepada Sasa dan menyuruhnya untuk memesan.

“Gantian kamu aja. Aku ngikut.” Katanya sambil kembali menyodorkan menu.

Gue hanya mengangkat bahu. Lalu gue memesan coffee latte 2 cangkir. Waitress itu mencatat pesanan kami lalu pergi ke bawah.


Begitu pelayan itu pergi, gue kembali fokus pada apa yg akan gue lakukan saat ini.

Gue pandangi Sasa. Ia masih tidak berani memandangi wajah gue.

“Sasa,” kata gue sambil memegang tangannya. “Look at me.

Dia nampak menghela nafas sejenak, lalu memandangi gue dengan tersenyum kecut.

“Jadi..” gue membuka suara. “Bisa kamu mulai bercerita, kenapa kamu tega ngelakuin hal itu?”

Dia nampak kembali merengut. Tangannya gemetar.

“Hhhh.. jadi gini..” Lalu ia mulai menceritakan asal muasal kejadian itu.

Waktu itu, setelah dia tidak bertemu dengan gue di kosan, dia lalu berencana untuk kembali ke rumah. Tetapi, tiba tiba dia mengiriminya WA. Intinya, dia mengajak Sasa untuk dinner bareng. Lalu, Sasa yg malas balik ke rumah, memutuskan untuk menerima ajakan dari dia.

Sepulang dari acara dinner itu, ia langsung balik ke rumah tanpa sempat mengabari gue. Paginya, saat kedua orang tua Sasa sedang pergi, terbesit di pikirannya untuk menghubungi si dia. Sasa mengajaknya untuk mampir ke rumahnya. Nah, saat mereka sedang berduaan itulah terjadi “hal hal enak” itu.


Gue hanya manggut manggut mendengarkan penjabarannya itu. Dari caranya menjelaskan masalah itu, gue paham bahwa saat ini dia sudah mulai bosan dengan gue.

“Kamu.. emm..masih marah sama aku?” tanyanya takut-takut. Matanya berkaca-kaca.

“Yahh.. awalnya pas aku mergokin kalian lagi mesum, aku udah kebelet mau nggebukin tuh cowok. Tapi, kucoba menahan amarah, dan kuputusin buat pergi aja. Daripada ganggu kalian lagi enak enakan, ya kan?”

Mendengar jawaban gue, Sasa mulai terisak. Air matanya meleleh melewati pipinya yg merona merah menahan gejolak di dalam tubuhnya. Duh, gue paling ga tahan kalo liat Sasa nangis. Caranya nangis gue yakin bikin semua cowok yg melihatnya jadi iba.

Gue lalu mengangkat kursi dan memindahkannya di samping kursi Sasa. Gue coba merangkulnya. Kemudian ia menangis dalam dekapan gue.


Lalu datanglah pelayan yg membawakan pesanan kami. Ia terlihat kebingungan melihat Sasa. Gue pun memberi kode bahwa semua baik-baik saja. Kemudian ia pergi.

Gue mengelus rambutnya perlahan. Gue coba menghapus air mata di pipinya. Gue pegang bibirnya yg merah muda dengan jempol dan telunjuk gue.

“Udah, gak usah nangis. Iya iya aku udah ga marah kok..” kata gue sambil mencoba mengangkat kepalanya. Gue pegangi pundaknya. “Coba tatap mataku, apa aku kelihatan marah?”

Perlahan, dia mulai mengangkat dagunya, dan menatap mata gue. So deep and touching. Tangan gue kemudian bergerak ke pipinya dan menariknya agar ia terlihat tersenyum lebar.

“Nah, senyum donggg... dah lihat, kan?”

Dia memukul pelan tangan kemudian kemudian tertawa cekikikan melihat kelakuan gue.

“Udah ah, iya iya aku percayaa..” katanya manja. Entah siapa duluan yg memulainya, tapi bibir kami kemudian saling bertemu.

“Sllrrpp..hmmpphh..” suara bibir kami yg saling bertemu terdengar cukup keras. Untung saja di sekitar kami tidak ada orang sama sekali, jadinya kami leluasa menebarkan aura birahi kami.

Gue coba memasukkan lidah gue ke mulutnya. Sasa pun mengerti dan membuka celah di mulutnya sehingga lidah kami saling beradu. Air liur kami pun mengalir di sela sela bibir masing masing.

Tangan gue mengelus rambutnya, sementara tangan Sasa memegang pinggang gue.

Cukup lama kami berciuman, hingga dengan sendirinya ciuman itu terlepas.


“Rel, sebenernya aku udah tau semuanya..” tiba tiba Sasa langsung memencet hidung gue.

“Ouch! Tau apaan?”

“Kak Nata udah bilang ke aku. Waktu itu tiba tiba ada sms masuk ke hpku, isinya berupa ucapan semoga lekas sembuh, dari Kak Nata. Trus aku bales, sembuh dari apa. Kak Nata bales, Farrel bilang kalo gue lagi sakit jadi gak bisa ikut ke rumah dia..”

Gue terdiam mendengar hal itu. Ternyata...

“Maaf, Sa.. Aku masih ga rela kalo kamu dijamah sama orang lain. Mohon kamu bisa ngertiin..”

“Tapi kan waktu itu kita udah janji..” balasnya.

“Iya aku tau. Tapiii...” gue sadar kalo gue udah salah ngomong dari awal.

“Oke deh. Ngaku salaahhh..” ujar gue sambil mengangkat tangan.


Di luar dugaan, Sasa tertawa melihat tingkah gue.

“Udah lah, rel. Kita sama sama salah. Sama sama selingkuh, hanya demi kepuasan sesaat.” Katanya sambil merenung.

“Mungkinn..” katanya lagi. “Udah waktunya kita buat...pisah.”

HAH?

“Pisah kenapa, sayang?” kata gue sambil menggenggam tangannya. “Kita udah nyaman nyaman aja ‘kan sejauh ini?”

“Iya tauuu. Aku juga ngerasa kalo kamu itu selalu berusaha ngelindungi aku, selalu bikin aku nyaman, dan pastinya bikin aku puas. Hehe..” katanya sambil tersenyum. “Tapi mungkin, mungkin lho ya, kita udah sama sama bosan. Karena kita sudah mengenal ‘seks’ terlalu jauh. U know lah yaa..”

“Tapi, aku ga mau pisah sama kamu. Aku udah.. aku udah..” kalimat gue terputus. Gue bingung mau ngomong apa. Segalanya berkecamuk di kepala gue, termasuk ‘kejadian’ yg tertadi tadi malam.


Duh, kenapa semua jadi berantakan sih. Gagal deh semua rencana yg disusun oleh Dea.

“Aku punya usul, rell.” Katanya tiba tiba. Dia menggeser badannya mendekat ke arahku.

“Hmm?”

Lalu dia mendekatkan kepalanya ke telinga gue dan berbisik, “Gimana kalo jadi sex buddy aja?”

“Hah? Budak?”

“Dih, telinganya diperiksain dulu di THT gih. Sex buddy, sayang. Teman seks. Ngerti?” kata Sasa dengan sedikit penekanan pada kata aneh itu.

“Oh, jadi semacam one night stand gitu?” tanya gue.

“Yee bukann.. kalo one night stand kan sekali main langsung pergi begitu aja. Kalo ini, kita bisa main sepuasnya tanpa terikat hubungan apapun..” jelasnya panjang lebar.

Gila, makin hebat aja nih bocah.

“Hmm..menurutmu ini yg terbaik buat kita?” tanya gue sekali lagi.

Yeah, i think so.”

Hmm.. Nyerah deh. Gue gak mau memaksa Sasa untuk melanjutkan hubungan ini. Gue juga merasa udah mengkhianati pacar gue yg imut ini. NYESEL!


Gue menghela nafas panjang. Kemudian..

“Hhh.. oke deh.” Kata gue. Lalu gue mengangkat cangkir kopi gue dan mengajak Sasa toast.

Sex buddy?” tanya gue.

Sex buddy.” Jawabnya dengan tersenyum manis.
Last edited: Jan 27, 2018
Indra74, kuloaan, Dj82 and 31 others like this.
kakeklegend23

kakeklegend23 Kakak Semprot
Thread Starter

Daftar:
Aug 18, 2017
Posts:
171
Likes Received:
1,264
Gender:
Male
Location:
Jawa
(FLASHBACK)


“Hmm.. gue males balik ke kosan tuh..” ujar gue sambil melirik ke arah Dea. Ia tersenyum lebar. Matanya berbinar-binar.

“Mmmm.. kalo gitu, kita mau kemana nih?”

“Tidur di mobil enak kali, ya?” kata gue sambil pura pura fokus ke depan.

CTAK!

“Aduh, ngapain juga njitak kepala gue! Sakit tau.” Kata gue sambil mengelus dahi gue.

“Abisnya elo ngga peka peka sih..”

Gue tertawa terbahak-bahak.

“Iya iya, gue ngerti kok..” kata gue sambil mengelus kepalanya. Dea memanyunkan bibirnya .


Beberapa menit kemudian, kami tiba di sebuah penginapan bernama *’**** hotel. Tempatnya bagus sih kalo diliat dari google maps. Dan aslinya pun kelihatannya keren, meskipun dalam keadaan gelap.

Tanpa menunggu lama lagi, gue langsung ke meja receptionist dan menunjukkan SIM gue sebagai tanda identitas. Sekitar 10 menit kemudian, gue dan Dea sudah berada di atas ranjang. Kita saling pandang pandangan. Suasana menjadi canggung.

“Soo?”

“Whatt?”

“Gue ngikut sama yg sering ngentot aja.” Gila, bahasanya.

“Sering apaan?” tanya gue mencoba menggodanya.

“Ngeenttoott sayaaannggg..” katanya sambil mencium pipi gue.


Gue yg udah on fire pun langsung melumat bibir lembutnya. Finally, gue merasakannya lagi. Setelah apa yg terjadi di mobil gue, dulu.

Matanya terpejam. Gue belai punggungnya dengan lembut. Dea pun meresponnya dengan meraba paha gue, lama lama ke selangkangan.

Gue benar benar merasa nyaman dengan rangsangan kecil itu, dan mungkin dia juga merasakan hal yg sama.


Plop. Ciuman kami terlepas. Gue berusaha melepaskan kain penutup tubuh Dea. Dengan sekali sentak, gue berhasil melepaskannya. Dia sepertinya tak mau kalah, langsung membuka kancing celana dan ritsleting gue, kemudian menariknya ke bawah hingga terlepas.

Kemudian kami saling menatap lagi. Kali ini gue mencumbu leher jenjang milik Dea. Leher putih mulus yg membuat setiap pria yg melihatnya tak mampu menyembunyikan kekagumannya. Dan beruntungnya gue bisa mendapatkannya.

Tangan gue dengan sigap langsung merayap ke punggung Dea dan mencari kaitan BH. Dan dengan sekali sentil, terlepaslah BH itu dan munculah surga duniawi di hadapan gue.


[​IMG]

GILA! MULUS BANGET, COY!

Kalo diibaratkan sebuah mobil, ini udah kayak Ferrari yg baru aja keluar tahun ini. Mulus. Tanpa Cacat. Hampir tidak pernah dijamah oleh kaum berbatang.

Gue selama beberapa menit masih terbengong dengan pemandangan indah di hadapan gue.

“Heh, masa’ Cuma dianggurin ajaa..” tiba tiba Dea menyadarkan gue.

“Dihisap dong, sayang,” bisiknya mesra di telinga gue. Gue geli mendengarnya. Tanpa komando lagi, langsung gue caplok puting kecil itu. Warnanya masih merah muda. Benar benar kinyis-kinyis.

“Hmmmhhhh..” Sasa menahan rasa nikmat di ujung payudaranya. Tangannya tak tinggal diam. Ia mulai meraba raba penis gue dari luar celana dalam.

“Ugghhh.. lepasin dong, beb.” Ujar gue sambil mengangkat pantat. Langsung celana gue ditarik dan dibuang ke lantai. Kemudian ia mulai mengocok pelan kepala penis gue.

“Ahh.. yg keras, sayangg..” ujar gue padanya. Gue pun menambah rangsangan kepadanya, dengan mulai meremas remas selangkangannya.

“Ahh..enak relll.. disitu.. lagi!”

Gue pun memintanya untuk mengangkat pantatnya. Dia menurut. Gue lalu melepaskan celananya dan celana dalamnya sekaligus.


Dan.. terpampanglah, harta karun yg luar biasa mahalnya terpampang dihadapan gue. Vagina virgin, dengan bentuk sama dengan milik Sasa saat masih virgin. Bedanya, milik Dea ada sedikit gelambir kecil. Entah apa namanya.. Labia Mayora? Mungkin terlalu banyak masturb, ya.. Hehe.

“Auhhhhh...” lirih Dea mendesah, ketika jari gue menyentuh klitorisnya. Tak tertahankan gue mendengar suara desahannya yg natural banget. Gue mengusap klitorisnya dengan cepat, sementara jari satunya gue tusukkan ke lubang satunya.

“Awwww... shit. Fuck me, rell..” racau Dea sambil meraih leher gue dan kemudian mengecup bibir gue dengan liar.

Gue percepat kocokan itu, hingga tiba tiba tubuhnya melengkung. Kepalanya menengadah ke atas. Mulutnya menganga lebar. Dan, tangan gue terasa basah.

Yup, dia orgasme.


“Wow, basah banget nih memek kamu.” Gue ikutan ngomong nakal. Dea tersenyum kemudian mengecup hidung gue.

“Hmm.. ada yg ngambek nih..” ujar gue sambil menunjuk ke adik kecil gue yg masih tertidur.

“Uluh uluhh.. sini sayang. Main sama kakak, ya..” kata Dea sambil menunduk di atas paha gue. Tangannya menggenggam testis gue, sementara tangan satunya menyentuk lubang kencing gue. Kemudian dia tusuk lubang itu.

“Aduh sakit, bego.” Umpat gue. Dia cekikikan.

“Ehh..adik kecil marah ya? Jangan marah ya. Sini kakak kasih yg enak enak ya,” katanya. Lalu sedetik kemudian, penis gue sudah berada dalam ruang hangat nan lembab. Dia mengoral penis gue.

“Sluuurrrpppp...puaahhh..”

“Gila. Punya lo kalo lagi tegang gede juga ya. Mulut gue ga muat nih. Tapi gue sukaa..”

Kemudian Dea kembali mengulum penis gue. Gila, teknik nya mantep banget. Belajar darimana nih bocah?

Sembari mengulum penis gue, sesekali dia meremas testis gue, dan juga mencolokkan telunjuknya ke anus gue. Ih, sedep sedep nikmat!

“Lebih kuat lagi, Deaaa... sshhh..yaakk. Lebih dalem lagiii..” racau gue tak karuan.

Gejolak ledakan ejakulasi semakin menjadi jadi. Gue dorong kepalanya hingga penis gue terlepas dari kulumannya.


“Elo beneran masih virgin?”

“Vagina gue emang masih virgin. Cek aja kalo gak percaya..” katanya. “Tapii..”

What?

“Kalo mau, elo boleh masukin ke lubang satunya.” Katanya dengan tatapan menggoda. Lidahnya ia sapukan ke bibir imutnya. Njir.

“Eh, seriusan lo? Anal kan maksudnya? Apa gak sakit tuh?” tanya gue.

“Gak tau juga. Makanya gue pengen cobain. Di film film kayaknya asik tuh. Nah, mumpung ada elo, kenapa nggak kita coba?” tanyanya dengan tegas.

Gue pun sebenarnya excited dengan ajakan ini, but somehow gue juga takut dengan penyakit menular yg katanya bisa nular lewat lubang itu.

“Eh..tapi gue ga bawa kondom.” Kata gue.

“Hmm..bentar.” kata Dea sambil merogoh tas pinggangnya, kemudian mengeuarkan dompetnya. Dan bingo! Tiga bungkus kondom Fiesta muncul. Gila bener nih anak. Udah sedemikian preparenya.

Lalu gue suruh Dea untuk memasangnya di penis gue. Slep!

Kemudian gue menyuruhnya untuk menungging. Gue tusul tusuk pelan anusnya dengan jari gue. Satu jari. Dua jari. Gue terus mengocok anusnya agar terbiasa dengan benda yg cukup besar.

“Aww..sakitt..sshhh.. tapi enakk..hmmm”

Setelah gue rasa cukup, gue meludahkan air liur ke penis gue dan juga ke anus Dea. Gue usap usapkan agar menjadi sedikit licin. Gue dorong perlahan, perlahan namun pasti ujung kepala penisnya mulai ambles.

“Urrgghhh.. sakitt, rell..” kata Dea sambil memegangi tangan gue. Terlihat mukanya mengernyit kesakitan.

“Udahan aja, gimana?” tanya gue sambil meremas payudaranya.

“Ahhh..jangann.. udah sejauh ini..sshh.. lanjuttiinn”

Lalu kali ini gue mendorongnya dengan cukup kuat hingga setengah penis gue ambles di dalam saluran pembuangan itu. Rasanya sedikit panas. Mungkin efek dari karet pengaman yg gue kenakan.

“Duuhhh..sempit banget rell... awww...” racau Dea sambil memasukkan jarinya sendiri ke mulutnya. Gue sendiri masih meremas payudaranya, sedangkan tangan satunya mengelus klitorisnya. Lengkap sudah rangsangan di tubuhnya.

Batang penis gue sendiri terasa berkedut ketika kenikmatan yg gue rasakan sungguh berbeda dengan biasanya. Lubang sempit ini memberikan kenikmatan ganda yg baru ini gue rasakan.

Setelah cukup lama gue membiarkn setengah penis gue ambles, gue coba tarik secara perlahan, kemudian mendorongnya kembali. Begitu seterusnya hingga ¾ penis gue ambles dan tempo semakin cepat.

“Arrgghhh...nikmat banget De..”

“Shhh..iya samaa rell..”

Gue merasa udah saatnya gue ngecrot. Gue percepat tempo. Plok Plok Plok..

Gue lalu menarik rambut Dea dan kemudian ia menoleh. Saat itulah gue lumat bibir lembutnya dengan kasar. Gue remas juga pantatnya, sesekali gue pukul dengan cukup keras.

Gila ini mah.!

“Deaa...gue mauu..keluarrr....AHHHH...” teriak gue saat gue crot malam itu. Penis gue berkedut 6x, memuntahkan lahar putih di dalam karet pengaman.

Gue terpejam menikmati orgasme gue, tanpa menyadari bahwa tiba tiba gue merasa ada semprotan air di selangkangan gue. Dan ternyata...

“Dea...elo squirrtt?”

Dia hanya memekik pelan sambil mendongakkan kepalanya, menikmatinya. Tak lama kemudian air itu berhenti memuncrat. Kemudian, gue ambruk menindihi tubuh Dea.

Lama sekali kami dalam posisi itu. Kami sama sama lemas, namun puas.

“Rel..rghhh..beratt”

Kemudian gue bergeser ke samping Dea. Gue ikutan rebahan di sampingnya. Gue pandangi terus wajahnya yg penuh dengan peluh dan merona merah. Gue elus elus rambutnya.

“Enak, sayang?”

“Gila, keren banget. Meskipun gue belum pernah ML, tapi tadi rasanya amazing banget..”

“Jadi ceritanya elo ketagihan nih?”

Dia mengangguk pelan.

“Tadi katanya udah lemes banget. Kok sekarang masih kuat ya?” selidik gue.

“Abisnya enak sih.” Katanya lagi, kemudian ia memejamkan mata.

...

...

“Rell...?”

“Hmmm?” gue buka mata gue dan menoleh ke wajahnya. Raut wajahnya keliatan bersemangat.

“Kamu masih kuat berapa ronde lagi?” tanyanya sambil tersenyum nakal.

***

No comments:

Post a Comment