Friday 15 June 2018

Cerita SMA....55

FITRIANA RAHAYU

[​IMG]


DIAN ANGGRAINI

[​IMG][​IMG]





Seminggu sudah kepergian Dian ke Yogya untuk mengurus kuliahnya. Dan hampir setiap malam Dian selalu menelponku. Ia menceritakan bagaimana suasana di Yogya, bagaimana sibuknya ia mengurus berkas-berkas di calon kampusnya. Akibatnya jadwal kepulangan Dian jadi mundur beberapa minggu karena urusannya masih belum selesai.

Kami pun sekarang mulai sibuk mempersiapkan ujian semesteran yang tinggal beberapa hari lagi. Suasana sekolah sedikit berubah kurasakan. Kelas Dian tampak sepi karena sejak kemarin kelas tiga diperbolehkan untuk tidak masuk sekolah.

Sekarang aku jadi sedikit malas nongkrong di kantin. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kelas saat jam istirahat tiba. Triana juga sekarang lebih sering menemaniku duduk di kelas. Kami menghabiskan waktu istirahat dengan ngobrol di dalam kelas.

“Dian apa kabarnya pak cik.. Masih sering nelpon kamu?”

“Masih lah... Malah ampir tiap malem dia nelponin. Katanya besok dia bakal balik dulu ke rumah mbahnya di Semarang sambil nunggu urusannya kelar di Yogya.” Jawabku.

“Kamu besok emangnya yakin mau kuliah di Yogya..?” Tanyanya lagi.

“Entah lah nyil... Bingung akunya...”

“Lah... gimana sih... Kemaren kamu janjin Dian buat nyusul dia kuliah disana juga. Kok sekarang malah bingung..?”

“Aku itu aslinya diharusin kuliah di Malang sama bokap, karena disana ada adiknya bokap. Yang pengen kuliah di Yogya itu sebenarnya adikku.”

“Lho.. Emang kenapa kalo kalian sama-sama kuliah di Yogya..?” Tanyanya bingung.

“Kita tuh ga boleh bareng... Soalnya kalo bareng selalu berantem terus. Berantemnya saling pukul loh... Aku tuh ga terlalu dekat sama adikku yg cowok, mungkin karena umur kita Cuma beda setahun aja sih. Makanya itu harus misah.”

‘Tapi kan bisa aja adikmu yang ke Malang, kamunya di Yogya nyusul Dian.” Sahutnya.

“Adikku ga mau di Malang. Alesannya sih karena dia ga deket sama tenteku disana.” Jawabku.

“Keluarga yang aneh...” Cibirnya. Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya.

“Kamu gimana sama Tamjid..?”

“Ya ga gimana-gimana pak cik... Kita masih tetap berhubungan kok... walaupun jarang ketemu. Kenapa..? Kamu ngarepin aku putus sama dia yaa...”Tunjuknya sambil menggodaku.

“Jiah... Sapa juga yang ngarepin kamu... Ora sudiii....” Gantian aku yang mencibir. Triana hanya cemberut dan mencubitku.

Tak berapa lama Arman dan beberapa temanku masuk ke dalam kelas sepertinya mereka baru saja dari kantin, karena ku lihat Arman membawa beberapa bungkus camilan.

“Nih anak mentang-mentang pacarnya udah ga ada disini malah asyik pacaran sama Triana, ditungguin di kantin ga muncul-muncul...” Ucapnya sambil menyodorkan camilan ke arah kami. Aku langsung mengambil sebungkus snack dan membukanya.

“Males ke kantin... Cuma gitu-gitu aja. Mending ngobrol disini enakan bareng Unyil.” Jawabku.

“Jelas lah... Disini ente bisa puas pacaran tanpa gangguan. Enak bener jadi Kopet... Pacarnya pergi udah langsung ada cadangannya.” Sahutnya lagi. Triana langsung mencubit Arman dengan gemas.

“Ngomong tuh dipikir dulu...!! Jangan asal njeplak aja..!! Aku tuh dah punya pacar... Ga mungkin bisa sama pak cik..” Jawab Triana kesal.

Untungnya pertengkaran mereka tak berlanjut, karena tak lama Widi muncul sambil membawa selebaran dan berdiri di depan kelas. Ia langsung memberikan pengumuman kepada kami.

“Bagi teman-teman semua, sekolah kita akan mengadakan study tour setelah ujian semesteran selesai dan pembagian raport nanti. Study tour kali ini menuju beberapa kota diantaranya Yogya, Bandung dan Jakarta. Bagi teman-teman yang mau ikut bisa langsung ke ruang guru atau lewat saya.”

Sontak seisi kelas menjadi riuh oleh pertanyaan teman-teman ke Widi. Aku hanya diam mendengarkan keterangan Widi, sedangkan Arman langsung bersemangat menanggapinya.

“Pet... Kesempatan tuh... Ente bisa ketemu Dian lagi di Yogya, ikut aja yuk..” Ucapnya.

“Liat nanti hep... Ane tanya bokap dulu boleh apa ga.”

“Dah... Ikut aja... Tar ane ngomong sama bapak ente deh... Triana ikut juga ya..” Kata Arman dengan semangatnya.

“Ga ah... Aku palingan ga diijinin sama orang tua. Lagian biayanya pasti mahal.” Jawab Triana.

“Yah... Ga asik... Padahal kalo kamu ikut kan bisa puas duduk bareng Kopet selama diperjalanan... Puas dah kalian pacarannya.” Imbuh Arman.

Namun Triana tetap bergeming mendengar ucapan Arman, dan sepertinya ia tidak terlalu tertarik dengan rencana study tour itu.



--------------------



Hari pun tak terasa berlalu dengan cepat. Ujian semesteran pun sudah berapa hari berjalan. Beberapa hari ini kami fokus belajar menghadapi ujian kenaikan kelas ini, karena menurut keterangan pihak sekolah angkatan kami merupakan angkatan terakhir yang menggunakan kurikulum tahun 1994. Itu artinya angkatan kami harus lulus semua, karena jika ada yang tidak lulus tahun ini, maka kami harus mengulang kembali dari kelas 1 karena kurikulumnya sudah berbeda dengan kurikulum kami.

Dian masih tetap menghubungiku hampir setiap malam. Beribu kata kangen terucap dari mulut kami berdua. Dan entah berapa puluh janji baru yang tercetus untuk menggantikan rasa rindu kami. Kami saling bertukar kabar dan saling menceritakan kegiatan sehari-hari.

Dian beberapa kali meminta maaf kepadaku karena tidak bisa mendampingiku selama ujian semesteran ini.

Aku sempat menceritakan tentang rencana sekolah kami yang akan mengadakan study tour ke Yogya. Dengan semangat Dian memintaku untuk ikut dan janjian bertemu di Yogya nanti.

Pokoknya kamu harus ikut beib... Nanti kita ketemuan di Yogya, aku samperin nanti ke hotel kalian.” Ucap Dian sambil bersemangat sewaktu ia menelponku.

“Ya liat nanti honey... Aku kan belum ijin juga ke orang rumah, boleh ikut ato ga... Yang pasti nilaiku harus bagus dulu lah biar orang tuaku seneng dan ngijinin aku liburan.”

Kalo gitu nanti aku bakal telponin kamu terus buat ngingetin belajar yang giat, biar nilaimu bisa bagus dan bisa ikut study tour. Kalo perlu besok aku yang ngomong ke bapakmu minta ijin biar kamu di bolehin ikut.” Paksa Dian.

Oya... Ada kabar baik... Mungkin dalam minggu-minggu ini aku balik lagi kesana beib, mau liat pengumuman kelulusan sekalian ambil ijasah. Nanti kita jalan jalan lagi ya.. kita nginep lagi dimanaa gitu.. Pokoknya kita ngabisin waktu berdua aja.”Ucap Dian bersemangat menceritakan rencana kepulangannya.

“Tapi abis itu kamu ga bakal balik lagi ke sini honey...” sahutku getir. Dian terdiam lumayan lama, hingga aku berkali-kali memanggilnya dan meng-halo kan teleponku.

E-eh... Bukan masalah berapa lamanya aku bisa ketemu kamu beib... Tapi bagaimana kita bisa menghabiskan waktu bersama diwaktu yang sedikit itu, kita buat se-berarti mungkin...” Suara Dian mulai terdengar sendu, sepertinya ia menahan haru.

Yang penting tahun depan kamu menyusulku kesini... Kita bisa puas-puasin bersama. Kalo perlu tinggal serumah bareng biar ga berpisah lagi. Bener ga beib...” Ucapnya tiba-tiba berubah sedikit ceria. Aku hanya mengangguk pelan, yang jelas sekali Dian tidak akan melihatnya.

Begitulah hampir setiap malam kami selalu berhubungan lewat telepon. Dian selalu menelponku lewat wartel dekat hotelnya di Yogya atau melalui rumah mbahnya di Semarang. Dian memang belum mendapatkan rumah kos, karena ia merasa masih belum menetap di Yogya, jadi sementara bolak-balik Semarang-Yogya, Dian selalu menyewa kamar hotel di Yogya.

Oya... Ada satu lagi yang lupa aku ceritakan, kebiasaanku berangkat sekolah yang dulunya rutin menjemput Dian sekarang masih tetap aku lakukan. Namun jelas bukan Dian yang aku jemput, tetapi Triana...

Sejak keberangkatan Dian tempo hari, Triana selalu memintaku untuk menjemputnya saat berangkat sekolah. Alasannya sih karena aku sudah terbiasa membonceng seseorang selama hampir setahun ini, dan agar aku ada yang menemani serta tidak melamun terus selama di perjalanan. Aku rasa itu hanya akal-akalan Triana saja agar dapat tumpangan gratis selama berangkat dan pulang sekolah. Aku sih tidak keberatan, malah terbilang cukup senang karena masih bisa membonceng Triana.

Namun yang membuat aku heran, sejak keberangkatan Dian dan kegiatan rutinku berangkat dan pulang bareng Triana setiap hari, teman-temanku malah tidak pernah lagi menggoda aku dan Triana, mengatakan kami pacaran atau pasangan serasi lah... Mereka seakan cuek melihatku yang selalu bersama Triana.

“Halah.. Palingan sandiwara lagi kayak di Sembalun dulu. Kita ini kan dah tau hati kalian ga akan bisa bersatu, karena kalian udah punya pasangan masing-masing yang benar-benar kalian sayang. Palingan juga Cuma aji mumpung... Kopet, mumpung Dian ga ada disini dan daripada ga ada gandengan terpaksa deketin Triana. Sedangkan Triana mumpung ada yang anter jemput tiap hari jadi bisa hemat ongkos.”

Begitulah beberapa ucapan teman-temanku yang hampir senada mengejek kami. Atau mungkin juga karena aku dan Triana selalu cuek akan godaan dan ejekan teman-teman kami.

Namun begitu, hubunganku dan Triana masih biasa-biasa aja. Atau mungkin sekarang aku merasa hubunganku dengan Triana sudah seperti sahabat karib, seperti aku dan Arman. Hubungan Triana dan Tamjid juga masih seperti dulu. Aku jarang main ke rumah Triana atau mengajaknya jalan saat tidak menjemputnya sekolah atau mengantarnya pulang. Aku sekarang lebih sering nongkrong di kamar Arman bersama Dimas, belajar sambil mendengarkan musik, dan sesekali membongkar motor kami bersama Surya.

Dan pagi ini seperti biasa aku menjemput Triana dirumahnya bersama Arman yang sudah berboncengan dengan Made. Hari ini merupakan hari terakhir kami ujian semesteran.

“Pak cik... Kamu dapet salam loh dari Iin... Anak itu masih aja ya tetap berusaha deketin kamu..” Ujar Triana ketika kami sudah di perjalanan menuju sekolah.

“Ya gapapa kan nyil kalo Cuma sekedar nitip salam aja. Lagian kita kan ga pernah ketemuan. Apalagi sejak dulu dia diomelin Dian. Hahaha... Kocak dah kalo inget kejadian itu.” Sahutku sambil tertawa.

“Awas aja kalo kamu berani macem macem deketin dia..!! Aku bakal laporin Dian biar kamu langsung di talak!!”

“Gapapa sih di talak... Kan masih ada kamu say.. Hehehe...” Ucapku mengajaknya becanda.

“Dih...!! Sorry yee...!! Cintaku bukan untukmu...!!” Ucapnya ketus sambil mencubit perutku.

“Yakin neh... Ga nyesel..??” Godaku lagi sambil memegang tangannya yang masih mencubit perutku dan menariknya untuk memelukku.

“Au ah..!! Ini lagi ngapain pake narik-narik tangan aku? Minta di peluk..? Dasar mesum..!!” Ketusnya, namun ia tak menolak tarikanku ke tangannya untuk memelukku. Malah Triana seakan lebih merapatkan tubuhnya dan mengeratkan pelukannya.

“Lah... Protes tapi tetep meluk.. Malah tambah kenceng aja tuh tangan. Dadamu nempel tuh.. Dingin-dingin empuk...Hehehe..” Godaku sambil meniru sebuah iklan permen.

“Mesum...!!” Hanya itu jawaban yang keluar dari bibir Triana, dan pelukannya masih tidak dilepaskannya.

Sesampainya di sekolah, aku dan Triana terpaksa harus terpisah. Ternyata untuk ujian terakhir kali ini kelas kami dibagi menjadi dua kelas, karena ujian kali ini mengharuskan kami untuk duduk sendiri-sendiri. Berhubung nomor absenku dengan Triana beda cukup jauh jadi kelas kami terpisah. Aku di kelas pertama sedangkan Triana berada di kelas kedua bersama Arman. Untungnya ujian terakhir ini adalah pelajaran bahasa Inggris, jadi aku cukup santai mengerjakan soal-soal ujiannya.

Dan tak berapa lama setelah menyelesaikan semua soal ujian aku langsung keluar kelas. Aku termasuk salah satu siswa yang lebih dulu keluar. Aku sempat memperhatikan ke arah kelas Triana dan Arman. Nampak mereka sedang serius mengerjakan ujian kali ini, dan sambil menunggu aku duduk di depan kelas.

Tak berapa lama muncul seseorang cewek datang menghampiriku dan ikut duduk disebelahku. Aku hanya melirik sekilas ke arahnya kemudian kembali mengabaikannya.

“Masih belum keluar pet..?” Tanyanya, mengajakku ngobrol.

“Belum, tuh masih sibuk kasak kusuk kayaknya nyari contekan. Kamu tau kan gimana kakakmu kalo pelajaran bahasa Inggris.” Jawabku ke Nuri, cewek yang duduk di sebelahku.

“Tumbenan kesini... Mau pulang bareng Arman..?” Tanyaku lagi. Ia hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaanku.

“Eh, Pet... Kamu dapet salam lagi loh... Dari temenku. Gila kamu ya.. banyak bener cewek yang nitip salam ke kamu.” Ujarnya mengagetkanku.

“Kalo salam dari Iin lagi, bilang aja wa’alaikum salam... Tar kapan-kapan deh aku ajakin ketemuan..” Jawabku cuek.

“Bukan dari Iin... Ini ada lagi yang lain... Namanya Wulan... Kalo ini temen sekelasku. Dia sering juga loh perhatiin kamu.. Dari baru masuk kamu terus yang ditanyain.”

“Hah..?? Ada lagi..?? Wuih... terkenal bener ya akunya... Hehehe...” Ucapku bercanda. Nuri hanya tersenyum sambil memukulku pelan.

“Dia itu ngefans banget sama kamu, tapi anaknya pemalu... Cuma dia beda loh sama cewek-cewek yang pernah deket sama kamu...” Ujarnya balik menggodaku.

“Beda gimana maksudnya..? Emang ada berapa cewek sih yang deket sama aku? Kok kesannya aku ini banyak banget punya cewek..”

“Yaa... Selama ini kan cewek-cewek yang deket sama kamu tuh yang montok, kayak Iin, trus temen sekelasmu yang kacamataan.. Belum lagi mbak Dian yang seksi abis... Nah.. Temenku ini orangnya kurus pet.. Tinggi kurus, item manis kok anaknya, rada tomboy juga.”

“Kamu ini cocok banget buka biro jodoh ya... Perasaan semua temenmu kamu tawarin ke aku, kok kayaknya aku ini playboy banget yak... Emang dibayar berapa sih sama mereka..?” Tanyaku sedikit tak suka.

“Bukan gitu pet... Kamunya sih... Salah sendiri cakep... Temenku itu kan minta tolong lewat aku karena mereka tau aku deket sama kamu dan sering ketemu.” Jawab Nuri.

Tak berapa lama saat kami masih ngobrol, Arman keluar dan ikut duduk disebelahku sambil masih memegang kepalanya.

“Ente kenapa..?” Tanyaku heran melihat tingkahnya.

“Pusing hep... Ente enak ga perlu belajar lagi kalo bahasa Inggris. Oya.. Udah disampein sama Nuri..?” Sahut Arman.

“Sampein apa..?” Tanyaku pura-pura bingung.

“Itu... Temen sekelasnya.. si Wulan... nitip salam ke ente. Tapi ente ati-ati loh kalo sama dia..” Ujar Arman sedikit serius.

“Ati-ati kenapa..? orangnya galak.? Bapaknya preman..? Lagian baru nitip salam ini kan.. belum juga ketemu orangnya.”

“Ente kalo jadian sama dia nanti jadi kayak angka sebelas... Anaknya kurus tinggi, kacamataan juga. Tar kalo ente kuda-kudaan mesti ati-ati... Nanti patah tulangnya.” Jawab Arman dan langsung dipukul oleh Nuri yang kesal mendengar ucapan kakaknya.

“Sapa yang mau pacaran...?”

Tiba-tiba Triana sudah berada dibelakang kami dan ikut duduk disebelahku sambil bertanya dengan mimik penasaran.

“Nih... si Kopet dapet salam lagi dari temen sekelasnya Nuri... Anaknya kurus, ceking, tinggi... Tapi manis juga kok, pake kacamata juga kayak kamu.” Jawab Arman. Triana langsung mendelik marah dan mencubit Arman.

“Kenapa ga kamu aja yang pacaran sama dia, cungkring..!! Jangan ngenalin cewek lagi ke Pak cik ya..!! Ayo Pak cik.. Kita balik..!! Katanya tadi mau jalan-jalan bareng aku..!!” Dengus Triana sambil menarikku untuk pergi meninggalkan Arman dan Nuri yang masih tersenyum geli melihat tingkah Triana.

“Eh... Kapan aku ngajakin kamu jalan nyil..? Lagian mau jalan kemana..?” Ucapku bingung.

“Udaaahh...!! Jangan sok pikun... Tadi kan kamu ngajakin aku kencan ke Senggigi..!! Ayo buruan...!!” Kesalnya sambil menarikku.

“Cie...cie... Ada yang cemburu...” Ejek Arman. Triana hanya mendengus kesal ke arah Arman sambil cepat-cepat melangkahkan kakinya dan tetap menarikku.

“Awas aja kalo kamu berani macem-macem..!!” Ancamnya ke arahku.

“Nyil... Emang kita beneran mau jalan ke Senggigi..?” Tanyaku polos.

“ENGGAK..!! PULANG..!!” Jawabnya ketus.



-----------------------



Ada berita gembira yang aku peroleh sepulang sekolah kemarin. Orang tuaku mengijinkan aku ikut study tour besok yang rencananya akan berangkat dua hari sebelum penerimaan raport. Aku langsung menuju rumah Arman untuk mengabari berita itu.

Sesampainya disana seperti biasa Dimas sudah datang terlebih dahulu disana. Dan dengan semangat aku memberitahukan tentang study tour itu.

“Nah... Pas dah... Nanti yang ikut dari kelas kita kan ente pet, terus ane, Wayan, Widi, Malik, Dimas...”

“Ane kayaknya ga bisa ikut dah...” Dimas langsung memotong ucapan Arman.

“Loh.. Kenapa ga ikut..? Ikut aja... Ini kesempatan terakhir kita study tour loh...” Sahut Arman kaget.

“Ane ga ada duit buat ikut... Beda lah sama kalian...” Ucap Dimas pelan. Kami pun hanya bisa terdiam mendengar kata-kata Dimas.

“Tapi tenang aja Mas... Tar kita bawain oleh-oleh kok...Khusus buat ente..” Sahutku menghiburnya.

“Trus kalo yang cewek dari kelas kita sapa aja yang ikut..?” Tanyaku

“Yang pasti si Atun, Clara ama Heny..” Jawab Arman.

“Heny..? Yang mana ya..?” Tanyaku bingung.

“Ente sih... kebanyakan gaul sama Triana dan Dian sampe temen sekelas dilupain. Heny tuh anak pindahan dari Irian kemaren.. Yang demplon, ada arab-arabnya dikit... yang bibirnya suka memble kalo ngomong..”

“Oooo... Si Suneo... Bilang dong dari tadi. Ane kan biasa manggil dia suneo gara-gara bibirnya itu. Hahaha...”

“Parah ente pet... Bohay gitu ente panggil Suneo... Toketnya ampir sama tuh kayak Dian...” Sahut Dimas.

“Kayaknya besaran lagi dah... Mirip punya Wina... Bener ga hep..?” Ucapku sambil bertanya ke Arman.

“Mana ane tau gimana punyanya Wina... Grepe-grepe juga belum sempet..”

“Tapi sempet kegencet kan...” Ejek Dimas.

Begitulah kami menghabiskan hari itu dengan bercanda bertiga di dalam kamar Arman yang seperti biasa menjadi base camp kami.



Dan tak terasa hari keberangkatan kami pun telah tiba. Pagi itu kami berkumpul di depan sekolah untuk bersiap berangkat menggunakan bus. Semua perlengkapan serta bekal lengkap kami bawa.

Sebelum bus diberangkatkan kami di briefing dulu oleh kepala sekolah yang juga ikut bersama kami. Rencananya kami akan berangkat sekitar pukul delapan pagi menuju pelabuhan untuk menyeberang ke Bali dan langsung menuju Jakarta tanpa singgah di kota lainnya.

Saat pembagian tempat duduk, aku yang duduk bersama Arman mendapat jatah kursi di deretan nomor dua dari belakang, disebelah kami Wayan dan salah satu adik kelasku. Sedangkan di depan kami duduk Heny dan Clara, yang belum apa-apa sudah mulai berisik menggangguku dan Arman. Mereka terkadang meminjam kaset tape kepada kami untuk diputar di walkmannya.

Clara, setelah mendapatkan kaset yang enak didengarkan langsung duduk manis sambil mendengarkan walkman. Sedangkan Heny masih saja ribut saling mengejek bercanda denganku seperti biasa saat kami berada di dalam kelas.

“Ente berdua ribut terus... Mending kalian duduk bareng aja deh... Berisik banget..!!” Protes Arman saat aku dan Heny masih tetap bercanda selama perjalanan menuju pelabuhan.

“Tau neh si Suneo ngajak berantem terus dari tadi.. Tak cipok juga tar bibirnya yang memble...” Ucapku sambil melempar tissue ke arah Heny dan langsung dibalas sambitan snack olehnya.

Selama perjalanan tidak ada hambatan berarti. Kami hanya mengganti bus yang lebih besar saat di Bali agar dalam perjalanan nanti kami lebih leluasa karena nantinya kami lebih banyak menghabiskan waktu di dalam bus.

Mungkin karena merasa lelah, kami tidak banyak bercanda selama perjalanan melintasi pulau Bali. Ditambah lagi cuaca siang yang beranjak sore terasa sangat gerah, walaupun bus kami menggunakan AC yang lumayan dingin sehingga membuat kami malas untuk bercanda dan lebih memilih untuk tidur.

Kami tiba di pelabuhan Gilimanuk Bali saat senja mulai beranjak pergi. Disini kami beristirahat melaksanakan sholat dan makan malam sambil menunggu jadwal kapal yang akan membawa kami menuju pulau Jawa.

Dan tepat pukul delapan malam, kapal yang membawa kami menyeberang ke pulau Jawa mulai berjalan. Aku langsung menuju geladak mencari tempat duduk bersama Arman, Widi, Wayan, Heny dan Clara.

Clara masih sibuk menggonta-ganti kaset di walkmannya bersama Arman, sedangkan Widi dan Wayan bergabung dengan adik kelas kami. Aku memisahkan diri duduk di salah satu bangku kapal yang ada di geladak sambil membakar rokokku.

“Gimana sih rasanya duduk bengong sendirian ngelamun sambil ngisep rokok..??”

Tiba-tiba dari sebelahku duduk dengan cueknya tanpa permisi terlebih dahulu, Heny langsung mengisyaratkan aku untuk menggeser dudukku.

“Suneo ngagetin aja...!! Gini nih kalo kebesaran pantat, kursi segini lebarnya masih kurang besar juga.” Ejekku.

“Udah deh Pet... Kita gencatan senjata dulu selama study tour ini... Ga ada saling ejek, OK... Aku duduk disini sengaja pengen nemenin kamu. Soalnya tadi Arman cerita kalo kamu sekarang lagi galau. Padahal kemaren sebelum berangkat kata Arman kamu semangat sekali. Emang kenapa sih..? Ribut sama cewekmu?” Tanya Heny mengajakku bicara sedikit serius.

“Aku tuh sebenarnya ikut Study tour ini karena janjian ketemuan sama cewekku besok di Yogya. Lah.. Tadi malem dia nelpon katanya bakal balik ke Lombok tiga hari lagi untuk tanda tangan ijasahnya. Tiga hari lagi kita kan masih di Jakarta, dan dia pasti ga mungkin bakal cepet-cepet balik lagi ke Yogya buat nemuin aku. Itu artinya aku mungkin udah ga bisa ketemu dia lagi...”

Entah kenapa Heny langsung meraih tanganku kemudian menggenggamnya. Pandangan matanya jauh menatap ke depan, kearah kegelapan malam.

“Kamu pasti akan ketemu lagi sama dia... Yang pasti kamu percaya dan yakin aja. Kamu sih enak masih mungkin bisa ketemu, karena cewekmu masih bisa balik ke Lombok. Nah... Aku... Pisah sama cowokku yang di Irian sana, kebayang kan berapa jauh jaraknya, dan kami juga ga tau kapan bisa ketemu lagi. Tapi aku tetap yakin kalo emang jodoh kita pasti akan ketemu.” Ucapnya sambil masih tetap memandang kegelapan malam.

Tak kusangka, ternyata dibalik sikap cuek, cablak dan periangnya Heny menyimpan rasa rindu terhadap kekasihnya. Mungkin selama aku mengenalnya, ia hanya menyembunyikan perasaannya. Selalu bersikap ceria setiap hari.

“Jadi... Kita lagi curhat neh ceritanya... Saling curhatin pasangan kita masing-masing..” Sahutku sambil meremas tangannya yang masih menggenggam tanganku. Heny menatapku sambil tersenyum dan mengangguk pelan.

“Sambil menghibur diri... Bukannya kita sekarang sedang liburan..? Dan orang liburan itu ga boleh bersedih... Harus bahagia dan tetap semangat...” Serunya sambil mengangkat tangan kami ke atas.

Kami sama-sama menengadahkan kepala menghadap ke langit malam yang kali ini sedikit pelit menampakkan bintangnya. Mataku fokus memperhatikan satu bintang yang sedikit lebih terang ketimbang bintang lainnya. Tiba-tiba bintang itu bergerak menukik turun.

“Hen... Kamu percaya sama bintang jatuh..?” Tanyaku sambil menunjuk ke arah bintang yang tadi kuperhatikan.

Make a wish Pet... Katanya sih kalo ada bintang jatuh dan kita membuat suatu permohonan maka akan dikabulkan.”

Kami pun terdiam mungkin sibuk dengan permohonan masing-masing. Sebenarnya aku tak begitu mempercayai takhayul seperti ini, namun tak ada salahnya juga jika di coba pikirku. Namun baru saja aku hendak mengucapkan permohonanku, tiba-tiba bintang jatuh yang aku lihat tadi bergerak naik kembali menuju posisinya semula.

“Loh... Bintangnya kok balik lagi...” Heny juga terperangah melihat kejadian itu.

“Nah... Sekarang malah jatuh lagi bintangnya...” Ucapku melihat Bintang itu kembali menukik turun. Aku pun langsung tersadar setelah dengan masih terheran-heran memperhatikan sekeliling kapal.

“KAMPRET...!! Ternyata kapalnya yang goyang..!! Gelombangnya lumayan besar..!! Kirain beneran bintang jatuh..” Maki ku saat menyadari gerakan bintang tersebut disebabkan oleh gelombang laut yang membuat kapal ini terombang-ambing.

“Hahahaha... Sialan...!! Padahal aku udah buat permohonan... taunya gara-gara gelombang...” Heny pun tertawa terpingkal-pingkal.

Aku pun ikut tertawa menyadari kebodohan kami. Aku membayangkan betapa begonya wajah kami saat melihat ‘bintang jatuh’ itu naik kembali ke tempatnya semula.

Setelah lelah tertawa, entah kenapa tiba-tiba Heny mengangkat tanganku dan meletakkannya di belakang punggungnya memintaku untuk memeluknya. Ia pun tanpa ragu langsung merebahkan kepalanya ke dadaku.

“Dingin...” Ucapnya singkat.

“Ternyata begini rasanya dipeluk kamu... Pantes aja Triana ampe mau dijadiin pacar cadangan sama kamu. Pelukanmu terasa nyaman... Tapi tetep.. Aku ga bakal mau jadi cewekmu juga...” Ucapnya sambil meringis.

“Sapa juga yang mau sama kamu suneo...” Balasku. Heny hanya tersenyum dan mencubit dadaku pelan.

Kami pun saling diam tak bicara. Heny masih tetap menyandarkan kepalanya ke dadaku dan aku masih merangkul tubuhnya.

“Pet...” Tegurnya. Terasa hembusan napasnya disekitar leherku.

“Hmm..?”

CUP...!!

Tanpa disengaja, kepala Heny yang berada di dadaku sedikit mendongak saat memanggilku, sedangkan aku refleks menoleh dan sedikit menunduk saat menjawab panggilannya sehingga membuat bibir kami saling beradu.

Sepersekian detik kami masih tak sadar bibir kami saling menyatu. Gerakan lembut bibir kami yang sedikit terbuka hendak mengucapkan sesuatu membuat kami langsung tersadar bahwa kami sedang berciuman.

“KOPEETT...!! Kenapa kita malah ciumaann...??” Bisiknya panik sambil melepaskan pelukanku.

“Lah kamu ngapain manggil aku sambil ngangkat wajahmu... Aku mana tau bibirmu udah di deket pipiku, Suneo...!!” Ucapku tak kalah terkejutnya.

Njiirr... Bibirnya...

Lembut....

Tebel....

Gimana pantatnya ya...

Gimana nenennya...













-----------------------------------------------------------

No comments:

Post a Comment