Friday 15 June 2018

Cerita SMA....59

HENY APRILIA

[​IMG]


DIAN ANGGRAINI

[​IMG]






Aku langsung bangun mendengar suara desahan yang semakin kencang itu. Rasa mualku tiba-tiba hilang berganti rasa penasaran dari arah datangnya suara tersebut. Aku pun bangkit dan mengintip dari samping kursi di lorong bus.

Ternyata bukan hanya aku saja yang merasa penasaran dengan suara desahan dari bangku Arman, Wayan dan Widi yang berada di belakang kiriku pun ikut bangkit dan mengintip ke arah depanku.

Namun bukan pemandangan Arman yang sedang bergumul dengan Clara yang kami dapati, tetapi wajah polos Arman yang sedang terlelap di pundak Clara menopangkan kepalanya tanpa peduli suara-suara berisik disebelahnya.

Aku langsung menepuk pundak Arman membangunkannya. Ia kaget sambil berusaha mengumpulkan nyawanya yang sebagian masih melayang.

“Kenapa tuh..??” Aku memberikan kode dengan gerakan kepala menunjuk ke arah Clara dengan daguku.

Arman sontak tersadar begitu mendengar Clara yang masih mendesah-desah tak karuan. Ia pun dengan cepat menggelengkan kepala dan melambaikan tangan menandakan ia tak tahu apa-apa.

“Ente udah apain dia sampe mendesah gitu..?” Bisik Wayan menggoda Arman.

“Sumpah…!! Ane ga pernah apa-apain…” balas Arman panic sambil menggoyangkan tangannya dengan cepat.

Aku saling pandang dengan Heny sambil tersenyum. Heny langsung berdiri dan mencolek Clara yang terkadang masih mengeluarkan desahannya.

“Woii non… Sange lu..?? Ada cowok disebelahnya malah asyik masturbasi sendiri..” Goda Heny ke Clara.

Clara yang kaget di colek Heny langsung mendongakkan kepalanya. Bagai orang bego, ia dengan santainya bertanya ke Heny.

“Hah..?? Ada apa..?? Kalian kenapa ngeliatin kayak gitu..? Ini juga Arman ngapain juga mukanya pucat gitu?” Tanya Clara tanpa rasa berdosa dan melepas headset yang menempel ditelinganya.

“Desahanmu tuh kenceng banget... Kalo emang lagi horny kan bisa minta bantuan Arman yang ada disebelahmu, jangan maen sendiri... Atau perlu aku bantuin..??” Ujarku.

“Hah..?? Sapa yang mendesah..? Aku kan lagi nyanyi... Nih dengerin sendiri.. Aku ngikutin lagunya Sheryl Crow yang D’yer Maker kok... Dasar Kopet otaknya mesum terus..” Sungut Clara sambil menyodorkan headset kepadaku dan menyuruhku mendengarkan lagu yang sedang diputar di walkman-nya.



Di headset itu memang terdengar lagu D’yer maker-nya Led Zeppelin yang di remake oleh Sheryl Crow. Setelah mendengarkan lagu tersebut aku mengembalikan headset ke Clara.

“Kamunya sih... Suaranya serak-serak becek gitu pake ngikutin lagu begituan... Persis kayak orang mendesah keenakan. Aku pikir kamu lagi di grepe-grepe Arman, pake dipejemin lagi matanya.” Balasku. Clara memang mempunyai suara yang sedikit berat dan serak, seperti cewek yang biasa merokok. Namun setahuku Clara memang tidak pernah merokok.

“Dasar mesum..!!” Clara mendengus kemudian kembali memasang headset tanpa mempedulikan kami yang masih memperhatikannya. Ia dengan cueknya kembali bernyanyi mengikuti lagu yang sedang di putar di walkmannya.

Sejak kehebohan singkat tadi, kami yang duduk di bangku deretan belakang akhirnya tidak ada yang tertidur. Kami asyik bercanda selama perjalanan ke Bandung. Mungkin hanya Clara yang masih tetap cuek dengan walkmannya.

Tak berapa lama kami tiba di kota Bandung yang sejuk. Sesampainya di sana kami langsung menuju salah satu universitas negeri yang terkenal di Indonesia. Kami diajak berkeliling kampus mendengarkan pengarahan dari pihak kampus.

Kami sempat mampir di koperasi mahasiswa. Disana seperti biasa kami membeli benerapa cindera mata khas kampus ini. Aku membeli dua buah sweater bergambar Ganesha yang rencananya akan aku berikan ke Dian satu, dan satunya untukku. Tak lupa aku membelikan juga oleh-oleh untuk Triana. Sumpah… Aku baru teringat tentang Triana saat kami sudah berada di Bandung. Teringat pesannya untuk tak lupa membelikannya oleh-oleh. Ya sudah lah… Mungkin T-Shirt dengan logo khas kampus ini bisa menjadi oleh-oleh buat Triana, toh nanti di Yogya aku masih bisa membelikannya beberapa oleh-oleh khas sana dibantu Dian.

“Ente ngapain milih gambar yang sama sih..” Protesku saat Arman hendak mengambil sweater dengan warna dan corak yang sama denganku, hanya warna logonya yang beda, aku warna hitam sedangkan Arman memilih warna biru.

“Gapapa… Beda warna ini…” Sahutnya cuek.

“Jangan lah… Tar malah kita dipikir anak panti asuhan pake gambar sama. Mana aku belinya dua lagi, masa nanti makenya bertiga bareng Dian…” Protesku, keberatan dengan pilihan Arman.

“Lagian ngapain juga ente ikutan ngambil sweater… Baju lain kan masih banyak..” Lanjutku.

“Iya.. iya… Ribet banget sih si Kopet… Pilihan sweaternya kan Cuma itu aja yang bagus… Yang lain norak semua.” Akhirnya Arman mengalah dan memilih corak lainnya.

“Ambil kayak gini aja… Gapapa deh kembaran ama aku…” Tiba-tiba Heny menawarkan motif lain yang sama dengan pilihannya.

Arman pun tak keberatan dengan pilihan Heny. Ia pun kembali memilih beberapa oleh-oleh untuk orang rumahnya.

“Pet… Coba Dian jadi kuliah disini, Ente pasti merana… Secara cowok disini cakep-cakep. Ente pasti ditendang lah sama Dian..” Clara mengejekku.

“Tapi kan ga jadi… Yang penting dia masih tetep milih ane kok…” Jawabku santai.

“Belum aja sih… Dian kan belum mulai masuk kuliah. Di Yogya sana kan pasti banyak juga cowok cakep, bisa aja Dian kecantol disana..” Lanjut Arman ikut memanasiku.

“Ente tuh emang ga pernah jelas… Kemaren-kemaren ente nasihatin ane buat serius sama Dian, jangan dijadiin maenan… Nah sekarang malah ngedorong gini buat ngejatuhin. Maunya apa sih kunyuk..??” Balasku sedikit emosi.

“Justru itu… Ane sekarang lebih ngingetin ente lagi. Secara diluar sini masih banyak cowok yang jauh lebih segalanya dari ente. Nah… Sekarang harusnya ente bisa mikir gimana caranya biar Dian itu ga lari dari ente… Buat dia ngerasa bahwa ente udah lebih dari semuanya, hingga dia ga ada kepikiran untuk pindah ke lain hati.”

“Nah… Ane kan udah kayak gitu, sekarang kan dia udah ga bisa pindah ke lain hati lagi.” Jawabku.

“Iyaa… Tapi ente masih bisa pindah ke lain body… Kancut..!!!” Maki Arman sambil meninggalkanku yang masih bengong mendengar ceramah singkatnya di depan Kopma ini.

“Si Arman kenapa..??” Tiba-tiba Clara mendekatiku dan menegurku.

“Tau tuh… Tiba-tiba ceramah ga jelas terus pergi gitu aja.”

“Aku sempet dengerin loh obrolan kalian tadi. Kamunya sih Pet… Perasaan semua cewek kamu embat juga. Dulu waktu di Sembalun, Triana kamu deketin. Sekarang malah gituan sama Heny…”

“Eh… Kita ga pernah gituan ya… Sembarangan aja nuduh..” protesku memotong ucapan Clara.

“Tapi sempet kan flirting-flirting gitu.. Ampe mendesah-desah ga karuan malem-malem… Kedengeran loh dari depan… Kemaren Arman bangunin aku pas denger suara desahan kalian… Mungkin itu yang buat Arman jengkel sama kamu. Secara dia kan tau juga gimana sikap pacarmu ke kamunya…” Ucap Clara dan ikut meninggalkanku menuju bus mengikuti Arman.

Duh… Kenapa semua sepertinya ikut menceramahiku. Perasaan aku hanya bersikap biasa aja. Memang kemarin aku dan Heny sempat ngapa-ngapain. Tapi aku juga kan cowok normal. Ga mungkin nolak lah kalo ada kesempatan seperti kemarin, di tambah Heny yang tak keberatan dan malah sepertinya memancingku untuk berbuat sesuatu kepadanya.

Aku masih duduk di tangga depan Kopma sambil merenungkan kata-kata Arman dan Clara tadi hingga tanpa sadar Heny menarik bajuku mengajak kembali ke bus. Dengan gontai aku mengikuti Heny melangkah ke bus kami.

Sore itu Arman kembali duduk denganku hingga kami tiba di penginapan di kota Bandung ini. Penginapan kami berada di tengah keramaian kota, tak berapa jauh dari pusat perbelanjaan yang kalau orang sini nyebutnya BIP.

Sejak ‘ceramah’ Arman kemarin, ia selalu duduk di sebelahku saat bus kami berjalan. Heny kembali duduk dengan Clara.

Disini kamar kami lebih mirip seperti asrama, bukan hotel atau losmen, tidak seperti di Jakarta kemarin. Satu kamar ditempati oleh enam orang dengan tempat tidur bertingkat. Mungkin untuk menghemat budget atau karena kami hanya semalam disini.

Dan setiap malam seperti saat di Jakarta kemarin, kami selalu berkumpul dengan teman-teman cowok, membuat acara ‘boy’s night’ seperti biasa. Begadang ditemani minuman keras dan rokok tanpa sepengetahuan guru. Dan seperti biasa juga, Widi dan Arman hanya menemani kami mengobrol tanpa ikut minum atau merokok. Jujur kadang aku salut melihat kedua temanku ini, walaupun mereka selalu ikut ngumpul bareng tapi mereka sepertinya tidak bisa tergoda untuk ikut mencicipi minuman keras atau mencoba untuk merokok, kecuali Arman yang kemarin iseng-iseng ikut merokok walaupun akhirnya terbatuk dan menghentikan kegiatannya.

Keesokan harinya, seperti pelancong lain yang datang ke Bandung, kami juga mengunjungi kawasan Cihampelas dan Cibaduyut untuk berburu jeans dan sepatu.

Yang aku herankan, Arman selalu membuntuti kemanapun aku pergi, dan selalu mengikuti dan menyamakan apa yang aku beli.

“Ente ga keeatif benget ya jadi orang… Nyamain terus apa yang ane ambil. Pokoknya nanti kalo nyampe rumah ane ga mau liat barang kita kembaran…” Protesku saat Arman hendak mengambil sepatu yang sama yang akan aku coba.

“Kan bisa jadi bukti kalo kita pergi karyawisata bareng Pet… Artinya kan barang ini Cuma kita berdua yang punya di Lombok nanti.”

“Tapi jangan sama persis juga kali… “ Jawabku kesal.

“Aslinya ane ga tau mana barang yang keliatan bagus… Ane ga bisa milih soalnya Pet… Makanya mending ane samain aja kayak ente… Tapi jangan bilang-bilang…” Bisik Arman.

Dasar..!! Emang dari pertama kali aku kenal Arman, setiap kami hendak membeli baju atau celana Arman selalu mengajakku atau Dimas untuk sama-sama membeli pakaian. Ku pikir ia hanya ingin minta ditemani saja, ternyata baru sekarang aku tau alasannya… Arman tidak PeDe dengan pilihannya sendiri.

Alhasil, selama kami berbelanja aku selalu ikut memilihkan barang yang diinginkannya, seakan-akan aku adalah fashion consultantnya.

Kami menghabiskan waktu seharian berbelanja di Cibaduyut dan Cihampelas. Menjelang malam kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Yogyakarta melewati jalur selatan pulau Jawa.

Malam ini ada yang sedikit tidak biasa dengan posisi duduk kami. Tadi sejak lampu kabin bus dimatikan, sebelum Heny mengajak bertukar tempat tiba-tiba Clara memintaku untuk maju pindah ke bangkunya. Awalnya kupikir ia akan pindah ke belakang dan duduk dengan Arman, tapi anehnya justru ia meminta Heny untuk pindah dan duduk di belakang.

Heny yang awalnya protes dan menolak akhirnya menuruti kemauan Clara dengan alasan ia pengen duduk denganku. Di tambah Arman yang ikut memaksa Heny agar mau duduk dengannya. Sepertinya Arman dan Clara sudah kompakan merencanakan tukar posisi pasangan duduk seperti ini.

“Masa Kopet aja yang dapet empuk-empuk… Aku juga pengen dong ngerasain bareng kamu Suneo..” Ujar Arman, walaupun awalnya Membuat kesal Heny namun mau tak mau ia menyanggupi setelah ditarik paksa Arman.

Dan seperti dugaanku sebelumnya, hampir selama dua jam perjalanan ini tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku maupun Clara, ia hanya sibuk mendengarkan lagu dari headsetnya yang selalu terpasang di telinganya. Berbeda dengan Heny yang selalu ada saja bahan obrolan kami.

Jangankan untuk tidur saling peluk, merebahkan kepala di pundakku saja Clara enggan. Apalagi aku yang mencoba tidur dengan merebahkan kepalaku langsung di protes keras oleh Clara.

“Berat… Sempit… Kamu jangan egois gitu dong ngambil jatah tempatku…” Protes Clara saat aku hendak merebahkan kepala di pundaknya.

Alhasil kami seperti orang sedang musuhan yang duduk berdampingan. Aku duduk bersedekap sambil selonjoran mencoba untuk memejamkan mata. Percuma saja mengajak Ngobrol Clara, kupingnya sudah tersumbat headset.

Baru saja aku merasa nyenyak tidurku, saat hendak masuk ke alam mimpi, Arman dengan tak ber perikemanusiaan mengguncang badanku membangunkanku. Aku yang merasa terusik karena sebelumnya berusaha untuk tertidur dan sekarang dengan kejamnya Arman membangunkanku otomatis menjadi kesal dan membentaknya.

“Kampret..!! Ga bisa ya liat orang tenang istirahat..!!! Ente tidur aja sana…!! Kalo ga bisa tidur minta peluk sama Suneo..” Bisikku dengan intonasi marah, sengaja menekan suaraku agar tak terdengar yang lain.

“Justru itu Pet… Malah ane jadi ga bisa tidur gara-gara Suneo maen peluk aja… Dia seenaknya taro kepalanya di paha ane…”

“Kan malah enak… Ente peluk aja dia…”

“Mana bisa tidur Pet… Yang ada kontol ane ngaceng terus liat toketnya itu…” Jawab Arman berbisik.

“Ente pegang-pegang lah… Jangan mau rugi..”

“Ga bisa gitu lah Pet… Gimanapun ini kan temen kita juga. Tuker posisi aja deh… Ente balik kesini. Kayaknya ente lebih pas ngadepin Suneo daripada ane…” Ucapnya memohon.

Arman masih tetap memaksaku untuk bertukar tempat. Dan setelah ku pikir-pikir, selama beberapa jam aku duduk berpasangan dengan Clara aku menjadi bosan, tidak ada teman yang bisa kuajak ngobrol ataupun bercanda selama kami belum mengantuk. Jadi mending aku terima kembali tawaran Arman untuk berpindah tempat lagi.

Akhirnya aku pun kembali ke bangku belakang duduk berpasangan dengan Heny. Aku membangunkan Heny yang masih terlelap meringkuk memakai hampir seluruh bagian bangku yang akan kutempati kembali. Ia mengangkat kepalanya sejenak untuk kemudian kembali merebahkannya di pangkuanku dan refleks tangannya langsung memeluk pinggangku.

“Kok pindah ke belakang lagi Pet..?”Gumamnya baru sadar kalau ia sedang memelukku.

“Arman yang minta tukeran..” Jawabku singkat.

“Hmm... Tapi gapapa deh... Mendingan aku duduk bareng kamu. Sama Arman ga bisa santai, dia istighfar terus tiap aku meluk dan nempelin dadaku di lengannya.” Sahutnya masih dengan suara mengantuknya.

Aku tak merespon kalimat Heny. Sekarang aku berusaha untuk kembali memejamkan mata melanjutkan tidurku yang tadi terganggu. Namun entah kenapa, bagaimana pun usahaku untuk tidur, pikiranku masih saja tetap melayang kesana-kemari walaupun aku memaksa memejamkan mata namun otakku masih tetap bekerja memikirkan semua obrolanku dengan Arman tadi siang.

“Belum tidur..?” Tiba-tiba Heny menyapaku dengan suara setengah sadarnya. Aku menoleh ke arahnya. Heny menatapku dengan mata mengantuknya.

“Sini...” Ucapnya sambil meraih leherku dan menarik kepalaku.

Dan kembali ia mendaratkan bibirnya di bibirku setelah ia sedikit menarik kepalaku untuk menunduk. Aku yang sebenarnya udah tau maksudnya menarik kepalaku tetap saja sedikit terkejut menerima ciuman bibirnya, lembut dan pelan. Tak terlalu lama kami saling berpagutan hingga ia pun melepas ciumannya.

“Dah… Tidur lagi….” Ucapnya santai.

“Hen…”

“Tumben bener manggilnya, biasanya pake Suneo…” Heny tersenyum sambil melirikku.

“Anu… Itu… Kamu tau kan kalo besok Dian bakal ikut bareng kita disini sampe rumah..?” Tanyaku sedikit gugup.

“Dian..??” Heny sedikit bingung.

“Cewekku..”

“Oohh… Terus kenapa?? Udah ga sabar pengen cepet ketemu ya..??” Tanyanya sedikit menggodaku.

“Bukan gitu… Tapi kita ini.. Aduh… Gimana ngomongnya ya…” Jawabku bingung. Sebenarnya aku ingin memastikan hubunganku dengannya tidak akan berlanjut terus, atau perasaannya kepadaku tidak lebih dari sekedar teman sekelas atau bahkan sahabat seperti Triana.

“Kita..?? Maksudnya gimana? Kita kan ga kenapa-kenapa… Ngapain kayak orang bego gitu kamunya?”

“Kita masih tetep berteman kan seperti biasa, ga ada perasaan lebih kan.. Maksudku hubungan kita selama perjalanan ini kan rada…”

“Hahaha… Dasar Kopet… Pengennya enak tapi masih takut ketauan ceweknya… Tenang aja Pet.. Kalo maksudmu aku punya perasaan lebih ke kamu atau ngarepin bisa maen hati selama tour ini kamu ga usah khawatir lah… Aku ga bakal jatuh cinta kok… Ga bakal juga maksa ngejar-ngejar kamu dan ngerusak hubunganmu sama pacarmu. Anggap aja kita ini lagi cinlok… Selama diperjalanan ini aku butuh temen cowok buat ngobrol dan kamu yang paling memungkinkan dan bisa enak aku ajak ngobrol.” Heny memotong ucapanku kemudian bangkit dan menjelaskan panjang lebar mengenai perasaannya.

“Tapi… kamu kok mau dipeluk, dicium bahkan sampe digituin juga..”

“Yaa.. Anggap aja bonus lah… Lagian kita kan ga sampe gituan. Yang penting kan jangan pake hati…” ucapnya santai.

“Berarti masih boleh dong gituan sama kamu, kan ga pake hati lagi, yang penting sama-sama suka. American style lah…” Godaku sambil kembali memeluknya.

“Iihh… Dasar Kopet mesum..!! Ya ga bisa segampang itu lah… emang aku cewek gampangan..” Protesnya sambil mencubitku. Ia pun membalas pelukanku dengan lebih mengeratkan rangkulan tanganku dan merebahkan kepalanya kembali di pangkuanku.

“Dah… sekarang mending kita tidur aja biar cepet pagi. Kamu udah ga sabar kan pengen ketemu cewekmu…” Lanjutnya sambil membelai pipiku.

“Makasih ya…” Balasku dan mencium bibirnya.

“Iihh… Maen nyosor aja… Aku laporin neh besok ke pacarmu…” Heny menggodaku dengan pura-pura merajuk. Namun sedetik kemudian ia kembali melumat bibirku.

Tak lama kami bercumbu saling melumat bibir hingga salah satu dari kami melepaskan pagutan dan kami hanya diam berpelukan hingga rasa kantuk menyerang.

Kami pun tertidur lelap saling berpelukan di tengah malam ini. AC bus yang lumayan dingin membuatku lebih menarik selimut dan Heny lebih mengeratkan pelukannya. Heny tersenyum dalam tidurnya, merasakan nyaman dalam pelukanku.

Aku terbangun saat sinar matahari pagi masuk melalui celah jendela bus yang gordennya sedikit terbuka dan tepat menyorot ke wajahku. Aku melihat Heny sudah duduk manis dengan wajah yang cukup segar di pagi ini. Ia sedang merapikan wajahnya menambah sedikit make up.

“Tumben duluan bangun... Biasanya masih ileran di pahaku.” Sapaku.

“Selamat pagi kek... Cium pipi dulu kek, apa kek... Bukannya ngata-ngatain kayak gitu. Minum gih... Mulutmu masih bau naga...” Jawab Heny sambil menyodorkan sebotol air mineral kepadaku.

“Selamat pagi Suneo... Tumbenan bangun duluan...”

“Iyaa.. Soalnya tadi malem ga ada yang gangguin tidurku, ga ada yang mesumin aku jadinya bisa puas tidurnya.” Jawabnya cuek sambil melanjutkan memakai make up nya.

“Udah sampe mana..?” Tanyaku lagi.

“Tau nih... Kayaknya sih bentar lagi masuk Yogya.”

Aku langsung memperhatikan jam tanganku. Waktu baru saja menunjukkan pukul enam pagi. Aku pun merapikan selimut dan bantal yang tadi malam kami pakai.

Tak lama bus kami berhenti di salah satu rumah makan. Bu Endang mengumumkan akan sarapan dulu disini sebelum memasuki Yogya, karena jika kami langsung menuju Yogya takutnya terlalu siang untuk sarapan.

“Ente udah hubungi Dian..? Nanti dia nunggu dimana..?” Tanya Arman saat kami sedang menikmati sarapan di salah satu rumah makan daerah Purworejo.

“Belum... Ane kan ga tau nomor teleponnya di Yogya. Tapi katanya waktu di Semarang kemarin sih dia bakal nungguin kita di jalan Malioboro deket kraton sana.” Jawabku sambil menyuap nasi.

“Pasti udah ga sabar pengen cepet-cepet nyampe Yogya..” Ledek Clara.

“Berarti nanti Ente duduk bareng ane ya..” Tanya Wayan ke Arman, dan dijawab dengan anggukan kepala.

“Kasian dong Suneo ga ada lagi temen mesumnya...” Lanjut Wayan sambil menggoda Heny.

Heny hanya cemberut sambil melempar tissue ke arah Wayan yang duduk tepat di depannya. Pagi ini Heny tidak terlalu banyak bicara, tidak seperti hari-hari biasanya yang selalu ceria dan ikut bercanda dengan kami.

“Kamu gapapa..? Kok diem aja dari tadi?” Tanyaku ke Heny. Ia hanya tersenyum dan menggeleng pelan.

“Ada yang patah hati kehilangan partner mesumnya..Hehehe...” Arman kembali mengejek Heny.

“Ada yang istighfar terus waktu dideketin cewek... Padahal Cuma pengen meluk aja...” Balas Heny mengejek Arman. Sontak muka Arman langsung memerah malu mendengar ejekan Heny.

“Wahaha... Beneran pengecut berarti... Harusnya ente duduk terus bareng Heny biar ada pengalaman deketin cewek. Harusnya ente di ospek dulu sama Heny biar ga terlalu polos jadi cowok..” Wayan ikut mengejek dan mentertawakan Arman.

“Bangke...!! Ane itu bukannya takut... Tapi sungkan aja sama Heny...” Arman berusaha mengelak semua ejekan kami.

“Sungkan atau emang takut ngecrot duluan..??” Kembali Wayan mengejek Arman.

“Kampret..!! Ane kuat tau kalo urusan begituan..!!”

“Yakin neh... Bukannya kamu masih perjaka..?” Balas Heny.

“Atau udah sering..?? Bareng tante Lux ama tante Dove..” Wayan tak hentinya mengejek Arman.

“Jangan mau kalah dong sama Kopet... Dia aja masih bisa tahan loh... Eh..” Ucap Heny tertahan. Aku langsung menutup mulutnya karena kaget mendengar Heny yang kelepasan ngomong.

“Nah loh... Bener kan yang aku bilang.. Pasti kalian udah ngapa-ngapain di dalem bus..” Selidik Clara.

“Engga ya... Kita ga ngapa-ngapain... Beneran..” Ucapku gelagapan.

“Maksudku tuh... Kopet aja masih bisa tahan godaan loh... Kalian jangan ngeres gitu dong pikirannya...” Imbuh heny.

Kami masih tetap bercanda sambil menikmati sarapan. Setelah selesai sarapan kami membersihkan diri di kamar mandi rumah makan tersebut, karena menurut pengarahan bu Endang kami nanti sampai sore di Yogya dan langsung melanjutkan perjalanan pulang menuju Lombok tanpa menginap di Yogya.

Bus kami memasuki kota Yogya setelah kurang lebih satu jam menempuh perjalanan dari rumah makan tempat kami sarapan tadi.

Saat baru saja memasuki kota yogya, aku merasakan betapa damainya suasana kota ini. Sungguh begitu sangat kental budaya kratonnya. Rasanya betapa sangat tradisionalnya kota yang terlihat jauh lebih ramai dan modern dibanding kota asalku.

Sangat jelas terlihat masyarakatnya masih sangat menjaga ke-tradisionalan kota ditengah hiruk pikuk globalisasi modern yang sedang menancapkan akarnya di kota budaya ini.

Namun entah kenapa aku masih belum merasa tertarik untuk menetap atau sekolah di kota ini, walaupun aku tahu Dian akan tetap menungguku di kota ini nantinya.

Untuk saat ini, lupakan dulu urusan kuliah yang masih tahun depan itu, pikirku. Sekarang saatnya untuk kembali bersemangat menghabiskan waktu liburanku bersama Dian dan teman-temanku. Dan sekarang aku kembali tak sabar untuk cepat bertemu Dian lagi. Semoga ia sudah menanti kami di tempat yang ia sebutkan tempo hari.

Bus kami baru saja parkir tepat di depan Gedung Agung Yogyakarta, berseberangan dengan benteng Vredeburg yang terkenal dengan Serangan umum 1 Maret 1949 yang berada di paling selatan kawasan Malioboro. Rombongan bus kami langsung berlomba untuk keluar dari bus dan memulai petualangan belanja dan jalan-jalan di seputaran Malioboro. Sedangkan Aku dan Arman masih merapikan barang kami. Aku mempersiapkan tempat untuk Dian. Arman yang sesuai perjanjian kami sebelumya mengalah pindah duduk ke belakang bersama Wayan. Dan sekarang ia sibuk memindahkan barangnya menuju kursi Wayan. Heny membantu kami memindahkan barang-barang dan merapikan barang-barangnya yang masih tertinggal di tempatku.

“Gimana.. Mau langsung jalan atau ente nunggu Dian dulu baru jalan..?” Tanya Arman yang sepertinya sudah tak sabar untuk memulai petualangannya di kota gudeg ini.

“Kayaknya ane nungguin Dian dulu aja kali ya... Ente kalo mau duluan gapapa, tar ane nyusul deh.”

“Tapi kan ente ga tau kapan Dian mau kesini nyamperin. Tar taunya siang atau malah sore kesininya ente ga dapet kemana-mana.”

“Ya udah kalo gitu ane nunggu ampe jam sebelasan aja deh, kalo belum dateng juga ya terpaksa ditinggal dulu. Toh nanti juga ketemu disini kan..” Ucapku.

“Kenapa ga jalan sekarang aja kalo nanti juga bakal ketemu..?”

“Ane pengennya jalan bareng Dian disini hep...”

“Halah... Tahun depan kan ente bakal kuliah disini, bakal sering lah jalan berdua disini.”

“Belum tentu juga... Sapa tau ane kuliah di kota lain...” Bantahku.

“terserah lah...” Ucap Arman pasrah. Namun ia tak juga beranjak dari tempat ini.

“Kenapa masih bengong..? Ga jadi jalan-jalan..?” Tanyaku heran melihat Arman masih duduk di trotoar menemaniku.

“Ane nemenin ente aja lah.. Nungguin sampe jam sebelas nanti.” Jawabnya pasrah.

“Mantep... Kalo gitu ane beliin teh botol..” Ujarku sambil beranjak pergi menuju pedagang minuman dingin di dekat kami.

Untungnya tak terlalu lama kami menunggu, saat sekitar jam sepuluh lebih sedikit sebuah taksi berhenti tepat di samping bus kami dan Dian turun dari taksi itu sambil tersenyum lebar melihat aku dan Arman yang masih duduk di trotoar belakang bus menantinya.

“Hai beib... Halo Ar... Lama nunggunya..?” Sapa Dian menghampiri kami.

“Kita masuk Yogya sekitar jam delapanan lah. Kamu kok bisa tau kalo jam segini mau kesini..?” Tanyaku sambil membantunya mengangkat tasnya dan meletakkannya di bangkuku.

“Aku kemaren nanya ayah, kalo bus dari Bandung ke Yogya sekitar berapa jam. Ayah bilang sekitar 10 sampai 12 jam. Dan kemaren bu Endang sempet bilang kalo dari Bandung berangkatnya malem. Nah aku kan bisa ngitung kapan kalian nyampenya.” Sahut Dian menjelaskan kepadaku.

“Gimana liburannya..? Pasti seru ya.. Coba aku bisa ikut kemaren..” Tanyanya.

“Ya gitu deh... Kayaknya lebih seru lagi kalo ada kamu honey..” Ucapku sambil memeluknya.

“Aku kangen kamu honey...” Bisikku.

“Yang beneerr... Bukannya udah ada si montok yang nemenin..” Goda Dian sambil tersenyum.

“Apaan sih...”

“Woi... Jadi jalan-jalan ga neh... Udah siang ini... Malah asyik pacaran..” Tiba-tiba Arman mengagetkan kami.

Dan kami pun mulai berjalan-jalan di seputaran Malioboro. Dan seperti saat di Bali dulu, Dian kembali kalap melihat barang-barang yang dipajang sepanjang emperan toko di Malioboro ini. Aku dan Arman yang sudah pernah melihat kekalapan Dian hanya berjalan santai di sebelahnya.

“Heran... Padahal bakal tinggal disini tapi kalapnya masih aja ga berubah... Bakalan penuh lagi tempat duduk ente hep..” Ucap Arman saat melihat Dian yang semangat menawar pernak-pernik yang dipajang.

“Tau nih... Padahal dia bisa aja dateng setiap saat kesini kemaren waktu daftar kuliah.” Sahutku.

“Aku denger loh... Kalian ngomongin orangnya ada di depan kalian loh..” Ucap Dian sedikit ketus.

“Lagian kamu belanjanya ga ngira-ngira honey... Kayak ga bakal kesini lagi.” Ujarku mengingatkannya. Namun Dian masih aja cuek belanja dan menawar barang yang menurutnya menarik.

Sudah hampir empat jam kami ‘menemani’ Dian berbelanja. Kaki kami rasanya sudah mau copot saking capeknya berjalan mengikuti langkah Dian yang sepertinya tak pernah kehabisan tenaga jika menyangkut masalah belanja.

Arman merengek minta naik becak untuk kembali menuju parkiran bus kami karena sudah tak kuat lagi berjalan saat Dian baru saja keluar dari salah satu apotek.

“Kamu beli apa sih? Kok pake ke apotek segala.. Emang lagi sakit..?” Tanyaku. Dian tak langsung menjawabku, ia hanya menyerahkan dua botol minuman isotonik kepadaku dan Arman.

“Persiapan buat tar malem beib...” Bisiknya sambil tersenyum penuh arti ke arahku.

Setelah puas berbelanja, kami beristirahat sebentar sambil menunggu rombongan berkumpul kembali dan bersiap-siap melanjutkan perjalanan pulang kembali ke kotaku.

Kami menutup rangkaian karya wisata di kota gudeg ini dengan berbelanja memuaskan diri dan menghabiskan sisa isi dompet. Semua wajah rombongan tour kami terlihat puas setelah menjalani liburan kali ini. Terutama aku yang sekarang merasa jauh lebih bahagia karena Dian duduk disampingku, ikut pulang bersama rombongan kami.

Wajah-wajah puas dan kelelahan setelah hampir setengah hari menghabiskan waktu berbelanja di Yogyakarta sekarang sedang terkapar tidur di atas bus yang sudah beberapa jam meninggalkan Yogya untuk kembali pulang ke kota asal kami. Malam sudah beranjak sejak beberapa waktu yang lalu saat kami keluar dari kota Solo.

Aku berusaha untuk melepas lelah dengan memejamkan mata, namun selalu di ganggu dan digoda Dian. Ia tampak sangat senang sekali bisa satu bus denganku pulang ke Lombok kali ini.

“Beib... Peluk dong...” Rengeknya.

“Kamu ga pengen kayak di Semarang kemaren..?” Tanyanya menggodaku sambil tangannya mulai meraba-raba selangkanganku.

“Tidur aja honey... Aku rada capek juga neh... Lagian tar kedengeran yang lain kalo kita begituan.” Bisikku.

“Yang lain dah pada pingsan tuh kecapean. Lagian apa kamu ga pengen celupin itumu..? Bebas loh mau dikeluarin dimana aja, atau mau dicelupin ampe pagi juga ga masalah... Ada ini...” Senyumnya menggodaku sambil ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya.

“Gila... Sempet-sempetnya bawa... Niat banget ya kamu..” Ucapku kaget melihat benda yang sedang dipegang Dian.

“Hehehe... Tadi aku sempetin beli waktu masuk ke apotik. Mau ga neh...?? Aku lagi horny loh beib...“ Jawabnya kembali menggodaku. Tanganku di raihnya dan ia memasukkannya ke dalam celananya.

“Kita bisa puas semaleman ini... Ga bakal ada yang tau. Pengalaman begituan diatas bus yang rame penumpangnya. Hihihi...” Bisiknya sambil mengangkat tangannya menunjukkan benda yang ia pegang.

Njirr...

Sekotak kondom...

Bakal tambah lemes lututku...





----------------------------------------

No comments:

Post a Comment