HENY APRILIA
ANGELINA CLARANSIA PUTRI
Dinihari ini kami sedang beristirahat di salah satu rumah makan di
daerah Pamanukan Jawa Barat sekalian makan malam yang sangat tertunda
karena kami tadi lumayan lama menghabiskan waktu di Semarang.
Heny masih setia mendampingiku kemanapun aku dan Arman pergi. Sejak
kejadian tadi malam dimana aku dan Heny sempat ‘bercumbu’ di dalam bus
ia menjadi semakin dekat denganku.
“Kopet ih… Gara-gara kamu ngeluarin di mulutku, aku jadi ga nafsu makan.
Sialan..!!” Maki Heny masih merasa jijik mengingat kejadian beberap jam
yang lalu.
“Kamunya sih, pake ngemut segala… Aku kan dah bilang mau keluar bntar lagi, bukannya dilepas malah tambah diemut dan dimainin.”
“Tanganmu tuh pake ngobel-ngobel nenen ama klitorisku, gimana ga blingsatan akunya. Untungnya ga keterusan ampe gituan.”
“Tapi kamu suka kan… Aslinya kamu tuh pengen kan dimasukin… Buktinya
ampe orgasme gitu. Sukurnya teriakanmu ga kedengeran, keduluan mulutmu
di sumpal pake tititku. Hehehe…” Godaku. Heny hanya cemberut sambil
mencubitku.
Jika aku mengingat kembali kejadian beberapa jam yang lalu di atas bus
tadi, aku senyum-senyum sendiri membayangkan gimana tanggungnya aku dan
Heny yang sudah benar-benar merasa sangat horny.
~~•-•~~
Saat Heny mulai mengocok pelan kemaluanku, tanpa ragu lagi aku menarik
beha Heny agar terangkat dan aku lebih leluasa memainkan payudaranya.
Namun aku sedikit kesulitan membuka behanya karena tertahan oleh
payudara Heny yang ukurannya memang lebih besar dari punya Dian.
“Susah banget sih buka behamu… kegedean nenen nih…” bisikku masih berusaha mengangkat behanya.
“Bentar… Jangan dibuka, tar susah masangnya kalo ada apa-apa…” bisik
Heny sambil membantuku menaikkan cup behanya, namun kaosnya masih tetap
terpasang di badannya.
Setelah behanya terangkat aku kembali memasukkan tanganku kedalam baju
Heny dan langsung meremas gemas payudaranya yang super jumbo. Ku mainkan
putingnya. Heny mendesis pelan sambil melanjutkan mengurut lembut
penisku.
“Di emut aja… Biar enak…” Bisikku menyuruh Heny mengulum kemaluanku.
“Ssshhhhttt… Ogah… Jijik… Aku ga pernah ngemut punya cowokku.”
“Tapi aku kan bukan cowokmu… gapapa belajar… selalu ada momen pertama
kali. Tar kan kamu jadi bisa praktekin ke cowokmu, pasti cowokmu
kegirangan.” Rayuku, tetap berusaha menyuruhnya untuk mengulum
kemaluanku.
Pelan aku menyodorkan kemaluanku ke bibirnya yang memang posisinya tepat
berada di depan bibir Heny. Awalnya Heny hanya mencium batang
kemaluanku, namun perlahan ia mulai menjilatinya.
“Sshhh… Nah… Gitu… di emut aja kayak kamu ngemut es cream…” rayuku lagi.
“Kamu mintanya macem-macem ya… Udah sukur aku mau nyiumin tititmu ini.”
Protesnya. Namun tak ayal di cobanya juga untuk mengulum kemaluanku.
Awalnya Heny menciumi kepala penisku, kemudian dengan sedikit ragu ia
mulai menjilati lubang kencingku dan memainkan lidahnya disana.
“Mmppphhh… Iya gitu… Ssshhhttt… Masukin yang dalem…” desisku berbisik di
telinganya sambil tetap mempermainkan payudaranya. Heny semakin
menggelinjang menahan rasa geli di payudaranya.
Tiba-tiba ia memasukkan seluruh batang kemaluanku ke dalam mulutnya dan
mulai menghisapnya. Aku sebenarnya tak percaya kalau ia bilang baru
pertama kali mengulum penis, soalnya dari caranya menghisap sungguh luar
biasa nikmatnya. Atau mungkin Karena bibirnya yang sedikit tebal dan
selalu dimonyongkan itu.
“Aahh… Capek pet mulutku… punyamu besar banget… Mulutku jadi pegel neh..” Protesnya sambil melepas kulumannya.
“Sini…” Ucapku sambil menarik kepalanya dan langsung melumat bibirnya
dengan rakus. Ia pun membalasnya sambil memainkan lidahnya di dalam
mulutku. Lumayan lama kami berciuman sambil aku tetap memainkan
putingnya dan sesekali meremas payudaranya yang montok.
“Mmmmppphh… mmmppphhh…” Hanya erangan itu yang bisa keluar dari bibir
Heny yang masih aku sumpal dengan bibirku. Sebagai gantinya, Heny
mengocok penisku dengan irama yang sedikit lebih cepat untuk
melampiaskan nafsunya yang tak bisa puas dilepaskan dengan desahan.
Sebelah tanganku langsung Ku arahkan menuju selangkangannya dan berusaha
menerobos masuk ke dalam celananya. Heny sedikit kaget melihat aksiku.
“Mau ngapain… “ Bisiknya sedikit mendesah. Aku tak menjawabnya, hanya
tetap melanjutkan aksiku memasukkan tangan merogoh celananya.
“Awas keliatan… Jangan dibuka…” bisiknya lagi memperingatiku.
“Ditutupin selimut aja… Kan ga keliatan…” Bisikku di telinganya sambil pelan ku kecup kupingnya.
“Aahhh….” Heny mendesah pelan dan menggelinjang saat ku kecup kupingnya. Ia pun kembali melumat kemaluanku.
Aku langsung menggesek klitoris Heny saat tanganku sudah berada di dalam
celananya. Kurasakan kemaluan Heny sudah sangat becek. Jariku basah
oleh lendir kenikmatan vagina Heny.
“Oooohhh… Kopet mesuuummm… Mmmpphhhh…” Erangnya saat aku mencoba memasukkan jariku kedalam liang vagina Heny.
“Kamu udah ga perawan lagi ya Suneo…” Bisikku bertanya kepadanya.
“Ooohh… Kalo jarimu itu udah bisa… masuk… sshhhtt…. Ga perlu ditanya lagi Kopet mesuummm… Mmmmpphhh…” jawabnya masih mendesah.
Heny mengulum kemaluanku dengan rakus, lidahnya asyik menari diatas
kepala penisku. Aku tak mau kalah menusuk dan menggoyangkan jariku
mengocok lubang kemaluannya. Namun kuluman Heny rasanya begitu dahsyat.
Dian yang ku anggap sudah begitu enak saja masih kalah dibanding Heny
yang katanya baru kali ini mengoral kemaluan cowok.
“Hmmmppphh… Suneo… pelan-pelaann… aku ga tahan neh… bisa-bisa muncrat
duluaann…” bisikku mendesah di telinganya. Namun Heny sepertinya tak
menghiraukan bisikanku malah semakin mempercepat kulumannya. Aku
berusaha menyeimbangi dengan ikut mempercepat kocokan jariku di vagina
Heny.
Sedotan dan kuluman Heny yang begitu dahsyat membuatku akhirnya tak
mampu menahan rasa geli dan nikmat. Dengan mata terpejam menahan nikmat
aku akhirnya menyemprotkan spermaku di dalam mulut Heny.
Heny yang keget menerima semprotan spermaku langsung tersedak kemudian
tiba-tiba bangkit dan terburu-buru mencari tissue di dalam tasnya. Ia
memuntahkan semua sperma yang ada di mulutnya sambil terbatuk.
“Kopet gila..!! Keluar ga bilang-bilang... Hueekk...!!” Makinya sambil
meminum air mineral dari botol yang ada di depannya. Ia kemudian
merapikan pakaiannya yang setengah terbuka dan mengancing kembali
celananya.
“Sedotanmu mantep bener... Aku kan dah bilang tadi pelan-pelan aja, tapi kamunya malah semakin kesetanan. Hehehe...”
“SETAN... JOROK...!!! Hueekkk...” Heny masih merasa mual dan berusaha memuntahkan sesuatu dari dalam mulutnya.
“Si Suneo mabuk...? Kasi minyak angin aja Pet... Atau suruh minum
antimo..” Tiba-tiba Arman menoleh ke belakang dan menyapaku saat
mendengar Heny hendak muntah.
“Iya... Dia mabok sosis sama kebanyakan mayones. Hahaha...” Candaku. Arman terlihat bingung mendengar jawabanku.
“Kampret... Aku tuh jijik tau... Bukan mabuk... Gara-gara Kopet ini nih...” Dengusnya sambil memukul bahuku.
“Lagian kamu ngapain juga makan mayones banyak-banyak...” Ujar Arman
polos, mungkin tak tahu maksud sebenarnya. Aku tertawa terbahak-bahak
mendengar kata-kata Arman.
~~•-•~~
Setelah makan malam, kami kembali naik ke atas bus beristirahat sambil
menunggu teman-teman lain yang masih menyelesaikan makan malamnya.
Heny masih duduk disebelahku. Ia tampaknya sudah tidak marah lagi
denganku. Sekarang ia kembali mengapit lenganku dan menyandarkan
kepalanya di bahuku.
“Mau lanjutin yang tadi lagi..?” Godaku.
“ENGGAK..!!” Bentaknya. Aku tersenyum melihatnya.
“Atau mau yang lebih... Tadi kan belum sempet dimasukin... Gimana..” Lanjutku sambil memainkan alis menggodanya.
“Bawa kondom..?” Tanyanya tiba-tiba. Anjiirr... Sepertinya Heny masih horny juga, masih penasaran karena belum tuntas.
“Enggaa..”
“Kalo gitu.. NO..!! Aku ga mau maen sembarangan tanpa kondom.”
“Kan bisa di keluarin di luar...”
“OGAH..!! Maen aman napa sih Pet...”
Aku hanya bisa manyun, membayangkan penisku di jepit oleh vagina Heny
membuat penisku sedikit berontak. Ditambah lagi posisi Heny yang
sekarang merebahkan kepalanya di pangkuanku seperti biasa.
Tak lama rombongan kami satu persatu kembali ke dalam bus, dan kami pun
melanjutkan perjalanan menuju Jakarta. Aku membangunkan Heny saat bus
mulai bergerak meninggalkan rumah makan dan menyuruhnya duduk.
“Gantian... Sekarang aku yang tidur di pahamu...” Kataku cuek sambil
merebahkan badan dan meletakkan kepalaku di pangkuannya. Heny hanya diam
sambil tetap melanjutkan membaca majalah yang ia bawa.
Aku terbangun karena merasa terganggu oleh badanku yang terasa
tertindih. Saat membuka mata kulihat Heny sedang asyik tertudur dengan
posisi miring merebahkan kepalanya di pinggangku, menindih perutku.
Payudaranya yang besar menutup wajahku sehingga membuatku sedikit susah
bernapas.
“Suneo... Bangun...” Ucapku berusaha mengangkat tubuhnya. Namun Heny masih tetap terlelap.
Iseng ku gigit payudaranya dengan pelan namun Heny masih tak bereaksi.
Perlahan kusingkap bajunya dan mengangkat cup behanya. Nampak puting
payudara Heny yang berwarna merah muda kecoklatan dengan areola yang tak
begitu besar. Segera kulumat pelan putingnya yang menggairahkan itu.
Samar terdengar desisan dari mulut Heny sambil badannya mulai bergerak
pelan.
“Ssshhhttt... Aahhhh...” Heny sedikit mendesah masih dengan matanya yang terpejam. Aku semakin liar memainkan putingnya.
“Mmmpphhh.... KOPET... Mesum ih pagi pagi udah nenen aja..” Bisiknya
kaget saat menyadari aku sedang asyik mengulum dan menjilati putingnya.
Ia langsung mengangkat badannya dan memperbaiki bajunya yang terbuka.
“Hehehe... Kamunya sih... di bangunin dari tadi ga bergerak...”
“Dasar mesum...!! Awas tar aku laporin pacarmu...!!” Dengusnya.
Aku masih tersenyum melihat Heny yang sedang mengelap wajahnya
menggunakan tissue basah. Ia menawariku kemudian kami kembali duduk
seperti biasa.
Hari sudah beranjak pagi saat kami baru saja memasuki ibukota. Lalu
lintas sudah terlihat ramai sewaktu kami melewati jalan tol dalam kota
Jakarta ini. Beberapa orang di dalam bus sudah mulai terbangun. Begitu
juga dengan Arman yang masih melongo terheran-heran melihat
gedung-gedung pencakar langit yang melintang di kota Jakarta ini.
“Welcome to ibukota... Kejamnya ibu tiri tak sekejam ibukota...”
Tiba-tiba Wayan berteriak memecah keheningan pagi ini mengagetkan kami
yang baru saja siuman dari tidur.
“Gilaa... Gedungnya tinggi-tinggi... Kita sampe ga bisa ngeliat puncaknya saking tingginya.” Sahut Arman takjub.
“Ente jangan terlalu norak gitu hep... Bikin malu aja. Untungnya kita
masih di dalam bus, yang denger Cuma kita-kita aja.” Ejek Wayan.
“Tau neh... Ndeso banget... Kayak ga pernah ke Jakarta aja...” Timpal Clara.
“Lah... Ane kan emang baru pertama kali ini ke Jakarta.” Arman membela diri.
“Ati-ati tar hep... Nanti di hotel ada ruangan yang cukup kecil, kita
kalo mau ke lantai atas biasanya pake itu. Tar kalo ada karpetnya ente
harus lepas sendal dan sepatu biar ga kotor...” Imbuhku mengejeknya.
“Setan..!! Ane ga segitu kampungannya... Ane tau lah kalo itu namanya lip. Di pelem-pelem banyak kan...” Ujar Arman bermaksud menyebut kata lift.
Pagi itu kami bercanda selama diperjalanan menuju penginapan yang berada
di pusat kota. Obyek penderita pagi ini adalah Arman, karena
celetukan-celetukan takjubnya melihat suasana kota Jakarta yang baru
pertama kali ia lihat dengan mata sendiri. Kami tiba di penginapan saat
matahari sudah lumayan tinggi pagi ini. Setelah pembagian kamar kami
langsung meletakkan barang-barang dan beristirahat di kamar.
Aku memperoleh kamar bersama Arman, Widi, Wayan, dan seorang lagi adik
kelas kami. Disini kami diberikan waktu beristirahat selama kurang lebih
dua jam, karena sesuai jadwal, jam 10 nanti kami harus pergi lagi
menuju Lubang Buaya dan Taman Mini. Jadwal perjalanan kami memang
sedikit berubah karena mampir ke Semarang kemarin.
Setelah mandi dan membersihkan diri, kami kembali berkumpul di restoran
untuk sarapan pagi dan melanjutkan kembali perjalanan wisata kami.
Siang itu kami sudah berada di areal parkir monumen Pancasila Sakti di
Lubang Buaya. Kami mengunjungi lokasi tempat dahulu para jenderal
revolusi di siksa dan dibunuh secara kejam oleh PKI. Disana kami melihat
beberapa diorama tentang kejadian malam 30 september tahun 1965.
“Gilaa… Suasana tempat ini mistis banget ya… rasanya gimanaa gitu..”
Arman berkata sedikit pelan saat kami sedang berjalan memasuki salah
satu rumah tempat penyiksaan para jenderal.
“Bilang aja ente pengecut…” Ejekku.
“Beda Pet… Suasana disini emang sedikit nyeremin, padahal kita kesininya
siang loh… Dan rame-rame lagi, tapi tetep aja berasa merinding.” Heny
ikut berkomentar membela Arman.
“Jangan-jangan arwah para jenderal itu masih gentayangan disini…” Lanjut Arman dengan sedikit bergidik.
“Ente kalo aslinya udah penakut ya penakut aja, jangan pake alesan macem-macem… hahaha…” Ejekku lagi.
“Kopet sok berani… Coba aja ente kalo berani masuk sendirian ke dalam
salah satu ruangan ini.” Ucap Arman kesal sambil menantangku.
Aku tak menggubris kata-kata Arman dan tetap melangkah mengikuti pemandu
yang sesekali menjelaskan kepada kami barang-barang peninggalan G
30S/PKI seperti meja, kursi, tempat tidur dan sebagainya.
“Nah… Kalau kalian masih ingat film tentang pemberontakan PKI, dimana
salah satu jenderal wajahnya disilet, disinilah tempat beliau
didudukkan.” Cerita sang pemandu sambil menunjuk salah satu kursi.
Aku kemudian berjalan santai memasuki salah satu ruangan kosong yang
hanya terdapat balai-balai bambu. Arman , Heny dan Clara mengikuti
dibelakangku dengan wajah sedikit khawatir, entah takut atau merasa
jijik melihat tempat itu.
Entah darimana timbul niatku untuk iseng menggoda Arman yang tepat
berada dibelakangku, aku sedikit menariknya ke dalam salah satu ruangan,
kemudian tiba-tiba aku berbalik dan mengagetkannya.
“HUWAAA…!!!”
PLAK..!!!
Spontan Arman berteriak sambil refleks menghantam badanku dan berlari
keluar rumah tersebut dengan wajah pucat pasi. Akibat teriakan Arman,
seperti efek domino, hampir semua pengunjung yang ada dibelakangku dan
Arman ikut berteriak dan lari terbirit-birit keluar rumah.
Aku yang keluar dengan santainya sambil mengelus pundakku yang dipukul
Arman hanya bisa tertawa melihat mereka lari ketakutan. Bahkan pemandu
yang ada di dekat kami langsung panik berusaha menenangkan pengunjung
yang tadi ikut berteriak mendengar jeritan Arman.
“Ada apa ini..?” Tanya sang pemandu kebingungan. Orang orang disekitar
itu sontak menunjuk Arman sebagai biang kerok keributan ini.
“Itu pak… Masnya tadi teriak sambil lari dari dalam ruangan sana.” Sahut
beberapa pengunjung menunjuk Arman, termasuk Heny dan Clara.
“Lah… itu Kopet nakutin saya…” Ucap Arman membela diri.
“Lho… Ane kan ga nakutin, Cuma bilang ‘WAA..’ aja, lagian ga pake teriak
kan… Ente aja yang penakut. Hahaha…” ucapku dengan santainya.
Orang orang yang mendengar penjelasanku hanya bisa mendengus dan
menatapku kesal. Arman dan Heny kembali mengejarku dan memukuliku
bertubi-tubi.
“Wahahaha… Dasarnya udah penakut bilang aja penakut… Jangan pake alesan
macem-macem… Baru juga di tegur dikit dah dibilang ngagetin. Cemen ente
hep… Potong aja dah tuh kontol…” Ejekku sambil berlari menghindar
kejaran Arman dan Heny.
Kami tak lama berada di lubang buaya, setelah itu kami kembali
melanjutkan perjalanan menuju Taman Mini. Sepanjang perjalanan, di dalam
bus Arman menjadi bahan ejekan karena ulahnya yang berteriak ketakutan
tadi. Kami kembali ke penginapan sekitar pukul sembilan malam setelah
puas menikmati pemandangan miniatur Indonesia dan menyaksikan theater
IMAX keong mas di taman mini.
Saat kami hendak naik ke kamar, Arman meminta untuk menggunakan lift
karena merasa sudah cukup letih. Saat berada di dalam lift, Arman yang
tadinya berdiri tiba-tiba duduk berjongkok sambil memegangi kepalanya.
“Ente kenapa?” Tanya Wayan heran melihat Arman.
“Pusing…” Jawab Arman singkat.
Setelah tiba di lantai empat, tempat kamar kami berada, kami segera
keluar dari lift. Namun Arman seperti kehilangan tenaga, ia berjalan
sambil berjongkok hampir merangkak keluar lift.
“Ente kenapa sih?? Capek jalan?” Tanyaku bingung.
“Naek lift ga enak ya… Kepala ane pusing banget rasanya.” Jawab Arman dengan polosnya.
Kami langsung tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Arman yang
ternyata baru kali ini naik lift. Tadi pagi sewaktu baru tiba kami tidak
menggunakan lift karena saat itu lift sedang ada perbaikan, dan kami
menggunakan tangga untuk naik ke lantai empat.
“Udah penakut, sekarang tambah keliatan kampungannya. Wahahaha…” Wayan terbahak-bahak melihat Arman.
“Setan Ente semua…!!! Bukannya bantuin temen malah pada ngetawain.
Bangke..!!!” Maki Arman sambil beranjak bangun dan melangkah pergi
meninggalkan kami yang masih mentertawakan tingkah lakunya.
Malam ini kami menghabiskan waktu merokok sambil minum beberapa kaleng
bir. Wayan, aku dan Arman tadi sempat keluar sebentar ke supermarket
terdekat untuk membeli bir kalengan dan beberapa botol smirnov
dan sedikit camilan. Kami malam ini memang sengaja berniat untuk
begadang di balkon hotel, menikmati malam terakhir kami di Jakarta.
Aku menenggak bir hitam yang tadi ku beli sambil ngobrol bareng
teman-temanku. Widi ikut duduk bersama kami, namun ia hanya ikut makan
kacang dan meminum sebotol cola. Widi memang tidak pernah mau merokok
maupun minum-minuman beralkohol, namun ia selalu tetap ikut nongkrong
bersama kami. Arman hanya ikut meminum sebotol smirnov yang rasanya
memang sedikit manis. Ia juga tidak bisa meminum bir, walaupun bir dan
smirnov kadar alkoholnya sama.
“Bir rasanya lebih pahit... Apalagi bir hitam, kayak minum kecap.
Mending minum ini lebih berasa seperti minum sprite...” Jawab Arman
ketika kami bertanya alasannya tidak ikut minum bir.
Tak berapa lama Wayan diajak oleh adik kelasku untuk melanjutkan minum
di kamar temannya yang katanya mereka membawa minuman yang lebih keras
lagi. Aku sebenarnya diajak oleh Wayan, namun ku tolak. Badanku sudah
terasa lumayan letih. Akhirnya di kamar balkon ini hanya ada aku dan
Arman saja. Widi meninggalkan kami dan langsung beranjak ke tempat
tidur.
“Terus besok ente gimana pas di Yogya nanti..?” Tiba-tiba Arman membuka omongan mengajakku ngobrol.
“Maksudnya..??”
“Iya... Ente kan besok bareng Dian. Trus nanti ente yang pindah atau ane
yang geser ke belakang..?” Tanya Arman. Rupanya ia sedang membahas
tentang posisi duduk kami nanti saat Dian ikut bergabung dengan
rombongan kami.
“Yaa.. Terserah aja sih... Mana enaknya.”
“Kalo gitu biar ane aja yang pindah ke belakang. Tar ane duduk bareng Wayan aja. Oya Suneo gimana..?”
“Heny kan bisa balik lagi duduk bareng Clara.” Jawabku sambil membakar rokok.
“Ente udah ngapain aja sama dia..?” Arman mengagetkanku dengan pertanyaannya.
“Ga ngapa-ngapain lah... Kita Cuma duduk bareng terus tidur, itu aja sih..” Jawabku sambil menghembuskan asap rokok ari mulutku.
“Ane tau lah ente ngapa-ngapain tadi malem... Suara desahan Suneo
kedengeran dari tempat duduk ane. Semalem kan ane ga bisa tidur.” Balas
Arman sambil membakar rokok dan langsung terbatuk karena ia tidak begitu
terbiasa merokok.
“Ane sih Cuma bisa ngingetin lagi, karena ane sobat ente. Jangan sampe
kayak kasus ente sama Triana... Inget... Ente masih ada Dian yang
bener-bener sayang sama ente. Liat aja gimana pengorbanan dia nyamperin
ente kemaren, padahal kalo ane liat dari peta, rumahnya dia lumayan jauh
loh ke pak Ponijan.. Tapi di bela-belain nyetir sendiri kesana biar
bisa ketemu ente. Tapi itu semua terserah ente aja sih... Ane Cuma bisa
ngingetin aja, jangan sampe ente dianggap ngasi harapan lagi ke Suneo,
kayak ente sama Triana. Inget pesen ane... Dian itu udah cukup sempurna
jadi pacar... Jangan terlalu banyak maen api, inget juga yang namanya
karma..” Lanjut Arman panjang lebar menasihatiku. Aku hanya bisa terdiam
sambil sesekali menghisap rokokku dan melanjutkan menenggak bir yang
ada di depanku.
“Trus ente udah dapet apa aja dari Clara..? Masa selama perjalanan ini
ga ngapa-ngapain..?” Kataku mengalihkan pembicaraan. Namun Arman
langsung menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaanku.
“Yang bener... Pegang-pegang..? Grepe-grepe..? Masa ga dapet nempel-nempel..?” Tanyaku lebih antusias.
“Emang ane kayak ente... Ada kesempatan dikit langsung maen embat aja. Ane tuh orangnya setia sama satu pasangan..”
“Pasangan yang mana..? Emang ente dah punya pasangan..? Setia nungguin cintanya Wina..?” Ejekku.
“Besok pulang dari sini ane kenalin deh...” Ucapnya. Aku lumayan kaget mendengar jawaban Arman. Sejak kapan ia punya cewek..?
“Kapan deketin ceweknya..? Tiba-tiba udah ngaku punya cewek gini..” Ejekku lagi.
“Ente sih sibuk ngentot terus... Jadi lupa sama temen. Pokoknya sepulang
kita dari Bali kemaren dah... Besok ente liat sendiri aja.” Sahutnya.
Aku masih hendak bertanya lagi ke Arman, namun tiba-tiba pitu kami di
ketuk dan Heny bersama Clara yang mengetuk pintu kamar kami langsung
nyelonong masuk mencari aku dan Arman.
“Eh... Tumben pada kesini... Ada apaan..?” Tanya Arman.
“Iiihh... Kalian lagi pada mabok ya... Kok banyak bener bekas minuman.” Tanya Heny.
“Cuma bir aja sih... Buat ngelancarin saluran kencing...” Jawabku.
“Eh... Besok pagi jalan-jalan ke Monas yuk... Kan deket dari sini, sekalian olahraga pagi..” Ajak Heny.
“Liat besok aja lah... Sebangunnya kita aja, kalo bisa bangun ya ayo aja.. Kalo ga ya lewat...” Sahutku.
“Makanya jangan banyak minum biar cepet tidur, jangan begadang...” Balas Clara.
“Lah... Kalian malah dateng kesini gangguin kita... Gimana bisa cepet tidur.. Apa kalian mau tidur bareng kita..??” Jawab Arman.
Kami pun ngobrol di balkon kamar hingga kedua cewek itu merasa ngantuk dan kembali ke kamarnya.
Keesokan paginya, kami akhirnya jadi juga jalan-jalan sambil berolah
raga pagi di monas setelah Heny dan Clara menggedor kembali kamar kami
dan memaksa aku dan Arman untuk ikut ke monas. Setelah sarapan dan
membenahi barang kami melanjutkan perjalanan wisata menuju Ancol,
mengunjungi seaworld dan wahana dunia fantasi. Dan ini merupakan
hari terakhir kami di Jakarta. Disana kami menghabiskan waktu setengah
hari sebelum berangkat menuju Bandung.
Yang aku herankan selama perjalanan karya wisata ini, Heny jarang sekali
ikut bergabung denganku dan Arman saat berada di luar bus pada saat
kami sedang berjalan-jalan atau menikmati hiburan yang ada. Ia lebih
memilih bergabung bersama kelompok cewek-cewek. Beda jika kami sudah
berada di dalam bus. Heny sepertinya tak mau lepas dariku. Hanya tadi
malam ia sempat main ke kamar kami dan ngobrol hingga tengah malam.
Mungkin Heny merasa harus menjaga jarak antara aku dan dia agar tak
terlalu terlihat oleh yang lain, karena semua rombongan ini sudah tahu
kalau aku sudah punya cewek.
Siang itu entah kenapa aku merasa sangat pusing sekali. Perutku terasa
mual. Sepertinya aku sedang mabuk darat. Heny yang tadinya kembali duduk
dengan Clara meminta Arman untuk pindah. Alasannya agar ia bisa
membantuku mengoleskan minyak angin di badanku. Ia bahkan menawariku
untuk kerokan namun langsung ku tolak.
“Udah... Kamu tidur aja... Kamu masuk angin tuh gara-gara semalem
begadang trus kebanyakan minum bir. Coba merem... Sini...” Pintanya agar
aku merebahkan kepalaku di pangkuannya.
Akupun mengikuti anjurannya mencoba untuk memejamkan mata. Heny memberikanku permen mint sambil memijat bahu dan leherku.
Tapi yang namanya orang mabuk kendaraan biar bagaimanapun kita berusaha
untuk tidur tetap saja tidak bisa. Mataku tetap terpejam namun pikiranku
melayang kesana kemari. Apalagi jika mengingat obrolanku dengan Arman
tadi malam dan melihat bagaimana Heny saat ini yang rela menjaga dan
merawatku membuatku kembali berpikir, benarkah aku sudah mulai
memberikan harapan ke Heny..? Melihat beberapa hari ini kami memang
tampak sedikit lebih dekat. Apalagi sejak kejadian malam saat kami
menuju Jakarta.
Jujur kali ini aku sedikit khawatir jika mengingat nasihat Arman. Pelan
aku membuka mata dan menatap ke arah Heny yang masih membaca majalah
sambil membelai kepalaku. Ia tersenyum melihatku menatapnya.
“Tidur...” Bisiknya sambil tersenyum.
Aku kembali hendak memejamkan mata. Namun tiba-tiba aku dikejutkan oleh
suara desahan yang lumayan keras. Aku saling bertatapan heran dengan
Heny sambil menajamkan pendengaranku.
“Aaahhh... Aahh.. Aahh..”
“Oohh.. Oooohh.. Ooohh..”
Suara desahan itu semakin jelas terdengar dari bangku depan tempat Clara
dan Arman duduk. Aku yang sudah bangkit saling berpandangan dengan
Heny.
“Astaga... Arman sama Clara lagi...” Bisik Heny kaget.
“Gila... Masa siang-siang begituan... Suaranya dikencengin lagi.”
------------------------------------------
No comments:
Post a Comment