Friday 15 June 2018

Cerita SMA....58

HENY APRILIA

[​IMG]


ANGELINA CLARANSIA PUTRI

[​IMG]







Dinihari ini kami sedang beristirahat di salah satu rumah makan di daerah Pamanukan Jawa Barat sekalian makan malam yang sangat tertunda karena kami tadi lumayan lama menghabiskan waktu di Semarang.

Heny masih setia mendampingiku kemanapun aku dan Arman pergi. Sejak kejadian tadi malam dimana aku dan Heny sempat ‘bercumbu’ di dalam bus ia menjadi semakin dekat denganku.

“Kopet ih… Gara-gara kamu ngeluarin di mulutku, aku jadi ga nafsu makan. Sialan..!!” Maki Heny masih merasa jijik mengingat kejadian beberap jam yang lalu.

“Kamunya sih, pake ngemut segala… Aku kan dah bilang mau keluar bntar lagi, bukannya dilepas malah tambah diemut dan dimainin.”

“Tanganmu tuh pake ngobel-ngobel nenen ama klitorisku, gimana ga blingsatan akunya. Untungnya ga keterusan ampe gituan.”

“Tapi kamu suka kan… Aslinya kamu tuh pengen kan dimasukin… Buktinya ampe orgasme gitu. Sukurnya teriakanmu ga kedengeran, keduluan mulutmu di sumpal pake tititku. Hehehe…” Godaku. Heny hanya cemberut sambil mencubitku.

Jika aku mengingat kembali kejadian beberapa jam yang lalu di atas bus tadi, aku senyum-senyum sendiri membayangkan gimana tanggungnya aku dan Heny yang sudah benar-benar merasa sangat horny.


~~•-•~~

Saat Heny mulai mengocok pelan kemaluanku, tanpa ragu lagi aku menarik beha Heny agar terangkat dan aku lebih leluasa memainkan payudaranya. Namun aku sedikit kesulitan membuka behanya karena tertahan oleh payudara Heny yang ukurannya memang lebih besar dari punya Dian.

“Susah banget sih buka behamu… kegedean nenen nih…” bisikku masih berusaha mengangkat behanya.

“Bentar… Jangan dibuka, tar susah masangnya kalo ada apa-apa…” bisik Heny sambil membantuku menaikkan cup behanya, namun kaosnya masih tetap terpasang di badannya.

Setelah behanya terangkat aku kembali memasukkan tanganku kedalam baju Heny dan langsung meremas gemas payudaranya yang super jumbo. Ku mainkan putingnya. Heny mendesis pelan sambil melanjutkan mengurut lembut penisku.

“Di emut aja… Biar enak…” Bisikku menyuruh Heny mengulum kemaluanku.

“Ssshhhhttt… Ogah… Jijik… Aku ga pernah ngemut punya cowokku.”

“Tapi aku kan bukan cowokmu… gapapa belajar… selalu ada momen pertama kali. Tar kan kamu jadi bisa praktekin ke cowokmu, pasti cowokmu kegirangan.” Rayuku, tetap berusaha menyuruhnya untuk mengulum kemaluanku.

Pelan aku menyodorkan kemaluanku ke bibirnya yang memang posisinya tepat berada di depan bibir Heny. Awalnya Heny hanya mencium batang kemaluanku, namun perlahan ia mulai menjilatinya.

“Sshhh… Nah… Gitu… di emut aja kayak kamu ngemut es cream…” rayuku lagi.

“Kamu mintanya macem-macem ya… Udah sukur aku mau nyiumin tititmu ini.” Protesnya. Namun tak ayal di cobanya juga untuk mengulum kemaluanku.

Awalnya Heny menciumi kepala penisku, kemudian dengan sedikit ragu ia mulai menjilati lubang kencingku dan memainkan lidahnya disana.

“Mmppphhh… Iya gitu… Ssshhhttt… Masukin yang dalem…” desisku berbisik di telinganya sambil tetap mempermainkan payudaranya. Heny semakin menggelinjang menahan rasa geli di payudaranya.

Tiba-tiba ia memasukkan seluruh batang kemaluanku ke dalam mulutnya dan mulai menghisapnya. Aku sebenarnya tak percaya kalau ia bilang baru pertama kali mengulum penis, soalnya dari caranya menghisap sungguh luar biasa nikmatnya. Atau mungkin Karena bibirnya yang sedikit tebal dan selalu dimonyongkan itu.

“Aahh… Capek pet mulutku… punyamu besar banget… Mulutku jadi pegel neh..” Protesnya sambil melepas kulumannya.

“Sini…” Ucapku sambil menarik kepalanya dan langsung melumat bibirnya dengan rakus. Ia pun membalasnya sambil memainkan lidahnya di dalam mulutku. Lumayan lama kami berciuman sambil aku tetap memainkan putingnya dan sesekali meremas payudaranya yang montok.

“Mmmmppphh… mmmppphhh…” Hanya erangan itu yang bisa keluar dari bibir Heny yang masih aku sumpal dengan bibirku. Sebagai gantinya, Heny mengocok penisku dengan irama yang sedikit lebih cepat untuk melampiaskan nafsunya yang tak bisa puas dilepaskan dengan desahan.

Sebelah tanganku langsung Ku arahkan menuju selangkangannya dan berusaha menerobos masuk ke dalam celananya. Heny sedikit kaget melihat aksiku.

“Mau ngapain… “ Bisiknya sedikit mendesah. Aku tak menjawabnya, hanya tetap melanjutkan aksiku memasukkan tangan merogoh celananya.

“Awas keliatan… Jangan dibuka…” bisiknya lagi memperingatiku.

“Ditutupin selimut aja… Kan ga keliatan…” Bisikku di telinganya sambil pelan ku kecup kupingnya.

“Aahhh….” Heny mendesah pelan dan menggelinjang saat ku kecup kupingnya. Ia pun kembali melumat kemaluanku.

Aku langsung menggesek klitoris Heny saat tanganku sudah berada di dalam celananya. Kurasakan kemaluan Heny sudah sangat becek. Jariku basah oleh lendir kenikmatan vagina Heny.

“Oooohhh… Kopet mesuuummm… Mmmpphhhh…” Erangnya saat aku mencoba memasukkan jariku kedalam liang vagina Heny.

“Kamu udah ga perawan lagi ya Suneo…” Bisikku bertanya kepadanya.

“Ooohh… Kalo jarimu itu udah bisa… masuk… sshhhtt…. Ga perlu ditanya lagi Kopet mesuummm… Mmmmpphhh…” jawabnya masih mendesah.

Heny mengulum kemaluanku dengan rakus, lidahnya asyik menari diatas kepala penisku. Aku tak mau kalah menusuk dan menggoyangkan jariku mengocok lubang kemaluannya. Namun kuluman Heny rasanya begitu dahsyat. Dian yang ku anggap sudah begitu enak saja masih kalah dibanding Heny yang katanya baru kali ini mengoral kemaluan cowok.

“Hmmmppphh… Suneo… pelan-pelaann… aku ga tahan neh… bisa-bisa muncrat duluaann…” bisikku mendesah di telinganya. Namun Heny sepertinya tak menghiraukan bisikanku malah semakin mempercepat kulumannya. Aku berusaha menyeimbangi dengan ikut mempercepat kocokan jariku di vagina Heny.

Sedotan dan kuluman Heny yang begitu dahsyat membuatku akhirnya tak mampu menahan rasa geli dan nikmat. Dengan mata terpejam menahan nikmat aku akhirnya menyemprotkan spermaku di dalam mulut Heny.

Heny yang keget menerima semprotan spermaku langsung tersedak kemudian tiba-tiba bangkit dan terburu-buru mencari tissue di dalam tasnya. Ia memuntahkan semua sperma yang ada di mulutnya sambil terbatuk.

“Kopet gila..!! Keluar ga bilang-bilang... Hueekk...!!” Makinya sambil meminum air mineral dari botol yang ada di depannya. Ia kemudian merapikan pakaiannya yang setengah terbuka dan mengancing kembali celananya.

“Sedotanmu mantep bener... Aku kan dah bilang tadi pelan-pelan aja, tapi kamunya malah semakin kesetanan. Hehehe...”

“SETAN... JOROK...!!! Hueekkk...” Heny masih merasa mual dan berusaha memuntahkan sesuatu dari dalam mulutnya.

“Si Suneo mabuk...? Kasi minyak angin aja Pet... Atau suruh minum antimo..” Tiba-tiba Arman menoleh ke belakang dan menyapaku saat mendengar Heny hendak muntah.

“Iya... Dia mabok sosis sama kebanyakan mayones. Hahaha...” Candaku. Arman terlihat bingung mendengar jawabanku.

“Kampret... Aku tuh jijik tau... Bukan mabuk... Gara-gara Kopet ini nih...” Dengusnya sambil memukul bahuku.

“Lagian kamu ngapain juga makan mayones banyak-banyak...” Ujar Arman polos, mungkin tak tahu maksud sebenarnya. Aku tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata Arman.



~~•-•~~

Setelah makan malam, kami kembali naik ke atas bus beristirahat sambil menunggu teman-teman lain yang masih menyelesaikan makan malamnya.

Heny masih duduk disebelahku. Ia tampaknya sudah tidak marah lagi denganku. Sekarang ia kembali mengapit lenganku dan menyandarkan kepalanya di bahuku.

“Mau lanjutin yang tadi lagi..?” Godaku.

“ENGGAK..!!” Bentaknya. Aku tersenyum melihatnya.

“Atau mau yang lebih... Tadi kan belum sempet dimasukin... Gimana..” Lanjutku sambil memainkan alis menggodanya.

“Bawa kondom..?” Tanyanya tiba-tiba. Anjiirr... Sepertinya Heny masih horny juga, masih penasaran karena belum tuntas.

“Enggaa..”

“Kalo gitu.. NO..!! Aku ga mau maen sembarangan tanpa kondom.”

“Kan bisa di keluarin di luar...”

“OGAH..!! Maen aman napa sih Pet...”

Aku hanya bisa manyun, membayangkan penisku di jepit oleh vagina Heny membuat penisku sedikit berontak. Ditambah lagi posisi Heny yang sekarang merebahkan kepalanya di pangkuanku seperti biasa.

Tak lama rombongan kami satu persatu kembali ke dalam bus, dan kami pun melanjutkan perjalanan menuju Jakarta. Aku membangunkan Heny saat bus mulai bergerak meninggalkan rumah makan dan menyuruhnya duduk.

“Gantian... Sekarang aku yang tidur di pahamu...” Kataku cuek sambil merebahkan badan dan meletakkan kepalaku di pangkuannya. Heny hanya diam sambil tetap melanjutkan membaca majalah yang ia bawa.

Aku terbangun karena merasa terganggu oleh badanku yang terasa tertindih. Saat membuka mata kulihat Heny sedang asyik tertudur dengan posisi miring merebahkan kepalanya di pinggangku, menindih perutku. Payudaranya yang besar menutup wajahku sehingga membuatku sedikit susah bernapas.

“Suneo... Bangun...” Ucapku berusaha mengangkat tubuhnya. Namun Heny masih tetap terlelap.

Iseng ku gigit payudaranya dengan pelan namun Heny masih tak bereaksi. Perlahan kusingkap bajunya dan mengangkat cup behanya. Nampak puting payudara Heny yang berwarna merah muda kecoklatan dengan areola yang tak begitu besar. Segera kulumat pelan putingnya yang menggairahkan itu. Samar terdengar desisan dari mulut Heny sambil badannya mulai bergerak pelan.

“Ssshhhttt... Aahhhh...” Heny sedikit mendesah masih dengan matanya yang terpejam. Aku semakin liar memainkan putingnya.

“Mmmpphhh.... KOPET... Mesum ih pagi pagi udah nenen aja..” Bisiknya kaget saat menyadari aku sedang asyik mengulum dan menjilati putingnya. Ia langsung mengangkat badannya dan memperbaiki bajunya yang terbuka.

“Hehehe... Kamunya sih... di bangunin dari tadi ga bergerak...”

“Dasar mesum...!! Awas tar aku laporin pacarmu...!!” Dengusnya.

Aku masih tersenyum melihat Heny yang sedang mengelap wajahnya menggunakan tissue basah. Ia menawariku kemudian kami kembali duduk seperti biasa.

Hari sudah beranjak pagi saat kami baru saja memasuki ibukota. Lalu lintas sudah terlihat ramai sewaktu kami melewati jalan tol dalam kota Jakarta ini. Beberapa orang di dalam bus sudah mulai terbangun. Begitu juga dengan Arman yang masih melongo terheran-heran melihat gedung-gedung pencakar langit yang melintang di kota Jakarta ini.

“Welcome to ibukota... Kejamnya ibu tiri tak sekejam ibukota...” Tiba-tiba Wayan berteriak memecah keheningan pagi ini mengagetkan kami yang baru saja siuman dari tidur.

“Gilaa... Gedungnya tinggi-tinggi... Kita sampe ga bisa ngeliat puncaknya saking tingginya.” Sahut Arman takjub.

“Ente jangan terlalu norak gitu hep... Bikin malu aja. Untungnya kita masih di dalam bus, yang denger Cuma kita-kita aja.” Ejek Wayan.

“Tau neh... Ndeso banget... Kayak ga pernah ke Jakarta aja...” Timpal Clara.

“Lah... Ane kan emang baru pertama kali ini ke Jakarta.” Arman membela diri.

“Ati-ati tar hep... Nanti di hotel ada ruangan yang cukup kecil, kita kalo mau ke lantai atas biasanya pake itu. Tar kalo ada karpetnya ente harus lepas sendal dan sepatu biar ga kotor...” Imbuhku mengejeknya.

“Setan..!! Ane ga segitu kampungannya... Ane tau lah kalo itu namanya lip. Di pelem-pelem banyak kan...” Ujar Arman bermaksud menyebut kata lift.

Pagi itu kami bercanda selama diperjalanan menuju penginapan yang berada di pusat kota. Obyek penderita pagi ini adalah Arman, karena celetukan-celetukan takjubnya melihat suasana kota Jakarta yang baru pertama kali ia lihat dengan mata sendiri. Kami tiba di penginapan saat matahari sudah lumayan tinggi pagi ini. Setelah pembagian kamar kami langsung meletakkan barang-barang dan beristirahat di kamar.

Aku memperoleh kamar bersama Arman, Widi, Wayan, dan seorang lagi adik kelas kami. Disini kami diberikan waktu beristirahat selama kurang lebih dua jam, karena sesuai jadwal, jam 10 nanti kami harus pergi lagi menuju Lubang Buaya dan Taman Mini. Jadwal perjalanan kami memang sedikit berubah karena mampir ke Semarang kemarin.

Setelah mandi dan membersihkan diri, kami kembali berkumpul di restoran untuk sarapan pagi dan melanjutkan kembali perjalanan wisata kami.

Siang itu kami sudah berada di areal parkir monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya. Kami mengunjungi lokasi tempat dahulu para jenderal revolusi di siksa dan dibunuh secara kejam oleh PKI. Disana kami melihat beberapa diorama tentang kejadian malam 30 september tahun 1965.

“Gilaa… Suasana tempat ini mistis banget ya… rasanya gimanaa gitu..” Arman berkata sedikit pelan saat kami sedang berjalan memasuki salah satu rumah tempat penyiksaan para jenderal.

“Bilang aja ente pengecut…” Ejekku.

“Beda Pet… Suasana disini emang sedikit nyeremin, padahal kita kesininya siang loh… Dan rame-rame lagi, tapi tetep aja berasa merinding.” Heny ikut berkomentar membela Arman.

“Jangan-jangan arwah para jenderal itu masih gentayangan disini…” Lanjut Arman dengan sedikit bergidik.

“Ente kalo aslinya udah penakut ya penakut aja, jangan pake alesan macem-macem… hahaha…” Ejekku lagi.

“Kopet sok berani… Coba aja ente kalo berani masuk sendirian ke dalam salah satu ruangan ini.” Ucap Arman kesal sambil menantangku.

Aku tak menggubris kata-kata Arman dan tetap melangkah mengikuti pemandu yang sesekali menjelaskan kepada kami barang-barang peninggalan G 30S/PKI seperti meja, kursi, tempat tidur dan sebagainya.

“Nah… Kalau kalian masih ingat film tentang pemberontakan PKI, dimana salah satu jenderal wajahnya disilet, disinilah tempat beliau didudukkan.” Cerita sang pemandu sambil menunjuk salah satu kursi.

Aku kemudian berjalan santai memasuki salah satu ruangan kosong yang hanya terdapat balai-balai bambu. Arman , Heny dan Clara mengikuti dibelakangku dengan wajah sedikit khawatir, entah takut atau merasa jijik melihat tempat itu.

Entah darimana timbul niatku untuk iseng menggoda Arman yang tepat berada dibelakangku, aku sedikit menariknya ke dalam salah satu ruangan, kemudian tiba-tiba aku berbalik dan mengagetkannya.

“HUWAAA…!!!”

PLAK..!!!

Spontan Arman berteriak sambil refleks menghantam badanku dan berlari keluar rumah tersebut dengan wajah pucat pasi. Akibat teriakan Arman, seperti efek domino, hampir semua pengunjung yang ada dibelakangku dan Arman ikut berteriak dan lari terbirit-birit keluar rumah.

Aku yang keluar dengan santainya sambil mengelus pundakku yang dipukul Arman hanya bisa tertawa melihat mereka lari ketakutan. Bahkan pemandu yang ada di dekat kami langsung panik berusaha menenangkan pengunjung yang tadi ikut berteriak mendengar jeritan Arman.

“Ada apa ini..?” Tanya sang pemandu kebingungan. Orang orang disekitar itu sontak menunjuk Arman sebagai biang kerok keributan ini.

“Itu pak… Masnya tadi teriak sambil lari dari dalam ruangan sana.” Sahut beberapa pengunjung menunjuk Arman, termasuk Heny dan Clara.

“Lah… itu Kopet nakutin saya…” Ucap Arman membela diri.

“Lho… Ane kan ga nakutin, Cuma bilang ‘WAA..’ aja, lagian ga pake teriak kan… Ente aja yang penakut. Hahaha…” ucapku dengan santainya.

Orang orang yang mendengar penjelasanku hanya bisa mendengus dan menatapku kesal. Arman dan Heny kembali mengejarku dan memukuliku bertubi-tubi.

“Wahahaha… Dasarnya udah penakut bilang aja penakut… Jangan pake alesan macem-macem… Baru juga di tegur dikit dah dibilang ngagetin. Cemen ente hep… Potong aja dah tuh kontol…” Ejekku sambil berlari menghindar kejaran Arman dan Heny.

Kami tak lama berada di lubang buaya, setelah itu kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Taman Mini. Sepanjang perjalanan, di dalam bus Arman menjadi bahan ejekan karena ulahnya yang berteriak ketakutan tadi. Kami kembali ke penginapan sekitar pukul sembilan malam setelah puas menikmati pemandangan miniatur Indonesia dan menyaksikan theater IMAX keong mas di taman mini.

Saat kami hendak naik ke kamar, Arman meminta untuk menggunakan lift karena merasa sudah cukup letih. Saat berada di dalam lift, Arman yang tadinya berdiri tiba-tiba duduk berjongkok sambil memegangi kepalanya.

“Ente kenapa?” Tanya Wayan heran melihat Arman.

“Pusing…” Jawab Arman singkat.

Setelah tiba di lantai empat, tempat kamar kami berada, kami segera keluar dari lift. Namun Arman seperti kehilangan tenaga, ia berjalan sambil berjongkok hampir merangkak keluar lift.

“Ente kenapa sih?? Capek jalan?” Tanyaku bingung.

“Naek lift ga enak ya… Kepala ane pusing banget rasanya.” Jawab Arman dengan polosnya.

Kami langsung tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Arman yang ternyata baru kali ini naik lift. Tadi pagi sewaktu baru tiba kami tidak menggunakan lift karena saat itu lift sedang ada perbaikan, dan kami menggunakan tangga untuk naik ke lantai empat.

“Udah penakut, sekarang tambah keliatan kampungannya. Wahahaha…” Wayan terbahak-bahak melihat Arman.

“Setan Ente semua…!!! Bukannya bantuin temen malah pada ngetawain. Bangke..!!!” Maki Arman sambil beranjak bangun dan melangkah pergi meninggalkan kami yang masih mentertawakan tingkah lakunya.

Malam ini kami menghabiskan waktu merokok sambil minum beberapa kaleng bir. Wayan, aku dan Arman tadi sempat keluar sebentar ke supermarket terdekat untuk membeli bir kalengan dan beberapa botol smirnov dan sedikit camilan. Kami malam ini memang sengaja berniat untuk begadang di balkon hotel, menikmati malam terakhir kami di Jakarta.

Aku menenggak bir hitam yang tadi ku beli sambil ngobrol bareng teman-temanku. Widi ikut duduk bersama kami, namun ia hanya ikut makan kacang dan meminum sebotol cola. Widi memang tidak pernah mau merokok maupun minum-minuman beralkohol, namun ia selalu tetap ikut nongkrong bersama kami. Arman hanya ikut meminum sebotol smirnov yang rasanya memang sedikit manis. Ia juga tidak bisa meminum bir, walaupun bir dan smirnov kadar alkoholnya sama.

“Bir rasanya lebih pahit... Apalagi bir hitam, kayak minum kecap. Mending minum ini lebih berasa seperti minum sprite...” Jawab Arman ketika kami bertanya alasannya tidak ikut minum bir.

Tak berapa lama Wayan diajak oleh adik kelasku untuk melanjutkan minum di kamar temannya yang katanya mereka membawa minuman yang lebih keras lagi. Aku sebenarnya diajak oleh Wayan, namun ku tolak. Badanku sudah terasa lumayan letih. Akhirnya di kamar balkon ini hanya ada aku dan Arman saja. Widi meninggalkan kami dan langsung beranjak ke tempat tidur.

“Terus besok ente gimana pas di Yogya nanti..?” Tiba-tiba Arman membuka omongan mengajakku ngobrol.

“Maksudnya..??”

“Iya... Ente kan besok bareng Dian. Trus nanti ente yang pindah atau ane yang geser ke belakang..?” Tanya Arman. Rupanya ia sedang membahas tentang posisi duduk kami nanti saat Dian ikut bergabung dengan rombongan kami.

“Yaa.. Terserah aja sih... Mana enaknya.”

“Kalo gitu biar ane aja yang pindah ke belakang. Tar ane duduk bareng Wayan aja. Oya Suneo gimana..?”

“Heny kan bisa balik lagi duduk bareng Clara.” Jawabku sambil membakar rokok.

“Ente udah ngapain aja sama dia..?” Arman mengagetkanku dengan pertanyaannya.

“Ga ngapa-ngapain lah... Kita Cuma duduk bareng terus tidur, itu aja sih..” Jawabku sambil menghembuskan asap rokok ari mulutku.

“Ane tau lah ente ngapa-ngapain tadi malem... Suara desahan Suneo kedengeran dari tempat duduk ane. Semalem kan ane ga bisa tidur.” Balas Arman sambil membakar rokok dan langsung terbatuk karena ia tidak begitu terbiasa merokok.

“Ane sih Cuma bisa ngingetin lagi, karena ane sobat ente. Jangan sampe kayak kasus ente sama Triana... Inget... Ente masih ada Dian yang bener-bener sayang sama ente. Liat aja gimana pengorbanan dia nyamperin ente kemaren, padahal kalo ane liat dari peta, rumahnya dia lumayan jauh loh ke pak Ponijan.. Tapi di bela-belain nyetir sendiri kesana biar bisa ketemu ente. Tapi itu semua terserah ente aja sih... Ane Cuma bisa ngingetin aja, jangan sampe ente dianggap ngasi harapan lagi ke Suneo, kayak ente sama Triana. Inget pesen ane... Dian itu udah cukup sempurna jadi pacar... Jangan terlalu banyak maen api, inget juga yang namanya karma..” Lanjut Arman panjang lebar menasihatiku. Aku hanya bisa terdiam sambil sesekali menghisap rokokku dan melanjutkan menenggak bir yang ada di depanku.

“Trus ente udah dapet apa aja dari Clara..? Masa selama perjalanan ini ga ngapa-ngapain..?” Kataku mengalihkan pembicaraan. Namun Arman langsung menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaanku.

“Yang bener... Pegang-pegang..? Grepe-grepe..? Masa ga dapet nempel-nempel..?” Tanyaku lebih antusias.

“Emang ane kayak ente... Ada kesempatan dikit langsung maen embat aja. Ane tuh orangnya setia sama satu pasangan..”

“Pasangan yang mana..? Emang ente dah punya pasangan..? Setia nungguin cintanya Wina..?” Ejekku.

“Besok pulang dari sini ane kenalin deh...” Ucapnya. Aku lumayan kaget mendengar jawaban Arman. Sejak kapan ia punya cewek..?

“Kapan deketin ceweknya..? Tiba-tiba udah ngaku punya cewek gini..” Ejekku lagi.

“Ente sih sibuk ngentot terus... Jadi lupa sama temen. Pokoknya sepulang kita dari Bali kemaren dah... Besok ente liat sendiri aja.” Sahutnya.

Aku masih hendak bertanya lagi ke Arman, namun tiba-tiba pitu kami di ketuk dan Heny bersama Clara yang mengetuk pintu kamar kami langsung nyelonong masuk mencari aku dan Arman.

“Eh... Tumben pada kesini... Ada apaan..?” Tanya Arman.

“Iiihh... Kalian lagi pada mabok ya... Kok banyak bener bekas minuman.” Tanya Heny.

“Cuma bir aja sih... Buat ngelancarin saluran kencing...” Jawabku.

“Eh... Besok pagi jalan-jalan ke Monas yuk... Kan deket dari sini, sekalian olahraga pagi..” Ajak Heny.

“Liat besok aja lah... Sebangunnya kita aja, kalo bisa bangun ya ayo aja.. Kalo ga ya lewat...” Sahutku.

“Makanya jangan banyak minum biar cepet tidur, jangan begadang...” Balas Clara.

“Lah... Kalian malah dateng kesini gangguin kita... Gimana bisa cepet tidur.. Apa kalian mau tidur bareng kita..??” Jawab Arman.

Kami pun ngobrol di balkon kamar hingga kedua cewek itu merasa ngantuk dan kembali ke kamarnya.

Keesokan paginya, kami akhirnya jadi juga jalan-jalan sambil berolah raga pagi di monas setelah Heny dan Clara menggedor kembali kamar kami dan memaksa aku dan Arman untuk ikut ke monas. Setelah sarapan dan membenahi barang kami melanjutkan perjalanan wisata menuju Ancol, mengunjungi seaworld dan wahana dunia fantasi. Dan ini merupakan hari terakhir kami di Jakarta. Disana kami menghabiskan waktu setengah hari sebelum berangkat menuju Bandung.

Yang aku herankan selama perjalanan karya wisata ini, Heny jarang sekali ikut bergabung denganku dan Arman saat berada di luar bus pada saat kami sedang berjalan-jalan atau menikmati hiburan yang ada. Ia lebih memilih bergabung bersama kelompok cewek-cewek. Beda jika kami sudah berada di dalam bus. Heny sepertinya tak mau lepas dariku. Hanya tadi malam ia sempat main ke kamar kami dan ngobrol hingga tengah malam. Mungkin Heny merasa harus menjaga jarak antara aku dan dia agar tak terlalu terlihat oleh yang lain, karena semua rombongan ini sudah tahu kalau aku sudah punya cewek.

Siang itu entah kenapa aku merasa sangat pusing sekali. Perutku terasa mual. Sepertinya aku sedang mabuk darat. Heny yang tadinya kembali duduk dengan Clara meminta Arman untuk pindah. Alasannya agar ia bisa membantuku mengoleskan minyak angin di badanku. Ia bahkan menawariku untuk kerokan namun langsung ku tolak.

“Udah... Kamu tidur aja... Kamu masuk angin tuh gara-gara semalem begadang trus kebanyakan minum bir. Coba merem... Sini...” Pintanya agar aku merebahkan kepalaku di pangkuannya.

Akupun mengikuti anjurannya mencoba untuk memejamkan mata. Heny memberikanku permen mint sambil memijat bahu dan leherku.

Tapi yang namanya orang mabuk kendaraan biar bagaimanapun kita berusaha untuk tidur tetap saja tidak bisa. Mataku tetap terpejam namun pikiranku melayang kesana kemari. Apalagi jika mengingat obrolanku dengan Arman tadi malam dan melihat bagaimana Heny saat ini yang rela menjaga dan merawatku membuatku kembali berpikir, benarkah aku sudah mulai memberikan harapan ke Heny..? Melihat beberapa hari ini kami memang tampak sedikit lebih dekat. Apalagi sejak kejadian malam saat kami menuju Jakarta.

Jujur kali ini aku sedikit khawatir jika mengingat nasihat Arman. Pelan aku membuka mata dan menatap ke arah Heny yang masih membaca majalah sambil membelai kepalaku. Ia tersenyum melihatku menatapnya.

“Tidur...” Bisiknya sambil tersenyum.

Aku kembali hendak memejamkan mata. Namun tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara desahan yang lumayan keras. Aku saling bertatapan heran dengan Heny sambil menajamkan pendengaranku.

“Aaahhh... Aahh.. Aahh..”

“Oohh.. Oooohh.. Ooohh..”

Suara desahan itu semakin jelas terdengar dari bangku depan tempat Clara dan Arman duduk. Aku yang sudah bangkit saling berpandangan dengan Heny.

“Astaga... Arman sama Clara lagi...” Bisik Heny kaget.

“Gila... Masa siang-siang begituan... Suaranya dikencengin lagi.”





------------------------------------------

No comments:

Post a Comment