DIAN ANGGRAINI
HENY APRILIA
Malam itu aku sedang pulas tertidur di kursi bus yang kami tumpangi saat
Arman membangunkanku. Ia berkali-kali menggoyangkan badanku berusaha
membuatku tersadar.
“Hah...?? Ada apa..? Udah nyampe mana..? Sahutku linglung.
Aku langsung menengok ke arah jendela bus. Kulihat diluar masih sangat
gelap. Kuperhatikan jam tanganku masih menunjukkan angka 2 , berarti
saat ini masih pukul 1 tengah malam waktu Indonesia bagian barat.
Aku sedikit menggeliat meregangkan tubuhku dan langsung melirik Arman.
Kulihat dilorong bus tepat disebelah kursiku dan Arman, Clara duduk
berjongkok sambil menatapku.
“Ngapain sih bangunin orang lagi enak tidur... Bukannya ikut tidur malah gangguin orang..!!” Protesku ke Arman.
“Pet... Kamu pindah duduk ke bangku depan ya... Duduk sama Heny...
Please...” Clara berbisik kearahku sambil memohon agar aku mau pindah
duduk ke depan.
“Emang kenapa kok nyuruh aku pindah..? Kalian mau ngapain..?” Tanyaku heran.
“Sssttt... Jangan kenceng-kenceng ngomongnya.. Tar di denger ama guru...
Udah, ente pindah aja daripada ane keganggu gara-gara Clara minjem
kaset terus. Jadi mending dia duduk sama ane disini. Sampe pagi aja
kok..” Bisik Arman ikut memohon.
“Aku ga bisa tidur kalo ga denger musik Pet... Lagu-lagunya Arman
keren-keren, makanya aku pinjem kasetnya. Ya... Please... Kamu duduk
bareng Heny...” Mohon Clara masih berbisik.
Aku pun dengan wajah cemberut dan masih merasa mengantuk terpaksa pindah
ke bangku di depanku, tempat dimana Clara duduk sebelumnya. Clara pun
menggantikan posisiku duduk di dekat jendela berpasangan dengan Arman.
Kulihat Heny tertidur pulas dengan posisi meringkuk tertutup selimut dan
memakai hampir setengah dari kursi yang akan aku tempati.
“Suneo... Minggir dikit deh... Kamu tidur yang bener dong...” Bisikku sambil mendorongnya agar kembali keposisinya yang benar.
“Hmmm... Aahhh...”
Heny hanya menggeliat pelan kemudian berbalik memunggungiku. Pantatnya
yang besar diarahkan ke aku. Namun tak lama kemudian ia menoleh seperti
baru tersadar.
“Kopet kamu ngapain duduk disitu..? Clara mana?” Tanyanya masih dengan suara mengantuknya.
“Tuh.. Pindah ke belakang... Aku dipaksa pindah kesini. Kamu yang bener
dong posisi duduknya... Sempit neh.. Kebesaran pantat sih..” Dengusku.
Heny langsung memperbaiki posisi tidurnya. Tapi alih-alih menjauh
dariku, ia malah sengaja memepetkan badannya dan merebahkan kepalanya ke
pundakku.
“Pinjem... Jangan pelit-pelit jadi cowok... “ Bisiknya.
Aku pun tak menghiraukannya yang sudah mulai memejamkan mata dan ikut
bersiap hendak melanjutkan tidurku yang sempat terganggu. Namun baru
beberapa saat memejamkan mata tiba-tiba sebuah tangan memeluk tubuhku.
“Eh...!!”
“Udah diem aja... AC nya dingin banget...” Ujar Heny sambil memperbaiki selimutnya dan ikut menyelimutiku.
Aku pun kembali mencoba memejamkan mata. Tak ku hiraukan Heny yang masih
erat memelukku dan juga sesuatu yang kenyal-kenyal empuk menempel di
lengan kananku. Aku tetap mencoba untuk kembali tertidur. Tapi
sepertinya apa yang dikatakan Heny sedikit ada benarnya. AC di dalam bus
kami memang terasa lebih dingin malam ini.
Karena tak tahan menahan rasa dingin padahal aku sudah diselimuti oleh
Heny, akhirnya ku beranikan diri berbalik menghadapnya dan kupeluk
tubuhnya.
“Kan... Kedinginan juga... Makanya jangan jual mahal. Yang penting bisa
dapet tidur... Awas jangan macem-macem ya..” Bisiknya masih dengan mata
terpejam kemudian Heny lebih mengeratkan pelukannya.
Akhirnya kamipun tertidur masih dengan saling berpelukan erat. Tak ada
pikiran mesum untuk meraba-raba tubuhnya atau mencoba untuk berciuman.
Kami berpelukan hanya untuk mengusir rasa dingin agar bisa tertidur
pulas.
Paginya aku terbangun karena merasa sedikit berat di pangkuanku. Saat ku
perhatikan ternyata Heny sedang pulas terlelap dengan kepala tepat
berada diatas kemaluanku. Aku yang tak bisa bergerak karena ada
kepalanya Heny hanya bisa membangunkannya dengan memukul pelan pipinya.
“Suneo... Bangun woi... Dah pagi neh... Tar diliat sama pak guru.”
Ujarku sambil menepuk-nepuk pipinya. Namun Heny tak juga bergerak malah
semakin erat memeluk lenganku.
“Duh... Kebo juga neh si Suneo...” Batinku dan langsung memencet hidungnya.
Heny pun bergerak dan protes akibat hidungnya ku pencet karena ia jadi tak bisa napas.
“Jam berapa pet..? Kita dah nyampe mana..?” Ucapnya masih dengan suara mengantuknya.
“Udah jam enam sini... Kayaknya kita udah masuk tol kota Surabaya deh...
Bangun gih.. Tar diliat guru, ga enak.” Ucapku sambil mengangkat
kepalanya.
Heny pun bangkit dan memperbaiki posisi duduknya dan merapikan bajunya.
Ia langsung mengambil tissue basah di tasnya dan mengusap wajahnya untuk
menghilangkan bekas tidurnya.
“Dasar Kopet mesum...!! Itunya bangun pas banget di mulutku..” Bisiknya saat ia selesai membersihkan wajahnya.
“Wooii.... Normal woiii... Namanya juga pagi hari, wajar kalo dia bangun. Lah kamunya ngapain juga pake tidur dipahaku..?”
“Abis ribet tidur sambil duduk... Enakan rebahan. Ya udah aku langsung
tidur di pahamu. Lumayan seger pas bangunnya.” Sahutnya cuek.
“Nanti kamu duduk disini terus aja Pet... Soalnya enak bisa tidur pake
bantal kalo ada kamu. Kalo sama Clara kan ga enak.” Lanjutnya.
“Iya... Enak di kamu, akunya pegel-pegel... Kalo gantian aku tidur di pahamu juga sih ga masalah...” Sahutku.
“Iya.. Nanti gantian lah... Kamu juga boleh tidur di pahaku. Yang penting ga kedinginan. Hehehe...”
Kami pun duduk sambil ngobrol bercerita tentang segalanya. Bus yang kami
tumpangi tetap berjalan, dan penghuni bus satu persatu mulai
menampakkan tanda-tanda kehidupan.
Tak berapa lama bus kami tiba di Kota Gresik. Disini kami beristirahat
untuk sarapan dan sekedar membasuh badan mandi di rumah makan tempat
kami beristirahat. Saat sedang sarapan, kepala sekolah mengumumkan bahwa
ada sedikit perubahan jadwal karena tadi sempat menelpon ke rumahnya
dan mendapatkan sebuah kabar. Kami harus berhenti di Semarang terlebih
dahulu untuk menjenguk Pak Ponijan, guru pelajaran ekonomi kami yang
sedang sakit parah.
Aku yang mendengar kata ‘Semarang’ langsung sumringah. Otakku langsung
teringat tentang Dian. Semoga hari ini ia masih berada di Semarang, dan
aku bisa bertemu dengannya.
“Tuh kan... Aku bilang juga apa... Pasti ada jalan buat ketemu kalo
kalian sama-sama ikhlas dan saling menjaga janji.” Bisik Heny yang duduk
disebelahku. Aku tersenyum dan mengangguk pelan mendengar bisikan Heny.
Aku mempercepat sarapanku dan langsung keluar dari rumah makan itu untuk
mencari wartel terdekat agar bisa menghubungi Dian. Setelah menemukan
wartel aku langsung menghubungi nomor telepon rumah Dian di Semarang.
Dan entah seperti sudah diatur sebelumnya, Dian sendiri yang menerima
teleponku langsung. Kami pun sempat bertukar cerita sebentar sebelum aku
memberitahukan rencana kami yang hendak mampir ke Semarang hari ini.
Dian terdengar sangat gembira mendengar berita dariku. Ia berjanji akan
mencariku dan menanti di rumah Pak Ponijan, yang kebetulan katanya tidak
terlalu jauh dari rumah Dian.
Selesai menelpon Dian aku kembali menuju rumah makan dan sempat
membersihkan badan. Teman-temanku sedikit heran saat melihatku yang
sumringah setelah kembali dari wartel. Hanya Heny yang tersenyum penuh
arti saat menyambutku di depan rumah makan itu.
“Cie...cie... Yang bakal ketemuan sama yayangnya... Senengnya minta ampun...” Goda Heny.
“Kopet kenapa sih dari tadi senyam-senyum terus..?” Tanya Arman.
“Dia lagi seneng tuh... Bakal ketemu sama yayangnya nanti di Semarang.”
Jawab Heny. Aku masih saja tersenyum, tak bisa menyembunyikan
kegembiraanku.
“Loh... Dian ada di Semarang..? Katanya lagi di Yogya.” Sahut Arman.
“Sementara dia tinggal di Semarang dulu, di rumah mbahnya sambil nunggu
pengumuman di Yogya. Mungkin besok lusa baru balik ke Lombok.” Terangku.
“Nah... Ente bawain oleh-oleh dong Pet... Masa ketemu pacar ga dibawain apa-apa..”
“Tenang hep... Ane bawain oleh oleh khas sini aja... Mumpung kita ada di Gresik.”
“Emang khas sini apaan..?” Tanya Arman dan Heny hampir bersamaan.
“PUDAK...”
“Makanan khas Gresik... Mirip dodol sih, tapi rada besar... bungkusnya
pake kulit jagung gitu. Enak kok makanannya. Tuh yang di gantung di
depan rumah makan..” Sahutku menerangkan.
“Ente kok bisa tau sih makanan khas sini..” Tanya Arman lagi.
“Tante ane kan tinggal disini... Tuh di komplek pabrik semen yang tadi
kita lewati. Ane sering kok maen kesini kalo liburan sekolah dari kecil.
Dan bokap ane juga pernah tinggal disini waktu dulu kuliah di
Surabaya.” Ujarku sedikit bercerita.
Setelah selesai sarapan dan mandi, bus kami pun kembali melanjutkan perjalanan, tujuan selanjutnya : Semarang..!!
Aku yang sejak menelpon Dian di wartel tadi tak henti-hentinya
menyunggingkan senyum. Pagi ini aku merasa bahagia sekali. Semua orang
yang ada di dalam bus ku ajak bercanda.
Pagi ini aku kembali duduk dengan Arman, karena tadi saat bus hendak
berjalan dan Heny kembali mengajakku untuk duduk bareng, kami di tegur
oleh bu Endang, wakil kepala sekolah kami yang juga sebagai ketua
rombongan perjalanan kami. Heny awalnya cemberut menerima teguran itu,
namun tak lama setelah bus berjalan ia pun berbalik dan berbisik ke
arahku.
“Tar kalo orang dah pada tidur tukeran lagi sama Clara ya... Atau Arman
yang pindah ke depan” Bisiknya. Aku hanya mengangguk pelan.
Bus baru saja berjalan sekitar satu jam lebih, tapi Heny sudah mulai
kasak-kusuk meminta Arman untuk bertukar posisi. Ia beberapa kali
menoleh ke arahku memintaku untuk menyuruh Arman pindah ke tempat
duduknya agar ia bisa bergeser ke belakang dan duduk bersamaku.
“Bentaarr... Guru-guru masih pada bangun tuh... Ga enak tar di tegur
lagi..” Sahut Arman sebal melihat tingkah Heny yang terus memaksanya.
Heny hanya bisa cemberut mendengar jawaban Arman. Aku tersenyum melihat Heny yang seperti biasa memanyunkan bibirnya.
“Dasar Suneo… Bibirnya ampe maju semeter gitu. Hahaha..” Godaku. Arman ikut tertawa mendengar celetukanku.
Kami pun tak menghiraukan rengekan Heny yang tetap meminta untuk
bertukar posisi. Mungkin karena merasa lelah atau bosan dengan
perjalanan yang terasa sangat lama, aku pun sempat terlelap. Lumayan
lama rasanya aku terlelap hingga aku merasa badanku di goyang oleh
seseorang, berusaha membangunkanku.
Dengan mata yang masih sedikit terpejam dan rasa kantuk yang masih
melanda aku memaksa membuka mata dan memperhatikan Heny sudah duduk di
sebelahku menggantikan Arman.
“Kamu tuh ya… Tetep aja maksa… Ini masih siang tau, gimana kalo bu
Endang ngeliat kita duduk bareng?” Protesku. Namun Heny masih tetap cuek
duduk di sebelahku.
“Orang depan ga bakal ada yang merhatiin kita… Semua pada ketiduran.
Kalaupun bangun juga palingan mereka ngeliat depan terus. Pindah gih..
Aku sebelah sana…” Heny mengusirku agar memberikannya duduk di dekat
jendela bus. Aku pindah sambil tetap menggerutu.
“Dah… Jangan marah-marah terus… Bentar lagi kan kamu bakal ketemu
yayangmu… Bisa puas yayang-yayangan nanti disini.” Ucapnya menggodaku.
Heny langsung mengatur posisi duduknya agar lebih nyaman, kemudian ia
kembali mengajakku ngobrol namun tak terlalu aku tanggapi karena masih
mengantuk dan malas untuk ngobrol. Beberapa kali ia menggodaku dan
merayuku agar mau menemaninya ngobrol.
“Suneo ah..!! Gangguin orang aja..! Mending kamu tidur juga gih… Ini masih lama juga nyampe Semarangnya.” Ujarku ketus.
“Yah… Kopet males ah… masa siang gini mau tidur. Apa mau mesra-mesraan
neh… Itung-itung buat pemanasanmu nanti kalo ketemu yayangmu…” Godanya
sambil merapatkan tubuhnya dan menempelkan payudaranya ke lenganku.
“Jangan mulai deh... Tar aku apa-apain kamunya teriak-teriak... Ah-Oh..Ah-oh gitu...” Jawabku balas menggodanya.
“Woo.. Dasar cina mesum...!! Pikirannya ngeres terus. Maksudnya
mesra-mesraan itu kan kita ngobrolnya mesra gitu... Aku rebahin kepalaku
di pangkuanmu...” Balasnya sambil mencubit lenganku.
“Itu sih enak di kamu ga enak di aku, Suneo... Emang dasar Arab
licik...” Ucapku. Namun Heny mengacuhkan omonganku dan bersiap untuk
merebahkan kepalanya di pahaku.
Melihat gelagat yang sedikit tidak mengenakkan itu, aku lantas memegang
kepalanya yang sudah siap dijatuhkan di pahaku dan menahannya. Heny
protes sambil terus memaksa untuk tidur dipahaku hingga membuat suasana
sedikit berisik. Arman yang sudah duduk di depanku langsung menoleh
kebelakang dan menegur kami.
“Woii… Kalian dibelakang jangan berisik dong… Tar di denger sama yang depan malah kita disuruh kembali ke tempat semula..”
“Tau nih si Kopet pelit banget dipinjemin pahanya bentar aja buat bantal.” Dengus Heny.
“Lah… dia enak banget udah bangunin orang minta pindah kesini Cuma
pinjem paha buat dia tidur aja. Kenapa ga pinjem pahanya Clara aja
disana..” Jawabku keberatan.
“Udah pet… Kasi aja… Daripada berisik… Kan ente enak juga bisa meluk-meluk dia.” Sahut Arman.
“Enak sih enak hep… Lah tar pas anu ane konak dia protes… Kan sakit itu ane kejepit celana sama pipinya Heny..”
“Woo… Cine ngeres…!!!” Jawab Heny ketus sambil memegang tanganku dan merebahkan kepalanya di pahaku.
“Nah… Gitu dong Pet… Kan ente juga enak. Kalo perlu ente buka resleting
celana ente terus keluarin tuh juniornya, pas banget di mulutnya Heny.
Jangan lupa tutupin pake selimut atau jaket..” Goda Arman dengan
semangat begitu melihat posisi Kepala Heny yang tepat berada diatas
kemaluanku. Heny langsung menimpuk Arman menggunakan bantal.
Akhirnya aku pasrah menerima ‘siksaan’ nikmat di selangkanganku. Awalnya
aku tidak berani bergerak karena takut Heny akan mengomeliku. Namun
akibatnya aku jadi tak bisa beristirahat karena tegang.
“Dah… Santai aja, Jangan tegang kayak gitu. Sini.. Yang rileks aja…”
Sahut Heny sambil meraih tanganku memintaku untuk memeluknya.
Damn..!!
Tanganku sekarang tepat berada diatas payudaranya yang sekal dan besar.
Bukannya rileks, sekarang aku malah menjadi semakin tegang dan khawatir
karena takut terlihat oleh guru. Aku menoleh ke sekeliling memperhatikan
sekitarku. Di sebelahku Wayan dengan senyuman liciknya memberikan
isyarat kepadaku memainkan tangannya seperti orang meremas sesuatu,
mungkin menyuruhku untuk meremas payudara Heny.
Dan seperti mengerti kegelisahanku, Heny langsung meraih selimut yang
ada di badannya dan menutupi tanganku hingga tak terlihat lagi.
“Dah… Jangan tegang gitu. Ga diliat kok tanganmu. Asal jangan
macem-macem ya….” Bisiknya. Akupun kembali mencoba untuk tenang dan
berusaha memejamkan mata.
Namun seberapapun aku berusaha untuk tidur, rasa kantuk yang tadi
menyerangku tiba-tiba lenyap. Mungkin sudah kelamaan diajak ngobrol oleh
Heny. Ditambah lagi posisi kami yang sekarang bikin jantungku
deg-degan. Sedangkan Heny dengan santainya memejamkan mata tidur
membelakangiku masih dengan kepalanya berada di pangkuanku.
Iseng kugerakkan lenganku menggesek bukit sekal payudara Heny. Awalnya
Heny tak meresponku, namu lama kelamaan akhirnya Heny yang siang itu
hanya menggunakan kaos tipis merasakan juga gesekanku.
“Sshhhhttt.. Mmmmpphhh… Tidur… Jangan macem-macem… Masih siang neh… Tar
diliat yang lain…” Bisiknya sambil mencubit lenganku pelan.
“Berarti kalo malem boleh macem-macemin??” Aku balas menggodanya sambil berbisik.
“Tidur… Mesum…!!” Balasnya dengan cubitan yang lebih keras.
Kami pun sama-sama terdiam. Aku lebih memberanikan diri meletakkan
telapak tanganku ke bulatan payudaranya. Heny hanya memegang tanganku
menahannya agar aku tak meremasnya. Aku akhirnya hanya mendiamkan
tanganku diatas payudaranya yang kenyal hingga mataku terlelap.
Entah sudah berapa lama kami tertidur hingga aku terbangun saat
merasakan bus yang kami tumpangi berhenti cukup lama dan suara berisik
disekitarku yang membuatku terjaga. Kuperhatikan teman-temanku yang lain
juga sudah mulai terbangun. Bus kami sedang berhenti menunggu lampu
lalu lintas berganti warna. Sepertinya kami baru saja memasuki kota
Semarang. Aku mengumpulkan sisa nyawaku dan berusaha membangunkan Heny.
Aku sedikit terkejut saat merasakan sesuatu yang empuk dalam genggaman
tangan kananku.
“Ssshhhhtt.... Mmmmpphhh.... Kopet….!!! Tanganmu ngapain masuk kedalam
bajuku..!!” Bisik Heny saat aku meremas-remas payudaranya dari balik
bajunya.
Aku langsung tersadar tanganku yang berada di atas payudaranya, di dalam
baju kaosnya hanya dibatasi oleh behanya merasakan betapa kenyal dan
lembutnya kulit payudara Heny.
“Eh… Maaf… Ga sadar.. Beneran… Itu kapan masuknya..??” Tanyaku gugup.
Heny langsung memperbaiki kaosnya dan bangun kemudian duduk seperti
semula.
“Kopet mesum ih…!! Pake remas-remas nenenku… Kan udah dibilangin jangan macem-macem..!!” ketusnya sedikit berbisik.
“Lah… Namanya juga ga sadar… Aku juga bingung kenapa tanganku bisa masuk ke dalam bajumu. Jangan-jangan kamu yang masukin ya…”
“Sembarangan aja..!! Kamunya tuh yang ngeres..!! Mungkin kamu lagi mimpi ngeremes nenen pacarmu..!!” Jawabnya.
“Mungkin juga…”
Kami kembali duduk melihat sekeliling. Sekarang kami sudah berada di
kota Semarang. Bus kami tadi sempat berhenti di salah satu pos polisi
untuk menanyakan alamat pak Ponijan. Heny masih duduk bersedekap dengan
wajahnya yang cemberut. Berkali-kali aku meminta maaf kepadanya namun ia
tetap terdiam sambil cemberut.
Setelah beberapa kali berhenti untuk bertanya alamat, akhirnya kami tiba juga di komplek rumah pak Ponijan.
Aku yang sejak memasuki kota Semarang sudah merasa sangat excited membayangkan saat bertemu Dian nanti, sekarang udah semakin tak sabar untuk cepat bertemu.
Tadi pagi sewaktu menelponnya, Dian mengatakan akan menanti kami
terlebih dahulu di rumah pak Ponijan. Dan aku sudah mulai berdiri dari
bangku memperhatikan sekeliling mencari sosok Dian saat bus kami sedang
mencari lahan parkir.
“Kangen sih kangen... Tapi ga segitunya juga kali nyarinya sampe ga
ngehirauin orang disebelahnya..” Sungut Heny saat aku dengan tak
sabarnya menoleh ke arah jendela mendorong tubuhnya yang masih duduk di
dalam bus.
“Berisik ah Suneo... Namanya juga udah lama ga ketemu..” Sahutku cuek sambil tetap mencari.
“Yee.. Baru juga berapa minggu ga ketemu... Gimana nanti kalo beneran pisah pas kuliah..”
“Sirik aja sih kamu... Udah kelamaan ga dapet kasih sayang sih makanya
jadi dingin gini... Pantesan aja baru disentuh dikit dah
mendesah-desah...” Balasku mengejeknya. Heny cemberut dan memukul
perutku.
“Awas aja tar Kopet... Aku laporin pacarmu kalo kamu udah mesumin aku...
kamu pegang-pegang nenenku sambil tidur.” Jawabnya mengancamku.
“Yee... Dia pake ngancem... Gini nih kalo orang yang kelebihan bibir...
Dikit-dikit ngancem. Mending bibirmu itu pake nyipok aku baru mantep..”
Godaku lagi.
“Asli dah... Aku laporin kamu Kopet..!!” Dengusnya sambil memukulku.
Aku masih saja memperhatikan sekeliling kami mencari sosok Dian yang
katanya akan menanti kedatanganku. Dengan harap-harap cemas aku tetap
mencarinya. Memang sih aku tidak memberitahu kapan tepatnya kami akan
tiba disini, karena aku tak bisa memprediksi berapa lama perjalanan kami
tiba di Semarang ini.
“Kasian deh kamu Pet... Sepertinya yayangmu ga jadi dateng kesini.” Ejek
Heny. Aku tak menghiraukan ejekannya, hanya mencubit pelan samping
payudaranya.
“MESUM...!!” Pekiknya. Aku hanya tertawa melihat wajahnya yang memerah.
“Eh... Itu KIPO...!!” Teriak Arman saat melihat salah seorang temanku yang aslinya bernama OPIK, anak pak Ponijan sedang duduk di dekat warung rokok yang sepertinya memang sengaja menanti kami.
“Pet... Disebelahnya Kipo kayaknya ada cewek deh... Kayaknya mirip
Dian... Tapi rambutnya beda..” Sahut Arman lagi. Aku langsung bergegas
melihat ke arah yang ditunjuk Arman.
Disebelah Kipo yang sedang berdiri, nampak seorang gadis yang
menggunakan kaos ketat dipadu dengan cardigan tipis dan rok jeans yang
sedikit pendek, Dian sedang tersenyum sumringah memperhatikan kedatangan
bus kami.
Penampilan Dian sedikit berbeda sekarang. Rambutnya yang biasanya panjang sekarang dipotong model shaggy, membuat penampilannya menjadi semakin dewasa.
Bus kami parkir di salah satu tanah lapang dekat kompleks karena jalanan
di kompleks itu cenderung kecil jadi bus kami tidak bisa masuk. Begitu
bus berhenti, Dian langsung melambai ke arahku saat ia melihatku berdiri
dari kursiku.
Tanpa menghiraukan sekitarku, aku langsung hendak bergegas turun. Heny
yang berada di sebelahku protes karena aku dengan serampangan mengambil
tasku yang berada di dekatnya.
Setelah memberi kode kepada Dian untuk menuju pintu belakang bus karena
posisiku lebih dekat turun lewat pintu belakang, Dian sedikit berlari
menghampiri pintu bus yang memang belum terbuka. Setelah bus benar-benar
berhenti aku yang sudah menunggu di depan pintu langsung membuka pintu
bus dan melompat keluar dan menghampiri Dian.
“Hai beib...” Sapa Dian yang berdiri terdiam melihatku sambil tersenyum lebar.
Tanpa memperdulikan sekitar Dian langsung memelukku tanpa malu. Siulan
dan godaan dari teman-temanku tak dihiraukannya. Dian tetap cuek memeluk
dan menciumku.
“Kangen banget aku sama kamu honey... Dari tadi pagi ga sabaran pengen cepet nyampe sini..” Bisikku.
“Cie...cie... Yang lagi ngelepas kangen... Sampe lupa kalo disini banyak yang nonton..” Goda Arman.
“Eh.. Si Cungkring ikut juga... Apa kabar Ar..?” Sahut Dian senang melihat Arman.
“Aku sih baek-baek aja... Yayangmu tuh yang panas dingin dari tadi pagi...Hehehe..” Jawabnya sambil bersalaman dengan Dian.
“Pet... Kenalin dong sama cewekmu... Mentang-mentang dah ketemu,
selingkuhannya di bus dilupain...” Sekarang giliran Heny ikut
menggodaku.
“Berisik ah Suneo... Honey.. Kenalin nih temennya Nobita, yang sekarang
jadi temen sekelasku.” Jawabku memperkenalkan Heny ke Dian.
Memang selama aku pacaran dengan Dian Heny tak pernah mempedulikannya,
karena dari awal kepindahannya heny bergaul dengan teman-teman sekelasku
yang beda grup dengan kami, bahkan bisa dibilang grupnya Heny merupakan
‘musuh’ grupku dalam hal saling mengejek dan kami tidak terlalu akrab
dengannya. Entah kenapa di perjalanan ini aku malah menjadi akrab dengan
Heny, sejak di atas kapal kemaren.
“Hai... Dian...” Sapa Dian ramah sambil memperkenalkan diri.
“Heny... Pantesan kopet kayak cacing kepanasan ga sabar pengen ketemu...
Cakep gini... Kenapa mau sih mbak sama kopet..?” Tanyanya. Aku langsung
menarik tangan Heny agar menjauhi kami. Dian hanya bisa tersenyum geli
melihat tingkah kami.
“Kalian tadi duduk bareng ya satu bangku...” Tanya Dian. Nah loh... Belum juga berapa lama ketemu udah di interogasi.
“Eh... Ga kok... Tadi itu Cuma tuker posisi aja bentar sama Arman...”
Sahut Heny gugup, tepat sebelum aku menjawabnya. Namun Dian hanya
tersenyum mendengar jawaban Heny.
Kami pun berjalan bersama menuju rumah pak Ponijan. Sepanjang jalan aku
dan Dian tetap berpelukan, seakan-akan tak bisa dilepaskan. Beginilah
cara kami melepas rindu untuk sementara waktu.
“Gimana perjalanannya beib..?” Tanya Dian di sela-sela langkah kami.
“Capek honey... Apalagi pas tau mau kesini dulu... lama banget rasanya nyampe sini.”
“Tapi enak kan... duduk disebelah cewek bohay mirip Wina gitu...” Goda Dian.
“Airbagnya gede.. Pasti empuk tuh... Enak di remas-remas... Iya kan...??” Lanjutnya sambil tersenyum.
Dug...!!
Aku kesandung kakiku sendiri...!!!
Bangcyaatt...!!!
------------------------------------
No comments:
Post a Comment