Friday 15 June 2018

Cerita SMA....60

DIAN ANGGRAINI

[​IMG]



FITRIANA RAHAYU

[​IMG]


MEILIN ANG SANTOSO

[​IMG]







Sore itu aku kembali menghabiskan waktu bersama Dian menikmati sunset di tebing tempat pertama kali kami jadian. Aku berbaring di pangkuan Dian sambil memejamkan mata, Dian mengelus lembut kepala dan wajahku. Kami saling terdiam tak mengeluarkan sepatah kata, hanya menikmati suasana senja yang perlahan berubah menjadi temaram ini.

Sudah hampir sebulan Dian kembali ke kotaku menghabiskan sisa liburannya sebelum mulai kuliah dan meninggalkanku kembali, dan hampir sebulan juga setelah perjalanan karya wisataku dimana Dian ikut pulang bersama kami. Tak perlu aku ceritakan bagaimana perjalanan pulangku kemarin. Yang pasti sangat menyenangkan bisa bersama Dian sepanjang perjalanan pulang.

“Aku akan sangat merindukan suasana dan tempat ini nantinya beib…” Dian membuka suara sambil memandang jauh kearah laut lepas di depan kami.

“Kita akan selalu datang kesini setiap kamu pulang liburan menghabiskan waktu seperti ini hingga malam.” Jawabku.

Langit sudah berubah warna menjadi hitam kelam saat aku meninggalkan puncak bukit ini bersama Dian. Sebelum pulang Kami menyempatkan makan malam di salah satu rumah makan khas kotaku.

“Beib... Besok ke rumah nenekmu yuk.. Aku kangen pengen makan pecel disana. Kangen sama nenek juga...” Sahut Dian saat kami sedang duduk santai di teras rumahnya.

“Hmm... Boleh lah... Besok jam berapa aku jemput?”

“Aku aja yang ke rumahmu. Oya... Memey apa kabarnya ya..?” Tanya Dian

“Nah... Aku malah ga pernah ketemu lagi ama dia, sejak terakhir kali kita ketemu waktu bareng Arman dan Unyil.”

“Masa sama sekali ga pernah ketemu..? Dia jadi sekolah di tempat kita.?”

“Mana aku tau honey... Emangnya aku bapaknya... Palingan dia sekolah di SMA Swasta seperti temen-temennya yang lain. Susah lah orang kayak Memey mau gabung di sekolah umum... Bukannya rasis sih... Tapi rata-rata keturunan seperti Memey biasanya milih sekolah swasta itu, seperti SMP nya dulu...” Ucapku menerangkan ke Dian.

“Hmmm... Tapi masih ga menutup kemungkinan kan kalo dia tiba-tiba berubah pikiran masuk ke sekolah kita, sapa tau aja pengen masuk sekolah negeri.” Dian memberikan asumsinya.

“Bisa jadi juga sih... Emang kenapa..?”

“Ya ga papa sih... Tapi aku bayangin misalnya tar dia masuk ke sekolah kita kan kasian kamunya bakal ribet ngurusin dia, harus ngehindari dia terus. Hihihi.... Eh... Besok ajakin Unyil yuk...”

“Terserah lah... Tapi coba aja telepon dia dulu, sapa tau besok dia keluar ama cowoknya. Sekarang kan dia rada susah ketemunya, pacaran mulu. Ingat kan kemarin waktu kita nganterin oleh-oleh..?? Ampe dua kali balik ke rumahnya baru ketemu orangnya.”

Selama liburan ini aku memang jarang bertemu dengan Triana, bahkan hampir tidak pernah. Kemarin saat Dian baru saja tiba disini dan mengajakku main ke rumah Triana, kami tidak bertemu dengannya. Baru keesokan harinya setelah Dian menelponnya dan janjian ketemu akhirnya kami bisa bertemu dengan Triana. Sepertinya Triana sedang menikmati hari libur bersama kekasihnya.

“Kalo gitu tunggu bentar beib... Aku telpon Unyil dulu deh...” Ucap Dian meninggalkanku masuk ke rumahnya.

Keesokan harinya kami sudah berada di tepi pantai depan warung pecel langgananku. Aku duduk menikmati seporsi pecel lontong disuapi oleh Dian. Triana tampak asyik menyendok pecelnya sambil sesekali ngobrol dengan Dian.

“Trus… Kapan kamu balik kesini lagi Ge??” Tanya Triana sambil mengunyah pecelnya.

“Buset dah… Belum juga pergi kuliah udah ditanyain kapan balik kesini lagi… Lah ini saya masih disini non…” Dian sedikit memprotes pertanyaan Triana.

“Bukan gitu Ge… Yayangmu ini stres lama-lama ditinggal sama kamu, masa pelampiasannya aku terus diajakin jalan. Lah aku bisa berantem terus sama cowokku..”

“Halah… Sok nolak… Aslinya kamu seneng kan diajakin jalan… Kesempatan bisa berduaan..”

“Jelas dooong…” Balas Triana cuek.

“Woo… awas aja tar aku laporin pacarmu, biar diputusin…” Sahut Dian.

“Laporin aja… Tar kan aku bisa jadian sama Pak cik… Mumpung kamunya ga disini…” Aku langsung tersedak mendengar ucapan Triana.

“Ngajak brantem ya…!!” Ucap Dian kesal sambil melempar krupuk ke arah Triana.

“Udah… Udah… Ga usah ngerebutin aku… Tar gampang kok, aku bisa cari yang lain aja…” Ucapku ikut bercanda.

“Brani..??? Gapapa… Tar juga gampang aku ke rumahmu, minta surat keterangan buat akte kelahiran bayi yang ada di perutku ini…” sahut Dian dengan santainya.

“Astaga Pak cik… Baru juga ketemu berapa minggu udah jadi aja… Ga maen aman lu…” Triana kaget mendengar ucapan Dian.

“Kampret lah… Aku tetep main aman ya… Kemaren aja dia nyiapin kondom sekotak waktu di bus. Kamunya juga sih honey asal njeplak aja… Ngawur…Tar beneran kejadian gimana??” Protesku sambil menunjuk Dian.

“Biarin… Kamunya sih ngeselin..!!!” Rajuk Dian sambil merengut.

“Udah… Ga usah berantem… Becanda doang Ge… Oya… Tumbenan neh kita disini aman-aman aja, si Memey kok ga nyamperin ya..?” Triana bertanya padaku.

“Iya neh… Padahal aku juga kangen loh sama anak itu… Kemana ya? Apa udah pindah kali yak…” Imbuh Dian.

“Masih kok dia disini, emaknya masih sering keliatan kok… Mungkin dia lagi liburan ke Kokonya di Surabaya palingan. Kan masih lama juga masuk sekolahnya.” Sahutku.

“Berarti kamu tinggal beberapa hari lagi dong disini Ge…” Sahut Triana. Dian mengangguk pelan. “Kalo gitu puas-puasin deh pacarannya, kan bakal pisah lagi.” Lanjutnya.

“Tapi tahun depan kan bakal nyusul yayangku…”

“Iya kalo beneran ke Yogya… Kalo ke kota lain gimana??” Tanya Triana.

“Udah deh nyil… Jangan mulai lagi…” Dian merengut mendengar ucapan Triana.

“Bukan gitu… Kalian mestinya kan bisa mempersiapkan rencana cadangan kalo misalnya ga bisa barengan..”

“Masih bisa ketemu kalo liburan. Kan masih ada telepon sama surat…” Balasku dan diaminin oleh Dian dengan anggukan.

“Yang penting kita saling percaya dan saling menjaga hati kita masing-masing… Lama ga ketemu otomatis kangennya kan jadi numpuk.” Sambung Dian sambil memelukku.

Triana tersenyum sinis melirikku. Dan aku tahu persis maksud senyumannya itu. Ia seakan mengejekku dan berkata ‘yakiinn…?’ walaupun kata itu tak terucap di bibirnya, namun terlihat jelas dari caranya melirikku dan senyuman mengejeknya itu.

Kami pun menghabiskan siang itu dengan duduk di bawah pohon di tepi pantai beralaskan pasir pantai yang hangat.



~-- • --~

Setiap hari, selama liburan Dian disini, kami selalu menghabiskan waktu berdua keliling atau entah hanya ngobrol di rumah, main ke tempat teman atau jalan-jalan ke tempat wisata. Yang pasti Dian paling sering mengajak ke pantai melihat sunset, salah satu kegiatan yang paling disukai Dian.

“Nanti di Yogya ga bisa liat sunset di pantai lagi. Disana kan jauh dari laut.” Alasannya.

Dan tak terasa tinggal beberapa jam lagi kami akan bersama, karena Dian sudah harus kembali lagi ke Yogya memulai kuliahnya dan sekolahku sebentar lagi juga akan memulai tahun ajaran baru. Dan setiap hari kami selalu menghabiskan waktu bersama, kemana-mana selalu berdua.

Hari ini aku kembali mengantar Dian berbelanja kebutuhan yang akan dibawanya esok ke Yogya dan beberapa oleh-oleh. Dian sudah mendapat tempat kos di dekat kampusnya.

“Besok kamu jemputnya pagian beib.. Biar bisa santai di bandaranya.” Sahut Dian saat kami dalam perjalanan pulang setelah membeli oleh-oleh.

“Bandaranya kan deket honey, ngapain juga cepet-cepet kesana”

“Maksudku biar kamu bisa lamaan dirumah… Tar biar kamu aja yang antar aku, mama ga usah ikut. Aku pengen berduaan sama kamu di hari terakhir ini.”

“Ga boleh ngomong gitu, kayak yang ga bakal ketemu lagi aja. Kita kan masih bisa ketemu…”

“Iyaa… terakhir untuk bulan ini maksudku. Hihihi… Tapi aku ngerasain berangkat kali ini agak sedikit tenang, ga seperti kemarin-kemarin rasanya sedih banget ninggalin kota ini dan kamu.” Jawab Dian.

Hampir dua bulan kebersamaan kami di musim liburan kali ini. Dian harus segera kembali ke kota gudeg untuk memulai kehidupan barunya sebagai mahasiswi, dan aku melanjutkan pendidikanku di kelas baru yang lebih tinggi dengan teman-teman lama.

Pagi ini aku sudah berada dalam kamar Dian membantunya memasukkan barang-barang yang akan dibawanya ke dalam koper. Baru kali ini aku di ijinkan masuk ke dalam kamar Dian yang rapi dan bersih, tak seperti kamarku yang selalu berantakan.

Dian terlihat sibuk menata pakaian dan barang-barang lainnya ke koper sedangkan aku duduk bersila di lantai memandangnya.

“Ribet banget barangmu honey... Segitu banyaknya yang dibawa kayak mau pindahan selamanya aja.” Tegurku.

“Kamu tuh ya... Bukannya bantuin malah ngata-ngatain. Semua baju ini aku butuhin buat kuliah besok. Kopernya ga muat neh barang sebanyak ini.” Gerutu Dian sambil berusaha memaksa pakaiannya untuk bisa masuk ke dalam kopernya.

Aku tersenyum dan mendekatinya, membantunya menyusun pakaiannya. Ku lipat kecil semua pakaiannya dan ku tata dengan rapi ke dalam koper. Awalnya Dian protes melihat caraku melipat kecil pakaiannya, namun ia akhirnya menyerah dan membiarkanku merapikan barangnya setelah melihat semua barangnya masuk dengan rapi.

Aku masih merapikan barang-barang yang kana di bawa Dian sementara ia sedang bersiap-siap mandi meninggalkan aku sendirian dikamarnya.

Dan siang ini kami sudah berada di dalam executive lounge bandara menikmati secangkir kopi dan beberapa potong roti sambil menunggu waktu keberangkatan Dian. Tadi Dian memaksaku untuk ikut menemaninya masuk ke dalam ruangan eksklusif ini setelah di bantu oleh kenalan ayahnya.

“Inget... Jangan nakal...” pesannya sambil meminum lemon tea pesanannya. “Selalu komunikasi, kalo aku ga sempet nelpon kamu yang nelpon aku, atau kirim surat.” Lanjutnya.

“Jangan macem-macem sama adik kelas yang cewek... Awas aja kamu kalo macem-macem..!! Ingat loh ya, aku nungguin kamu di Yogya tahun depan.”

“Katanya berangkat kali ini ga sesedih kemaren, tapi kenapa pesennya seabreg gitu..? Masih aja khawatir sama aku honey..” Godaku.

“Yee... Namanya juga lagi di nasihatin..!! Dengerin...!! Jangan Cuma ngangguk aja kayak ayam lagi matok..!!” Gusar Dian.

“Iya... Iya... Aku akan tetap ingat pesanmu. Kamu juga jangan macem-macem disana. Inget kamu udah punya cowok yang tetap nungguin kamu disini.” Jawabku.

Dian sedikit tersenyum mendengar ucapanku dan merapatkan tubuhnya mendekatiku. Ia merangkul tanganku dan merebahkan kepalanya di pundakku. Aku sedikit risih melihat tingkah Dian yang menjadi perhatian orang-orang sekitar kami, namun ia tetap cuek menyandarkan kepalanya dibahuku.

Lebih dari satu jam kami berada dalam ruang tunggu ini hingga akhirnya terdengar pengumuman pesawat yang di tumpangi Dian akan segera berangkat. Sejak tadi Dian yang tak pernah melepaskan genggaman tangannya ke aku sekarang makin memelukku erat.

“Enam bulan lagi mungkin kita akan bertemu beib... Dan selama enam bulan itu aku akan merasa sangat kangen denganmu.”

“Waktu itu akan terasa cepat berlalu honey... Aku juga pasti akan sangat merindukan saat-saat kita selalu bersama.”

Mata Dian mulai berkaca-kaca saat panggilan berikutnya terdengar. Ia semakin mengeratkan pelukannya dan menciumi pipiku.

“Ingat selalu pesanku... Tetap jaga rasa percaya yang aku berikan, dan itu akan menjaga hati kita untuk selalu merasa bersatu selamanya walau kita jauh.” Bisik Dian.

“Pasti...”

“Kamu ati-ati disana, jaga diri. Jaga pergaulan... Aku denger disana lumayan bebas pergaulannya.” Lanjutku.

Dian tersenyum mendengar nasihatku. Ia mengelus mesra pipiku dan mencium pelan bibirku.

“Pasti... Aku ga akan mengecewakan hubungan kita yang sudah bertahan cukup lama ini beib..” Sekarang airmata Dian sudah mulai menetes pelan saat ia mengucapkan kata-katanya.

“Kita ga bisa ngerayain satu tahun anniversay kita bulan depan beib...” Lanjut Dian dengan teisak.

“Masih ada tahun tahun yang akan datang yang bisa kita rayakan bersama nanti honey..”

I love you beib... Sampai ketemu lagi.”

Love you too honey...” Aku meraih pinggang Dian dan mencium bibirnya. Tak ku hiraukan orang-orang di sekeliling kami yang memperhatikan dengan tatapan aneh.



~-- • --~



Seminggu setelah keberangkatan Dian aku mulai masuk sekolah. Kelasku yang dulunya berada di bagian selatan sekarang pindah ke bagian utara tepat di depan lapangan basket.

Hari ini dan selama empat hari kedepan sekolahku masih belum memulai proses belajar mengajar karena masih digunakan oleh murid kelas satu untuk mengikuti penataran P4 setelah seminggu kemarin mereka mengikuti kegiatan ospek sekolah.

Siang ini seperti biasa aku nongkrong di kantin bersama Arman dan lainnya. Jarak kantin sekarang sedikit lebih jauh dari kelasku yang baru.

Posisi kelasku sekarang menyatu dengan kelas jurusan sosial lain dan dua kelas jurusan fisika dan biologi. Sementara kelas dua dan kelas satu berada di kelasku yang lama, berada di seberang lapangan upacara. Deretan kelasku hanya berisi dua kelas dari kelas dua.

Mungkin sekarang giliran Widi yang berbunga-bunga harinya selama setahun pelajaran ini. Karena hanya berjarak dua kelas dari kelasku terdapat kelas dimana Yunita, kekasih Widi yang baru beberapa minggu ini dipacarinya berada.

“Pet… Ternyata ada juga yang ngikuti jalan ente, pacaran sama kelas sebelah. Cuma bedanya ente dapet kakak kelas, Widi ngembat adik kelas…” Goda Surya saat mengetahui kelas pacarnya Widi berada tak jauh dari kelas kami.

“Ga mau kalah dia Pet… Panas ngeliatin ente setahunan kemaren pacaran di depan kelas. Hahaha…” Muji ikut menimpali.

“Ente tau…?? Widi itu romantis sekali tiap malem minggu kalo mau ngapel. Dia selalu dateng ke rumah ane minta bunga mawar sama Umi ane buat dikasi ke pacarnya. Tapi maunya gratisan terus bunga mawarnya. Imbasnya ane diomelin sama Umi ane gara-gara tiap sabtu sore bunga mawarnya dipetikin terus. Wehehehe…” Aku ikut mengejek Widi.

“Kampret Kopet buka rahasia segala..!!” Maki Widi sambil melempar tutup botol softdrink ke arahku.

“Tenang aja Pet… Sekarang ada yang gantiin ente pacaran di taman depan kelas lagi. Gantian kita yang godain.” Timpal Arman.

“Sayang Kopet sekarang udah ga ada temennya mesra-mesraan..” Balas Muji.

“Tunggu aja bentar lagi paling si Kopet nyari mangsa baru lagi. Mana betah dia ga ada pasangan…” Jawab Surya.

Aku hanya bisa mingkem mendengar ejekan Surya. Jujur aku merasa kangen dengan Dian, dan masih berusaha untuk tetap setia. Namun ucapan Surya tidak sepenuhnya aku sangkal, karena memang benar aku merasa butuh dekat dengan seseorang, terutama cewek. Walaupun sekarang aku dan Dian masih rutin berhubungan lewat telepon.

Triana..?? Sekarang dia sepertinya menikmati hubungannya dengan Tamjid. Walaupun aku masih sering menjemputnya untuk berangkat sekolah bareng namun sepertinya Triana sedikit menjaga sikapnya kepadaku. Ia terlihat sedikit menjaga jarak dalam berhubungan denganku meskipun kami masih sering becanda. Sepertinya ia tidak lagi menaruh harapan kepadaku, setidaknya itu yang aku bisa tangkap dari sikapnya sejak Dian pergi kemarin.

“Pak Cik... Balik ke kelas yuk...” Ajak Triana sambil menarik sedikit paksa lenganku.

“Tuh kan... Belum juga lima menit ane ngomong, Kopet udah di tarik-tarik sama Triana. Ane bilang juga apa... Kopet ini ga mungkin betah sendirian tanpa cewek...” Ejek Surya.

“Eh Kampret...!! Orang Cuma ngajakin Pak Cik balik ke kelas kok... Emang ada yang salah..?” Bentak Triana.

“Ga ada yang salah sih... Malah bagus kan kalian bisa lanjutin lagi cinta kalian yang tertunda mumpung Kopet udah ditinggalin pacarnya.” Lanjut Surya.

“Bangke...!! Ga usah di dengerin. Ayo say kita balik aja...” Sahutku sambil merangkul Triana.

Triana dengan wajah yang merengut langsung menepis rangkulanku dan mencubitku. Teman-teman lain yang melihat tingkah kami berdua mentertawakan reaksi Triana dan mengejekku.

“Kabar Dian gimana Pak Cik..?” Tanya Triana saat kami sudah duduk di bangku kelas.

“Biasa aja... Ampir tiap malem dia nelpon terus. Tiap nelpon pasti nangis terus dia... Katanya capek banget ikut ospek dikampusnya.”

“Iya lah... Disini dia biasa di temenin, apalagi sama kamu selalu dibantuin ngapa-ngapain. Disana dia kan sendirian.” Sahut Triana.

“Kamu gimana sama Tamjid?? Keliatannya adem ayem aja... Kayaknya tambah serius ya aku liat hubungan kalian.”

Triana tak langsung menjawab pertanyaanku. Ia sedikit tertunduk saat aku menyinggung masalah hubungannya dengan Tamjid.

“Kenapa..?” Tanyaku. Ia masih memainkan jari-jarinya sambil tetap menunduk.

“Terlalu adem ayem Pak Cik... Kita pacaran seperti biasa aja. Dia tetep maen ke rumah, ngobrol, gitu aja setiap ketemu. Kadang Cuma jalan muterin kota aja. Aku kadang bosen kalo kayak gini terus.”

“Trus kamu maunya yang seperti gimana? Pengen di macem-macemin..??” Selidikku.

“Ya ga gitu juga kali... Tapi paling ga aku kan juga pengen ngerasain kita jalan kemana gitu yang jauhan, Jalan berdua piknik sambil mesra-mesraan kayak kamu ama Dian. Kadang aku ngiri loh ngeliat kalian berdua yang bisa mesra banget walaupun Cuma duduk di pinggir pantai makan pecel.” Triana menghela napas pelan mengeluarkan uneg-unegnya. “Kalian itu keliatan banget saling sayang, saling perhatian, bisa menunjukkan kemesraan walaupun itu hanya hal sepele.” Lanjutnya.

“Emang selama ini Tamjid ga pernah perhatiin kamu? Ga pernah ngajak jalan kemana gitu..?” Tanyaku.

“Pernah sih... Tapi bukan seperti kalian itu. Dia kalo ngajakin jalan ya paling Cuma jalan aja, boncengan tapi jarang ngobrol. Kalau diajakin nongkrong dia lebih milih ke tempat rame, atau nongkrong bareng temen-temennya ngomongin yang aku ga ngerti.”

Sepertinya Triana sedang curhat masalah hubungannya denganku. Ia sepertinya sangat butuh seseorang untuk tempat berbagi masalahnya.

“Kenapa kamu ga ngomongin aja ke dia apa yang kamu mau..?”

“Udah... Dia Cuma bisa diem aja. Malah dia bilang dia ga terlalu suka kalo jalan-jalan yang rada jauhan dikit. Kadang itu yang bikin kami akhirnya jadi berantem.”

“Ya sabar aja Nyil.. Tiap orang kan beda-beda hobinya. Kamu ga bisa juga terlalu maksain kehendakmu sendiri.”

“Tapi kan lama-lama bosen juga kalo kayak gini terus Pak Cik... Masa yang namanya pacaran itu Cuma ngobrol di rumah, trus jalan keliling kota ngukur jalan aja... Kadang aku lebih ngerasa enjoy kalo jalan bareng kamu, walaupun Cuma di jemput berangkat sekolah dan pulang bareng aja, tapi kita ngobrolnya bisa lepas gitu.”

“Sabar... Jalani aja dulu, klo udah ga kuat ya di lepas... Ngapain juga dipaksain kalo emang kayak gitu.”

Triana kembali tertunduk mendengar kata-kataku. Aku meraih tangannya dan menggenggam jemarinya berusaha sedikit menghiburnya. Ia melirikku sesaat dan tersenyum sambil membalas genggaman tanganku.

“Pak Cik... Malam minggu besok kita jalan yuk..” Ajaknya tiba-tiba.

“Hah... Mau jalan kemana..? Emang kamu ga di apelin? Tar yang ada cowokmu marah sama aku.”

“Aku bosen gitu-gitu terus tiap malem minggu... Bodo amat dia mau marah atau ga... Tar bilang aja aku ada acara di gereja.” Sahutnya cuek.

“Kita makan jagung lagi seperti dulu waktu pertama kali kita jalan bareng.”

“Tar kamu jatuh cinta lagi loh sama aku...” Godaku.

“Biarin... Aku kan emang selalu cinta kamu Pak Cik...” Sahutnya balas menggodaku. Dan sekarang giliran wajahku yang bersemu merah.

Saat aku dan Triana masih saling menatapdan menggenggam tangan, teman-temanku yang tadi nongkrong di kantin masuk mengganggu aktivitasku bersama Triana. Mereka teriak-teriak memanggilku.

“Kopet...!! Ente dicariin sama Widi tuh... Ditungguin diluar malah asyik pacaran disini. Cepetaann... Ada yang pengen ketemu ente..” Sahut Arman tersenyum culas sambil menarik paksa tanganku yang masih di genggam oleh Triana.

“Ada apa sih kok tiba-tiba dateng langsung maen tarik tangan orang aja..” Protes Triana.

“Udaahh... Kamu kalo pengen tau juga mending ikut sama kita, pasti seru neh... Ayo..!!” Arman sekarang ikut menarik tangan Triana dan memaksanya untuk ikut dengan mereka.

Akhirnya aku dan Triana mengikuti Arman dan lainnya dengan bingung. Arman masih saja tersenyum seolah mengejekku. Ia terus menarikku keluar kelas menuju arah perpustakaan.

Sesampainya disana kulihat Widi sedang dikerumunin oleh beberapa cewek adik kelas satu yang masih menggunakan atribut ospeknya. Mereka sibuk meminta tanda tangan Widi yang kebetulan memang menjadi salah satu pengurus OSIS di sekolahku.

Disamping Widi berdiri Budi, teman sekelasku yang dulu sempat ribut denganku gara-gara kasus foto Sembalun dengan Triana. Budi yang menjadi ketua OSIS tampak jumawa merasa menjadi orang penting yang dikeliingi oleh adik kelas yang sibuk meminta tanda tangan.

“Wid... Ini neh orangnya... Mana cewek tadi yang minta tanda tanganmu..? Gojlok dulu dia, serahin sama Kopet ini...” Teriak Arman memanggil Widi dengan bersemangat.

Widi, yang begitu melihat kehadiranku langsung bersemangat mencari cewek yang di maksud Arman. Ia menunjuk salah satu anak kelas satu yang sedang mengerubuti Budi meminta tanda tangannya dan meminta persetujuan Arman. Arman langsung mengangguk cepat begitu melihat dan memastikan cewek yang di tunjuk Widi memang orang yang mereka cari

Tampak Widi sedang berbicara dengan cewek yang sedang berdiri membelakangiku, menggunakan seragam SMA dengan dandanan rambut yang di kepang dua menggunakan pita dari tali rafia berwarna biru. Widi berbicara sambil menunjuk ke arahku.

Deg...Deg...Deg...!!

Seperti gerakan lambat di film-film yang sudah biasa ditampilkan, cewek yang sedang mengobrol dengan Widi tersebut perlahan berbalik menoleh ke belakang mengikuti arah tunjukan jari Widi.

DEG...!!

“Eh... Koko...”

“Memey...”

“....”

“Huahahahaha...”

Tumpahlah suara tawa dari mulut Arman dan Triana, melihatku yang sedang terbengong-bengong menatap Memey yang saat itu menyunggingkan senyumannya yang paling manis ke arahku.

Arman langsung mendorongku untuk mendekati Memey. Sedangkan Triana tak mau kalah ikut menarikku agar mau menemui Memey. Dua orang itu kompakan mengerjaiku sambil tak hentinya tertawa terbahak-bahak.

“Noh Pet... Samperin tuh cewek ente... Udah bela-belain masuk ke sekolah kita demi ketemu ente, masa sekarang mau dicuekin...” Arman masih mengejekku.

“Iya neh Pak Cik... Tadi katanya kangen berat sama Memey, udah lama ga ketemu. Hahahaha...” Sambung Triana.

“Kancut...!!! Kirain ada apa maksa ane dateng kesini... Ternyata Cuma buat liatin anak kelas satu minta tanda tangan...” Geramku sambil berusaha pergi meninggalkan tempat itu.

“Jangan kabur ente Pet... Temenin Memey dulu lah, perkenalan sama sekolah kita tercinta ini. Ente kan paling tau seluk beluk sekolah kita...” Tarik Arman masih mengejekku.

“Koko... Bantuin Memey minta tanda tangan ke kak Budi sama kak Widi ini... Dari tadi Memey ngantri tapi kakak-kakak ini jahat ga mau ngasi..” Memey sedikit merajuk ke arahku begitu mendengar Arman berkata seperti tadi.

Arman sepertinya membisikkan sesuatu ke Widi, dan tampaknya Widi sedikit mengangguk mengerti sambil tersenyum licik memandangku.

“Gini aja Pet... Ane kasi tanda tangan ke cewek ente, bahkan nanti akan ane bebasin dia dari segala macem perintah dan hukuman khusus buat dia asal sekarang ente mau temenin dia ngobrol di kantin. Kata Arman kalian udah lama ga ketemuan ya... Pasti kangen dong..” Ujar Widi masih dengan senyum culasnya.

“Udah deh... Jangan ngerjain anak orang... Mending ente kasi aja tanda tangan seperti biasanya, trus suruh dia pergi, beres kan... Ngobrol kan bisa kapan aja. Lagian dia sekarang udah sekolah disini, tiap hari pasti ketemu lah...” Tolakku dan masih berusaha meninggalkan tempat ini.

“Atau... Dia ga akan ane kasi tanda tangan dan ane akan tetap kasi hukuman dia setiap hari sampai masa ospek dan penataran P4 ini selesai. Ente pilih mana...?? Masa ga kasian sama cewek ente..” Ujar Widi lagi.

“Dia bukan cewek ane.. Kampret..!!”

Mendengar ucapanku, Memey sedikit terkejut dan wajahnya mulai menampakkan raut khawatir. Apalagi setelah mendengar ancaman Widi ditambah teman-temanku yang lain ikut memperkeruh suasana dengan masih mentertawakan aku.

“Ayolah Pak Cik... Masa kamu ga kasian sama Memey yang cantik ini kalo nanti dia kena hukuman terus dari Widi...”

“Diem kamu Nyil...!! Ngapain juga ikut-ikutan belain Widi..!!” Sungutku. Triana hanya bisa tertawa melihat tingkahku.

Aku melihat wajah Memey sudah mulai memerah karena di goda oleh teman-temanku. Sepertinya ia mulai merasa ketakutan dan sebentar lagi sepertinya ia akan menangis. Triana lalu mendekatiku dan berbisik.

“Udah lah Pak Cik... Bantuin Memey. Kasian ngeliat dia dikerjain terus ama anak-anak. Aku ga bakal lapor Dian kok...”

Triana tersenyum penuh arti dan mengangguk pelan saat aku menatapnya seolah-olah meyakinkan bisikannya tadi.

Akhirnya aku pun meraih buku yang ada di tangan Memey dan langsung menyerahkan ke Budi dan sedikit mengancamnya untuk membubuhi tanda tangannya di buku Memey.

“Ayo Wid... Sekarang giliran ente... Ane pegang kata-kata ente yang akan ngebebasin Memey dari segala perintah konyol dan hukuman ga mutu dari orang-orang OSIS..!!” Hardikku ke Widi setelah Budi memberikan tanda tangannya di buku Memey

“Nah... Gitu dong... Coba dari kemaren ente kasi tau kalo adik ini gebetan ente kan ga ane kerjain. Tapi sesuai janji, ente mesti ngajak dia ngobrol dan nongkrong di kantin sekarang juga.” Sahut Widi dengan senyum culasnya.

Tanpa menghiraukan ejekan teman-temanku, aku langsung meraih tangan Memey dan ku tarik untuk mengikutiku menuju kantin. Tak lupa ku tarik juga tangan Triana yang awalnya protes namun tak bisa berbuat apa-apa lagi.

“Temenin...” Ucapku sedikit tegas ke Triana.

Triana hanya bisa manyun saat ku tarik tangannya dan mengikuti langkahku menuju kantin.

Sesampainya di kantin kami bertiga langsung duduk di bangku paling pojok. Teman-temanku yang lain termasuk Widi dan Arman yang mengikuti kami ke kantin hanya berani duduk dengan jarak beberapa meja dengan kami karena aku mengancam akan meninggalkan kantin ini dan tidak mau menegur mereka jika mereka ikut gabung atau mendekat ke bangku kami.

“Duduk Mey...” Perintahku.

Memey yang notabene anak baru di sekolah ini terlihat sangat canggung berada dikantin denganku dan Triana, apalagi sambil diperhatikan oleh teman-temanku yang lain.

“Koko apa kabar..? Udah lama banget kita ga ketemu. Memey kangen..”

“Kamu kok bisa masuk ke sekolah ini..? Bukannya biasanya kalo dari SMP mu masuknya di sekolah katolik yang satu yayasan dengan sekolahmu itu..?” Ucapku memotong omongannya.

“Memey kan udah pernah bilang sama Koko kalo Memey bakal masuk ke sini. Memey pengen deket terus sama Koko. Mba Dian apa kabar Ko..? Kok ga keliatan ya..? Kelasnya dimana?”

“Dian kan udah lulus... Jadi ga sekolah disini lagi..” Triana membuka suara membantuku menjawab pertanyaan Memey.

“Kalo gitu Koko sekarang sendirian dong.. Ga punya cewek lagi.” Tanya Memey dengan wajah yang berbinar-binar.

“Aku...”

“Dia itu cowokku... Sejak Dian lulus mereka putus. Dan aku sama Kokomu ini balikan lagi. Ingat kan dulu waktu kamu jumpai kita boncengan pas sore? Sama pas malem lebaran dulu..? Sebenarnya aku udah pacaran sama Kokomu ini dari dulu.” Tiba-tiba Triana memotong ucapanku.

“Hah...?? Pacaran...??”

Aku dan Memey hampir bersamaan kaget mendengar ucapan Triana.

“Kamu ini gimana sih yank... Masa sama pacar sendiri bisa lupa gitu. Awas aja kalo kamu juga lupa kalo malem minggu besok kita udah booking hotel di Senggigi...!!” Sungut Triana sambil mencubit pipiku...

Lah...!!

Booking hotel..???






-------------------------------------

No comments:

Post a Comment