Friday 15 June 2018

Cerita SMA....36

DIAN ANGGRAINI

[​IMG]


FITRIANA RAHAYU

[​IMG]






Entah aku harus bahagia, senang, atau kecewa, aku tak tahu. Yang pasti perasaanku sore itu sangat aneh, sangat sangat dilema. Perasaan senang bercampur aduk dengan bahagia dan kecewa serta jengkel atas kehadiran Dian yang tiba tiba disini.

Trianapun sikapnya langsung berubah total saat melihat kehadiran Dian didepan kami. Dia yang sejak kemarin sangat ceria menjadi sangat pendiam dan wajahnya langsung cemberut. Namun Triana langsung berusaha memaksa tersenyum saat Dian mendekati kami dan menegurnya.

“Hai nyil... Apa kabar? Enak ya disini dingin...” Sapanya sambil memeluk Triana dan saling cipika cipiki.

“Halo Ge.. Kok tiba tiba kesini? Katanya...” Ucapan Triana terpotong saat Dian langsung meletakkan telunjuknya ke bibir Triana.

“Hai beib... Gimana liburannya? Enak..?” sapanya ke arahku sambil memelukku dan mencium pipiku.

“Honey... Kamu kok bisa tiba tiba kesini? Pasti kamu maksa ayahmu buat kesini ya..” Tegurku. Dian hanya tersenyum menjawab pertanyaanku.

“Tuh.. Ayah sama Mama ada di dalam mobil. Ayah kebetulan lagi ada tugas di timur, jadi ya sekalian aja aku sama mama ikut. Tapi ayah dan mama langsung balik kok. Aku mau ikut nginep sini, tar ya aku ijin dulu sama bu Ainun.” Ucap Dian bersemangat sekali, sambil meninggalkanku dan menghampiri bu Ainun dan kepala sekolah kami.

“Beib... Kamu ga sapa Ayah dulu tuh..?” Sahutnya sambil sedikit menarikku menuju ayahnya. Kami langsung menghampiri ayah dan mamanya Dian dan menyapanya.

“Sore om... tante...” Sapaku tak lupa mencium tangannya. Orang tua Dian menyambutku sambil tersenyum dan merangkul Dian.

“Dian dari kemaren ga sabaran banget pengen nyusul kesini loh mas... Kayaknya kangen banget sama kamu.” Kata Mamanya Dian ke arahku sambil menggoda Dian. Dian hanya tersipu malu.

“Iya tuh... Apalagi tadi pagi, udah maksa aja pengen cepet berangkat kesini. Kayak anak kecil yang dijanjiin diajakin ke taman bermain. Hahaha.” Sekarang ayahnya ikut menggoda Dian.

Aku hanya tersenyum merespon candaan mereka tentang Dian. Saat Dian berjalan beriringan dengan bu Ainun dan orang tuanya, aku meminta ijin untuk menemui Triana.

Aku menyadari sikap Triana yang berubah drastis sejak kehadiran Dian disini. Aku melihat tak ada lagi keceriaan di wajahnya, seperti hari kemarin saat kami masih berdua.

“Say... Kamu ga papa?” Tanyaku khawatir.

“Udah pak cik... Jangan manggil sayang lagi, udah ada Dian. Aku ga enak nanti di denger dia.” Ucapnya pelan sambil menjaga jarak kepadaku.

“Loh... Kenapa? Bukannya katamu kita masih pacaran sampe besok?” Tanyaku. Triana hanya bisa menggeleng pelan.

Aku kemudian tersenyum dan menggandeng tangannya, sempat ditepisnya tanganku saat hendak memegangnya namun aku tetap memaksanya untuk memegang tanganku.

“Pak cik... Ga enak diliat Dian, lepasin tanganku..” Bisiknya sedikit khawatir, namun bukannya kulepaskan, aku malah menggenggamnya lebih erat lagi.

“Kamu masih tetap pacarku sampai besok.” Balasku sambil berbisik.

Dian sempat menoleh ke arah kami, akupun memberikan isyarat ke Dian sambil menunjukkan genggaman tanganku ke Triana dan menganggukkan kepala seolah meminta ijinnya untuk memegang tangan Triana selama berjalan. Dian sedikit mengangguk dan tersenyum ke arah kami, kemudian melanjutkan obrolan dengan bu Ainun dan orang tuanya.

“Tuh say.. Liat kan... Dian udah ngasi ijin kita gandengan.” Bisikku meyakinkan Triana.

Kami terus berjalan sampai di depan penginapan. Dianpun menghampiri aku dan Triana setelah selesai berbicara dengan bu Ainun dan kepala sekolah kami.

“Beib... Aku tadi udah ijin sama bu Ainun buat ikut nginep disini malem ini. Jadi aku bisa liat penampilanmu dan ikut acara perpisahan di balai desa. Yeeiiiyyy....” Ucapnya semangat memberitahuku bahwa dia malam ini boleh tinggal dan ikut dengan kami.

“Nyil... Tar malem aku tidur bareng kamu ya...” Pintanya ke Triana. Triana hanya bisa tersenyum sambil mengangguk.

“Tapi disini ga boleh pacaran loh Ge... apalagi pake peluk pelukan... Ada aturan desa yang sangat ketat untuk pemuda pemudinya.” Triana memperingati Dian sambil tersenyum.

“Masa sih..? Segitu primitifnya desa ini masih ngelarang orang pacaran...” Sahut Dian sedikit memprotes.

“Namanya juga aturan desa honey... Disini kan mereka masih kental menjaga norma agama.” Tambahku.

“Yaahh... Ga asik dong... Padahal suasananya mendukung banget buat pacaran. Pantesan kalian mukanya ga ada yang ceria gitu.” Ujarnya sambil melirik ke arah aku dan Triana. Kami hanya bisa tersenyum penuh arti sambil melemparkan pandangan ke arah masing masing.

Setelah ngobrol sebentar dan menikmati kopi sore, orangtua Dian pamit untuk segera pulang. Beliau sempat memanggil dan menyapaku.

“Mas.. Tante nitip Dian ya semalem disini. Baek baek ya.. Jangan lupa selalu ingetin Dian untuk pake jaket dan jangan lupa makan.” Tegur mamanya Dian kepadaku.

“Baik baik ya kalian disini, patuhi aturan yang berlaku disini. Ingat... Dimana bumi di pijak, disana langit dijunjung..” Lanjut Ayahnya Dian sembari menasihati kami.

“Iya om.. tante... Insya Allah akan saya jaga Dian sebaik baiknya.” Ucapku sambil menyalami dan mencium tangan orang tua Dian.

Kamipun mengantar kepergian orang tua Dian sambil melambaikan tangan. Belum apa apa Dian sudah mulai memelukku

“Dingin juga disini ya beib..” Bisiknya. Aku hanya bisa tersenyum mendengar bisikannya.

Sambil menunggu waktu maghrib, kami duduk sambil ngobrol santai di tempat biasa, di depan penginapan kami. Dian sempat bertanya beberapa hal tentang kegiatan kami selama dua hari disini.

Setelah melaksanakan ibadah Sholat maghrib bersama, kamipun kembali berkumpul untuk makan malam terakhir bersama di desa ini.

Dian yang baru pertama kali mengikuti kegiatan makan bersama ini merasa sangat bersemangat melihat betapa bahagianya kami bisa berkumpul makan bersama.

“Beib... kita makan bareng aja sama unyil biar enak..” Ajak Dian saat aku hendak mengambilkannya piring.

“Masa sepiring bertiga honey... yang bener aja, tar diketawain nanti kalo nambah berapa kali.”

“Yee.. bukan gitu maksudku, piringnya sih tetep aja tiga, tapi makannya satu tempat. Gitu maksudku..”

“Nah... Kopet sekarang bingung mau makan sepiring berdua sama siapa... Hahaha...” Arman langsung mengejekku saat melihat aku berjalan bersama Triana dan Dian.

Dian dan Triana hanya tersenyum mendengar godaan Arman, sedangkan aku cuma bisa manyun, hanya tangan kiriku yang bergerak menampar kepala Arman.

Setelah makan malam kami langsung berkumpul di balai desa untuk mengikuti acara perpisahan yang telah kami siapkan sebelumnya.

Dian dan Triana sejak makan malam tadi tidak pernah jauh dari sisiku, seakan mereka berdua saling menjagaku, sehingga membuat bu Ainun bertanya heran kepadaku.

“Pet... Pacarmu ini sebenarnya yang mana? Dian atau Triana? Dari kemaren ibu perhatiin kamu deket sama Triana, sampe suap suapan segala tiap makan. Sekarang ada Dian disini kamu seperti lebih dekat ke Dian, Trus Triana kayak salah tingkah gitu...” Tanya bu Ainun heran.

“Kopet ini maunya dapet dua duanya bu... Ga mau rugi dia, namanya juga cina..” Arman tanpa disuruh langsung menjawab pertanyaan bu Ainun.

“Ga boleh gitu dong... Harus pilih salah satu. Kasian nanti yang satunya kalo kamu pilih semuanya..” Bu Ainun sedikit menasihatiku seakan percaya omongan Arman.

“Ga kok bu... Pacarnya Pak cik ini Cuma Dian, saya kan sahabatnya mereka berdua ini.” Triana langsung mengklarifikasi pernyataan Arman.

“Ati ati loh... Sahabat juga bisa jadi pacar. Ah... Aneh aneh aja anak muda jaman sekarang..” Ucap bu Ainun sambil berlalu meninggalkan kami.

Dian hanya bisa tersipu mendengar ucapan bu Ainun. Dian langsung menarikku keluar dari balai desa. Dengan sedikit memaksa Dian tetap menarikku menuju tempat yang sedikit sepi.

“Cerita... Kamu ngapain aja selama disini bareng Triana.”Dian langsung bertanya saat kami berada di belakang balai desa yang sepi.

“Eh... Ga ngapa ngapain honey... paling juga jalan gandengan tangan, itu juga jalannya rame rame sama temen. Kan disini ga boleh dua duaan...” Sahutku berbohong.

“Tadi katanya pake suap suapan segala tiap makan...” Selidiknya lagi.

“Yaa... itu kan Cuma sekedar sandiwara aja, buat rame ramean aja ke temen temen. Selebihnya ga ngapa ngapain kok. Kalo ga percaya boleh tanya dah sama semua temenku.”

“Sejak aku dateng aku perhatiin tingkah kalian kok sepertinya salah tingkah gitu?” Selidiknya lagi. Sekarang wajahnya menyunggingkan senyuman, seperti senyuman hendak menghakimi gitu.

“Sapa yang salah tingkah? Aku biasa aja sih... Cuma ga nyangka aja kalo kamu sampe beneran nyusul kesini. Tapi kemaren Triana sewaktu di bus pas berangkat sempet ngomong sama aku, kalo dia pengen jadi pacarku selama kita disini..”

“Trus... Jawabanmu apa?” Tanya Dian santai sambil kembali tersenyum.

“Ya.. aku jawab aja iya, toh kita juga ga bisa ngapa ngapain disini. Aku mikir kita pasti tetap diawasi oleh bu Ainun. Apalagi setelah tau aturan desa ini gimana, palingan kami bisanya Cuma gandengan tangan atau suap suapan seperti yang bu Ainun tadi bilang.”

“Trus kamu ga mikirin aku gitu selama disini..? ga kangen sama aku?” Dian masih saja tersenyum penuh makna sambil bertanya kepadaku.

“Ya ga mungkin lah aku lupa sama kamu honey... Malah tiap bareng Triana yang kita bicarakan justru kamu aja, ga ada yang lain. Malah itu yang buat aku tambah kangen sama kamu.” Ucapku sambil mendekatinya dan memeluk tubuhnya.

“Hayoo... mau ngapain..? Katanya ga boleh mesra mesraan..” Godanya saat aku mulai memeluk dan meraba tubuhnya.

“Mau ngelampiasin rasa kangenku..” Ucapku langsung menyerang bibirnya.

Mmmmfffhhhhppph.... Kami langsung berciuman dengan penuh nafsu. Namun hanya sebentar kami berciuman, Dian langsung melepas bibirku.

“Tau ga beib...Kemaren sebelum kalian berangkat aku sengaja minta Triana buat ngomong ke kamu untuk menjadi pacarmu selama disini. Aku sebenarnya pengen tau aja gimana sikapmu kalo berduaan sama Triana sewaktu jauh dari aku. Hihihi...”

“Pantesan... Aku kok ngerasa aneh aja. Ga seperti biasanya Unyil itu malah seperti sengaja pamerin ke anak anak kalo kita pacaran. Biasanya juga ga pernah mau nunjukin kalo lagi suka sama orang. Inget dulu waktu kita belum jadian? Dia bisa sejengkel itu sama Arman waktu Arman ngejekin aku pacaran sama dia.” Sekarang mulai terbuka, kenapa selama disini sikapnya Triana seperti sangat menjagaku dan seolah olah tidak malu untuk menunjukkan kemesraan kepada teman teman kami.

“Hihihi... Eh.. Tapi pasti kamu ngambil kesempatan ya... mumpung unyil ngajakin pacaran, pasti kemaren puas ciuman... Hayoo... Ngakuu...” Goda Dian sambil menunjukku.

“Eh.. Ga kok... Mana bisa ciuman... Kita kan ngumpul terus bareng anak anak lain, masa mau ciuman di depan mereka... Paling Cuma rangkulan sama peluk pelukan gitu dah...” Sahutku berbohong.

“Kalo gitu sekarang kamu lagi selingkuh dong sama aku... Kan harusnya kontrak pacaranmu sama unyil sampe besok beib... Hihihi...” Lanjut Dan masih menggodaku.

“Selingkuh sama pacar sendiri gapapa lah... Aku beneran kangen sama kamu honey...” Bisikku sambil merengkuh badannya dan melumat bibirnya.

“Aku juga kangen kamu beib... Mmmmppphhhh.... Aku pengen...” Balas Dian sambil tetap mendesah.

“Udah yuk... kita masuk.. Ga enak tar dicariin sama yang lain, Lagian kamu kan mau mentas bentar lagi.” Dian melepas pagutan bibirnya kemudian mengajakku masuk ke dalam balai desa.

Aku yang sebenarnya masih ingin bermesraan dengannya sedikit menolak ajakannya, namun tetap dipaksa Dian untuk kembali masuk.

Saat kami masuk ke dalam balai desa, nampak acara sambutan dari kedua belah pihak telah selesai. Tak lama berselang tiba tiba kami mendengar irama gending khas Lombok dimainkan. Tak berapa lama muncullah seorang penari cantik ke tengah tengah panggung.

Aku kaget saat mengetahui sang penari ternyata Ayu. Tampak malam itu Ayu sangat cantik menggunakan pakaian khas penari Sasak sedang mempertunjukkan tarian GANDRUNG. Sungguh sangat beda antara sifat keseharian Ayu yang pendiam dan pemalu tiba tiba sekarang menari dengan lincahnya.

Aku dan Dian langsung menghampiri Triana dan duduk tepat disebelahnya. Sedikit berteriak aku memanggilnya.

“Eh... Kalian dari mana aja kok baru muncul? Pasti tadi nyari tempat sepi ya...” Sahut Triana saat kami menghampirinya.

“Tau aja si Unyil... Biasa lah... kan ngelepas kangen dulu..” Balas Dian sambil sedikit teriak juga.

“Nyil... Nih pacarnya aku balikin lagi ya... sorry loh... tadi aku pinjem bentar... Hihihi...” Goda Dian sambil mendorongku mendekati Triana.

“Apaan sih toge...” Ucap Triana tersipu malu.

“”Eh.. Nyil... Itu Ayu ya yang lagi nari... Cakep banget ya... Ga nyangka anak itu yang biasa pendiam dan pemalu bisa licah gitu gerakannya.” Tanyaku, kagum melihat penampilan Ayu malam ini.

“Iihh... Pak cik ini... Udah diapit dua cewek manis masih aja bilang cewek lain cantik. Gimana nih Ge? Cowokmu ini emang mesti tetap di jaga...” Triana sedikit gemas mendengarku memuji Ayu kemudain mencubit pinggangku.

“Sekarang kan dia masih jadi cowokmu nyil... Jadi resminya sih malam ini dia cowok mesum kita berdua.” Dianpun ikut mencubit pipiku. Dan lengkap sudah penderitaanku disiksa dari dua arah oleh dua cewek cantik yang aku sayangi yang sekarang mengisi hatiku.

Setelah pertunjukan tari yang dibawakan Ayu selesai, sempat terjadi keheningan sesaat. Karena kulihat bu Ainun, pak kepala sekolah dan kepala desa sedang berunding membicarakan sesuatu.

Sempat ku dengar kepala desa mengusulkan untuk mengadakan panggung musik di luar balai desa, karena khawatir warganya akan tumpah ruah masuk ke dalam balai desa dan memadati seluruh ruangan karena di desa ini sangat jarang mendapatkan hiburan, jadi warganya pasti akan sangat antusias untuk menontonnya. Namun bu Ainun menolak dengan alasan ini hanya pertunjukan seni siswa saja, bukan panggung musik artis ataupun penyanyi terkenal.

Akhirnya kepala desa menyetujui rencana bu Ainun, dan akhirnya acarapun kami lanjutkan.

“Nah... sekarang giliran kami neh...Honey... aku main dulu ya... Say... kamu juga siap siap loh...” Pamitku ke Dian dan Triana.

“Eh... Iya yank...” Ucap Triana sedikit gugup.

“Cie...cie... sekarang udah pake panggilan sayang juga...” Ledek Dian tapi langsung memelukku dan sedikit mengelus pipiku. Triana langsung salah tingkah mendengar ledekan Dian, namun Dian langsung ikut merangkul Triana dan membisikkan sesuatu.

Aku melihat Muji sudah mengambil posisi di atas panggung kemudian disusul Made dan Arman. Mereka mulai menyetel gitar masing masing beberapa saat sebelum memulai memainkannya. Tak lama berselang Dimas ikut naik dan mulai menyapa penonton yang hadir. Tak lama berselang terdengar intro sebuah lagu yang dimainkan Muji. Aku yang masih berada diantara Dian dan Triana langsung meminta ijin ke mereka untuk naik ke atas panggung menyusul teman temanku.

Good Luck Beib...” Dian menyemangatiku sambil tak lupa mencium pipiku.

Aku langsung mengambil posisi duduk di belakang drum dan mulai memainkannya. Aku kemudian memberikan tanda untuk berhenti sejenak, memberikan kesempatan kepada Dimas untuk kembali menyapa penonton.

“Lagu pertama yang akan kami bawakan adalah GERANGAN CINTA dari JavaJive.. Selamat menikmati...” Dimas memberitahukan judul lagu yang akan kami mainkan pertama kali.

Muji mulai memainkan intro diikuti Made dan Arman disusul Dimas yang mulai menyanyikan bait pertama.


Malam kian terasa
larut dan dingin
Hasrat pun ingin terus bersama
Sinar bulan yang terang berbayang
Terbias indah di matamu

Aku memainkan drum sambil mataku tak lepas memandang ke arah Dian dan Triana berdiri menonton kami, kulihat Dian dan Triana bergandengan tangan. Tatapan mata mesra Dian tak pernah lepas memandangku sambil tersenyum.
Hingga tiada satu kata
yang bisa kuucapkan
Biar kau tahu yang kurasakan
Getar jiwa terguncang buaikan
Bersatu genggam di jarimu
Kutahu jawabnya

Inikah gerangan cinta
Yang menghiasi kisah manusia
Sepanjang masa
Gairah pun dibuai terlena
Nikmati manis kata asmara
Damainya terasa di dalam jiwa
Mari bercinta

Dimas menyanyikan dengan penuh penghayatan. Matakupun tak hentinya memperhatikan Dian yang tampak sangat menikmati permainan kami, hingga Dimas menyelesaikan nyanyiannya.

Kami mendapat sambutan hangat dari teman teman sekelas dan tentu saja tepukan tangan paling keras berasal dari Dian dan Triana serta beberapa penonton dari warga desa yang kulihat sudah mulai berkumpul di dalam balai desa.

“Lagu kedua kami persembahkan buat teman teman dan penonton disini yang masih belum memiliki pasangan. Semoga nantinya tidak menjadi BUJANGAN lagi.” Dimas kembali menyapa penonton, kemudian ketukan drumku mulai masuk mendengar kode yang diberikan Dimas.

Lagu kedua yang kami bawakan adalah lagu lama dari Koes Plus yang berjudul bujangan. Sengaja temponya kami percepat dan beatnya kami buat se enerjik mungkin. Tampak teman temanku yang menjadi penonton mulai bergoyang menari mengikuti irama lagu yang dinyanyikan Dimas. Bahkan Dian dan Trianapun ikut bergoyang diantara penonton. Balai desa itupun mulai ramai didatangi oleh warga setempat.

Sampai pada lagu ketiga yang kami bawakan, penonton yang berasal dari warga setempat sudah memenuhi ruangan balai desa yang tidak begitu besar, sehingga banyak dari warga desa yang hanya menonton pertunjukan kami dari luar gedung dengan cara mengintip dari jendela gedung.

Memasuki lagu keempat kami sempat beristirahat sebentar untk minum. Aku kemudian membisikkan ke Muji untuk memainkan lagu berikutnya.

“Ji... Mainin lagu yang kemarin malem ente mainin pas ngumpul itu, yang SISA SEMALAM. Ente yang nyanyi.” Bisikku kemudian Muji menganggukkan kepala dan memberitahukan kepada yang lain.

“Lagu selanjutnya akan dibawakan oleh teman saya yang kebetulan memegang melody, Muji...” Dimas memperkenalkan Muji. Kemudian Muji mulai menyanyikan kembali lagu JavaJive yang lain.

Di dalam satu kesempatan
Suasana yang sungguh menggoda
Kumintakan pada dirimu
Untuk bersamaku

Alunan lagu Java Jive mulai terdengar seiring Muji memainkan gitarnya. Kulihat Triana terdiam sambil tersenyum manja ke arahku.
Kau angguk pertanda setuju
Tuk lepaskan seluruh rindumu
Bersamaku hingga berlalu
Hasrat yang mengganggu

Aku tetap memperhatikan Triana, saat tatapan mata kami saling bertemu kuucapkan kata tanpa mengeluakan suara ke arah Triana.

“Untukmu...” Ku gerakkan bibir sambil mengangguk ke Triana. Triana hanya tersenyum penuh arti kepadaku dan membalas anggukanku.

Muji tetap melanjutkan nyanyiannya hingga akhir. Dan kembali kami mendapatkan sambutan meriah dari penonton.

Kami terus memainkan lagu menghibur penonton yang hadir melalui suara khas Dimas. Malam yang semakin dingin kami buat sedikit menghangat dengan penampilan kami. Hingga pada lagu berikutnya, sebelum memulai bermain aku berdiri dan menghampiri Made untuk berganti posisi dan membisikkan ke semua personil bandku.

Sekarang aku dan Made bertukar posisi, dimana Made memainkan Drum dan aku bermain bass. Aku kemudian meraih microphone yang ada di depan Dimas kemudian mulai menyapa penonton.

“Selamat malam... Gimana... Udah puas dengerin Dimas nyanyi? Sekarang kalo boleh saya juga akan menyumbangkan suara, dan saya mau minta tolong kepada Clara untuk bisa membantu saya.” Aku kemudian memanggil Clara dan membisikkan sesuatu dikupingnya. Clara kemudian mengangguk dan berjalan menuju keyboardnya yang sudah lebih dulu disiapkan.

Tak lama Clara mulai memainkan intro lagu yang akan kubawakan disambut oleh personil bandku yang lain.

“Lagu ini saya persembahkan untuk seseorang disana, spesial buatmu...” Ujarku melirik ke arah Dian. Dian kaget mendengar kata kataku, sambil menunjuk pada dirinya Dian bertanya...

“Aku...?” Aku hanya mengangguk membalasnya kemudian mulai bernyanyi.

Apakah kau tak pernah tahu
Betapa indahnya dirimu
Biarkan rambut yang tergerai
Jatuh dalam pelukanku

Dian tampak tersenyum seakan terpesona mendengar lagu yang kubawakan khusus untuknya. Aku hanya bisa terus bersenandung.
Kucium hatimu damai
Tatap matamu harapan
Saat kita erat berpelukan
Oh indahnya berkata

Oh ... menikahlah denganku
Oh ... bahagialah selamanya

Musim demi musim berlalu
Menuai usia kita
Biar dua hati bercanda
Di padang yang kita bina
Kucium hatimu damai
Tatap matamu harapan
Saat kita erat berpelukan
Oh indahnya berkata

Oh ... abadilah cintaku
Oh ... jayalah dunia berlalu
Oh ... bahagialah kasihku
Oh ... bahagialah selamanya

Kembali kulirik ke arah Dian. Tampak Dian sedang di peluk oleh Triana dari belakang. Mata Dian sudah mulai berkaca kaca mendengar laguku. Sedangkan Triana hanya tersenyum ke arahku sambil tetap memeluk Dian dan sedikit bergoyang mengikuti irama.

Sampai waktu yang memanggil kita
Ku kan tetap berkata

Oh ...menikahlah denganku
Oh ...bahagialah selamanya
Oh ... abadilah cintaku
Oh ... jayalah dunia berlalu
Oh ...menikahlah denganku
Oh ...bahagialah selamanya

No comments:

Post a Comment