DIAN ANGGRAINI
FITRIANA RAHAYU
Pagi itu, pagi yang sangat pagi menurut jam hari liburku, tapi pintu
kamarku sudah di gedor tanpa perasaan oleh ibuku dan seorang lagi yang
entah siapa aku tak tahu, suara gedorannya sangat stereo. Siapa sih yang
tega gedorin kamarku pagi pagi gini? Perasaan aku janjian berangkat ke
Sembalun pukul sembilan pagi. Ku lirik jam dinding yang menempel di
tembok kamarku baru menunjukkan pukul enam lewat empat puluh menit.
Dengan kepala masih terasa berat dan badan yang sempoyongan aku terpaksa
berjalan menuju pintu kamarku. Dengan malas aku membuka pintu kamarku.
Aku terkejut melihat Dian sudah berdiri di depan pintu kamarku sambil
tersenyum.
“Eh, Honey... kenapa bisa naek kesini? Lagian ngapain juga pagi pagi
udah kesini?” Tanyaku kaget. Dian masih saja tersenyum melihatku yang
masih setengah sadar.
“Mamak yang suruh Dian naek... Sengaja biar kamu bangun. Kamu kalo ga
digituin pasti nanti bangunnya jam sembilan. Pasti tadi ga sholat
subuh..” Omel Ibuku.
“Iya neh tante.. Padahal kemaren katanya mau minta anterin ke rumah
Surya pagian. Kok jam segini malah masih tdur..” Dian malah membantu
ibuku ngomel kepadaku.
Haduuhh... ini kenapa lagi calon mantu sama calon mertua bisa kompakan
gini. Bisa bahaya neh posisiku di rumah ini, apalagi sekarang Dian sudah
mulai berani naik sampai kamarku.
Oya, kamarku ini posisinya di lantai dua, tepat di sebelah tempat ibuku
menjemur cucian. Akses masuk ke kamarku terpisah dengan rumah induk,
posisinya tepat diatas garasiku. Dan biasanya kamarku ini adalah ruangan
pribadi yang sifatnya benar benar privat, tidak boleh ada yang masuk ke
sini kecuali teman temanku dan pembantuku yang tiap pagi membersihkan
kamarku. Dan Dian adalah cewek pertama yang bisa masuk kesini. Heran
juga melihat orangtuaku mengijinkan Dian untuk naik.
Aku kemudian mengacuhkan Dian dan ibuku yang masih sibuk menjemur
pakaian dan langsung kembali ke kasurku untuk melanjutkan tidur. Tapi
Dian tiba tiba masuk dan menarik selimutku dan kakiku memaksa untuk
bangun.
“Ayo beib... udah siang neh.. kamu buruan mandi terus siap siap..
Katanya pagi ini mau ke Sembalun.” Paksa Dian sambil terus menarik
kakiku menyuruhku untuk bangun.
“Siram aja pake air es tuh biar dia mau bangun...” Sahut ibuku dari luar
kamar menyuruh Dian menyiramku. Saat Dian hendak beranjak mengambil air
es di kulkas mini dalam kamarku aku langsung bangun.
“Iya... iya... ini udah bangun...!! Heran.. Bisa kompakan gitu calon
mantu ama mertua...” Sungutku. Dian hanya tersenyum melihatku yang
langsung masuk ke dalam kamar mandi.
Selesai mandi aku masih mendapati Dian sedang duduk di kasurku sambil
nonton TV. Ada satu kejanggalan yang aku perhatikan saat keluar dari
kamar mandi.
“Loh... siapa yang ngerapiin kamarku..?” Tanyaku bingung. Kulihat bed cover
sudah terlipat rapi, seprei tempat tidurku pun sudah dirapikan dan
kamarku pun beraroma segar pengharum ruangan, tidak lagi berbau apek
asap rokok. Disamping Dian terdapat baju dan celanaku yang akan aku
pakai nanti.
“Emang yang namanya kamar cowok itu dimana mana pasti jorok ya... Kok
bisa kamu tidur dalam keadaan kamar berantakan beib.. Udah sana bajunya
dipake abis itu kita langsung jalan.”
Aku langsung berganti celana di kamar mandi karena masih ada Dian di
kamarku dan ibuku yang masih menjemur cucian di luar kamarku. Setelah
selesai memakai baju aku lalu mengajak Dian untuk turun dan sarapan
bareng.
Setelah sarapan kamipun pamit untuk pergi ke rumah Surya. Dian mengantarkanku sampai ke rumah Surya.
“Beib, tar kamu perginya sampe jam berapa?” Tanya Dian saat kami sedang di dalam mobil.
“Ya ga tau honey... Namanya juga nebeng, ya ikut supirnya lah mau balik jam berapa.” Sahutku.
“Tar baliknya mau dijemput ga?” Tanyanya lagi.
“Ga usah dah honey... belum tau ini mau balik jam berapa. Tar kasian kamunya nungguin lama.”
Sesampainya di rumah Surya baru Widi dan Arman saja yang sudah datang.
Melihat kehadiranku dan Dian mereka langsung menyapaku dan Dian.
“Dian mau ikut juga? Sekalian jalan jalan.” Tanya Surya.
“Ga kok, aku Cuma nganterin yayangku aja kesini. Lagian kalo ikut akunya
ga enak, belum ijin sama orang rumah.” Sahut Dian. Dian tak lama berada
di rumah Surya, setelah basa basi sedikit iapun langsung pamit karena
malu ketemu bu Ainun, alasannya.
“Pet.. ente dapet salam dari Iin, adiknya Wina. Sebenarnya sih
dari kemaren dia nitip salam lewat Triana juga, tapi kemaren kan ada
Dian jadi Triana ga enak nyampeinnya.” Ucap Arman saat kami sedang duduk
di teras rumah Surya sambil menunggu Wayan dan bu Ainun datang.
“Pantesan Kemaren unyil tingkahnya aneh pas bilang ane dapet salam. Tapi
ngomong ngomong adiknya Wina tau ane dari mana? Sama Wina aja ane baru
ketemu kemaren pas ente bonceng dia pulang.” Tanyaku.
“Iin itu kan temen sekelasnya Nuri, adik ane.. . Jadi ampir tiap hari
lah dia liat ente di sekolah. Kata Nuri dia penggemar berat ente hep..
Tiap hari Nuri ditanyain terus sama dia tentang ente.”
“Wuiihhh... Gimana tampangnya..?? Kalo bodynya sekelas Wina sih boleh
lah ane anterin pulang sekali sekali... Hahaha...” Candaku.
“Sok-sokan kopet mau macem macem dibelakang Dian, bisa dipotong titit
ente nanti kalo berani macem macem . Hahaha..” Surya menimpali.
Tak berapa lama Wayan pun tiba disusul bu Ainun yang datang bersama
suaminya mengendarai mobil Kijang plat merahnya. Akhirnya kamipun
berangkat setelah berpamitan kepada orangtua Surya.
Sepanjang jalan kami saling bercerita. Tidak ada lagi hubungan guru –
murid diantara kami, karena bu Ainun sempat berpesan jika di luar jam
sekolah beliau bukan guru kami lagi, tetapi beliau menyuruh kami untuk
menganggapnya sepertii orangtua kami. Ya... Orangtua yang menjadi guru
kami.
Bu Ainun juga bercerita kepada kami mengapa ia mau menerima tawaran
sekolah untuk menjadi wali kelas kami yang terkenal sangat nakal dan
selalu buat ulah di sekolah. Bu Ainun mempunyai cita cita ingin membuat
kami berubah menjadi kelas unggulan karena beliau menyadari seberapa
potensi kami yang sebenarnya. Dan perjuangan beliau kelak akan benar
benar kami rasakan di kehidupan dewasa kami nantinya.
Sepanjang perjalanan tak jarang bu Ainun menunjukkan kemesraan terhadap
suaminya ke kami. Kadang bu Ainun menyuapi suaminya snack maupun
memberikan minuman disaat suaminya sedang letih menyetir. Tak jarang
juga bu Ainun mengelus kepala sang suami ataupun membelai pipinya.
Sikap bu Ainun ini sungguh sangat berbeda saat beliau berada di dalam
kelas, dimana beliau sangat terkenal dengan kegalakan dan kejudesannya.
Tapi justru dengan adanya perjalanan inilah kami jadi mengerti sikap
asli bu Ainun yang tidak mau melihat anak didiknya gagal. Itulah
sebabnya kenapa beliau bersikap galak jika di sekolah.
Yang pasti aku tiba tiba menjadi kagum dan salut atas sikap mesra bu
Ainun kepada suaminya. Bahkan beliau tak segan segan memperlihatkan
kemanjaannya kepada suaminya, walaupun pasangan ini sudah tidak muda
lagi.
Aku bahkan membayangkan bagaimana nanti aku dan Dian jika tua besok.
Apakah kami masih bisa tetap bersikap mesra sampai tua nanti? Didalam
mobil saat perjalanan menuju Sembalun ini aku mendapatkan banyak
pelajaran hidup dari guruku.
Setelah perjalanan yang cukup memakan waktu dan medan yang berliku serta
menanjak akhirnya setelah hampir empat jam kami tiba di suatu desa yang
menurutku masih sangat alami. Hawa disini lumayan dingin, maklum kami
berada di kaki gunung Rinjani, yang jika dihitung tinggi daerah ini
sekitar kurang lebih 1.500 an meter diatas permukaan laut.
Setelah tiba di tempat tujuan, kami langsung mencari rumah kepala desa
dan setelah bertemu kami menjelaskan maksud kedatangan kami kesini.
Sukurnya rencana kami sangat disambut baik oleh kepala desa setempat.
Dan setelah berunding tentang akomodasi dan kegiatan kami nanti saat
study tour, kami akhirnya mohon diri karena mengingat hari yang sudah
sore untuk kembali pulang ke rumah.
Setelah melewati beberapa jam perjalanan yang melelahkan, akhirnya aku
tiba di rumah hampir pukul sepuluh malam. Dan malam itu aku sempatkan
untuk menghubungi Dian melalui telpon mengabari bahwa aku sudah berada
di rumah dan aku capek sekali malam ini.
Dian menyuruhku untuk beristirahat saja dan langsung tidur. Besok pagi
Dian yang akan menjemputku untuk berangkat ke sekolah. Dan aku mengikuti
saran Dian, bukan karena takut diomelin.. tapi memang karena benar
benar badanku capek sekali setelah melakukan perjalanan seharian penuh.
------------------------
Pagi ini aku seperti merasakan De javu, pintu kamarku kembali di
gedor dengan penuh semangat emak emak dan masih terdengar stereo. Tapi
kali ini aku langsung sadar dan bangkit membuka pintu. Benar saja, di
balik pintu kamarku sudah berdiri dengan manisnya seorang bidadari
cantik berkulit putih dengan seragam sekolahnya yang terlihat rapi tapi
dengan wajah manyunnya, Dian.
“Haduh beib... kamu kok malah masih ngorok jam segini... bisa bisa kita
telat loh kesekolahnya...” Sungutnya saat aku membuka pintu kamar.
“Tinggal aja dia, biarin dia telat ke sekolah. Tar biar dia berhadapan
sama bapaknya lagi kalo terlambat ke sekolah.” Tambah ibuku ikut
mengomeli aku.
“Iyaa... iyaa... tunggu sepuluh menit lagi palingan udah siap.” Belaku
langsung menyambar handuk dan berjalan menuju kamar mandi.
Setelah selesai mandi kembali kulihat kamarku sudah rapi, dan Dian sudah duduk menantiku di depan kamarku.
“Cepetan ganti bajunya..! Kamar kok tiap hari berantakan.. Heran deh
ngeliatin kamu yang betah tidur di kamar itu beib... Liat aja besok kalo
kita nikah, kalo sampe kamarnya berantakan perutmu abis merah merah aku
cubitin.” Aku cuek aja mendengar omelan Dian pagi ini, namun aku
sedikit tersenyum mendengar kalimat terakhirnya. Nikah..? Jauh banget ya
pikirannya udah sampe kesana.
Diperjalanan menuju sekolah aku menceritakan semua kegiatanku seharian
kemarin. Dian bahkan sangat takjub mendengar ceritaku tentang bu Ainun.
“Tuh beib... harusnya bu Ainun itu jadi contoh buat kita sebagai
pasangan muda ini” berkali kali kata kata itu keluar dari mulut Dian.
Seakan akan Dian sangat kagum akan sikap mesra bu Ainun. Aku hanya
tersnyum saja mendengar ocehan Dian pagi ini.
Sesampainya di sekolah Dian langsung buru buru meninggalkanku ke
kelasnya karena masih ada PR yang belum sempat dikerjakannya. Halah...
Ternyata sama aja, suka garap PR di last minute juga.
Saat masuk kelas kulihat Triana berdiri di depan pintu kelasku. Begitu melihatku Triana langsung menghampiriku dan bertanya.
“Si toge mana pak cik? Tumben ga barengan...” Tegurnya saat melihatku jalan sendirian.
“Heh...!! Kamu ini yang sopan kalo manggil orang. Toga... toge...
Namanya Dian..!!” Sewotku tak terima Triana memanggil Dian dengan
sebutan toge.
“Hihihi... iyaa... maaf... Eh, sini aku mau ngomong sama kamu.” Sahutnya sambil sedikit menarikku menjauh dari kelas.
“Ada apa sih nyil pake narik narik segala... bentar aku taro tas dulu di
kelas.” Omelku saat Triana tetap memaksaku untuk mengikutinya.
“Udah cepetan sana... mumpung Dian ga ada. Sekalian ke lapangan upacara.” Balasnya.
Pagi ini kami seperti biasa megikuti upacara bendera rutin setiap hari
senin. Tak lama setelah meletakkan tas di mejaku aku menyusul Triana
yang masih tetap menungguku di depan kelas.
“Ada apa sih nyil kok kayaknya serius banget.. Kok tadi kamu bilang mumpung ga ada Dian?” Tanyaku sedikit curiga.
“Kamu dapet salam lagi loh... Tapi awas aja kalo kamu respon, aku
laporin Dian. Aku juga dah bilang sama orang yang nitip salam ke kamu
kalo kamu udah punya cewek kakak kelas.” Triana berbicara sedikit pelan
seolah sedang berbisik sambil terus saja memegang lenganku. Lebih
tepatnya sih merangkul lenganku sambil menariknya.
Hmm.. Lumayan juga pagi pagi udah dapet yang empuk empuk dari Triana
walaupun tidak sekenyal Dian. Pikiranku udah mulai sedikit ngaco saat
merasakan gundukan payudara Triana yang tanpa disadarinya menempel di
lenganku. Aku sengaja cuek seakan akan tidak meresponnya, takut nanti
Triana sadar terus aku di keplak.
“Kamu tuh ya.. dari sabtu kemaren bilangnya ada yang nitip salam ke aku,
tapi pas ditanya sapa orangnya ga mau ngasi tau. Sapa sih? Buat orang
penasaran aja.”
Tepat saat Triana hendak menjawab pertanyaanku tiba tiba dari arah
gerbang sekolah terdengar suara motor 2-tak meraung memasuki halaman
sekolah ditambah suara teriakan cempreng.
“Kopeettt...!! Tungguin disana ya...” Arman yang baru datang dengan
suara cemprengnya yang fals berteriak memanggilku dari atas motornya.
Dan surprisenya lagi, dia membonceng... Wina..!!
“Loh... itu cungkring beneran jadian sama Wina..?” Triana terheran heran melihat Arman yang datang bersama Wina.
“Mana aku tau.. lah kamu yang tetangganya Wina gimana loh..?” Tanyaku balik ke Triana.
“Pet...! Ada kabar bagus buat ente..” Tiba tiba Arman yang baru memarkir motornya langsung menghampiriku dan Triana.
“Ente dapet salam lagi... dari Iin..” Ucap Arman sambil tersenyum.
“Udaaahh... ente sikat aja dia, lumayan hep anaknya manis juga. Itung
itung buat persediaan nanti kalo Dian lulus trus jadi pergi ke Jawa..”
Lanjutnya lagi.
“Heh cungkring... Jangan ngomporin ya..!! Pak cik..! Awas aja kalo kamu
beneran ngerespon, aku laporin Dian loh..” Sungut Triana saat Arman
menyampaikan salam kepadaku.
“Bentar dulu... Tadi unyil ini bilang ane dapet salam, sekarang ente
juga bilang ane dapet salam dari Iin... Hoki bener ya ane hari ini dapet
salam terus.”
“Yang nyalamin kamu lewat aku ya Iin juga Pak cik... jangan kege’eran dah jadi cowok... Di denger Dian abis kamu dicubitin..”
“Kenapa aku mau nyubitin yayangku..?” Tiba tiba bagai mendengar suara
bidadari yang menggelegar dari arah belakang kami, Dian muncul tanpa
peringatan.
Aku dan Arman langsung kaget dan salah tingkah begitu mendengar suara
Dian. Triana hanya tersenyum simpul seakan merasa menang karena baru
saja mendapatkan sekutu.
“Iniii.... aku ngasi tau pak cik, kalo dia sampe berani ngelirik cewek
lain nanti aku sama kamu yang bakal nyubitin dia..” Sahut Triana sambil
masih tersenyum. Untungnya Triana masih mau menyembunyikan apa yang kami
bicarakan tadi.
“Ooo... Ya jelas dong... Bahkan kalo perlu aku gamparin sekalian, jangan
cuma dicubitin..” Sahut Dian sedikit gemas. Triana langsung tertawa
mendengar kata kata Dian.
Tak berapa lama kamipun bubar untuk mengikuti upacara bendera yang
sebentar lagi akan dimulai. Dian berlalu menuju barisan kelasnya yang
jaraknya lumayan jauh dari kelasku.
Saat upacara dimulai, aku yang berdiri di barisan belakang bersama
Arman, Surya, komang dan Dimas tidak bisa fokus mengikuti jalannya
upacara karena selalu diajak ngobrol oleh Arman. Padahal dibelakang kami
berdiri bu Khasanah, guru Agama kami.
“Pet.. Itu tuh yang namanya Iin... yang berdiri di depan Nuri, yang dari
tadi merhatiin ke arah kita terus.” Bisik Arman menunjuk kelas adiknya.
Aku hanya sempat menoleh sebentar ke arah yang di tunjuk Arman.
Walah... kok malah beda ya sama kakaknya, pikirku. Penampilan fisik Wina
yang seperti keturunan Arab dengan mata belok dan hidung mancung serta
bibirnya yang mungil ditambah bemper depan dan belakangnya yang besar
sungguh sangat berbeda dengan penampilan adiknya.
Iin ini postur tubuhnya tidak jauh beda dengan Triana, kecil imut.
Dengan kulit yang lebih putih dari Wina hanya hidung tidak semancung
kakaknya. Tapi menurutku sih masih lebih manis si unyil lah... Iin
sempat tersenyum ke arahku dan memperlihatkan gigi kelincinya yang putih
namun aku langsung mengarahkan pandangan ke arah lain.
Saat aku sedang memperhatikan Iin tiba tiba dari arah belakangku
terdengar suara yang lumayan kencang. BROOT...!! Kamipun refleks menoleh
ke belakang ke arah Komang.
“Bangke... Komang kentut ga ngira ngira. Ente ngentut apa mencret...” Ledekku.
“Kampret Komang.. hebat betul caramu ngusir bu Khasanah..
Hihihihi...”Tawa Arman dengan suara sedikit berbisik takut ketahuan guru
yang lain.
Dan benar saja, setelah mendengar bunyi kentut yang keras, dengan wajah
merengut bu Khasanah langsung bergeser meninggalkan kelas kami. Kami
hanya tertawa melihat kejadian itu.
Hari itu di kelas kami membahas mengenai hasil survei kemarin dan
membicarakan kejadian tadi pagi saat upacara bendera dimana suara kentut
Komang yang mampu membuat guru Agama menyingkir. Siangnya saat bel
pelajaran pulang berbunyi kami langsung bubar menuju rumah masing
masing. Aku seperti biasa menunggu Dian di depan kelasnya dan setelah
itu kami langsung pulang menuju rumahku.
Dalam perjalanan pulang dimana Dian mengantarkan aku ke rumah, tiba tiba
di tengah perjalanan mobil kami di berhentikan oleh Arman. Aku yang
langsung menghentikan laju mobil melihat sebuah motor tergeletak di
tengah jalan dan orang mulai ramai memperhatikan.
“Pet..Komang kecelakaan...!! Tadi dia ngebut terus nabrak orang pake
sepeda. Sekarang Komang sedang dibawa ke rumah sakit sama Surya dan
Dimas. Ente temenin ane disini jagain motornya Komang sampe kakaknya
dateng. Wayan sudah pergi jemput kakaknya sekalian ngabari Komang
kecelakaan.” Arman tampak panik saat aku menghampirinya.
“Astagaa... Terus Komangnya gimana?” Tanyaku.
“Kakinya patah, tadi pas di bawa ke rumah sakit sih kondisinya lagi pingsan. Kualat sih tadi ngentutin guru agama..”
Akhirnya Aku meminggirkan mobil dan menemani Arman menjaga motor serta
menunggu kakaknya Komang datang. Dian hanya duduk di dalam mobil karena
takut melihat orang kecelakaan, katanya.
Tak berapa lama datanglah kakaknya Komang dengan terburu buru dan
panik. Dia langsung memeriksa keadaan motor Komang sambil terus mencari
cari sesuatu.
“Bli.. Nyari apa? Komangnya udah dibawa kerumah sakit, bli
kalo bisa angkut motornya Komang pake mobil pick up aja.” Tegur Arman
saat melihat kakanya Komang tampak kebingungan mencari sesuatu.
“Saya bukan nyari Komang... Sepatu... sepatunya kemana..?” Tanya Kakaknya Komang masih kebingungan.
“Lah... ngapain ributin sepatunya bli... mending urus Komangnya dulu lah..” sahutku.
“Eehh... Sepatunya merk KICKERS tuh.. sepatu mahal... baru juga seminggu beli di Bali..” Ujar kakaknya Komang masih kebingungan mencari.
Aku dan Arman hanya bisa saling pandang keheranan.
----------------------------------------
No comments:
Post a Comment