Friday 15 June 2018

Cerita SMA....29

DIAN ANGGRAINI
[​IMG]


FITRIANA RAHAYU
[​IMG]





Pagi itu, pagi yang sangat pagi menurut jam hari liburku, tapi pintu kamarku sudah di gedor tanpa perasaan oleh ibuku dan seorang lagi yang entah siapa aku tak tahu, suara gedorannya sangat stereo. Siapa sih yang tega gedorin kamarku pagi pagi gini? Perasaan aku janjian berangkat ke Sembalun pukul sembilan pagi. Ku lirik jam dinding yang menempel di tembok kamarku baru menunjukkan pukul enam lewat empat puluh menit.

Dengan kepala masih terasa berat dan badan yang sempoyongan aku terpaksa berjalan menuju pintu kamarku. Dengan malas aku membuka pintu kamarku. Aku terkejut melihat Dian sudah berdiri di depan pintu kamarku sambil tersenyum.

“Eh, Honey... kenapa bisa naek kesini? Lagian ngapain juga pagi pagi udah kesini?” Tanyaku kaget. Dian masih saja tersenyum melihatku yang masih setengah sadar.

“Mamak yang suruh Dian naek... Sengaja biar kamu bangun. Kamu kalo ga digituin pasti nanti bangunnya jam sembilan. Pasti tadi ga sholat subuh..” Omel Ibuku.

“Iya neh tante.. Padahal kemaren katanya mau minta anterin ke rumah Surya pagian. Kok jam segini malah masih tdur..” Dian malah membantu ibuku ngomel kepadaku.

Haduuhh... ini kenapa lagi calon mantu sama calon mertua bisa kompakan gini. Bisa bahaya neh posisiku di rumah ini, apalagi sekarang Dian sudah mulai berani naik sampai kamarku.

Oya, kamarku ini posisinya di lantai dua, tepat di sebelah tempat ibuku menjemur cucian. Akses masuk ke kamarku terpisah dengan rumah induk, posisinya tepat diatas garasiku. Dan biasanya kamarku ini adalah ruangan pribadi yang sifatnya benar benar privat, tidak boleh ada yang masuk ke sini kecuali teman temanku dan pembantuku yang tiap pagi membersihkan kamarku. Dan Dian adalah cewek pertama yang bisa masuk kesini. Heran juga melihat orangtuaku mengijinkan Dian untuk naik.

Aku kemudian mengacuhkan Dian dan ibuku yang masih sibuk menjemur pakaian dan langsung kembali ke kasurku untuk melanjutkan tidur. Tapi Dian tiba tiba masuk dan menarik selimutku dan kakiku memaksa untuk bangun.

“Ayo beib... udah siang neh.. kamu buruan mandi terus siap siap.. Katanya pagi ini mau ke Sembalun.” Paksa Dian sambil terus menarik kakiku menyuruhku untuk bangun.

“Siram aja pake air es tuh biar dia mau bangun...” Sahut ibuku dari luar kamar menyuruh Dian menyiramku. Saat Dian hendak beranjak mengambil air es di kulkas mini dalam kamarku aku langsung bangun.

“Iya... iya... ini udah bangun...!! Heran.. Bisa kompakan gitu calon mantu ama mertua...” Sungutku. Dian hanya tersenyum melihatku yang langsung masuk ke dalam kamar mandi.

Selesai mandi aku masih mendapati Dian sedang duduk di kasurku sambil nonton TV. Ada satu kejanggalan yang aku perhatikan saat keluar dari kamar mandi.

“Loh... siapa yang ngerapiin kamarku..?” Tanyaku bingung. Kulihat bed cover sudah terlipat rapi, seprei tempat tidurku pun sudah dirapikan dan kamarku pun beraroma segar pengharum ruangan, tidak lagi berbau apek asap rokok. Disamping Dian terdapat baju dan celanaku yang akan aku pakai nanti.

“Emang yang namanya kamar cowok itu dimana mana pasti jorok ya... Kok bisa kamu tidur dalam keadaan kamar berantakan beib.. Udah sana bajunya dipake abis itu kita langsung jalan.”

Aku langsung berganti celana di kamar mandi karena masih ada Dian di kamarku dan ibuku yang masih menjemur cucian di luar kamarku. Setelah selesai memakai baju aku lalu mengajak Dian untuk turun dan sarapan bareng.

Setelah sarapan kamipun pamit untuk pergi ke rumah Surya. Dian mengantarkanku sampai ke rumah Surya.

“Beib, tar kamu perginya sampe jam berapa?” Tanya Dian saat kami sedang di dalam mobil.

“Ya ga tau honey... Namanya juga nebeng, ya ikut supirnya lah mau balik jam berapa.” Sahutku.

“Tar baliknya mau dijemput ga?” Tanyanya lagi.

“Ga usah dah honey... belum tau ini mau balik jam berapa. Tar kasian kamunya nungguin lama.”

Sesampainya di rumah Surya baru Widi dan Arman saja yang sudah datang. Melihat kehadiranku dan Dian mereka langsung menyapaku dan Dian.

“Dian mau ikut juga? Sekalian jalan jalan.” Tanya Surya.

“Ga kok, aku Cuma nganterin yayangku aja kesini. Lagian kalo ikut akunya ga enak, belum ijin sama orang rumah.” Sahut Dian. Dian tak lama berada di rumah Surya, setelah basa basi sedikit iapun langsung pamit karena malu ketemu bu Ainun, alasannya.

“Pet.. ente dapet salam dari Iin, adiknya Wina. Sebenarnya sih dari kemaren dia nitip salam lewat Triana juga, tapi kemaren kan ada Dian jadi Triana ga enak nyampeinnya.” Ucap Arman saat kami sedang duduk di teras rumah Surya sambil menunggu Wayan dan bu Ainun datang.

“Pantesan Kemaren unyil tingkahnya aneh pas bilang ane dapet salam. Tapi ngomong ngomong adiknya Wina tau ane dari mana? Sama Wina aja ane baru ketemu kemaren pas ente bonceng dia pulang.” Tanyaku.

“Iin itu kan temen sekelasnya Nuri, adik ane.. . Jadi ampir tiap hari lah dia liat ente di sekolah. Kata Nuri dia penggemar berat ente hep.. Tiap hari Nuri ditanyain terus sama dia tentang ente.”

“Wuiihhh... Gimana tampangnya..?? Kalo bodynya sekelas Wina sih boleh lah ane anterin pulang sekali sekali... Hahaha...” Candaku.

“Sok-sokan kopet mau macem macem dibelakang Dian, bisa dipotong titit ente nanti kalo berani macem macem . Hahaha..” Surya menimpali.

Tak berapa lama Wayan pun tiba disusul bu Ainun yang datang bersama suaminya mengendarai mobil Kijang plat merahnya. Akhirnya kamipun berangkat setelah berpamitan kepada orangtua Surya.

Sepanjang jalan kami saling bercerita. Tidak ada lagi hubungan guru – murid diantara kami, karena bu Ainun sempat berpesan jika di luar jam sekolah beliau bukan guru kami lagi, tetapi beliau menyuruh kami untuk menganggapnya sepertii orangtua kami. Ya... Orangtua yang menjadi guru kami.

Bu Ainun juga bercerita kepada kami mengapa ia mau menerima tawaran sekolah untuk menjadi wali kelas kami yang terkenal sangat nakal dan selalu buat ulah di sekolah. Bu Ainun mempunyai cita cita ingin membuat kami berubah menjadi kelas unggulan karena beliau menyadari seberapa potensi kami yang sebenarnya. Dan perjuangan beliau kelak akan benar benar kami rasakan di kehidupan dewasa kami nantinya.

Sepanjang perjalanan tak jarang bu Ainun menunjukkan kemesraan terhadap suaminya ke kami. Kadang bu Ainun menyuapi suaminya snack maupun memberikan minuman disaat suaminya sedang letih menyetir. Tak jarang juga bu Ainun mengelus kepala sang suami ataupun membelai pipinya.

Sikap bu Ainun ini sungguh sangat berbeda saat beliau berada di dalam kelas, dimana beliau sangat terkenal dengan kegalakan dan kejudesannya. Tapi justru dengan adanya perjalanan inilah kami jadi mengerti sikap asli bu Ainun yang tidak mau melihat anak didiknya gagal. Itulah sebabnya kenapa beliau bersikap galak jika di sekolah.

Yang pasti aku tiba tiba menjadi kagum dan salut atas sikap mesra bu Ainun kepada suaminya. Bahkan beliau tak segan segan memperlihatkan kemanjaannya kepada suaminya, walaupun pasangan ini sudah tidak muda lagi.

Aku bahkan membayangkan bagaimana nanti aku dan Dian jika tua besok. Apakah kami masih bisa tetap bersikap mesra sampai tua nanti? Didalam mobil saat perjalanan menuju Sembalun ini aku mendapatkan banyak pelajaran hidup dari guruku.

Setelah perjalanan yang cukup memakan waktu dan medan yang berliku serta menanjak akhirnya setelah hampir empat jam kami tiba di suatu desa yang menurutku masih sangat alami. Hawa disini lumayan dingin, maklum kami berada di kaki gunung Rinjani, yang jika dihitung tinggi daerah ini sekitar kurang lebih 1.500 an meter diatas permukaan laut.

Setelah tiba di tempat tujuan, kami langsung mencari rumah kepala desa dan setelah bertemu kami menjelaskan maksud kedatangan kami kesini.

Sukurnya rencana kami sangat disambut baik oleh kepala desa setempat. Dan setelah berunding tentang akomodasi dan kegiatan kami nanti saat study tour, kami akhirnya mohon diri karena mengingat hari yang sudah sore untuk kembali pulang ke rumah.

Setelah melewati beberapa jam perjalanan yang melelahkan, akhirnya aku tiba di rumah hampir pukul sepuluh malam. Dan malam itu aku sempatkan untuk menghubungi Dian melalui telpon mengabari bahwa aku sudah berada di rumah dan aku capek sekali malam ini.

Dian menyuruhku untuk beristirahat saja dan langsung tidur. Besok pagi Dian yang akan menjemputku untuk berangkat ke sekolah. Dan aku mengikuti saran Dian, bukan karena takut diomelin.. tapi memang karena benar benar badanku capek sekali setelah melakukan perjalanan seharian penuh.



------------------------

Pagi ini aku seperti merasakan De javu, pintu kamarku kembali di gedor dengan penuh semangat emak emak dan masih terdengar stereo. Tapi kali ini aku langsung sadar dan bangkit membuka pintu. Benar saja, di balik pintu kamarku sudah berdiri dengan manisnya seorang bidadari cantik berkulit putih dengan seragam sekolahnya yang terlihat rapi tapi dengan wajah manyunnya, Dian.

“Haduh beib... kamu kok malah masih ngorok jam segini... bisa bisa kita telat loh kesekolahnya...” Sungutnya saat aku membuka pintu kamar.

“Tinggal aja dia, biarin dia telat ke sekolah. Tar biar dia berhadapan sama bapaknya lagi kalo terlambat ke sekolah.” Tambah ibuku ikut mengomeli aku.

“Iyaa... iyaa... tunggu sepuluh menit lagi palingan udah siap.” Belaku langsung menyambar handuk dan berjalan menuju kamar mandi.

Setelah selesai mandi kembali kulihat kamarku sudah rapi, dan Dian sudah duduk menantiku di depan kamarku.

“Cepetan ganti bajunya..! Kamar kok tiap hari berantakan.. Heran deh ngeliatin kamu yang betah tidur di kamar itu beib... Liat aja besok kalo kita nikah, kalo sampe kamarnya berantakan perutmu abis merah merah aku cubitin.” Aku cuek aja mendengar omelan Dian pagi ini, namun aku sedikit tersenyum mendengar kalimat terakhirnya. Nikah..? Jauh banget ya pikirannya udah sampe kesana.

Diperjalanan menuju sekolah aku menceritakan semua kegiatanku seharian kemarin. Dian bahkan sangat takjub mendengar ceritaku tentang bu Ainun.

“Tuh beib... harusnya bu Ainun itu jadi contoh buat kita sebagai pasangan muda ini” berkali kali kata kata itu keluar dari mulut Dian. Seakan akan Dian sangat kagum akan sikap mesra bu Ainun. Aku hanya tersnyum saja mendengar ocehan Dian pagi ini.

Sesampainya di sekolah Dian langsung buru buru meninggalkanku ke kelasnya karena masih ada PR yang belum sempat dikerjakannya. Halah... Ternyata sama aja, suka garap PR di last minute juga.

Saat masuk kelas kulihat Triana berdiri di depan pintu kelasku. Begitu melihatku Triana langsung menghampiriku dan bertanya.

“Si toge mana pak cik? Tumben ga barengan...” Tegurnya saat melihatku jalan sendirian.

“Heh...!! Kamu ini yang sopan kalo manggil orang. Toga... toge... Namanya Dian..!!” Sewotku tak terima Triana memanggil Dian dengan sebutan toge.

“Hihihi... iyaa... maaf... Eh, sini aku mau ngomong sama kamu.” Sahutnya sambil sedikit menarikku menjauh dari kelas.

“Ada apa sih nyil pake narik narik segala... bentar aku taro tas dulu di kelas.” Omelku saat Triana tetap memaksaku untuk mengikutinya.

“Udah cepetan sana... mumpung Dian ga ada. Sekalian ke lapangan upacara.” Balasnya.

Pagi ini kami seperti biasa megikuti upacara bendera rutin setiap hari senin. Tak lama setelah meletakkan tas di mejaku aku menyusul Triana yang masih tetap menungguku di depan kelas.

“Ada apa sih nyil kok kayaknya serius banget.. Kok tadi kamu bilang mumpung ga ada Dian?” Tanyaku sedikit curiga.

“Kamu dapet salam lagi loh... Tapi awas aja kalo kamu respon, aku laporin Dian. Aku juga dah bilang sama orang yang nitip salam ke kamu kalo kamu udah punya cewek kakak kelas.” Triana berbicara sedikit pelan seolah sedang berbisik sambil terus saja memegang lenganku. Lebih tepatnya sih merangkul lenganku sambil menariknya.

Hmm.. Lumayan juga pagi pagi udah dapet yang empuk empuk dari Triana walaupun tidak sekenyal Dian. Pikiranku udah mulai sedikit ngaco saat merasakan gundukan payudara Triana yang tanpa disadarinya menempel di lenganku. Aku sengaja cuek seakan akan tidak meresponnya, takut nanti Triana sadar terus aku di keplak.

“Kamu tuh ya.. dari sabtu kemaren bilangnya ada yang nitip salam ke aku, tapi pas ditanya sapa orangnya ga mau ngasi tau. Sapa sih? Buat orang penasaran aja.”

Tepat saat Triana hendak menjawab pertanyaanku tiba tiba dari arah gerbang sekolah terdengar suara motor 2-tak meraung memasuki halaman sekolah ditambah suara teriakan cempreng.

“Kopeettt...!! Tungguin disana ya...” Arman yang baru datang dengan suara cemprengnya yang fals berteriak memanggilku dari atas motornya. Dan surprisenya lagi, dia membonceng... Wina..!!

“Loh... itu cungkring beneran jadian sama Wina..?” Triana terheran heran melihat Arman yang datang bersama Wina.

“Mana aku tau.. lah kamu yang tetangganya Wina gimana loh..?” Tanyaku balik ke Triana.

“Pet...! Ada kabar bagus buat ente..” Tiba tiba Arman yang baru memarkir motornya langsung menghampiriku dan Triana.

“Ente dapet salam lagi... dari Iin..” Ucap Arman sambil tersenyum.

“Udaaahh... ente sikat aja dia, lumayan hep anaknya manis juga. Itung itung buat persediaan nanti kalo Dian lulus trus jadi pergi ke Jawa..” Lanjutnya lagi.

“Heh cungkring... Jangan ngomporin ya..!! Pak cik..! Awas aja kalo kamu beneran ngerespon, aku laporin Dian loh..” Sungut Triana saat Arman menyampaikan salam kepadaku.

“Bentar dulu... Tadi unyil ini bilang ane dapet salam, sekarang ente juga bilang ane dapet salam dari Iin... Hoki bener ya ane hari ini dapet salam terus.”

“Yang nyalamin kamu lewat aku ya Iin juga Pak cik... jangan kege’eran dah jadi cowok... Di denger Dian abis kamu dicubitin..”

“Kenapa aku mau nyubitin yayangku..?” Tiba tiba bagai mendengar suara bidadari yang menggelegar dari arah belakang kami, Dian muncul tanpa peringatan.

Aku dan Arman langsung kaget dan salah tingkah begitu mendengar suara Dian. Triana hanya tersenyum simpul seakan merasa menang karena baru saja mendapatkan sekutu.

“Iniii.... aku ngasi tau pak cik, kalo dia sampe berani ngelirik cewek lain nanti aku sama kamu yang bakal nyubitin dia..” Sahut Triana sambil masih tersenyum. Untungnya Triana masih mau menyembunyikan apa yang kami bicarakan tadi.

“Ooo... Ya jelas dong... Bahkan kalo perlu aku gamparin sekalian, jangan cuma dicubitin..” Sahut Dian sedikit gemas. Triana langsung tertawa mendengar kata kata Dian.

Tak berapa lama kamipun bubar untuk mengikuti upacara bendera yang sebentar lagi akan dimulai. Dian berlalu menuju barisan kelasnya yang jaraknya lumayan jauh dari kelasku.

Saat upacara dimulai, aku yang berdiri di barisan belakang bersama Arman, Surya, komang dan Dimas tidak bisa fokus mengikuti jalannya upacara karena selalu diajak ngobrol oleh Arman. Padahal dibelakang kami berdiri bu Khasanah, guru Agama kami.

“Pet.. Itu tuh yang namanya Iin... yang berdiri di depan Nuri, yang dari tadi merhatiin ke arah kita terus.” Bisik Arman menunjuk kelas adiknya. Aku hanya sempat menoleh sebentar ke arah yang di tunjuk Arman.

Walah... kok malah beda ya sama kakaknya, pikirku. Penampilan fisik Wina yang seperti keturunan Arab dengan mata belok dan hidung mancung serta bibirnya yang mungil ditambah bemper depan dan belakangnya yang besar sungguh sangat berbeda dengan penampilan adiknya.

Iin ini postur tubuhnya tidak jauh beda dengan Triana, kecil imut. Dengan kulit yang lebih putih dari Wina hanya hidung tidak semancung kakaknya. Tapi menurutku sih masih lebih manis si unyil lah... Iin sempat tersenyum ke arahku dan memperlihatkan gigi kelincinya yang putih namun aku langsung mengarahkan pandangan ke arah lain.

Saat aku sedang memperhatikan Iin tiba tiba dari arah belakangku terdengar suara yang lumayan kencang. BROOT...!! Kamipun refleks menoleh ke belakang ke arah Komang.

“Bangke... Komang kentut ga ngira ngira. Ente ngentut apa mencret...” Ledekku.

“Kampret Komang.. hebat betul caramu ngusir bu Khasanah.. Hihihihi...”Tawa Arman dengan suara sedikit berbisik takut ketahuan guru yang lain.

Dan benar saja, setelah mendengar bunyi kentut yang keras, dengan wajah merengut bu Khasanah langsung bergeser meninggalkan kelas kami. Kami hanya tertawa melihat kejadian itu.

Hari itu di kelas kami membahas mengenai hasil survei kemarin dan membicarakan kejadian tadi pagi saat upacara bendera dimana suara kentut Komang yang mampu membuat guru Agama menyingkir. Siangnya saat bel pelajaran pulang berbunyi kami langsung bubar menuju rumah masing masing. Aku seperti biasa menunggu Dian di depan kelasnya dan setelah itu kami langsung pulang menuju rumahku.

Dalam perjalanan pulang dimana Dian mengantarkan aku ke rumah, tiba tiba di tengah perjalanan mobil kami di berhentikan oleh Arman. Aku yang langsung menghentikan laju mobil melihat sebuah motor tergeletak di tengah jalan dan orang mulai ramai memperhatikan.

“Pet..Komang kecelakaan...!! Tadi dia ngebut terus nabrak orang pake sepeda. Sekarang Komang sedang dibawa ke rumah sakit sama Surya dan Dimas. Ente temenin ane disini jagain motornya Komang sampe kakaknya dateng. Wayan sudah pergi jemput kakaknya sekalian ngabari Komang kecelakaan.” Arman tampak panik saat aku menghampirinya.

“Astagaa... Terus Komangnya gimana?” Tanyaku.

“Kakinya patah, tadi pas di bawa ke rumah sakit sih kondisinya lagi pingsan. Kualat sih tadi ngentutin guru agama..”

Akhirnya Aku meminggirkan mobil dan menemani Arman menjaga motor serta menunggu kakaknya Komang datang. Dian hanya duduk di dalam mobil karena takut melihat orang kecelakaan, katanya.

Tak berapa lama datanglah kakaknya Komang dengan terburu buru dan panik. Dia langsung memeriksa keadaan motor Komang sambil terus mencari cari sesuatu.

Bli.. Nyari apa? Komangnya udah dibawa kerumah sakit, bli kalo bisa angkut motornya Komang pake mobil pick up aja.” Tegur Arman saat melihat kakanya Komang tampak kebingungan mencari sesuatu.

“Saya bukan nyari Komang... Sepatu... sepatunya kemana..?” Tanya Kakaknya Komang masih kebingungan.

“Lah... ngapain ributin sepatunya bli... mending urus Komangnya dulu lah..” sahutku.

“Eehh... Sepatunya merk KICKERS tuh.. sepatu mahal... baru juga seminggu beli di Bali..” Ujar kakaknya Komang masih kebingungan mencari.

Aku dan Arman hanya bisa saling pandang keheranan.




----------------------------------------

No comments:

Post a Comment