FITRIANA RAHAYU
LUH AYUANDARI
Sore itu, hari pertama kami berada di desa Sembalun udara terasa sangat
dingin. Pembagian tempat tinggal sementara pun sudah di tetapkan.
Kelompok siswa cowok di tempatkan di satu rumah penduduk dan sudah pasti
terpisah dengan penginapan cewek, walaupun lokasinya berhadapan dan
kami masih bisa saling memandang walau hanya dari jarak jauh.
Ada satu norma adat disini yang tampaknya sangat dipatuhi oleh semua
penduduk kampung, dan kami sempat menyaksikan sendiri walaupun menurut
kami kebiasaan itu sedikit aneh. Disini apabila muda mudi sedang
berjalan apabila berpapasan dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya,
maka sang lelaki harus mengalah berjalan di seberang jalan berlawanan
dengan sang wanita. Begitu juga sebaliknya.
Tapi dengan adanya tradisi yang sudah turun temurun itu tidak malah
membuat masyarakatnya menjadi terpecah ataupun menjadi kelompok
kelompok. Justru dengan adanya tradisi tersebut membuat masyarakat desa
menjadi sangat toleransi dan saling menghormati antar sesamanya.
Dan tiba tiba dengan adanya kehadiran kami yang notabenenya ‘ANAK KOTA’
membuat beberapa tetua adat seperti orang sedang mengangon bebek menjaga
dan menasihati kami yang sudah terbiasa bergaul bahkan bercengkrama
dengan lawan jenis seperti saling merangkul dan lain lain. Hahaha...
Seperti sore itu disaat kami sedang menunggu waktu makan malam dan
silaturahmi dengan Kepala desa dan tetua adat desa setempat, kami yang
belum punya jadwal kegiatan hanya menghabiskan waktu mengobrol bersama
teman teman. Awalnya karena melihat teman temanku sedang asyik ngobrol
dan bercanda di depan rumah tempat kami menginap akupun menjemput Triana
yang katanya pengen jalan jalan menikmati suasana desa di waktu sore,
mengurungkan niat kami dan lebih memilih untuk bergabung bersama teman
temanku.
“Wuiihhh... Ada pasangan baru rupanya... Mentang mentang lagi jauhan
sama pasangannya. Disini kesempatan buat selingkuh. Mesra banget
berdua...” Surya menggoda aku dan Triana saat kami baru saja tiba.
“Jelas doong... Kesempatan sekecil apapun harus kita manfaatkan. Bener ga say..” Balasku sambil bertanya ke arah Triana.
“Iya doong... Masa Dian aja yang boleh mesra mesraan sama pak cik ini.
Eyke juga mau dong... Iya ga Yank..” Jawab Triana sambil mengedipkan
sebelah mata ke arahku dan memelukku dengan mesra.
“Hahaha... Gila kalian berdua, memang pasangan aneh. Padahal Triana
temen deketnya Dian, malah pacarnya di embat.” Ranti membalas ucapan
Triana sambil melemparkan kulit kacang ke arah kami.
“Wah... ga nyangka ya ternyata Triana ini PMP juga... Pren Makan Pren.. Hahaha..” Gek ikut menimpali.
“Aji mumpung lah... Mumpung unyil ini lagi mau ane modusin. Hehehe...”
Ucapku langsung dibalas cubitan pelan ke arah pipiku oleh Triana.
Sore itu kami masih saja bercanda berlima bersama Surya, Gek, Ranti. Tak
lama Hari dan Ayu ikut bergabung bersama kami kemudian disusul Wayan
dan Arman.
“Minggir..!! Minggir..!! Kamu bukan muhrimnya, ga boleh duduk berdekatan
begitu..!” Ucap Wayan mengusir Surya yang duduknya sedikit mepet ke
arah Gek kemudian Wayan dengan santainya menjatuhkan pantatnya persis
disebelah Gek dan langsung merangkulnya. PLAK...! Surya dengan gemas
langsung memukul kepala Wayan.
“Kampret...!! Dateng dateng langsung maen rebut aja. Ane yang dari tadi
duduk disebelah Gek aja belum dapet meluk. Lah.. dia yang baru dateng
langsung maen rangkul aja” Sungut Surya. Wayan hanya tertawa terbahak
bahak melihat Surya yang ngamuk ngamuk.
“Minggir... minggir... Kamu juga bukan muhrimnya..” Tiba tiba Arman mau
mengikuti gaya Wayan dengan mencoba mengusirnya dan berusaha duduk
diantara Wayan dan Gek, namun Wayan langsung dengan sigap menendang
pantat Arman yang sedang bersiap duduk sehingga membuat Arman
terjerembab jatuh dengan posisi bersujud.
Kami yang melihat kejadian itu langsung tertawa terbahak bahak.
“Setan...!! Pas giliran dia aja boleh...!” Maki Arman sambil mengusap lututnya.
Dan aktivitas kami sore itu sontak menjadi tontonan warga desa dengan
pandangan aneh terhadap kami. Entah siapa yang melapor, tiba tiba saja
bu Ainun dan Kepala Sekolah menghampiri kami dan menegur kami. Kata
beliau bercandaan kami membuat risih warga desa dan beliau sempat di
tegur oleh salah satu pemuka adat desa itu.
Kamipun langsung meminta maaf kemudian membubarkan diri, kebetulan juga
saat itu sudah memasuki waktu sholat magrib dan kami yang muslim
langsung beriringan menuju masjid untuk melakukan ibadah berjamaah.
Setelah melaksanakan ibadah sholat magrib, kami pun menuju Balai desa
untuk menghadiri acara ramah tamah dan penyambutan oleh warga desa yang
diwakili kepala desa dan beberapa tetua adat.
Setelah beberapa kata sambutan dari kedua belah pihak dan tak lupa
nasihat tentang tata krama yang berlaku di desa ini acarapun ditutup
dengan diundangnya kami untuk sama sama menikmati sajian santap malam.
Kami semua dikumpulkan di suatu rumah penduduk untuk bersama sama
menikmati santap malam yang sudah disiapkan oleh siswa perempuan dan ibu
ibu warga desa.
Yang namanya urusan makan berjamaah, siswa kelas kami langsung berubah
jadi arogan. Tak peduli di depan kami ada bu Ainun, kepala sekolah
ataupun kepala desa, kami langsung saling berebut makanan bagai anak
ayam yang hendak diberi makan oleh peternaknya.
Saat sampai di tempat makan, aku yang sedikit terlambat datang karena
terlebih dahulu merapikan dan mengamankan peralatan musik yang kami bawa
agar tidak dimainkan atau disentuh orang lain. Bersama Arman dan grup
band baru kami pun langsung mengambil piring dan nasinya.
Aku sempat menoleh kesana kemari mencari Triana. Maklum, badannya yang
imut sedikit terhalang oleh beberapa temanku yang badannya lebih besar
dari Triana.
“Eh... Yayangku mana ya...” Sahutku sedikit mengeraskan suara. Aku sengaja menyebut yayangku bermaksud sekedar becandaan saja.
“Yayang ente kan di rumahnya, emang kapan dia ikut kesini..?” Jawab Arman dengan lugunya.
“Yank... Sini...” Tiba tiba Triana memanggilku sambil tersenyum malu malu karena hampir semua mata tertuju kepadanya.
“Wah... wah... Udah mulai maen serong neh bocah dua... udah mulai maen
yayang yayangan.. Awas pet... Di tau Dian abis ente..” Arman
memperingatiku. Aku hanya senyum tak menghiraukannya dan terus saja
berlalu menghampiri Triana.
“Eh yank.. kamu ngapain bawa piring lagi.. ini aku udah ambilin, kita
makan sepiring berdua biar romantis... Hihihi...” Canda Triana. Aku
langsung mengembalikan piring yang sudah aku bawa tadi.
Aku merasa kami sedang memainkan peran dan bersandiwara di depan teman
temanku, karena mereka semua tahu aku dan Triana yang sudah sama sama
memiliki pasangan. Ditambah Dian dan Triana sudah akrab seperti sahabat
sehingga mereka tidak menganggap kami sedang serius.
“Romantis tapi lauknya ikan asin sama telur dadar dan indomie... Kalo mau romantis itu ajakin candle light dinner kek...” Goda Arman.
“Biarin... daripada kamu ga punya pasangan. Weekk...” Triana mencibir sambil mengejek Arman.
Arman hanya bisa manyun mendengar counter attack yang di keluarkan Triana. Kamipun tertawa mendukung ucapan Triana.
“Pak cik... mau dong disuapin pake ikan asinnya...” Ucap Triana sedikit manja kepadaku.
Aku sedikit kaget mendengar ucapannya, kupikir Triana hanya becanda
menawariku untuk makan sepiring berdua. Ternyata setelah aku perhatikan
Triana memang tidak memegang piring nasi, yang ada hanya piring nasi
yang tadi disodorkannya kepadaku.
“Eh.. beneran kamu mau disuapin? Kirain cuma becanda aja..” Sahutku sambil mencoba menyuapinya.
“Kan biar beneran romantis.. Dan aku emang beneran pengen disuapin kamu,
sayangku...”Ucapnya pelan sambil tersenyum dan mengelus pipiku. Aku
merasa grogi melihat perlakuannya terhadapku.
“Nyil... Aku aja ga pernah loh nyuapin Dian, dan dia juga ga pernah minta disuapin.” Bisikku sambil tetap menyuapinya.
“Itulah bedanya aku sama Dian. Eh.. kamu kok manggil aku ‘nyil’ lagi
sih... Kita kan masih pacaran sampe besok senin. Ingat kan perjanjian
kita di bus tadi siang..” Ucapnya mengingatkan obrolan kami saat di bus
tadi. Sekarang giliran Triana yang menyuapiku.
“Eh.. Iya say.. lupa. Hehehe..” Jawabku sambil menerima suapannya ke mulutku.
“Abis makan ini acara kita ngapain lagi ya yank... “ Tanyanya.
“Ga ada sih... Tadi kalo ga salah abis ini acara bebas. Besok pagi baru
kita padat acara sampai sore. Palingan juga tar ngumpul ngumpul bareng
anak anak di depan penginepan.” Sahutku sambil terus menghabiskan
makanku.
“Awas loh ya kalo kamu sampe minum minum sama anak anak..!! Aku laporin
Dian dan bu Ainun!! Kalo ngerokok aja gapapa, asal jangan minum.”
Ancamnya.
“Iya sayangku... palingan juga ngopi ngopi doang buat ngilangin rasa dingin. Eh, tapi ngerokok beneran boleh kan ya...” Pintaku.
“Kalo ngerokok boleh aja... Asal jangan minum. Aku ga kayak Dian kok yang ngelarang kamu ngerokok. Hihihi....”
“Kamu dari tadi nyamain terus ama Dian, aku jadi kangen sama anak
itu...” ucapku lirih. Triana hanya tersenyum dan kembali mengelus pipiku
sambil mendekatkan wajahnya ke kupingku.
“Pokoknya selama disini kamu akan aku buat ngelupain Dian.” Bisiknya sambil masih tersenyum.
Setelah selesai makan kamipun bubar menuju tempat penginapan masing
masing. Aku mengantar Triana sampai ke depan rumah tempatnya menginap.
Selama di perjalanan kami tak pernah lepas saling memeluk. Selain
hawanya yang benar benar sangat dingin, suasananya juga sangat
mendukung. Jalanan yang kami lalui sedikit remang remang karena
kurangnya penerangan jalan.
“Say.. aku balik dulu ke penginapan ya.. mau ambil rokok, Tar kesini
lagi deh.” Pamitku ke Triana setelah kami tiba di depan penginapan
cewek.
“Iya, aku juga mau masuk dulu bentar ambil kaos kaki. Gila dingin banget
disini” Balasnya dan tiba tiba dia mencium pipiku. Cup..!
Aku kemudian bergegas masuk ke penginapanku. Saat berada di dalam
penginapan kulihat Surya, Wayan dan Komang sedang berbisik bisik seakan
merencanakan sesuatu. Saat melihatku mereka langsung memanggilku.
“Nah.. ini dia orangnya.. Kopet sini...” Aku langsung mendekat setelah dipanggil oleh Wayan.
“Pet... Neh Komang ada bawa sebotol Jack D buat tar malem. Ente
keluar beli kacang, biar nanti kita bisa minum pas anak anak cewek itu
sudah pada tidur.” Kata Wayan memberitahuku rencana mereka.
“Kampret si Komang... pincang pincang gitu masih sempet sempetnya inget
bawa minuman. Dapet dari mana Mang..?” Tanyaku. Komang yang kondisi
kakinya masih di balut perban akibat kecelakaannya beberapa minggu yang
lalu hanya tersenyum mendengar ucapanku.
“Ane embat punya kakak kemarin pas di toko. Itu juga ane ada bawa vodka kalo masih kurang.” Jawabnya.
Aku kemudian ingat janjiku kepada Triana. Setelah ngobrol sebentar
dengan Wayan dan Surya akupun langsung keluar untuk menemui Triana.
Sesampainya diluar aku tidak menemukan Triana. Aku hanya menemukan Arman yang sedang duduk bersama Gek dan Ranti.
“Hep.. Ente liat Triana?” Tanyaku ke Arman.
“Tadi dia jalan sama Dimas, Hari, Ayu dan Muji ke arah sana.. Coba aja
cari.” Ucap Arman sambil menunjuk ke arah jalan menanjak sekitar dua
ratus meter dari tempatku berdiri.
Aku langsung pergi menuju arah yang ditunjuk Arman. Lumayan serem juga
jalan sendirian dalam gelap dengan dingin yang menusuk sampai ketulang.
Aku langsung membakar rokok untuk menghilangkan rasa takutku berjalan
sendirian.
Tepat diujung jalan yang lumayan menanjak samar aku melihat sebuah
bangunan seperti pos ronda. Kulihat ada beberapa orang yang sedang
berada disana. Semakin mendekati pos ronda tersebut aku semakin jelas
mendengar suara cewek dan beberapa cowok yang sedang ngobrol.
Suasana di sekitar sini tidak terlalu terang, bahkan mungkin agak gelap
karena tidak ada lampu penerangan jalan. Satu satunya yang menjadi
penerangan disini adalah lampu dari halaman rumah penduduk sekitar yang
jaraknya lumayan jauh dari pos ronda ini. Aku pun berniat iseng untuk
mengerjain teman temanku.
Aku langsung memasang hoodie dan menutupi sebagian wajahku sambil tetap menghisap rokok.
“Hei...!! Kalian ngapain disana? Kalian anak anak SMA dari kota itu
ya..? Kalian tau kan aturan desa sini?” Ucapku sedikit merubah intonasi
suaraku, sengaja ku buat berat.
Teman temanku langsung kaget dan salah tingkah. Terutama Hari dan Ayu yang kulihat sedang berpelukan.
“Kalian sedang pacaran ya...!! Saya laporkan sama pak kepala desa..!” Lanjutku.
“Bu..bukan mas.. kita cuma ngobrol ngobrol aja kok.” Terdengar Hari
menyahut sambil sedikit gemetaran. Aku yang tak dapat menahan geli
langsung tertawa terbahak bahak melihat tingkah mereka yang ketakutan.
“Sompret...!! Dasar kopet...!! Bikin jantungan aja..!” Maki Muji begitu mengetahui aku yang datang.
Aku masih saja tertawa, sedangkan Triana begitu sadar aku yang datang langsung berubah sumringah.
“Pak Cik... dari tadi ditungguin lama banget keluar dari penginapan.. Aku sampe kedinginan disini nungguin..”
“Aduuhh... kaciaann... kenapa ga ngomong dari tadi? Biar abang Muji
angetin.. cini..cini abang peluk...” Muji menggoda Triana sambil
berusaha memeluknya.
“Dih... Najis... Masa minta peluk sama kurcaci... Yank... Dingin neh..” Ucap Triana manja kepadaku setelah meledek Muji.
“Eh... Triana jadian lagi sama kopet? Waahh... Dian di kemanain pet..?”
Ujar Ayu sedikit kaget saat mendengar Triana memanggilku ‘yank’. Aku
hanya memainkan alisku menjawab pertanyaan Ayu, sedangkan Triana kembali
tersenyum.
“Halah... palingan cuma sandiwara aja, atau aji mumpung, karena
pasangannya sama sama jauh.” Balas Hari. Aku tetap cuek sambil mendekat
ke arah Triana dan memeluknya dari belakang. Triana membalas pelukanku
dengan meletakkan tangannya di depan lenganku yang sedang memeluk
tubuhnya.
“Eh.. Gila nih orang, maen peluk aja... Yang cewek juga malah bales
meluk... dasar pasangan aneh kalian berdua ini.. udah punya pacar masing
masing juga..” Ayu kaget melihat kelakuan aku dan Triana yang benar
benar mesra.
“Makanya Yu.. minta peluk dong sama Hari... masa pake malu malu gitu..
Contohnya kayak kita gini dong...” Ucapku sambil mencium leher Triana
tepat dibawah telinganya. Triana hanya menggelinjang kegelian sambil
berbisik..
”Geli yank..Hihihi.” Aku langsung menarik Triana untuk berjalan menjauhi
tempat ini karena kulihat agak sedikit keatas ada pondok yang sama
persis dengan tempat ini hanya posisinya lebih tinggi sehingga kita bisa
melihat pemandangan malam desa dengan lampu rumah yang kelap kelip.
“Mau kemana pet..?” Tanya Hari saat melihatku menarik Triana menjauh dari mereka.
“Mau buat enak dulu, soalnya masih belum berani buat anak..” Sahutku cuek dan langsung dicubit oleh Triana.
Aku masih saja menggenggam tangan Triana dan sedikit menariknya karena
kondisi jalan yang sedikit menanjak dan penuh bebatuan. Sesampainya di
pos ronda yang berada diatas tempat Hari dan yang lainnya duduk, aku
langsung mengajak Triana berdiri diatas batu yang cukup besar dan
kembali memeluk Triana dari belakang.
“Coba liat suasana malam desa ini nyil... Begitu tenang, begitu hening.
Hanya ada suara jangkrik yang saling bersahutan.” Kataku sambil sesekali
mencium kepalanya.
“Pak cik... kita mau ngapan sih disini? Gelap banget disini mana cuma
berdua aja. Mending ngumpul bareng mereka lagi yuk..” Triana sedikit
khawatir melihat suasana yang sepi. Mungkin dia juga takut bakal aku apa
apain. Tapi tangannya tak lepas dari tanganku yang masih memeluknya
Hehehe...
“Kamu takut ya aku bakal ngapa ngapain kamu... Tenang aja... aku masih
bisa jaga diri kok... Oya... kok balik lagi manggil pak cik sih...
katanya kita masih pacaran..” Godaku menirukan ucapannya tadi sore.
“Oya say... kamu beneran udah putus sama Tamjid..?” Lanjutku, teringat akan pertanyaan yang belum sempat ku ungkapkan.
“Emang kenapa?”
“Emang kenapa kamu putus sama dia? Bukannya belum ada dua bulanan ini kamu jadian ama dia?” Aku balik bertanya.
“Kayaknya aku cuma jadiin dia pacar hanya sebagai pelarian aja pak cik...”
“Pelarian..!? Pelarian dari sapa?” Kataku bingung. Triana kemudian melepaskan pelukanku dan melangkah sedikit maju.
“Aku kadang masih suka cemburu kalo liat kamu jalan bareng Dian, apalagi
sampe mesra mesraan gitu. Kadang ada perasaan nyesal, kenapa dulu itu
aku nyuruh kamu untuk ngejar Dian sedangkan perasaanku...” Triana
langsung tertunduk saat ia memotong kalimatnya.
“Kamu masih suka sama aku..?” Tanyaku sambil mendekatinya dan
menggenggam tangannya. Triana langsung membalikkan tubuhnya menghadap ke
arahku.
“Udah ga lagi...” Jawabnya. Aku sempat kaget mendengar jawabannya, tapi Triana langsung tersenyum melihat perubahan wajahku.
“Sekarang di hatiku udah tumbuh rasa sayang, walaupun aku tahu kamu
lebih memilih Dian ketimbang aku.” Lanjutnya sambil merebahkan kepalanya
ke dadaku dan memelukku erat. Dari temaramnya cahaya bulan di gelap
malam ini masih bisa kulihat matanya yang mulai berair.
“Aku juga masih sayang kok sama kamu. Tapi kamu tau kan alasanku kenapa
aku masih belum bisa menjadikanmu kekasih dan aku lebih memilih Dian..?”
Triana mengangguk pelan dan masih tetap terdiam.
“Hei... Kita kesini kan mau liburan.. masa kamu sedih gitu.. Katanya
kita sekarang lagi pacaran, harusnya sedang gembira dong... kan baru
jadian.” Hiburku. Triana sedikit tersenyum. Kemudian aku mengangkat
dagunya dan ku beranikan diri mencium bibirnya. Hhmmmppfffhhh....
Triana membalas lembut kecupan bibirku. Matanya terpejam sambil tetap menikmati bibir kami yang saling menempel.
“Mhhhfff.... Yank... Kamu tau ga kalo selama ini kamu cowok pertama dan
sampai sekarang cowok satu satunya yang pernah menciumku...” Aku
terkejut mendengar pengakuan Triana.
“Loh... Emang Tamjid ga pernah nyium kamu..?”
“Aku ga pernah mau kalo dicium dia.. Lagian kita juga pacarannya di
rumahku terus, jadi ga bisa ngapa ngapain... Udah ah.. jangan omongin
dia lagi..Mau lanjut ga nih...?” Tantangnya. Aku hanya tersenyum
mendengar tantangannya
Kemudian aku melanjutkan lagi ciumanku ke bibirnya. Sekarang kami sudah
saling melumat walaupun masih dengan lembut. Mmmmmfffhhhttt...
“Say... Bentar... Mmmmmhhhttt...” Ucapku disela ciuman kami yang udah mulai memanas.
“Kenapa lagi??” Tanyanya sedikit kecewa aku menghentikan aksinya.
“Coba tampar aku...”
“Hah..!? Kenapa?”
“Tampar aja... tapi yang pela...aaahh.!!” PLAK...!! Belum sempat aku
menyelesaikan ucapanku Triana langsung saja maen gaplok pipiku.
“Sakit tau...!!”
“Loh... Katanya minta di gampar.. emang kenapa sih..?” Tanyanya masih penasaran.
“Bukan... ini bukan mimpi lagi... Hayo lanjut lagi... “
Hhmmmmmppppfffhhhttt....... Aku kembali melumat bibirnya dengan penuh
nafsu. Triana pun membalasnya dengan gelagapan.
----------------------------------
No comments:
Post a Comment