Friday 15 June 2018

Cerita SMA....40

DIAN ANGGRAINI

[​IMG]


FITRIANA RAHAYU

[​IMG]





Hari pertama masuk sekolah setelah dua minggu liburan. Dan liburan kali ini cukup berkesan menurutku, selain pengalaman liburan di Sembalun, aku juga sempat menambah ‘kencan’ku dengan Triana di Senggigi kemarin.

Pagi ini rutinitasku sedikit berbeda seperti hari sekolah sebelumnya. Kemarin Dian sempat main ke rumahku dan berpesan kalau hari ini aku nebeng Arman saja ke sekolah, karena rencananya Dian ingin minta antar ke bengkel untuk service mobilnya sepulang sekolah nanti.

Sesampainya di sekolah setelah memarkir motornya, Arman dan aku langsung berjalan menuju kelas kami. Riuh rendah ku dengar siswa di sekolahku saling bercerita pengalaman liburan mereka, tak ketinggalan juga kelasku. Bedanya kelasku saling menceritakan pengalaman liburan yang sama, ke desa Sembalun.

Aku langsung masuk kelas bergabung bersama teman temanku heboh menceritakan pengalaman kami, terutama saat grup band kami manggung. Banyak juga teman temanku yang menanyakan status hubunganku dengan Triana, karena mereka pikir aku betulan pacaran dengan Triana. Aku hanya tersenyum menjawab pertanyaan teman temanku. Hanya teman teman dekatku saja yang mengetahui ceita aslinya seperti apa.

Tak lama kami bercanda di dalam kelas datanglah Triana dengan senyum merekahnya saat melihatku.

Pandangan matamu menarik hati... Oh senyumanmu manis sekali...” Muji tiba tiba menyanyikan lagu dangdutnya A. Rafiq, menggoda Triana yang sedang menatapku.

“Lirikan mata, bego... bukan padangan mata...” Arman memprotes syair lagu yang dinyanyikan Muji.

“Biarin... Sirik aja ente... Ane maunya pake pandangan mata emang kenapa?” Balas Muji tidak mau kalah.

Kamipun tertawa mendengar jawaban Muji. Aku langsung mendekati Triana yang langsung berjalan menuju bangkunya.

“Pagi nyil... Seger banget keliatannya pagi ini.” Sapaku sambil meraih tangannya.

“Pagi juga pak cik... Kamu juga keliatan cakep pagi ini. Hhihi...” Jawabnya sedikit memujiku.

“Suit suiiitt... ada yang saling memuji pagi pagi gini... Duuhh mesra banget kedengerannya...” Ucap Ayu. Aku dan Triana tersenyum simpul.

“Toge udah masuk kelas ya pak cik..?” Triana menanyakan Dian.

“Ga tau tuh... tadi aku ga bareng dia, katanya mau bawa mobil sendiri. Mungkin udah masuk” Jawabku.

“Lah... tau gitu tadi minta jemput sama kamu... Hhihi...”

“Tadi aku nebeng Arman nyil... Soalnya tar pulang sekolah mau langsung anter Dian ke bengkel, mau servis mobilnya.” Ujarku. Triana hanya menjawab ‘ooo’ dan langsung mengacuhkanku.

Saat hendak meletakkan tas dan duduk di bangkuku, tiba tiba Dian muncul dari samping jendela kelasku dan menyapa aku dan Triana.

“Halo sayangku...” Aku dan Triana langsung menoleh ke arah suara yang memanggil kami.

“Eh... Honey... kok baru dateng..?” Sapaku langsung berdiri hendak keluar menemui Dian.

“Togeee...!!! Kangeennn....” Teriak Triana mengejutkan kami yang ada di kelas.

“Yeee... Unyil... kurang kenceng teriaknya... Ga sekalian aja pinjem microphone di lapangan upacara... Malu maluin aja manggil toge segala...” Sungut Dian, namun kemudian kembali tersenyum dan menyuruh Triana untuk keluar kelas.

Triana langsung menghampiri Dian dan merekapun saling berpelukan. Aku hanya berani memegang tangan Dian saja, maklum masih di area sekolah.

“Unyiilll.... Lama ya ga ketemu dirimu, jadi kangen... Yayangku aku ajakin maen ke rumahmu ga pernah mau, malah maen ke Arman mulu.” Sahut Dian saat mereka menyelesaikan ritual peluk memeluk dan cipika cipiki.

“Tadi berangkat bareng sapa beib...?” Tanya Dian ke arahku.

“Pak cik bareng aku dooongg.... tadi pake meluk meluk segala. Hihihi...” Goda Triana, tepat sebelum aku menjawabnya.

“Enak dong...!! bisa nempel toketnya...pas lagi dingin dingin gini...” Sahut Dian sedikit sewot ke Triana. Dan tanpa di sadari oleh Triana, Dian yang masih memegang tanganku diam diam mencubitnya.

“Sakiiittt honeyyy... Unyil jangan macem macem ya...!! Aku nih yang jadi pelampiasannya..!!” Omelku ke Triana. Triana hanya tertawa.

“Ga kok ge... becandaa... Tadi katanya pak cik dateng bareng Arman... Pasangan homonya... Hahaha...” Jawab Triana

“Cowok gue ga homo kalee... udah terbukti kok waktu di Kuta... Iya ga beib...”

“Yoi... Unyil sih belum ngerasain... Tar pasti ketagihan...” Jawabku.

“Eh... Berani...???” Sahut Dian sambil mengepalkan tangan dan langsung mencubit perutku dibantu Triana yang sambil tersipu malu mendengar jawabanku. Kembali aku hanya bisa berteriak kesakitan.

“Tuh Har... Harusnya orang pacaran tuh kayak gitu... Pacar pertama sama madunya akrab... Makanya ente cari lagi tambahan buat nemenin Ayu...” Tiba tiba Arman dan Hari sudah berada di samping kami dan menggoda kami yang sedang bercanda. Aku, Dian dan Triana hanya tertawa mendengar kata kata Arman.

“Wooo... Berani ikutin saran Arman tak potong sosismu... Aku kasi makan bleki...” Sewot Ayu yang juga sudah ikut ngumpul bersama kami. Kamipun tertawa melihat Hari yang masih saja membujuk Ayu untuk tidak mendengarkan kata kata Arman tadi.

“Eh... tar abis upacara nongkrong di kantin yuk... kangen pengen nongkrong dikantin bareng kalian lagi. Palingan tar masih belum ada pelajaran.” Ajak Dian ke teman temanku.

Tak lama kemudian Bel tanda masuk pun berbunyi. Kami langsung menuju ke lapangan upacara untuk mengikuti upacara bendera di hari pertama masuk sekolah ini.

Saat semua kelas mulai mengatur barisan hendak memulai upacara bendera, kelasku masih asyik ngobrol sendiri dan bercanda. Hingga kelas kamipun di hampiri bu Ainun dan memarahi kami. Akhirnya selama upacara bendera berlangsung, bu Ainun tetap mendampingi kelas kami dengan berdiri di belakang kami.

Hingga tiba saat pidato kepala sekolah kami memberikan pengarahan, tiba tiba secara bersamaan muncul beberapa orang berpakaian polisi ikut berjalan bersama bapak kepala sekolah. Kami semua langsung terdiam. Terutama aku yang begitu kaget ketika melihat orang yang sedang berjalan bersama kepala sekolah kami.

“Pet... itu kan bokapnya Dian... Ngapain dia kesini? Nah loh... Mampus ente dicariin ke sekolah...” Arman langsung membisiki aku dan menakutiku.

“Mampus kowe pet... Bokapnya Dian bawa pasukan... Ente mau dimintain pertanggung jawaban.” Surya ikut mengomentari.

Aku yang awalnya hanya sedikit kaget jadi lumayan keder juga mendengar celotehan Arman dan Surya, apalagi hampir seluruh teman sekelasku langsung berpaling menghadapku sambil tersenyum. Aku langsung melihat bu Ainun dengan ekspresi wajah bertanya, namun bu Ainun malah tersenyum dan mengisyaratkan untuk memperhatikan ke depan.

“Selamat pagi anak anakku sekalian.. Hari ini sekolah kita kedatangan tamu dari Polda NTB yang akan memberikan pengarahan tentang Generasi muda dan bahaya narkotika. Bapak harap kalian bisa menyimaknya dengan baik. Untuk itu saya persilahkan dari pihak kepolisian untuk memulai pengarahannya.” Kepala sekolah kami membuka pidatonya sambil memperkenalkan tamunya.

Setelah dipersilakan oleh kepala sekolah, Ayahnya Dian langsung maju ke atas mimbar kemudian mulai berpidato memberikan pengarahan kepada kami.

Kami yang awalnya berdiri dipersilahkan duduk bersila di lapangan upacara sambil tetap mendengarkan pengarahan ayahnya Dian. Lumayan lama Ayahnya Dian berpidato di depan kami. Seperti sudah menjadi kebiasaan kami yang tidak pernah bisa fokus mendengarkan orang yang sedang pidato, kelas kami malah asyik ngobrol sendiri tanpa memperhatikan pidato ayahnya Dian, hingga tiba tiba...

“Sebagai contoh generasi muda yang patut kita acungi jempol, Kemarin saat liburan sekolah saya sempat diajak oleh anak saya yang kebetulan bersekolah disini untuk mengunjungi temannya yang sedang mengadakan kegiatan bakti sosial dan pagelaran pentas seni untuk masyarakat desa Sembalun. Saya sangat salut dengan kegiatannya yang masih peduli lingkungan dan masyarakat sekitar. Liburan diisi dengan kegiatan yang bermanfaat, bukan untuk hura hura atau bahkan mabuk mabukan.” Kami sudah bisa menebak kemana arah pidato ayahnya Dian.

Kami yang tadinya tidak begitu memperhatikan langsung fokus mendengarkan ceramahnya. Kami semua mulai bisik bisik dan tersenyum saat mendengarkan pidato ayahnya Dian.

“Saya sengaja datang kesini khusus untuk memberikan penghargaan kepada para siswa yang kemarin sudah melaksanakan kegiatan bakti sosial, untuk itu saya mengundang kelas II Sos 3 semuanya untuk maju dan bersedia menerima piagam penghargaan yang diberikan oleh Polda NTB melalui saya.”

Kamipun langsung bersorak gembira diiringi tepukan tangan dari seluruh siswa yang mengikuti upacara bendera hari ini.

Kami maju dan menyalami ayahnya Dian serta rombongan satu persatu sebelum menerima piagam penghargaan. Saat aku menyalami ayahnya Dian, aku langsung mencium tangannya, Ayahnya Dian menegurku dan tersenyum. Teman temanku dan teman sekelas Dian langsung bersorak riuh meneriaki aku.

Akhirnya setelah bersalaman bu Ainun sebagai wali kelas kami dan Widi yang menjadi ketua kelas maju mewakili kami menerima piagam penghargaan. Kamipun kembali bersorak dan bertepuk tangan gembira. Tampak raut wajah bahagia dipancarkan di wajah bu Ainun.

Tak sedikit dari kami yang terharu menyaksikan moment indah ini, aku yakin teman temanku membayangkan bagaimana kami yang dulu sangat urakan di kelas bahkan sempat kena skorsing oleh kepala sekolah gara gara kelas kami berantakan, sekarang berubah drastis seratus delapan puluh derajat menjadi kelas yang bisa mengharumkan nama sekolah. Entah itu ada campur tangan Dian yang merayu ayahnya untuk pergi ke Sembalun kemarin atau memang benar benar murni karena kegiatan positif kami.

Setelah selesai upacara bendera kami tidak langsung masuk, kami nongkrong dulu di lapangan upacara sambil masih becanda. Bu Ainun menghampiri kami dan memberitahukan bahwa kegiatan kami di Sembalun kemarin dibuatkan mading dan sudah di pajang di tembok mading sekolah.

Kamipun berebut untuk melihat mading tentang berita liburan kami. Banyak kulihat foto foto kegiatan kami yang di pajang oleh pengurus mading. Namun ada satu space mading yang paling banyak dilihat oleh para siswa.

“Pet... Coba liat ini... Mading ini isinya foto foto ente aja banyakan.” Tiba tiba Arman memanggilku dan menunjukkan kolom mading yang sedang dikerubutin para siswa.

Namun alangkah kagetnya aku setelah berada di depan mading tersebut. Mading yang lumayan besar dengan judul yang sengaja ditulis besar besar ‘MOMENT OF THE MONTH’. Memang isinya banyak foto foto candid teman temanku yang sedang bercanda ataupun foto kegiatan kami diantaranya saat manggung, mendengarkan penjelasan Kepala Desa, dan lain lain.

Yang membuatku kaget ternyata banyak fotoku dan Triana yang diambil tanpa sengaja saat kami sedang duduk berdua atau sedang terlihat bermesraan. Tampak foto saat Triana sedang merebahkan kepalanya di dadaku saat kami sedang duduk sewaktu mengobrol dengan teman teman, atau foto saat kami sedang saling bersuapan saat makan, foto di lapangan sepak bola saat aku sedang jongkok dibelakang Triana sambil menggelitiki pinggangnya sedangkan Triana duduk di depanku kegelian sambil memegang topiku.

Yang paling parah adalah foto saat aku sedang berpelukan dengan Triana, yang seolah olah kami hendak berciuman.

“Wuiiihhh.... Parah neh... Sapa sih yang masang foto ini... Di liat Dian bisa mampus ane...” Sahutku panik dan berusaha membuka kotak mading tersebut.

“Abis dah ente pet... Makanya ane bilang juga apa... Jangan main api...” Arman semakin menakutiku.

“Astaga... Pak cik... Kenapa foto kita bisa begini...? Kapan ngambilnya?” Tiba tiba Triana yang sudah disampingku berkata panik sambil ikut berusaha membuka kotak mading tersebut.

“Tau nih nyil... Sapa sih editornya nih mading... kok ga di sortir dulu foto yang mau ditampilin..” Omelku.

Siswa yang sudah terlanjur melihat mading tersebut langsung menoleh ke arah aku dan Triana dan langsung berkata...

“Wew... Ini dia artis kita... keren keren gayanya. Mesra banget pasangan ini, cocok dah kalo dikasi gelar ‘Couple of the month’. Serasi banget..”

Waduh... bahaya neh... Aku langsung celingak celinguk memperhatikan sekitar, mencari apakah Dian ada disini. Aku sudah bersiap menerima apapun yang akan Dian lakukan terhadap kami.

Untungnya Dian sepertinya tidak ada disini, tadi sempat kulihat Dian ikut berjalan bersama ayahnya kemudian pergi menuju kelasnya.

Triana langsung menarikku menjauh dari mading tersebut dan mengajakku untuk pergi mencari tempat yang sedikit sepi untuk berbicara.

“Pak cik... kita harus cari yang buat mading itu, terus minta tolong buat ngelepas foto foto kita yang keliatan mesra. Aku ga enak sama Dian nih...” Ucapnya panik.

“Iya nyil... Tar coba tanya Widi aja, sapa tau dia ngerti sapa yang masang. Kalo yang jepret sih kemarin yang pegang kamera kalo ga salah si Clara.” Jawabku.

“Kita berdua harus ngomong sama Dian, biar dia ga marah pak cik... sebelum dia ngeliat sendiri foto foto itu dan salah paham.” Lanjut Triana.

Akupun mengiyakan ucapan Triana, kamipun langsung berpisah. Aku langsung bergegas mencari Widi dan Triana mencari Clara. Setelah menemui Widi dan bertanya siapa penanggung jawab mading, aku mencari orang yang di sebut Widi. Ternyata pengurus mading adalah teman sekelasku, si Budi yang memang terkenal sangat aktif di semua kegiatan ekskul sekolah.

“Bud... Kamu ya yang masang mading di depan perpus..?” Tanyaku tanpa salam dan permisi saat menemui Budi di dalam kelasku.

“Yoi bro... Gimana... Keren kan... Apalagi fotomu sama Triana, bagus semua kan...” Ucapnya bangga dengan hasil karyanya yang telah sukses membuatku panik.

“Bagus pala lu licin... Cabut semua fotoku sama Triana...!! Kamu masang foto ga ijin dulu sama orangnya..!!” Omelku.

“Ngapain di cabut... udah bagus gitu kok... Kalian keliatan mesra banget... Temen temen yang lain jadi iri loh liat hubungan kalian...” Sahutnya cuek.

“Iyaa... Tapi cewek ane juga bisa jadi iri negliat foto itu... Kasian Triana nanti kena getahnya.” Aku menjelaskan alasannya.

“Lhoo... Salah sendiri kenapa masih mesra mesraan sama cewek lain kalo udah punya cewek.” Ngeyelnya sambil memainkan rambutnya yang setipis jembut di kepalanya yang licin.

Emosiku sedikit meninggi mendengar jawaban Budi. Aku langsung menghampirinya dan menggenggam kerah bajunya.

“Kalo sampe nanti jam istirahat aku masih liat foto itu di mading, jangan salahin aku kalo nanti nasibmu sama kayak seniormu di paskib dulu...!!!” Ancamku sambil mendorongnya hingga Budi jatuh terduduk dan terjengkang di kursinya.

Teman teman yang melihatku langsung melerai dan menahanku. Widi bahkan merangkulku dan mengingatkan untuk tidak mencari masalah di kelas.

“Kalem broo.... Jangan maen ancem gitu dong... Saya kan ga salah pasang fotomu disana, bagus ini...” Budi masih saja merasa dirinya tidak bersalah. Aku yang udah terlanjur emosi langsung hendak menerjangnya, namun ditahan oleh Widi.

“Heh culun...!! Ente sudah salah masih ngeyel juga. Salahnya ente tuh ga minta ijin dulu sama kopet ini atau Triana buat pasang foto mereka. Itu kan termasuk privasi mereka, kenapa ente malah sebarin di mading...” Bentak Arman membelaku.

“Lhoo... Saya kan hanya menjalankan tugas yang sudah diserahkan ke saya, sesuai mandat dari sekolah dan sebagai pengurus mad...” PLAK...!!! Belum sempat Budi menyelesaikan omongannya, sebuah penghapus papan tulis mendarat mulus di jidatnya yang lebar, yang kulempar dengan penuh perasaan jengkel.

Tidak terima dengan perlakuanku, Budi langsung melompat menyerangku, namun segera di tahan oleh teman temanku.

“Lepasin dia...!! Kalo emang dia keberatan ane lempar, sini... ane ladenin ente...” Tantangku.

Teman temanku langsung melepaskan pegangannya ke Budi. Dan sepertinya Budi masih berambisi untuk membalasku, dia langsung menerjangku membabi buta. Aku yang sedikit tenang hanya menghindar ke samping sehingga membuat Budi menerjang ruang kosong dan terhuyung. Akupun memanfaatkan momen terhuyungnya Budi dan langsung memitingnya dan mencekik lehernya dari belakang kemudian membantingnya.

Tampak Budi kesakitan dan sedikit susah bernapas. Aku langsung menduduki badannya sambil masih tetap mencekik lehernya. Teman temanku yang menonton langsung panik, terutama yang cewek kemudian berteriak sehingga mengundang perhatian siswa lain yang berada diluar kelasku.

Widi dan Arman yang berusaha melerai kami langsung aku tepis tangannya. Masih dengan perasaan emosi aku tetap mencekik Budi.

“Ini Cuma peringatan buatmu..!! Kalo sampai nanti jam istirahat aku masih liat foto itu, aku jamin kamu ga bisa masuk sekolah seminggu...!!” Ancamku lagi. Budi berusaha melepaskan cekikanku namun tidak berhasil. Akhirnya Budi memohon kepadaku untuk melepaskan tanganku di lehernya.

“Makanya Bud... jangan sok sokan ngelawan kalo udah tau salah... Coba kalo foto ente dipajang gitu... sedangkan ente udah punya cewek, gimana perasaan ente...” Arman kembali menceramahi Budi.

Aku kemudian bangkit dan mengulurkan tanganku membantu Budi berdiri. Kembali aku mengingatkan Budi untuk melepas semua foto mesraku dengan Triana atau aku sortir dulu mana yang boleh di pajang.

Saat hendak membantu Budi berdiri, tiba tiba dari arah pintu masuk muncul Triana bersama Dian. Tampak wajah Dian sangat ketakutan.

“Pak cik...!!!”

Triana berteriak memanggilku. Dian dan Triana langsung menghampiriku dan menarikku yang sedang membantu Budi berdiri. Mereka menarikku keluar kelas.

“Kamu mau jadi berandalan ya di sekolah ini...!!” Omel Dian sambil memukul dadaku. Matanya sudah mulai memerah menahan tangisnya.

“Enggak Honey... Kamu ga tau masalahnya sih... Aku ga berantem kok..” Sahutku membela diri, berusaha menenangkannya.

“BOHONG..!! Tadi kata unyil kamu mukulin temenmu..!! Kamu berantem di dalam kelas..!!” Ucap Dian masih emosi.

“Bukan berantem honey... Tadi Cuma adu argumen aja... Dia sih pake ngeyel segala...”

“Pak cik... Jadi si Budi yang...” Triana kaget dan tak melanjutkan ucapannya. Aku hanya mengangguk pelan menjawabnya. Sedangkan Dian jadi tambah bingung melihat tingkah kami berdua.

“Kenapa kalian berdua ini kok tingkahnya jadi aneh gini..?” Dian bertanya dengan tatapan curiga ke arah kami.

“Udah lah nyil... mending tunjukin aja ke Dian, daripada di sembunyiin. Tar malah lain lagi ceritanya.” Sahutku sambil menarik Dian menuju perpustakaan.

Dian yang masih bingung sedikit menolak ajakanku namun tetap kupaksa Dian untuk mengikutiku. Sedangkan Triana nampak khawatir.

Sesampainya di depan ruang perpustakaan aku menunjukkan Dian mading yang dibuat oleh Budi. Trianapun semakin khawatir sambil memperhatikan raut wajah Dian.

“Tuh... Liat foto foto yang dipajang Budi di mading... Gimana ga emosi ngeliatnya.” Ujarku sambil menunjuk mading yang ada fotoku dan Triana. Dian tampak memperhatikan foto foto tersebut, sedangkan Triana wajahnya mulai nampak takut.

“Hmm... Bagus juga... Keren neh yang ngambil foto... Kok ga ada fotoku sih...” Ucap Dian santai. Aku hanya saling berpandangan dengan Triana, bingung melihat reaksi Dian yang biasa aja.

“Ga ada yang aneh menurutmu...?” Pancingku lagi.

“Biasa aja tuh... foto kalian sedang bercanda.. terus duduk ngumpul... ga ada yang istimewa... Apalagi ga ada fotoku.” Sahut Dian kalem.

“Kamu ga marah ge ngeliat foto foto itu?” Tanya Triana lebih mempertegas lagi.

“Ngapain pake marah ngeliat foto kalian lagi bercanda...”Aku dan Triana langsung menghela napas lega.Ternyata Dian tidak mempermasalahkan foto kami.

“Tapi kok kalian bisa mesra sih di foto itu...? Malah pake mau ciuman segala...”





-----------------------------------------

No comments:

Post a Comment